بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 315
Makna “Jihad di Jalan Allah” yang Hakiki &
Pentingnya Melakukan Jihad dengan “Senjata Al-Quran”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai orang-orang yang menjadi
“pewaris” hakiki Al-Quran:
وَ الَّذِیۡۤ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ مِنَ الۡکِتٰبِ ہُوَ الۡحَقُّ مُصَدِّقًا
لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِعِبَادِہٖ لَخَبِیۡرٌۢ
بَصِیۡرٌ ﴿﴾ ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا
مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ
مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾
Dan Kitab yang
Kami wahyukan kepada engkau adalah kebenaran
untuk menggenapi apa yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah terhadap hamba-hambanya benar-benar Maha
Mengetahui, Maha Melihat.
ثُمَّ
اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا
-- Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami, فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya, وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ -- dari antara mereka
ada yang mengambil jalan te-ngah, وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ
بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ -- dan dari antara
mereka ada yang unggul dalam kebaikan dengan izin
Allah, itu adalah karunia yang sangat besar. (Al-Fāthir
[35]:32-33).
Tiga Tingkatan Keadaan Nafs (Jiwa) Manusia
& “Manunggal” Dalam Sifat dan Perbuatan Allah Swt.
Menurut Allah Swt. dalam ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan
peperangan yang sungguh-sungguh
terhadap keinginan dan nafsu rendahnya serta mengamalkan peniadaan diri (fana) secara mutlak,
yakni melawan gejolak nafs Ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan QS.12:54).
Itulah makna kalimat: فَمِنۡہُمۡ
ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya.”
Pada
tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya
hanya sebagian saja, yaitu pada derajat nafs Lawwamah (jiwa yang mencela diri sendiri -- QS.75:3), yakni فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya”, dan
pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak
sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya yang agung itu berlangsung cepat
sekali dan merata: وَ
مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ -- dan dari antara
mereka ada yang unggul dalam kebaikan dengan izin
Allah.” Yaitu ketika mereka mencapai
derajat nafs Muthmainnah (jiwa yang tentram), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ
الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾
فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang
tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.
Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:28-31).
Derajat nafs-al-Muthmainnah merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya
dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal
terhadap segala macam kelemahan akhlak,
diperkuat dengan kekuatan ruhani yang
khusus.
Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak
dapat hidup tanpa Dia. Di dalam kehidupan dunia inilah dan bukan sesudah
mati
perubahan ruhani besar terjadi
di dalam dirinya, dan di dunia
inilah dan bukan di tempat lain jalan
dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
Mengisyaratkan “kemanunggalan”
dengan Allah Swt. dalam Sifat-sifat-Nya itulah firman Allah Swt. berikut ini mengenai
Nabi Besar Muhammad saw.:
اِنَّ
الَّذِیۡنَ یُبَایِعُوۡنَکَ
اِنَّمَا یُبَایِعُوۡنَ اللّٰہَ ؕ یَدُ اللّٰہِ فَوۡقَ
اَیۡدِیۡہِمۡ ۚ فَمَنۡ نَّکَثَ
فَاِنَّمَا یَنۡکُثُ عَلٰی نَفۡسِہٖ ۚ وَ مَنۡ
اَوۡفٰی بِمَا عٰہَدَ عَلَیۡہُ اللّٰہَ
فَسَیُؤۡتِیۡہِ اَجۡرًا عَظِیۡمًا
﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepada engkau, اِنَّمَا یُبَایِعُوۡنَ اللّٰہَ sebenarnya mereka baiat kepada Allah,
یَدُ اللّٰہِ فَوۡقَ
اَیۡدِیۡہِمۡ -- Tangan Allah ada di atas tangan mereka. Maka barangsiapa melanggar janjinya maka ia melanggar janji atas dirinya sendiri, dan barangsiapa memenuhi apa yang telah dia janjikan kepada Allah maka Dia segera
akan memberinya ganjaran yang besar.
(Al-Fath
[48]:11).
Melibatkan Orang-orang Beriman Secara Umum & Keburukan Keadaan Nafs Ammarah
Bahkan dalam mukjizat-mukjizat tersebut Allah Swt. meliputi juga orang-orang
beriman yang berjihad di jalan Allah bersama Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
فَلَمۡ تَقۡتُلُوۡہُمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ قَتَلَہُمۡ ۪ وَ مَا رَمَیۡتَ اِذۡ رَمَیۡتَ وَ
لٰکِنَّ اللّٰہَ رَمٰی ۚ وَ لِیُبۡلِیَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡہُ بَلَآءً
حَسَنًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ
سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Maka bukan kamu yang membunuh mereka وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ قَتَلَہُم -- melainkan Allah yang telah membunuh mereka, وَ مَا
رَمَیۡتَ اِذۡ رَمَیۡتَ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ رَمٰی -- dan bukan engkau yang melemparkan pasir
ketika engkau melempar, melainkan Allāh-lah yang telah melempar, وَ
لِیُبۡلِیَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡہُ
بَلَآءً حَسَنًا ؕ اِنَّ
اللّٰہَ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ -- dan supaya Dia menganugerahi orang-orang yang beriman anugerah yang baik dari-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:18).
Ayat فَلَمۡ تَقۡتُلُوۡہُمۡ -- maka
bukan
kamu yang membunuh mereka وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ قَتَلَہُم -- melainkan Allah yang telah membunuh mereka,”
merupakan peringatan bahwa mereka
yang berperang atas nama agama yang disertai dengan kebencian dan kezaliman
yang melampaui batas -- karena mereka pada hakikatnya masih
berada pada tingkatan nafs Ammarah
(QS.12:54) -- tidak termasuk dalam pernyataan
Allah Swt., bahwa ketika mereka melakukan pembunuhan
bukanlah
mereka yang membunuh وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ قَتَلَہُم -- melainkan Allah yang telah membunuh mereka.”
Mengapa demikian? Sebab mukjizat
atau pertolongan khusus Allah Swt.
seperti itu tidak pernah diberikan kepada orang-orang yang masih berada dalam
tingkatan nafs Ammarah. Berikut
perkataan Nabi Yusuf a.s. mengenai keburukan keadaan nafs
Ammarah:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ
ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ
بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu
senantiasa menyuruh kepada keburukan,
اِلَّا مَا رَحِمَ
رَبِّیۡ -- kecuali orang yang dikasihani oleh Rabb-ku
(Tuhan-ku), اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ -- sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf
[12]:54).
Anak
kalimat illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran
yang berlainan:
(a)
Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf mā
di sini menggantikan kata nafs.
(b) Kecuali dia, yang kepadanya
Tuhan-ku berkasih sayang, mā di
sini berarti man (siapa).
(c)
Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang
dipilih-Nya.
Ketiga arti
tersebut menunjuk kepada ketiga taraf
perkembangan ruhani manusia. Arti pertama
menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani
— tingkat nafs Muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28-31). Arti kedua dikenakan kepada orang yang masih
pada tingkat nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3),
ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya. Arti ketiga dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela
dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs Ammarah (jiwa yang cenderung
kepada keburukan).
Makna
“Jihad” yang Hakiki
Jihad pengamalan Al-Quran dalam kehidupan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Besar
Muhammad saw. seperti itulah yang
dimaksud beliau saw. dengan “jihad besar”, sedangkan “jihad” dengan senjata melawan musuh
adalah “jihad kecil” -- sekali pun sampai
terbunuh di dalam peperangan --
sebab tujuan utama dari pengutusan
Nabi Besar Muhammad saw. bukanlah agar
umat Islam membunuh atau terbunuh di jalan Allah Swt., melainkan agar
mereka mengamalkan ajaran Al-Quran agar umat Islam menjadi
umat terbaik (QS.2:144;
QS.3:111) yang menjadi “rahmat bagi seluruh alam”, seperti
halnya misi kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108). , firman-Nya:
وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنٰہُ بَیۡنَہُمۡ لِیَذَّکَّرُوۡا ۫ۖ فَاَبٰۤی اَکۡثَرُ
النَّاسِ اِلَّا کُفُوۡرًا ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا
لَبَعَثۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ نَّذِیۡرًا ﴿۫ۖ﴾ فَلَا تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ
جِہَادًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menjelaskan Al-Quran ini dengan berbagai cara di antara mereka supaya
mereka mendapat pelajaran, tetapi kebanyakan manusia menolak kecuali kekafiran. وَ لَوۡ شِئۡنَا لَبَعَثۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ
نَّذِیۡرًا -- dan
seandainya Kami menghendaki niscaya Kami
membangkitkan di tiap-tiap negeri seorang pem-beri ingat. فَلَا تُطِعِ
الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ جِہَادًا کَبِیۡرًا -- Maka janganlah
kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al-Quran ini, jihad yang besar. (Al-Furqān
[25]:51-53).
Jihad besar dan jihad yang sesungguhnya menurut ayat ini adalah menablighkan amanat Al-Quran. Oleh
karena itu berjuang (jihad) untuk
menyiarkan Islam dan menyebarkan serta menaburkan ajaran-ajarannya yang sempurna adalah jihad, yang orang-orang Islam selalu dianjurkan supaya melaksanakannya dengan
semangat pantang mundur.
Jihad
jenis inilah yang diisyaratkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. ketika kembali dari suatu gerakan
militer -- yakni perang Badar -- menurut
riwayat beliau saw. pernah bersabda:
“Kita telah kembali dari jihad
kecil menuju jihad besar (Radd
al-Muhtar), firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا
فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang
yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan (kebajikan). (Al-Ankabūt [29]:70).
Jadi, jihad sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh
atau menjadi kurban pembunuhan -- sebagaimana yang telah disalah-tafsirkan -- melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan
Ilahi di dalam kehidupan di dunia
ini juga, sebab kata fīnā berarti
“untuk menjumpai Kami.”
Tidak Ada Paksaan Dalam Masalah Agama
Islam
Mengisyaratkan kepada pentingnya memerangi
hawa nafsu dan memperoleh kemenangan atasnya itu pulalah maksud firman Allah Swt. berikut
ini kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ لَقَدۡ نَعۡلَمُ اَنَّکَ یَضِیۡقُ صَدۡرُکَ بِمَا
یَقُوۡلُوۡنَ ﴿ۙ﴾ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ
رَبِّکَ وَ کُنۡ مِّنَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ اعۡبُدۡ رَبَّکَ حَتّٰی یَاۡتِیَکَ
الۡیَقِیۡنُ ﴿٪﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar mengetahui dada engkau
menjadi sempit, disebabkan apa
yang mereka katakan. فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّکَ وَ کُنۡ مِّنَ السّٰجِدِیۡنَ
-- Maka bertasbihlah
dengan memuji Rabb (Tuhan) engkau, -- وَ کُنۡ مِّنَ السّٰجِدِیۡنَ dan jadilah engkau
termasuk orang-orang yang bersujud kepada-Nya.
وَ اعۡبُدۡ رَبَّکَ -- Dan teruslah
menyembah kepada Rabb (Tuhan) engkau, حَتّٰی یَاۡتِیَکَ الۡیَقِیۡنُ -- hingga keyakinan yakni kematian datang kepada engkau. (Hijr
[15]:98-100).
Nabi Besar Muhammad saw. tidak
bersedih-hati karena orang-orang
kafir memperolok-olokkan beliau saw.; akan tetapi sebab mereka mempersekutukan Allah Swt. dengan tuhan-tuhan lain. Kesedihan
beliau ialah karena ghairat beliau
terhadap Allah Swt. di satu pihak, dan karena kekhawatiran yang tulus
ikhlas mengenai kaum beliau saw. di pihak lain (QS.6:36-37; QS.18: 7;
QS.26:4-5).
Ayat 99
bermaksud mengatakan, bahwa oleh karena tujuan utama misi (tugas kenabian) Nabi
Besar Muhammad saw. adalah menegakkan tauhid Ilahi, tidak lama lagi akan
terpenuhi, maka dalam bersyukur yang
penuh kegembiraan itu beliau harus
memanjatkan puji-pujian kepada Allah Swt. dan bersujud
ke hadirat-Nya dengan penuh penyerahan
diri.
Itulah makna perintah Allah Swt. ayat فَسَبِّحۡ
بِحَمۡدِ رَبِّکَ وَ کُنۡ مِّنَ السّٰجِدِیۡنَ -- Maka bertasbihlah
dengan memuji Rabb (Tuhan) engkau, -- وَ کُنۡ مِّنَ السّٰجِدِیۡنَ dan jadilah engkau
termasuk orang-orang yang bersujud kepada-Nya.”
Allah Swt. sama sekali tidak memerintahkan: “Bunuh mereka semuanya karena orang-orang
kafir itu telah memperolok-olok
engkau!” atau “karena mereka itu orang-orang musyrik!” Sebab tidak boleh ada paksaan atau tidak kekerasan dalam masalah agama dan keimanan (QS.257; QS.10:100; QS.11:119; QS.18:30; QS.76:4).
Perintah
Allah Swt. dalam ayat selanjutnya menolak
segala bentuk tindak kekerasan atau pembunuhan terhadap mereka itu,
firman-Nya: وَ اعۡبُدۡ رَبَّکَ -- Dan teruslah
menyembah kepada Rabb (Tuhan) engkau, حَتّٰی یَاۡتِیَکَ الۡیَقِیۡنُ -- hingga keyakinan yakni kematian datang kepada engkau.”
Jangan Selalu Memaknai
Sabda-sabda Nabi Besar Muhammad Saw. Secara
Harfiah
Karena itu hendaklah berhati-hati
memaknai sabda Nabi Besar Muhammad saw. berikut ini, jangan sampai bertentangan dengan perintah Allah Swt. dalam Al-Quran:
Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan; 'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah', apabila
mereka mengucapkannya, maka mereka telah menghalangiku (untuk menumpahkan)
darah & (merampas) harta mereka, kecuali dgn haknya, sedangkan (apabila
mereka menyembunyikan kekafiran & kemaksiatan) maka Allah-lah yg menghisab
mereka.” [HR. Tirmidzi
No.2531].
Kemudian lagi:
Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan; 'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah'. Dan
barangsiapa yg mengucapan, 'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain
Allah' maka dia telah terlindungi harta & jiwanya dariku, kecuali dgn
haknya, sedangkan (apabila mereka menyembunyikan kekafiran & kemaksiatan)
maka Allah-lah yg menghisab mereka. Maka Abu Bakar menjawab; 'Demi Allah, saya
akan memerangi orang yg membedakan
antara zakat & shalat, karena zakat adl hak harta. Demi Allah, jika mereka
menolakku untuk membayar seikat tali unta yg dulu mereka membayarkannya kepada
Rasulullah, niscaya Aku akan memerangi
mereka atas pembangkangannya.' Maka Umar bin al Khaththab berkata, 'Demi Allah,
tidaklah kebijakannya yg demikian itu melainkan karena Allah telah melapangkan
dada Abu Bakar untuk memerangi
mereka. Maka saya mengetahui bahwa dia benar”. [HR. Tirmidzi
No.2532].
Demikianlah contoh lainnya pengembalian “kiblat” pemahaman yang hakiki mengenai masalah jihad yang banyak disalah-tafsirkan, terutama di Akhir Zaman ini.
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 22 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar