بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 327
Makna “Hari” yang
di Dalamnya Tidak Ada lagi “Jual-beli, Persahabatan, dan Syafa’at” &
Nasib Malang Istri-istri Durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai larangan melakukan syirik (kemusyrikan) dan berbagai hal yang dilarang serta yang diperintahkan
Allah Swt. dalam agama Islam
(Al-Quran):
قُلۡ
تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّکُمۡ
عَلَیۡکُمۡ اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ
شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوۡۤا
اَوۡلَادَکُمۡ مِّنۡ اِمۡلَاقٍ ؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُکُمۡ وَ اِیَّاہُمۡ ۚ وَ لَا
تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَہَرَ
مِنۡہَا وَ مَا بَطَنَ ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ
اللّٰہُ اِلَّا بِالۡحَقِّ ؕ ذٰلِکُمۡ
وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ ۚ وَ
اَوۡفُوا الۡکَیۡلَ وَ الۡمِیۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ ۚ لَا نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا
وُسۡعَہَا ۚ وَ اِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَ لَوۡ کَانَ ذَا قُرۡبٰی ۚ وَ
بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰلِکُمۡ
وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ
تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ۙ وَ اَنَّ
ہٰذَا صِرَاطِیۡ مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ ۚ وَ لَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ ؕ ذٰلِکُمۡ وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿﴾
Katakan:
“Marilah aku bacakan apa yang diharamkan
Rabb (Tuhan) kamu atasmu yaitu: اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ
بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا -- Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya, dan berbuat
ihsanlah terhadap kedua orang-tua, janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kami-lah Yang
memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka, dan jangan kamu mendekati perbuatan keji, baik itu yang zahir ataupun yang tersembunyi, وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ اِلَّا بِالۡحَقِّ -- janganlah
kamu membunuh suatu jiwa yang Allah
mengharamkan untuk membunuhnya kecuali dengan haq. Demikianlah Dia
telah memerintahkan kepada kamu mengenai hal itu supaya kamu mengerti. وَ لَا تَقۡرَبُوۡا
مَالَ الۡیَتِیۡمِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ -- dan janganlah
kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik hingga ia mencapai kedewasaannya. Dan penuhilah
sukatan dan timbangan dengan adil,
لَا
نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا -- Kami
tidak membebani suatu jiwa melainkan
menurut kemampuannya. Dan apabila kamu berkata maka hendaklah
berlaku adil walau pun itu terhadap kerabat, وَ بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا -- dan sempurnakanlah
janji dengan Allah. Demikianlah
Dia telah memerintahkan mengenai hal itu
kepada kamu supaya kamu ingat.” وَ
اَنَّ ہٰذَا صِرَاطِیۡ
مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ -- dan katakanlah: ”Inilah jalan-Ku yang lurus
maka ikutilah jalan ini, وَ لَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ -- dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Demikianlah Dia telah memerintahkan mengenai hal itu kepada kamu supaya kamu
bertakwa.” (Al-An’ām [6]:152-154). Lihat pula QS.17:24-40.
Kedudukan Mulia Kedua Orang Tua Setelah Allah Swt.
Dalam berbagai tempat Allah Swt. selalu
menempatkan urutan larangan melakukan
syirik (kemusyrikan) dengan perintah berlaku baik terhadap kedua orang tua, sebab dari antara seluruh
manusia – kecuali para Rasul Allah –
orang-orang yang secara alami memperagakan Sifat-sifat
Allah Swt. dalam memelihara
makhluknya adalah sikap kedua orang tua
terhadap anak-anak mereka
(QS.31:13-16).
Oleh karena
itu alangkah malangnya
nasib kepala keluarga (suami) yang karena terlalu mencintai istri dan anak-anaknya,
sehingga membuat mereka lalai
dari dzikr
Ilahi dan melalaikan kewajiban
mereka pengkhidmatan mereka terhadap kedua orangtuanya (QS.17:24-25).
Jadi, kembali kepada firman-Nya dalam
Surah Al-Munāfiqūn ayat
10: “Hai orang-orang yang
beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ وَ
لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- janganlah harta
kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ
ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡخٰسِرُوۡنَ -- dan barangsiapa berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi,” jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan peringatan Allah Swt.
tersebut tertuju kepada setiap kepala
keluarga (suami) agar kecintaan
mereka terhadap keluarga (anak-istri)
jangan melampaui batas sehingga
mereka melupakan kewajiban
melaksanakan syariat (hukum-hukum agama),
yang dalam ayat tersebut dikatakan
sebagai “lalai dari mengingat
Allah Swt.”
Selanjutnya Allah Swt. menasihati para kepala
keluarga (suami) tersebut: وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ
مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ -- dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu
sebelum kematian menimpa seseorang dari
antara kamu, (Al-Munafiqūn [10]:11).
Peringatan
Allah Swt. tersebut penting mendapat perhatian
khusus, sebab jika tidak maka mereka akan termasuk orang-orang yang menyesali kebodohannya, karena telah menyia-nyiakan waktu dan kekayaannya untuk menyenangkan keluarganya
(anak-istrinya), sebagaimana kelanjutan
firman-Nya tersebut: فَیَقُوۡلَ
رَبِّ لَوۡ لَاۤ
اَخَّرۡتَنِیۡۤ اِلٰۤی اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ -- lalu
ia berkata: “Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau
menangguhkan sebentar batas
waktuku, فَاَصَّدَّقَ
اَکُنۡ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ وَ -- dan tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.” (Al-Munafiquūn
[10]:11-12).
Selanjutnya mengenai ketentuan ajal (jangka waktu) seseorang atau suatu bangsa
(kaum – QS.7:35-37), Allah Swt.
berfirman jika ajal (jangka waktu) tersebut datang: وَ لَنۡ
یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ -- dan Allah
tidak pernah menangguhkan suatu
jiwa apabila batas waktunya telah
tiba, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (Al-Munafiquūn [10]:12).
Bila jiwa
(seseorang) dalam hidupnya telah kehilangan kesempatan yang dianugerahkan
Allah Swt. kepadanya untuk berbakti
pada suatu perjuangan yang baik maka ia tidak akan memperolehnya
untuk mengulanginya lagi setelah kematian menghampirinya. Itulah makna peringatan-peeringatan Allah Swt. kepada
para kepala keluarga dalam Surah At-Taghābun ayat 15-19 dan Surah Al-Munāfiqun
ayat 10-12.
Penyesalan Orang-orang yang Telah
Menyia-nyiakan Harta Kekayaan Untuk Memanjakan Keluarganya
Dalam
Bab 322 dan dalam berbagai Bab sebelumnya,
telah dikemukakan mengenai kesakralan
lembaga pernikahan dalam ajaran Islam (Al-Quran), sehingga Allah
Swt. telah menjadi rumah-tangga (keluarga) Nabi
Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. dengan istri-istri
durhaka kedua orang suci tersebut
sebagai
misal (perumpamaan) kaum atau orang-orang kafir yang mendustakan dan menentang “suami ruhani” mereka, yaitu Rasul Allah yang dibangkitkan di antara
mereka (QS.7:35-37), firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri
Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami
yang saleh, tetapi keduanya berbuat
khianat kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela
kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka:
“Masuklah kamu berdua ke dalam Api
beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm
[66]:11).
Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyalahkan
Nabi Nuh a.s. mau pun Nabi Luth a.s. mengenai kedurhakaan istri-istri mereka terhadap kenabian (kerasulan) kedua orang
suci tersebut, sebab pasti kedua Rasul Allah tersebut
telah berusaha sejauh kemampuannya
untuk menyampaikan kebenaran risalat yang dianugerahkan Allah Swt. kepada keduanya.
Hal ini penting dikemukakan, agar tidak
ada alasan atau dalih bagi siapa pun yang memiliki kecenderungan untuk melakukan pelanggaran
ketentuan syariat -- termasuk dalam masalah aturan pernikahan – untuk mengatakan “Rasul
Allah saja keadaannya rumahtangganya
seperti itu, apalagi kami yang hanya manusia-manusia biasa!”
Jadi, pasti Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.
dalam kedudukannya sebagai “suami ruhani” yang berpangkat “Rasul Allah”, tentu kedua
orang suami yang suci tersebut telah melaksanakan berbagai upaya,
sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا لَّکُمۡ فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ وَ
اِنۡ تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ
تَغۡفِرُوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ فَاتَّقُوا اللّٰہَ
مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا
وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا
لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اِنۡ
تُقۡرِضُوا اللّٰہَ قَرۡضًا
حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ
لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ شَکُوۡرٌ حَلِیۡمٌ ﴿ۙ۱۷﴾ عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿٪﴾
Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak
kamu adalah musuh bagimu, maka waspadalah terhadap mereka, وَ اِنۡ
تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ
-- dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ -- Sesungguhnya
harta kamu dan anak-anakmu
adalah fitnah (ujian), dan Allah di sisi-Nya ganjaran yang besar. فَاتَّقُوا
اللّٰہَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ
اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا لِّاَنۡفُسِکُمۡ -- maka
bertakwalah kepada Allah sejauh
kesanggupan kamu, dan dengarlah
serta taatlah, dan belanjakanlah harta kamu di
jalan-Nya, hal itu baik bagi diri
kamu. وَ مَنۡ یُّوۡقَ
شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُفۡلِحُوۡنَ -- Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil.
اِنۡ تُقۡرِضُوا اللّٰہَ قَرۡضًا حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ شَکُوۡرٌ
حَلِیۡمٌ -- Jika kamu meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman
yang baik, niscaya Dia
akan melipat-gandakan bagimu dan akan
mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Menghargai, Maha Penyantun, عٰلِمُ الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- Dia Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak, Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. (At-Taghābun
[64]:15-19).
Kemudian sehubungan keberadaan “musuh” di lingkungan keluarga – berupa kecintaan berlebihan
kepada istri dan anak keturunan -- selanjutnya Allah Swt. memperingatkan kepala keluarga (suami) , firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لَا تُلۡہِکُمۡ
اَمۡوَالُکُمۡ وَ لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ
یَّفۡعَلۡ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ فَیَقُوۡلَ رَبِّ لَوۡ
لَاۤ اَخَّرۡتَنِیۡۤ اِلٰۤی
اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ فَاَصَّدَّقَ وَ
اَکُنۡ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَنۡ
یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang
beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ وَ
لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- janganlah
harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat
Allah, ۚ وَ مَنۡ
یَّفۡعَلۡ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ -- dan barangsiapa
berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi. وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ
مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ -- dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu sebelum
kematian menimpa sese-orang dari antara
kamu, فَیَقُوۡلَ رَبِّ لَوۡ لَاۤ اَخَّرۡتَنِیۡۤ اِلٰۤی
اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ -- lalu ia
berkata: Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau
menangguhkan sebentar batas
waktuku, فَاَصَّدَّقَ
اَکُنۡ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ وَ -- dan tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.” وَ لَنۡ
یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ -- dan Allah
tidak pernah menangguhkan suatu
jiwa apabila batas waktunya telah
tiba, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (Al-Munafiquūn [10]:10-12).
Makna Hari
yang di Dalamnya Tidak Ada Lagi “Jual-beli,
Persahabatan, dan Syafaat”
Peringatan
Allah Swt. untuk mewaspadai “musuh-musuh” dalam keluarga tersebut secara khusus tertuju kepada para suami atau kepala keluarga, tetapi dalam firman-Nya berikut ini peringatan yang sama tertuju kepada kaum atau umat beragama mengenai keberadaan
suatu “hari” (zaman), ketika di dalamnya
tidak ada lagi “jual-beli, persahabatan,
dan syafaat” dengan dan dari Allah Swt., walau pun aktifitas keagamaan di kalangan umat beragama tetap berlangsung,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ
یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ
لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا
بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ -- sebelum datang hari yang tidak ada jual-beli di dalamnya, tidak ada
persahabatan, dan tidak
pula syafaat, وَ الۡکٰفِرُوۡنَ
ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ -- dan orang-orang
yang kafir mereka itulah orang-orang
zalim. (Al-Baqarah [2]:255).
Pada hari
itu keselamatan tidak akan diperoleh
dengan jual-beli, karena keselamatan akan bergantung hanya pada amal saleh seseorang dan diiringi oleh
rahmat Allah Swt.. Makna ayat وَ لَا خُلَّۃٌ (tidak ada persahabatan), yaitu tidak akan ada kesempatan untuk mengadakan persahabatan
baru pada hari itu. Sedangkan
makna وَّ لَا شَفَاعَۃٌ -- dan tidak
pula ada syafaat.”
Syafā’ah (syafaat) diserap dari syafa’a
yang berarti: ia memberikan sesuatu yang mandiri bersama yang lainnya;
menggabungkan sesuatu dengan sesamanya (Al-Mufradat).
Jadi
kata syafa’at mempunyai arti kesamaan atau persamaan, kata itu juga berarti menjadi perantara atau mendoa untuk seseorang agar orang itu diberi karunia dan dosa-dosanya
dimaafkan, karena ia mempunyai perhubungan dengan si perantara.
Hal ini mengandung pula arti bahwa pihak yang mengajukan permohonan adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada orang
yang diperjuangkan nasibnya, dan pula
mempunyai perhubungan yang mendalam dengan orang yang baginya ia
menjadi perantara (Al-Mufradat dan
Lisan-al-‘Arab). Syafā’ah
(perantaraan) ditentukan oleh syarat-syarat
berikut:
(1) pemberi syafaat harus mempunyai perhubungan istimewa dengan orang
yang baginya ia mau menjadi perantara
dan menikmati kebaikan hatinya yang
istimewa, sebab tanpa perhubungan
demikian ia tidak akan berani memberikan
syafaat dan tidak pula syafaatnya akan berhasil;
(2) orang yang diperantarai (diberi syafaat) harus
mempunyai perhubungan yang sejati dan nyata dengan pemberi syafaat itu, sebab tidak ada yang orang mau memperantarai seseorang sekiranya orang yang diperantarai itu tidak mempunyai perhubungan sungguh-sungguh dengan perantara itu; contohnya kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s..
(3) orang yang meminta syafaat pada umumnya harus orang baik dan telah berusaha sungguh-sungguh untuk
mendapatkan ridha Ilahi (QS.21:29),
hanya saja telah terjatuh ke dalam kancah dosa pada saat ia dikuasai kelemahan;
(4) syafaat itu hanya dapat dilakukan dengan izin khusus dari Allah Swt.. (QS.2:256; QS.10:4).
Syafaat
sebagaimana dipahami oleh Islam, pada hakikatnya hanya merupakan
bentuk lain dari permohonan pengampunan,
sebab taubat (mohon pengampunan)
berarti memperbaiki kembali perhubungan yang terputus atau mengencangkan apa yang sudah longgar. Maka bila pintu taubat tertutup oleh kematian, pintu syafaat tetap terbuka.
Tambahan pula syafaat adalah suatu cara untuk menjelmakan kasih-sayang Allah Swt. dan karena Allah Swt. . bukanlah hakim, melainkan Mālik (Pemilik
dan Majikan), maka tidak ada yang dapat mencegah
Dia dari memperlihatkan kasih-sayang-Nya
kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Yang Diberi Wewenang Oleh Allah Swt. Memberikan “Syafaat” hanyalah Rasul Allah, Terutama Nabi Besar Muhammad saw.
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan
orang-orang yang diberi wewenang untuk menerima baiat
(jual-beli), persahabatan, dan
memberikan syafaat, yaitu Rasul Allah, terutama Nabi Besar Muhammad saw. (QS.48:11),
firman-Nya:
اَللّٰہُ
لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ
لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ
یَشۡفَعُ عِنۡدَہٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ ۚ وَ لَا
یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ
الۡعَلِیُّ الۡعَظِیۡمُ ﴿۲﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Maha Hidup, Yang
Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan Penegak segala
sesuatu. Kantuk tidak menyentuh-Nya
dan tidak pula tidur. Milik-Nya apa
pun yang ada di seluruh langit dan apa pun
yang ada di bumi. مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ
عِنۡدَہٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِہٖ -- Siapakah
yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya? یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ -- Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan mereka dan apa pun di
belakang me-reka, وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ
عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ -- dan
mereka tidak meliputi sesuatu dari
ilmu-Nya kecuali apa yang Dia
kehendaki. وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ
حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ
الۡعَظِیۡمُ -- Singgasana
ilmu-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan tidak
memberatkan-Nya menjaga keduanya, dan Dia
Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah
[2]:255).
Kursiy berarti: singgasana, kursi,
tembok penunjang; ilmu; kedaulatan
kekuasaan (Aqrab-al-Mawarid);
Karāsi itu jamak dari kursiy dan berarti orang-orang terpelajar.
Ayat itu dengan indah menggambarkan Keesaan Allah Swt. serta Sifat-sifat-Nya
yang agung. Konon Nabi Besar
Muhammad saw. pernah bersabda bahwa Ayat Al-Kursiy itu ayat Al-Quran yang paling mulia (Muslim).
Dengan
demikian dapat dipastikan, bahwa walau
pun Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. berkedudukan sebagai rasul (nabi) Allah yang mendapat izin untuk memberikan syafaat,
tetapi kedua Rasul Allah tersebut
tidak mengajukan syafaat kepada Allah Swt. bagi istri-istri
mereka yang durhaka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, sehingga kedua istri durhaka tersebut
bersama-sama kaum yang mendustakan
dan menentang Nabi Nuh a.s.
dan Nabi Luth a.s. menjadi “penghuni neraka jahannam”, bahkan
dalam kehidupan di dunia ini juga,
firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri
Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami
yang saleh, tetapi keduanya berbuat
khianat kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang
yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
Jadi, betapa sakralnya kedudukan pernikahan
dalam ajaran Islam (Al-Quran), karena di
dalamnya mengandung berbagai hikmah
yang sangat dalam berkenaan dengan masalah ketakwaan
kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada Rasul-Nya, terutama Nabi
Besar Muhammad saw..
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 September
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar