Minggu, 28 September 2014

Makna "Hari" yang di Dalamnya Tidak Ada lagi "Jual-beli, Persahabatan, dan Syafa'at" & Nasib Malang "Istri-istri Durhaka" Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   327

  Makna “Hari” yang di Dalamnya Tidak Ada lagi “Jual-beli, Persahabatan, dan Syafa’at” & Nasib Malang  Istri-istri Durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   larangan melakukan syirik (kemusyrikan) dan berbagai hal yang dilarang serta yang diperintahkan Allah Swt. dalam agama Islam (Al-Quran):
قُلۡ تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ  رَبُّکُمۡ عَلَیۡکُمۡ  اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَکُمۡ   مِّنۡ  اِمۡلَاقٍ ؕ نَحۡنُ  نَرۡزُقُکُمۡ وَ اِیَّاہُمۡ ۚ وَ لَا تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَہَرَ  مِنۡہَا وَ مَا بَطَنَ ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ  اِلَّا بِالۡحَقِّ ؕ ذٰلِکُمۡ وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾  وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ  اِلَّا بِالَّتِیۡ  ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ ۚ وَ اَوۡفُوا الۡکَیۡلَ وَ الۡمِیۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ ۚ لَا نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا ۚ وَ اِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَ لَوۡ کَانَ ذَا قُرۡبٰی ۚ وَ بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰلِکُمۡ  وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ  تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ۙ  وَ  اَنَّ  ہٰذَا صِرَاطِیۡ مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ ۚ وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ  فَتَفَرَّقَ  بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ ؕ ذٰلِکُمۡ  وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿﴾   
Katakan: “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Rabb (Tuhan) kamu atasmu yaitu: اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا -- Janganlah kamu  mempersekutukan sesuatu  pun dengan-Nya, dan  berbuat ihsanlah  terhadap kedua orang-tua,    janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kami-lah Yang memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka, dan  jangan kamu mendekati perbuatan keji, baik itu yang zahir ataupun yang tersembunyi, وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ  اِلَّا بِالۡحَقِّ  --  janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang Allah mengharamkan untuk membunuhnya kecuali dengan haq. Demikianlah Dia telah memerintahkan kepada kamu mengenai hal itu supaya kamu mengerti. وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ  اِلَّا بِالَّتِیۡ  ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ    -- dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik hingga ia mencapai kedewasaannya. Dan  penuhilah sukatan dan timbangan dengan adil, لَا نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا  -- Kami tidak membebani  suatu jiwa melainkan menurut kemampuannya. Dan apabila kamu berkata  maka hendaklah berlaku adil walau pun itu terhadap   kerabat, وَ بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا  -- dan  sempurnakanlah janji dengan Allah. Demikianlah Dia telah memerintahkan mengenai hal itu kepada kamu supaya kamu ingat.”  وَ  اَنَّ  ہٰذَا صِرَاطِیۡ مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ  --   dan katakanlah:   Inilah jalan-Ku yang lurus maka  ikutilah jalan ini,  وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ  فَتَفَرَّقَ  بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ   -- dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia telah memerintahkan  mengenai hal itu kepada kamu  supaya kamu bertakwa.” (Al-An’ām [6]:152-154). Lihat pula QS.17:24-40.

Kedudukan Mulia Kedua Orang Tua Setelah Allah Swt.

        Dalam berbagai tempat Allah Swt. selalu menempatkan urutan larangan melakukan syirik (kemusyrikan) dengan perintah berlaku baik terhadap kedua orang tua, sebab dari antara seluruh manusia – kecuali para Rasul Allah – orang-orang yang secara alami memperagakan Sifat-sifat Allah Swt. dalam memelihara makhluknya adalah sikap kedua orang tua terhadap anak-anak mereka (QS.31:13-16).
        Oleh karena  itu alangkah malangnya nasib   kepala keluarga (suami) yang karena terlalu mencintai istri dan anak-anaknya, sehingga  membuat mereka   lalai dari  dzikr Ilahi dan melalaikan kewajiban mereka pengkhidmatan mereka terhadap kedua orangtuanya (QS.17:24-25).
       Jadi, kembali kepada firman-Nya dalam Surah Al-Munāfiqūn  ayat  10:  “Hai orang-orang yang beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ  وَ لَاۤ  اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ  -- janganlah  harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ  -- dan barangsiapa  berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi,”   jelaslah bahwa yang dimaksud dengan peringatan Allah Swt. tersebut tertuju kepada setiap kepala keluarga (suami) agar kecintaan mereka terhadap keluarga (anak-istri) jangan melampaui batas sehingga mereka melupakan  kewajiban melaksanakan  syariat  (hukum-hukum agama), yang dalam ayat tersebut dikatakan  sebagai “lalai dari mengingat Allah Swt.”
        Selanjutnya Allah Swt. menasihati  para kepala keluarga (suami) tersebut:    وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا  رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ  قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ  اَحَدَکُمُ  الۡمَوۡتُ  --      dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu sebelum kematian menimpa seseorang dari antara kamu, (Al-Munafiqūn [10]:11).
       Peringatan Allah Swt. tersebut penting mendapat perhatian khusus, sebab jika tidak maka mereka akan termasuk orang-orang yang menyesali kebodohannya, karena telah menyia-nyiakan waktu dan kekayaannya  untuk menyenangkan  keluarganya (anak-istrinya), sebagaimana kelanjutan  firman-Nya tersebut:  فَیَقُوۡلَ  رَبِّ لَوۡ لَاۤ  اَخَّرۡتَنِیۡۤ  اِلٰۤی  اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ    --  lalu ia berkata:  Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau  menangguhkan sebentar batas waktuku,  فَاَصَّدَّقَ اَکُنۡ  مِّنَ  الصّٰلِحِیۡنَ      وَ  -- dan   tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.” (Al-Munafiquūn [10]:11-12).
        Selanjutnya mengenai ketentuan ajal  (jangka waktu) seseorang atau suatu bangsa (kaum – QS.7:35-37),  Allah Swt. berfirman jika  ajal (jangka waktu) tersebut datang:  وَ لَنۡ  یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ  نَفۡسًا  اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ  -- dan Allah  tidak pernah   menangguhkan suatu jiwa  apabila batas waktunya  telah tiba, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (Al-Munafiquūn [10]:12).
    Bila jiwa (seseorang)  dalam hidupnya telah  kehilangan kesempatan yang dianugerahkan Allah Swt. kepadanya untuk berbakti pada suatu perjuangan yang baik maka ia tidak akan memperolehnya untuk mengulanginya lagi setelah kematian menghampirinya. Itulah makna peringatan-peeringatan Allah Swt. kepada para kepala keluarga dalam Surah At-Taghābun ayat 15-19  dan Surah Al-Munāfiqun ayat 10-12.

Penyesalan Orang-orang yang Telah Menyia-nyiakan Harta Kekayaan Untuk Memanjakan Keluarganya

       Dalam  Bab 322  dan dalam berbagai Bab sebelumnya,  telah dikemukakan  mengenai kesakralan lembaga  pernikahan  dalam ajaran Islam (Al-Quran), sehingga Allah Swt. telah menjadi  rumah-tangga (keluarga) Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.  dengan istri-istri durhaka kedua orang suci tersebut  sebagai misal (perumpamaan) kaum atau orang-orang kafir  yang mendustakan dan menentang “suami ruhani” mereka, yaitu Rasul Allah yang dibangkitkan di antara mereka (QS.7:35-37), firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
      Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyalahkan Nabi Nuh a.s. mau pun Nabi Luth a.s. mengenai kedurhakaan istri-istri mereka terhadap kenabian (kerasulan)   kedua orang suci tersebut, sebab pasti  kedua Rasul Allah   tersebut  telah berusaha sejauh  kemampuannya untuk menyampaikan kebenaran risalat  yang dianugerahkan Allah Swt. kepada keduanya.
      Hal ini penting dikemukakan, agar tidak ada alasan atau dalih bagi siapa pun yang memiliki kecenderungan untuk melakukan pelanggaran ketentuan syariat    -- termasuk dalam masalah aturan pernikahan – untuk mengatakan   Rasul Allah    saja  keadaannya rumahtangganya seperti itu, apalagi kami yang hanya manusia-manusia biasa!”
        Jadi, pasti Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. dalam kedudukannya sebagai “suami ruhani” yang berpangkat “Rasul Allah”, tentu  kedua orang suami yang suci tersebut  telah melaksanakan   berbagai upaya,  sesuai dengan firman Allah Swt.  berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا  لَّکُمۡ فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ  وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾  فَاتَّقُوا اللّٰہَ  مَا  اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا  لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾  اِنۡ  تُقۡرِضُوا اللّٰہَ  قَرۡضًا حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ  وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ  شَکُوۡرٌ  حَلِیۡمٌ ﴿ۙ۱۷﴾  عٰلِمُ  الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ  الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿٪﴾  
Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak kamu adalah musuh bagimu, maka waspadalah terhadap mereka, وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ  -- dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ --  Sesungguhnya  harta kamu dan  anak-anakmu adalah fitnah (ujian), dan Allah di sisi-Nya ganjaran yang besar. فَاتَّقُوا اللّٰہَ  مَا  اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا  لِّاَنۡفُسِکُمۡ   --  maka bertakwalah kepada Allah sejauh kesanggupan kamu, dan dengarlah serta taatlah, dan belanjakanlah harta kamu di jalan-Nya, hal itu baik bagi diri kamu.  وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ --   Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil. اِنۡ  تُقۡرِضُوا اللّٰہَ  قَرۡضًا حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ  وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ  شَکُوۡرٌ  حَلِیۡمٌ  --  Jika kamu meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, niscaya Dia akan melipat-gandakan bagimu dan akan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Menghargai, Maha Penyantun,   عٰلِمُ  الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ  الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- Dia Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak, Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (At-Taghābun [64]:15-19).
        Kemudian sehubungan keberadaan “musuh” di lingkungan keluarga – berupa kecintaan berlebihan kepada istri dan anak keturunan -- selanjutnya Allah Swt. memperingatkan kepala keluarga (suami) , firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا  لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ  وَ لَاۤ  اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾  وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا  رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ  قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ  اَحَدَکُمُ  الۡمَوۡتُ فَیَقُوۡلَ  رَبِّ لَوۡ لَاۤ  اَخَّرۡتَنِیۡۤ  اِلٰۤی  اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ فَاَصَّدَّقَ وَ  اَکُنۡ  مِّنَ  الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَنۡ  یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ  نَفۡسًا  اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ  وَ لَاۤ  اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ  -- janganlah  harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ  ذٰلِکَ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ  -- dan barangsiapa  berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.  وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا  رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ  قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ  اَحَدَکُمُ  الۡمَوۡتُ  --      dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu sebelum kematian menimpa sese-orang dari antara kamu, فَیَقُوۡلَ  رَبِّ لَوۡ لَاۤ  اَخَّرۡتَنِیۡۤ  اِلٰۤی  اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ   -- lalu ia berkata:  Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau  menangguhkan sebentar batas waktuku,  فَاَصَّدَّقَ اَکُنۡ  مِّنَ  الصّٰلِحِیۡنَ      وَ  -- dan   tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.”  وَ لَنۡ  یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ  نَفۡسًا  اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ  -- dan Allah  tidak pernah   menangguhkan suatu jiwa  apabila batas waktunya  telah tiba, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (Al-Munafiquūn [10]:10-12).

Makna Hari yang  di Dalamnya Tidak  Ada Lagi “Jual-beli, Persahabatan, dan Syafaat

    Peringatan Allah Swt.  untuk mewaspadai “musuh-musuh” dalam keluarga tersebut  secara khusus tertuju kepada para suami atau kepala keluarga, tetapi dalam firman-Nya berikut ini peringatan yang sama tertuju kepada kaum atau umat beragama mengenai  keberadaan suatu “hari” (zaman),  ketika di dalamnya tidak ada lagi “jual-beli, persahabatan, dan syafaat dengan dan dari Allah Swt., walau pun aktifitas keagamaan  di kalangan umat beragama tetap berlangsung,  firman-Nya:     
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ  فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  belanjakanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu  مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ -- sebelum datang hari yang tidak ada jual-beli di dalamnya, tidak ada   persahabatan, dan  tidak pula syafaat,  وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ --  dan orang-orang yang kafir  mereka itulah orang-orang  zalim. (Al-Baqarah [2]:255).
      Pada hari itu keselamatan tidak akan diperoleh dengan jual-beli, karena keselamatan akan bergantung hanya pada amal saleh seseorang dan diiringi oleh rahmat  Allah Swt..  Makna ayat وَ لَا خُلَّۃٌ  (tidak ada persahabatan), yaitu  tidak akan ada kesempatan untuk mengadakan persahabatan baru pada hari itu. Sedangkan makna  وَّ لَا شَفَاعَۃٌ   -- dan  tidak pula ada syafaat.”
          Syafā’ah (syafaat) diserap dari syafa’a yang berarti: ia memberikan sesuatu yang mandiri bersama yang lainnya; menggabungkan sesuatu dengan sesamanya (Al-Mufradat).    Jadi kata syafa’at   mempunyai arti kesamaan atau persamaan,   kata itu juga berarti menjadi perantara atau mendoa untuk seseorang agar orang itu diberi karunia dan dosa-dosanya dimaafkan,  karena ia mempunyai perhubungan dengan si perantara.
         Hal ini mengandung pula arti bahwa pihak yang mengajukan permohonan  adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada orang yang diperjuangkan nasibnya, dan pula mempunyai perhubungan yang mendalam dengan orang yang baginya ia menjadi perantara (Al-Mufradat dan Lisan-al-‘Arab). Syafā’ah (perantaraan) ditentukan oleh syarat-syarat berikut:
      (1) pemberi  syafaat  harus mempunyai perhubungan istimewa dengan orang yang baginya ia mau menjadi perantara dan menikmati kebaikan hatinya yang istimewa, sebab tanpa perhubungan demikian ia tidak akan berani memberikan  syafaat dan tidak pula syafaatnya  akan berhasil;
       (2) orang yang diperantarai (diberi syafaat) harus mempunyai perhubungan yang sejati dan nyata dengan pemberi syafaat itu, sebab  tidak ada yang orang mau memperantarai seseorang sekiranya orang yang diperantarai itu tidak mempunyai perhubungan sungguh-sungguh dengan perantara itu;  contohnya kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s..
       (3) orang yang meminta syafaat pada umumnya harus orang baik dan telah berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Ilahi (QS.21:29), hanya saja telah terjatuh ke dalam kancah dosa pada saat ia dikuasai kelemahan;
      (4) syafaat itu hanya dapat dilakukan dengan izin khusus dari Allah Swt.. (QS.2:256; QS.10:4).
Syafaat sebagaimana  dipahami oleh Islam, pada hakikatnya hanya merupakan bentuk lain dari permohonan pengampunan, sebab taubat (mohon pengampunan) berarti memperbaiki kembali perhubungan yang terputus atau mengencangkan apa yang sudah longgar. Maka bila pintu taubat tertutup oleh kematian, pintu syafaat tetap terbuka.
  Tambahan pula syafaat  adalah suatu cara untuk menjelmakan kasih-sayang Allah Swt.   dan karena Allah Swt. . bukanlah  hakim, melainkan Mālik (Pemilik dan Majikan), maka tidak ada yang dapat mencegah Dia dari memperlihatkan kasih-sayang-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Yang Diberi Wewenang Oleh Allah Swt.  Memberikan “Syafaat” hanyalah Rasul Allah, Terutama Nabi Besar Muhammad saw.

      Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan orang-orang yang diberi wewenang untuk  menerima baiat (jual-beli), persahabatan, dan memberikan syafaat, yaitu Rasul Allah, terutama Nabi Besar Muhammad saw. (QS.48:11), firman-Nya: 
اَللّٰہُ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ  ۚ وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ ﴿۲﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia   Yang Maha Hidup, Yang  Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan Penegak segala sesuatu. Kantuk tidak menyentuh-Nya dan tidak pula tidur. Milik-Nya apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun  yang ada di bumi.  مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ  --  Siapakah yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya? یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ     --  Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan mereka dan apa pun di belakang me-reka, وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ  --  dan mereka tidak meliputi sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.  وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ  --  Singgasana ilmu-Nya  meliputi seluruh langit dan bumi,  dan tidak memberatkan-Nya menjaga keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah [2]:255).
       Kursiy berarti: singgasana, kursi, tembok penunjang; ilmu; kedaulatan  kekuasaan (Aqrab-al-Mawarid); Karāsi itu jamak dari kursiy dan berarti orang-orang terpelajar. Ayat itu dengan indah  menggambarkan Keesaan Allah Swt.  serta Sifat-sifat-Nya yang agung. Konon  Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda bahwa Ayat Al-Kursiy itu ayat Al-Quran yang paling mulia (Muslim).
        Dengan demikian dapat dipastikan,    bahwa walau pun   Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.  berkedudukan sebagai rasul (nabi) Allah  yang mendapat izin untuk memberikan syafaat, tetapi kedua Rasul Allah tersebut  tidak mengajukan syafaat kepada Allah Swt. bagi istri-istri mereka yang durhaka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya,  sehingga kedua istri durhaka tersebut bersama-sama kaum yang  mendustakan dan menentang   Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. menjadi “penghuni neraka jahannam”, bahkan dalam kehidupan di dunia ini juga,  firman-Nya: 
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
     Jadi, betapa sakralnya kedudukan pernikahan dalam ajaran Islam  (Al-Quran), karena di dalamnya mengandung berbagai hikmah yang sangat dalam berkenaan dengan masalah ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada Rasul-Nya, terutama Nabi Besar Muhammad saw..

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  6 September     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar