بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
319
Kesetaraan Kedudukan Ruhani Laki-laki dan Perempuan
& Suami-istri Merupakan “Pakaian” Bagi Pasangannya
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai pentingnya orang-orang Islam dalam melakukan pernikahan mengutamakan
adanya kufu’ (kafa’ah –
kesetaraan) dalam masalah keimanan
(agama), sebab pernikahan dalam Islam bukan hanya sekedar sebagai sarana yang ditetapkan Allah Swt. pengembang-biakan manusia secara jasmani belaka (QS.30:21), tetapi
juga pernikahan pun merupakan
sarana pengembang-biakkan manusia dari segi
akhlak dan ruhani mereka.
Itulah sebabnya Allah Swt. telah
menyatakan bahwa ketakwaan kepada
Allah Swt. sebagai tolok ukur kemuliaan
seseorang di sisi-Nya (QS.49:14),
sebagai hasil dari beribadah kepada-Nya yang merupakan tujuan utama diciptakannya manusia
di dunia ini, firman-Nya:
وَ مَا
خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَ الۡاِنۡسَ اِلَّا
لِیَعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾ مَاۤ اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ مِّنۡ
رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ
یُّطۡعِمُوۡنِ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو الۡقُوَّۃِ الۡمَتِیۡنُ ﴿﴾
Dan Aku sekali-kali tidak menciptakan jin dan ins (manusia) اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ -- melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. مَاۤ اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ مِّنۡ
رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ
یُّطۡعِمُوۡنِ --Aku tidak
menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak
pula Aku menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الۡقُوَّۃِ الۡمَتِیۡنُ
-- sesungguhnya Allah
Dia-lah Pemberi rezeki, Pemiliki Kekuatan yang sangat kokoh. (Adz-Dzāriyāt [51]:57-59).
Arti “Ibadah”
yang Hakiki
Arti yang utama untuk kata ‘ibadah adalah
menundukkan diri sendiri
kepada disiplin keruhanian yang ketat yang ditetapkan syariat, lalu bekerja
dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada sampai sepenuh jangkauannya, sepenuhnya serasi dengan dan taat kepada perintah-perintah
Ilahi agar menerima meterai
pengesahan Allah Swt. dan mampu mencampurkan dan menjelmakan dalam dirinya sendiri sifat-sifat Allah Swt., sebagaimana yang terlah diperagakan oleh
para rasul Allah, khususnya Nabi
Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22;
QS.4:70).
Itulah maksud dan tujuan agung lagi mulia
bagi penciptaan manusia dan memang
itulah makna ibadah kepada Allah Swt.. Karunia-karunia lahir dan batin
yang terdapat pada sifat manusia
memberikan dengan jelas pengertian kepada kita, bahwa ada di antara kemampuan manusia yang membangunkan pada
dirinya dorongan untuk mencari Allah Swt. dan yang meresapkan kepadanya keinginan mulia untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. dimana pelakunya disebut Muslim
(QS.6: 162-164).
Makna ayat مَاۤ اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ مِّنۡ
رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ
یُّطۡعِمُوۡنِ --
“Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak pula Aku
menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku” Bila sang musafir
(kelana) keruhanian menempuh perjalanan menuju tujuan hidupnya yang mulia
itu dengan sabar dan tawakkal, sambil
melakukan berbagai bentuk pengorbanan
di jalan Allah, hal itu tidak berarti ia tidak berbuat bajik kepada Allah Swt. atau kepada siapa pun, melainkan dirinya sendirilah yang memperoleh manfaatnya dan mencapai tujuan perjuangannya yang dilakukannnya
di “jalan Allah” tersebut (QS.29:70;
QS.84:7).
Sehubungan
dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya laki-laki dan perempuan – termasuk pasangan
suami istri -- untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS.2:149; QS.3:134;
QS.5:49; QS.35:33; QS.57:22), guna
meraih berbagai tingkatan derajat kehormatan di sisi Allah Swt. sebagai orang-orang yang bertakwa, sehingga satu sama lain (suami-istri) benar-benar
merupakan “pakaian” yang sempurna (QS.2:188) karena
pasangan suami-istri tersebut memakai “pakaian
takwa” (QS.7:27), firman-Nya:
اِنَّ الۡمُسۡلِمِیۡنَ وَ الۡمُسۡلِمٰتِ وَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ وَ الۡقٰنِتِیۡنَ وَ الۡقٰنِتٰتِ وَ
الصّٰدِقِیۡنَ وَ الصّٰدِقٰتِ وَ الصّٰبِرِیۡنَ وَ الصّٰبِرٰتِ وَ الۡخٰشِعِیۡنَ
وَ الۡخٰشِعٰتِ وَ الۡمُتَصَدِّقِیۡنَ وَ الۡمُتَصَدِّقٰتِ وَ الصَّآئِمِیۡنَ وَ
الصّٰٓئِمٰتِ وَ الۡحٰفِظِیۡنَ فُرُوۡجَہُمۡ وَ الۡحٰفِظٰتِ وَ الذّٰکِرِیۡنَ
اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ الذّٰکِرٰتِ ۙ اَعَدَّ
اللّٰہُ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ وَ مَا کَانَ
لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ
اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ
رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang berserah
diri, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki
dan perempuan yang patuh, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang meren-dahkan
diri, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kesucian mereka, laki-laki
dan perempuan yang banyak mengingat
Dia, Allah telah menyediakan bagi mereka itu ampunan dan ganjaran yang besar. وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ -- Dan sekali-kali
tidak layak bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri
dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ ضَلَّ
ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا -- Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:36-37)
Kesetaraan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan
& Satu sama Lain Merupakan “Pakaian”
Ayat 36 mengandung sangkalan
yang paling jitu terhadap tuduhan,
bahwa Islam memberi kedudukan yang rendah terhadap kaum perempuan. Menurut Al-Quran, kaum
perempuan berdiri sejajar dengan kaum
laki-laki dan mereka dapat mencapai ketinggian-ketinggian
ruhani yang dapat dicapai kaum
laki-laki serta menikmati semua hak
politik dan sosial yang dinikmati
kaum laki-laki.
Hanya saja karena lapangan kegiatan mereka berbeda
maka kewajiban-kewajiban mereka pun berbeda pula. Perbedaan dalam tugas kedua golongan jenis kelamin inilah yang
dengan keliru, atau mungkin dengan sengaja
telah disalahartikan oleh pengecam-pengecam yang tidak bersahabat
terhadap Islam, seolah-olah memberikan kedudukan
lebih rendah kepada kaum perempuan.
Mengisyaratkan kepada adanya “persamaan derajat” untuk mencapai
berbagai kemajuan dalam bidang akhlak dan ruhani antara laki-laki dan perempuan itulah maka Allah Swt. telah
menyebut keduanya sebagai “pakaian”
karena dapat saling melengkapi kekurangan
atau kelemahan masing-masing, firman-Nya:
اُحِلَّ
لَکُمۡ لَیۡلَۃَ الصِّیَامِ
الرَّفَثُ اِلٰی نِسَآئِکُمۡ ؕ ہُنَّ لِبَاسٌ
لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ
لِبَاسٌ لَّہُنَّ ؕ عَلِمَ
اللّٰہُ اَنَّکُمۡ کُنۡتُمۡ تَخۡتَانُوۡنَ اَنۡفُسَکُمۡ
فَتَابَ عَلَیۡکُمۡ وَ
عَفَا عَنۡکُمۡ ۚ فَالۡـٰٔنَ بَاشِرُوۡہُنَّ وَ
ابۡتَغُوۡا مَا
کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ ۪ وَ کُلُوۡا وَ اشۡرَبُوۡا حَتّٰی یَتَبَیَّنَ لَکُمُ
الۡخَیۡطُ الۡاَبۡیَضُ مِنَ
الۡخَیۡطِ الۡاَسۡوَدِ مِنَ الۡفَجۡرِ۪ ثُمَّ اَتِمُّوا
الصِّیَامَ اِلَی الَّیۡلِ ۚ وَ لَا
تُبَاشِرُوۡہُنَّ وَ اَنۡتُمۡ عٰکِفُوۡنَ ۙ فِی الۡمَسٰجِدِ ؕ تِلۡکَ
حُدُوۡدُ اللّٰہِ فَلَا تَقۡرَبُوۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ﴿﴾
Pada malam puasa dihalalkan bagi kamu bercampur dengan istri-istri kamu, ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ -- mereka adalah pakaian bagi kamu,
dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu senantiasa mengkhianati dirimu sendiri lalu Dia
kembali kepada kamu dengan kasih-sayang dan Dia memperbaiki kesalahan kamu. فَالۡـٰٔنَ بَاشِرُوۡہُنَّ وَ ابۡتَغُوۡا مَا کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ -- maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditentukan Allah bagi kamu,
dan makanlah dan minumlah hingga tampak
jelas kepadamu benang-putih dan benang-hitam dari fajar, kemudian sempurnakanlah
puasa sampai malam وَ لَا تُبَاشِرُوۡہُنَّ وَ اَنۡتُمۡ عٰکِفُوۡنَ ۙ فِی الۡمَسٰجِدِ -- dan janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu ber-’itikaf dalam masjid-masjid. Inilah batas-batas
ketentuan Allah maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menjelaskan hukum-hukum-Nya bagi manusia supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah [2]:188).
Sehubungan
kata pakaian dalam ayat ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ
وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ -- mereka adalah pakaian bagi kamu,
dan kamu adalah pakaian bagi mereka”, betapa indahnya Al-Quran telah melukiskan dengan kata-kata singkat ini
hak dan kedudukan perempuan dan
tujuan serta arti pernikahan dan hubungan suami-istri, yaitu satu-sama
lain merupakan “pakaian”.
Tujuan pokok pernikahan – sebagaimana halnya fungsi pakaian -- demikian ayat ini
mengatakan, ialah kesentausaan, perlindungan, dan memperhias kedua pihak (suami-istri) secara timbal-balik, sebab
memang itulah tujuan mengenakan pakaian
(QS.7:27 dan QS.16:82). Sudah pasti tujuan pernikahan
bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual. Suami-istri
sama-sama menjaga satu sama lain
terhadap kejahatan dan skandal, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ
وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ لَعَلَّہُمۡ
یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Wahai
Bani Adam, sungguh
Kami telah menurunkan kepada kamu
pakaian penutup auratmu dan sebagai
perhiasan, وَ لِبَاسُ
التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ -- dan
pakaian takwa itulah yang terbaik, yang demikian
itu ada-lah sebagian dari Tanda-tanda
Allah, supaya mereka
mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).
Dengan pakaian “takwa” itulah Adam a.s. dan
“istrinya” menutupi “aurat” dalam jannah
(kebun surgawi) akibat diperdayai
oleh bujukan syaitan yang menipu (QS.7:20-26; QS.20:116-123).
Hikmah Adanya
Perbedaan Sifat dan Kebiasaan Pasangan Suami-Istri
Dikarenakan pasangan suami-istri berasal dari pasangan orangtua yang
berbeda, maka pasti suami dan istri akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orangtua mereka masing-masing, yang boleh
jadi karena adanya perbedaan dalam kebiasaan dan lain-lain maka dalam membina rumahtangga akan
terjadi riak-riak gelombang yang dapat menggoyang
bahtera rumahtangga. Mengenai hal
tersebut Allah Swt. memberikan petunjuk, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا یَحِلُّ
لَکُمۡ اَنۡ تَرِثُوا
النِّسَآءَ کَرۡہًا ؕ وَ لَا تَعۡضُلُوۡہُنَّ لِتَذۡہَبُوۡا بِبَعۡضِ
مَاۤ اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ اِلَّاۤ اَنۡ یَّاۡتِیۡنَ
بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ ۚ وَ عَاشِرُوۡہُنَّ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ
اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ﴿ ﴾
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan secara
paksa, dan jangan pula kamu
menahan mereka agar kamu dapat mengambil kembali secara zalim
sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali
jika mereka itu melakukan perbuatan keji yang nyata, وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ -- dan bergaullah dengan
mereka secara baik, فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا -- karena jika kamu tidak menyukai mereka maka boleh jadi kamu
tidak menyukai sesuatu padahal Allah
menjadikan banyak kebaikan di dalamnya.
(An-Nisa
[4]:20).
Sehubungan dengan kemungkinan adanya “ketidak-sukaan” terhadap pasangan dalam rumahtangga atau terhadap calon pasangan
hidup, Allah Swt. berfirman dalam
ayat sebelumnya:
وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki
yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ
رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا -- apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan, اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ -- bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا -- Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:37).
Kejadian yang langsung berkaitan dengan
turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan
Sitti Zainab r.a. menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. agar Sitti Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., seorang budak
(hamba-sahaya) beliau saw. yang telah dimerdekakan, yaitu guna menghilangkan
adanya perbedaan “kasta” dalam
masyarakat Muslim.
Kita patut memuji Sitti Zainab r.a.,
-- seorang bangsawati bangsa Arab -- karena menghormati kehendak
Nabi Besar Muhammad saw. beliau akhirnya setuju
menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan
hati beliau pribadi. Nabi Besar
Muhammad saw. tidak memaksa Sitti Zainab menerima Zaid
bin Haristsah r.a. sebagai suami.
Sitti Zainab hanyalah menghormati
keinginan beliau saw..
Keberkatan Taat Kepada
Allah Swt. dan Rasul-Nya
Walau pun kenyataan membuktikan bahwa -- karena adanya ketidak-serasian atau tidak kufu’ dalam beberapa hal lainnya di antara pasangan
suami-istri tersebut -- maka
Zaid bin Haristsah r.a. mengemukakan
keinginannya kepada Nabi Besar
Muhammad saw. untuk menceraikan Siri Zainab r.a., yang
tentu saja perceraian
tersebut sangat tidak diinginkan
oleh beliau saw. (QS.33:38).
Tetapi karena Allah Swt.
memiliki rencana lain yang jauh lebih penting daripada tujuan pernikahan
antara Zaid bin Haritsah r.a. dengan Siti Zainab r.a.
yang diprakarsai oleh Nabi
Besar Muhammad saw. tersebut tersebut, maka perceraian pasangan suami-istri
itu pun akhirnya terjadi, yang tentu saja membuat Nabi Besar Muhammad saw. merasa “kecewa.”,
Tetapi yang paling terpukul oleh
persitiwa perceraian tersbeut adalah
hati Sitti Zainab r.a. karena
pada dirinya kemudian melekat sebutan janda (bekas istri) dari seorang mantan hamba sahaya (budak), karena kedudukan
sebagai janda yang diceraikan oleh suami tidak seperti
halnya kedudukan janda karena ditinggal mati oleh suami atau kedudukan janda yang minta cerai dari suaminya.
Namun Allah Swt. tidak pernah mengingkari
janji-Nya kepada orang-orang yang
benar-benar mendahulukan kehendak-Nya daripada kehendak
atau
pilihan diri mereka sendiri (QS.33:37), lalu Allah menikahkan Sitti Zainab r.a. dengan Nabi Besar Muhammad saw., sehingga dengan demikian kedudukan Sitti Zainab r.a.
menjadi salah seorang dari Ummul
Mukminin (QS.33:7).
Pernikahan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a. pun sekali
gus membatalkan kekeliruan adat-istiadat bangsa Arab jahiliyah, bahwa seorang ayah
angkat tidak boleh menikahi janda
anak-angkatnya, karena menurut mereka kedudukan
anak angkat sama dengan anak kandung (QS.33:5-6),
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ
تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ
عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ
اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ
مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی
النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا
وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا
یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
حَرَجٌ فِیۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا
قَضَوۡا مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ
اللّٰہِ مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah
memberi nikmat kepadanya: اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ -- “Pertahankanlah
terus istri engkau pada diri
engkau dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allāh lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya.
فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا -- maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadapnya, زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ
عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ فِیۡۤ
اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ
اِذَا قَضَوۡا مِنۡہُنَّ
وَطَرًا ؕ -- Kami menikahkan
engkau dengan dia, supaya tidak
akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
مَفۡعُوۡلًا -- dan
keputusan Allah pasti akan terlaksana.” (Al-Ahzāb
[33]:38).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar