بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 319
Keberagaman Umat Manusia Merupakan Bukti Ke-Maha-Esa-an Allah Swt. dan Keberadaan Tanda-tanda Ilahi &
Fungsi “Pakaian”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai salah satu tujuan Allah Swt. menjadikan manusia
terdiri dari berbagai macam ras
berupa suku-suku bangsa serta bangsa-bangsa sehingga terjadi keaneka-ragaman bahasa dan
warna kulit namun demikian menurut Allah Swt., seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga
belaka (QS.49:14). Pembagian suku-suku bangsa,
bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk لِتَعَارَفُوۡا -- supaya kamu dapat saling
mengenal”, yakni mereka saling pengertian yang lebih baik, terhadap
satu-sama lain agar mereka dapat saling
mengambil manfaat dari kepribadian
serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa
itu masing-masing, firman-Nya:
وَ مِنۡ
اٰیٰتِہٖۤ اَنۡ خَلَقَکُمۡ مِّنۡ تُرَابٍ ثُمَّ اِذَاۤ اَنۡتُمۡ
بَشَرٌ تَنۡتَشِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ مِنۡ اٰیٰتِہٖۤ
اَنۡ خَلَقَ لَکُمۡ مِّنۡ اَنۡفُسِکُمۡ اَزۡوَاجًا لِّتَسۡکُنُوۡۤا
اِلَیۡہَا وَ جَعَلَ بَیۡنَکُمۡ
مَّوَدَّۃً وَّ رَحۡمَۃً ؕ
اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ لِّقَوۡمٍ
یَّتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ وَ مِنۡ اٰیٰتِہٖ خَلۡقُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ
اخۡتِلَافُ اَلۡسِنَتِکُمۡ وَ اَلۡوَانِکُمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ
لِّلۡعٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan
dari antara Tanda-tanda-Nya ialah
bahwa Dia menciptakan kamu dari debu
kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang bertebaran di muka bumi. Dan dari antara Tanda-tanda-Nya ialah bahwa
Dia telah menciptakan
bagi kamu jodoh-jodoh dari jenismu sendiri, supaya kamu memperoleh ketenteraman padanya, dan Dia telah menjadikan di antara kamu kecintaan dan kasih-sayang. Sesungguhnya di dalam yang demikian itu ada Tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. Dan dari
antara Tanda-tanda-Nya adalah penciptaan
seluruh langit dan bumi serta perbedaan
bahasa kamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada Tanda-tanda bagi mereka yang berilmu.
(Ar-Rūm [30]:21-23).
“Keberagaman”
Umat Manusia Sebagai Bukti Ke-Maha-Esa-an
Allah Swt.
Jika
dalam ayat 21 dikatakan: اَنۡ خَلَقَکُمۡ مِّنۡ تُرَابٍ -- “Dia menciptakan kamu dari turāb (debu)”, maka di tempat
lain manusia dikatakan telah diciptakan dari thīn, yakni tanah liat (QS.6:3; QS.17:62; QS.23:13;
QS.32:8; QS.37:12; QS.38:72). Kejadian manusia dari turāb (debu) atau tanah
kering mengisyaratkan kepada tingkat kejadiannya yang mendahului
pembentukannya dari thīn (tanah
liat), mengisyaratkan kepada makanan
manusia yang berasal dari tanah dan
darinya tubuh jasmani manusia
memperoleh jaminan hidupnya.
Ayat ini memberikan tiga dalil
untuk membuktikan adanya Tuhan
Pencipta alam semesta yakni Allah Swt.:
(a) Tuhan telah menciptakan manusia
dari debu yang nampaknya tidak
mempunyai hubungan dengan kehidupan
dan tidak mempunyai sifat untuk memberikan kehidupan.
(b) Dia telah menganugerahinya perasaan yang sangat halus dan telah menanamkan dalam fitratnya suatu hasrat dan kedambaan
untuk mencapai kemajuan dan telah
menganugerahkan kepadanya kecenderungan
serta kemampuan-kemampuan mencapai
tujuan yang diinginkannya;
(c) Dia telah meletakkan dalam diri
manusia keinginan untuk menyebar dan menguasai dunia dan telah memberikan
kepadanya daya kekuatan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan besar
itu.
Makna yang terkandung dalam ayat
22, bahwa kecintaan di antara laki-laki
dan perempuan menjurus kepada pembiakan dan kelanjutan hidup makhluk
manusia di permukaan bumi. Hal itu menunjukkan adanya suatu perencanaan dan suatu tujuan tertentu di balik perencanaan itu dan adanya Sang Perencana (Allah Swt.) dan juga
adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna sesudah kehidupan
di dunia ini.
Dikarenakan dari seluruh makhluk
ciptaan Allah Swt. di alam semesta ini manusia merupakan “khalifah” Allah, maka
sehubungan dengan hal tersebut penting
sekali adanya peraturan
agama (syariat) yang salah satu di
antaranya adalah yang peraturan pernikahan,
agar silsilah keturunan manusia tidak
kacau-balau seperti halnya dalam
dunia binatang.
Ayat selanjutnya menerangkan bahwa kemajuan manusia sangat erat hubungannya
dengan adanya perbedaan-perbedaan
dalam bahasa dan warna kulit. Perbedaan-perbedaan
itu mengisyaratkan kepada adanya suatu perencanaan
dan suatu Perencana. Sang Perencana
itu ialah Sang Pencipta seluruh
langit dan bumi, yakni Allah Swt..
Di balik perbedaan bahasa dan warna kulit, yang mengakibatkan bercorak-ragamnya peradaban dan kebudayaan ada kesatuan yakni kesatuan
umat manusia. Dan kesatuan umat manusia itu menjurus
kepada kesimpulan yang tidak dapat
dihindarkan yaitu Keesaan Sang Pencipta-nya.
Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. mengenai pentingnya keberagaman di kalangan umat manusia tersebut, karena
pada hakikatnya tujuan
adanya keberagaman tersebut adalah agar manusia dapat mengenai Tuhan Pencipta mereka yaitu Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa, bukan tuhan
yang beraneka-ragam serta saling
bertentangan, firman-Nya:
لَوۡ کَانَ فِیۡہِمَاۤ اٰلِہَۃٌ
اِلَّا اللّٰہُ لَفَسَدَتَا ۚ
فَسُبۡحٰنَ اللّٰہِ رَبِّ الۡعَرۡشِ
عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿﴾ لَا یُسۡـَٔلُ
عَمَّا یَفۡعَلُ وَ
ہُمۡ یُسۡـَٔلُوۡنَ ﴿﴾
Seandainya di dalam keduanya yakni langit
dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah
pasti binasalah kedua-duanya, maka Maha
Suci Allah Rabb
(Tuhan) ‘Arasy itu, jauh di atas
segala yang mereka sifatkan. Dia tidak akan ditanya me-ngenai apa yang Dia
kerjakan, sedangkan mereka
akan ditanya. (Al-Anbiya [21]:23-24).
Ayat 23
merupakan dalil yang jitu dan pasti untuk menolak kemusyrikan. Bahkan mereka yang tidak
percaya kepada Tuhan pun tidak dapat menolak, bahwa ada suatu tertib yang sempurna melingkupi dan
meliputi seluruh alam raya. Tertib
ini menunjukkan bahwa ada hukum yang
seragam mengaturnya, dan keseragaman
hukum-hukum membuktikan ke-Esa-an
Pencipta dan Pengatur alam raya, yakni Allah
Swt..
Mengapa demikian? Sebab sandainya ada Tuhan lebih dari satu tentu lebih dari satu hukum akan mengatur alam — sebab
adalah perlu bagi suatu Wujud Tuhan
untuk menciptakan alam-semesta dengan
peraturan-peraturannya yang khusus —
dan dengan demikian sebagai akibatnya kekalutan
dan kekacauan niscaya akan terjadi
yang tidak dapat dielakkan, serta seluruh
alam akan menjadi hancur berantakan.
Karena itu sungguh janggal mengatakan bahwa tiga tuhan yang sama-sama
sempurna dalam segala segi, bersama-sama
merupakan pencipta dan pengawas bagi alam raya, sebagaimana
dalam doktrin “Trinitas” atau pun “Trimurti”
Ayat
selanjutnya I menunjuk kepada sempurnanya dan lengkapnya tata-tertib alam raya, sebab itu mengisyaratkan kepada kesempurnaan Pencipta dan Pengaturnya,
dan mengisyaratkan pula kepada ke-Maha-Esa-an-Nya. Ayat ini berarti bahwa kekuasaan Allah Swt. mengatasi segala sesuatu, sedang semua wujud dan barang lainnya tunduk
kepada kekuasaan-Nya. Hal ini
merupakan dalil lain yang menentang kemusyrikan. Demikianlah makna firman-Nya:
وَ مِنۡ اٰیٰتِہٖۤ اَنۡ
خَلَقَکُمۡ مِّنۡ تُرَابٍ ثُمَّ
اِذَاۤ اَنۡتُمۡ بَشَرٌ
تَنۡتَشِرُوۡنَ ﴿﴾
Dan
dari antara Tanda-tanda-Nya ialah
bahwa Dia menciptakan kamu dari debu
kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang bertebaran di muka bumi (Ar-Rūm [30]:21).
Pentingnya Kesamaan Iman Pasangan Suami-Istri dalam Membangun Rumahtanga
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai keberadaan Tanda-tanda-Nya
dalam pasangan suami-istri yang terikat dalam pernikahan:
وَ مِنۡ
اٰیٰتِہٖۤ اَنۡ خَلَقَ لَکُمۡ مِّنۡ
اَنۡفُسِکُمۡ اَزۡوَاجًا لِّتَسۡکُنُوۡۤا اِلَیۡہَا وَ جَعَلَ بَیۡنَکُمۡ مَّوَدَّۃً
وَّ رَحۡمَۃً ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ
لَاٰیٰتٍ لِّقَوۡمٍ یَّتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Dan
dari antara Tanda-tanda-Nya ialah bahwa
Dia telah menciptakan
bagi kamu jodoh-jodoh dari jenismu sendiri, supaya kamu memperoleh ketenteraman padanya, dan Dia telah menjadikan di antara kamu kecintaan dan kasih-sayang. Sesungguhnya di dalam yang demikian itu ada Tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rūm [30]:22).
Makna kata azwāj
(pasangan-pasangan/jodoh-jodoh) dari kalimat
“Dia telah menciptakan bagi kamu
jodoh-jodoh dari jenismu sendiri”,
dan hubungannya dengan ketentraman dalam rumahtangga
pasangan suami-istri serta timbulnya kecintaan
dan kasih-sayang di antara
pasangan suami-istri tersebut, hal
tersebut erat hubungannya dengan adanya kesamaan
iman kepada Tuhan
Yang Maha Esa, itulah sebabnya hal
tersebut telah ditetapkan Allah Swt.
dalam aturan pernikahan dalam Al-Quran
(ajaran Islam), firman-Nya:
وَ لَا
تَنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکٰتِ حَتّٰی یُؤۡمِنَّ ؕ وَ لَاَمَۃٌ مُّؤۡمِنَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکَۃٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ
ۚ وَ لَا تُنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکِیۡنَ حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا ؕ وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ
خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ ۚۖ وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ ۚ وَ یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik حَتّٰی یُؤۡمِنَّ -- hingga
mereka terlebih dulu beriman, لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ
وَ لَاَمَۃٌ
مُّؤۡمِنَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ
مُّشۡرِکَۃٍ وَّ -- dan niscaya
hamba-sahaya perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia mempesona hati kamu. Dan janganlah kamu menikahkan perem-puan
yang beriman dengan laki-laki
musyrik حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا -- hingga
mereka terlebih dulu beriman,
وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَیۡرٌ مِّنۡ
مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ
-- dan niscaya hamba-sahaya laki-laki yang beriman lebih
baik daripada laki-laki musyrik,
meskipun ia mempesona hati kamu. اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ
-- mereka mengajak
ke dalam Api, وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ -- sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. وَ یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ
لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ -- Dan Dia menjelaskan Tanda-tanda-Nya kepada manusia supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Baqarah
[2]:222).
Jadi, sehubungan dengan adanya keberagamaan dalam masalah ras, warna
kulit dan bahasa di kalangan umat manusia, menurut ajaran Islam (Al-Quran) tidak menjadi halangan bagi mereka untuk
menjadi pasangan suami-istri asalkan saja kedua calon
pasangan suami-istri tersebut memiliki persamaan iman (agama).
Mengapa demikian? Sebab jika hal itu yang
mereka utamakan maka jika dalam rumahtangga keduanya timbul “masalah” akibat dari adanya perbedaan dalam sifat
dan lain-lain --- karena kedua pasangan suami-istri
tersebut, misalnya, berbeda suku bangsa atau berbeda bangsa atau kurang kufu’
(kafa’ah – setara) dalam beberapa hal lainnya --
maka dalam upaya keduanya mengatasi “masalah” yang timbul dalam rumahtangga
mereka, insya Allah, Allah Swt. akan “ikut-campur”, sebab Dia
telah berfirman: اُولٰٓئِکَ
یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ -- mereka mengajak
ke dalam Api, وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ -- sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. وَ یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ
لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ -- dan Dia
menjelaskan Tanda-tanda-Nya kepada
manusia supaya mereka mendapat nasihat.” (Al-Baqarah [2]:222).
Satu Sama Lain Sebagai “Pakaian”
Oleh karena itu betapa pentingnya orang-orang Islam dalam melakukan pernikahan mengutamakan
adanya kufu’ (kafa’ah – kesetaraan)
dalam masalah keimanan (agama), pernikahan
dalam Islam bukan hanya sekedar sebagai sarana
yang ditetapkan Allah Swt. pengembang-biakan
manusia secara jasmani belaka
tetapi juga pernikahan pun merupakan sarana pengembang-biakkan manusia dari segi
akhlak dan ruhani mereka, firman-Nya:
اِنَّ الۡمُسۡلِمِیۡنَ وَ الۡمُسۡلِمٰتِ وَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ وَ الۡقٰنِتِیۡنَ وَ الۡقٰنِتٰتِ وَ
الصّٰدِقِیۡنَ وَ الصّٰدِقٰتِ وَ الصّٰبِرِیۡنَ وَ الصّٰبِرٰتِ وَ الۡخٰشِعِیۡنَ
وَ الۡخٰشِعٰتِ وَ الۡمُتَصَدِّقِیۡنَ وَ الۡمُتَصَدِّقٰتِ وَ الصَّآئِمِیۡنَ وَ
الصّٰٓئِمٰتِ وَ الۡحٰفِظِیۡنَ فُرُوۡجَہُمۡ وَ الۡحٰفِظٰتِ وَ الذّٰکِرِیۡنَ
اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ الذّٰکِرٰتِ ۙ اَعَدَّ
اللّٰہُ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ وَ مَا کَانَ
لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ
اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ
رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang berserah
diri, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki
dan perempuan yang patuh, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang meren-dahkan
diri, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kesucian mereka, laki-laki
dan perempuan yang banyak mengingat
Dia, Allah telah menyediakan bagi mereka itu ampunan dan ganjaran yang besar. وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ -- Dan sekali-kali
tidak layak bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri
dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ ضَلَّ
ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا -- Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:36-37)
Ayat 36 mengandung sangkalan
yang paling jitu terhadap tuduhan,
bahwa Islam memberi kedudukan yang rendah terhadap kaum perempuan. Menurut Al-Quran, kaum
perempuan berdiri sejajar dengan kaum
laki-laki dan mereka dapat mencapai ketinggian-ketinggian
ruhani yang dapat dicapai kaum
laki-laki serta menikmati semua hak
politik dan sosial yang dinikmati
kaum laki-laki.
Hanya saja karena lapangan kegiatan mereka berbeda
maka kewajiban-kewajiban mereka pun berbeda pula. Perbedaan dalam tugas kedua golongan jenis kelamin inilah yang
dengan keliru, atau mungkin dengan sengaja telah disalahartikan oleh
pengecam-pengecam yang tidak bersahabat terhadap Islam, seolah-olah memberikan kedudukan lebih rendah kepada kaum
perempuan.
Mengisyaratkan kepada adanya “persamaan derajat” untuk mencapai
berbagai kemajuan dalam bidang akhlak
dan ruhani antara laki-laki dan
perempuan itulah maka Allah Swt. telah menyebut keduanya sebagai
“pakaian” karena dapat saling
melengkapi kekurangan atau kelemahan masing-masing, firman-Nya:
اُحِلَّ
لَکُمۡ لَیۡلَۃَ الصِّیَامِ
الرَّفَثُ اِلٰی نِسَآئِکُمۡ ؕ ہُنَّ لِبَاسٌ
لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ
لِبَاسٌ لَّہُنَّ ؕ عَلِمَ
اللّٰہُ اَنَّکُمۡ کُنۡتُمۡ تَخۡتَانُوۡنَ اَنۡفُسَکُمۡ
فَتَابَ عَلَیۡکُمۡ وَ
عَفَا عَنۡکُمۡ ۚ فَالۡـٰٔنَ بَاشِرُوۡہُنَّ وَ
ابۡتَغُوۡا مَا
کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ ۪ وَ کُلُوۡا وَ اشۡرَبُوۡا حَتّٰی یَتَبَیَّنَ لَکُمُ
الۡخَیۡطُ الۡاَبۡیَضُ مِنَ
الۡخَیۡطِ الۡاَسۡوَدِ مِنَ الۡفَجۡرِ۪ ثُمَّ اَتِمُّوا
الصِّیَامَ اِلَی الَّیۡلِ ۚ وَ لَا
تُبَاشِرُوۡہُنَّ وَ اَنۡتُمۡ عٰکِفُوۡنَ ۙ فِی الۡمَسٰجِدِ ؕ تِلۡکَ
حُدُوۡدُ اللّٰہِ فَلَا تَقۡرَبُوۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ﴿﴾
Pada malam puasa dihalalkan bagi kamu bercampur dengan istri-istri kamu, ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ -- mereka adalah pakaian bagi kamu,
dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu senantiasa mengkhianati dirimu sendiri lalu Dia
kembali kepada kamu dengan kasih-sayang dan Dia memperbaiki kesalahan kamu. فَالۡـٰٔنَ بَاشِرُوۡہُنَّ وَ ابۡتَغُوۡا مَا کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ -- maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditentukan Allah bagi kamu,
dan makanlah dan minumlah hingga tampak
jelas kepadamu benang-putih dan benang-hitam dari fajar, kemudian sempurnakanlah
puasa sampai malam وَ لَا تُبَاشِرُوۡہُنَّ وَ اَنۡتُمۡ عٰکِفُوۡنَ ۙ فِی الۡمَسٰجِدِ -- dan janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu ber-’itikaf dalam masjid-masjid. Inilah batas-batas
ketentuan Allah maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menjelaskan hukum-hukum-Nya bagi manusia supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah [2]:188).
Sehubungan kata pakaian dalam ayat ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ -- mereka adalah pakaian bagi kamu,
dan kamu adalah pakaian bagi mereka”, betapa indahnya Al-Quran telah melukiskan dengan kata-kata singkat ini
hak dan kedudukan perempuan dan
tujuan serta arti pernikahan dan hubungan suami-istri, yaitu satu-sama
lain merupakan “pakaian”.
Tujuan pokok pernikahan – sebagaimana halnya fungsi pakaian -- demikian ayat ini
mengatakan, ialah kesentausaan, perlindungan, dan memperhias kedua pihak (suami-istri) secara timbal-balik, sebab
memang itulah tujuan mengenakan pakaian
(QS.7:27 dan QS.16:82). Sudah pasti tujuan pernikahan
bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual. Suami-istri
sama-sama menjaga satu sama lain
terhadap kejahatan dan skandal.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
Pajajaran Anyar, 26 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar