Rabu, 17 September 2014

Kesetaraan "Kedudukan Ruhani" Laki-laki dan Perempuan & Suami-Istri Merupakan "Pakaian" Bagi Pasangannya




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād

319

Kesetaraan Kedudukan Ruhani Laki-laki dan Perempuan & Suami-istri Merupakan “Pakaian”  Bagi Pasangannya

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pentingnya orang-orang Islam   dalam melakukan pernikahan mengutamakan  adanya kufu’ (kafa’ah – kesetaraan) dalam masalah keimanan (agama), sebab  pernikahan dalam Islam bukan hanya sekedar sebagai  sarana  yang ditetapkan Allah Swt. pengembang-biakan manusia secara jasmani belaka (QS.30:21),   tetapi  juga pernikahan pun merupakan sarana pengembang-biakkan    manusia  dari segi  akhlak dan ruhani mereka.
        Itulah sebabnya Allah Swt. telah menyatakan bahwa ketakwaan kepada Allah Swt.  sebagai tolok ukur  kemuliaan seseorang di sisi-Nya  (QS.49:14), sebagai hasil dari  beribadah kepada-Nya yang merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di dunia ini, firman-Nya:
وَ مَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَ الۡاِنۡسَ  اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾  مَاۤ  اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ  مِّنۡ  رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ  ذُو الۡقُوَّۃِ  الۡمَتِیۡنُ ﴿﴾
Dan Aku sekali-kali tidak   menciptakan jin dan ins (manusia)  اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ --  melainkan supaya mereka menyembah-Ku. مَاۤ  اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ  مِّنۡ  رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ         --Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.   اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ  ذُو الۡقُوَّۃِ  الۡمَتِیۡنُ       -- sesungguhnya  Allah Dia-lah Pemberi rezeki, Pemiliki  Kekuatan yang sangat kokoh.  (Adz-Dzāriyāt [51]:57-59). 

Arti “Ibadah” yang Hakiki

    Arti yang utama untuk kata ‘ibadah  adalah  menundukkan diri sendiri kepada disiplin keruhanian yang ketat  yang ditetapkan syariat, lalu bekerja dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada sampai  sepenuh jangkauannya, sepenuhnya serasi dengan dan taat kepada perintah-perintah Ilahi agar menerima meterai pengesahan Allah Swt. dan  mampu mencampurkan dan menjelmakan dalam dirinya sendiri sifat-sifat Allah Swt., sebagaimana yang terlah diperagakan oleh para rasul Allah, khususnya Nabi Besar Muhammad  saw. (QS.3:32; QS.33:22; QS.4:70).
   Itulah maksud dan tujuan agung lagi mulia bagi penciptaan manusia dan memang itulah makna ibadah kepada Allah Swt.. Karunia-karunia lahir dan batin yang terdapat pada sifat manusia memberikan dengan jelas pengertian kepada kita, bahwa ada di antara kemampuan manusia yang membangunkan pada dirinya dorongan untuk mencari Allah Swt. dan yang meresapkan kepadanya keinginan mulia untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada  Allah Swt. dimana pelakunya disebut Muslim (QS.6: 162-164).
      Makna ayat  مَاۤ  اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ  مِّنۡ  رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ  -- “Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku”  Bila sang musafir (kelana) keruhanian menempuh perjalanan menuju tujuan hidupnya yang mulia itu dengan sabar dan tawakkal, sambil melakukan berbagai bentuk pengorbanan di jalan Allah, hal itu tidak berarti ia tidak berbuat bajik kepada Allah Swt. atau kepada siapa pun,  melainkan dirinya sendirilah yang memperoleh manfaatnya dan mencapai tujuan perjuangannya yang dilakukannnya di “jalan Allah” tersebut (QS.29:70; QS.84:7).
    Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya laki-laki dan perempuan – termasuk pasangan suami istri --  untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS.2:149; QS.3:134; QS.5:49;  QS.35:33; QS.57:22), guna meraih   berbagai tingkatan derajat kehormatan di sisi Allah Swt.  sebagai orang-orang yang bertakwa, sehingga satu sama lain (suami-istri) benar-benar merupakan “pakaian” yang sempurna (QS.2:188)  karena  pasangan  suami-istri tersebut memakai “pakaian takwa” (QS.7:27), firman-Nya:
اِنَّ  الۡمُسۡلِمِیۡنَ وَ الۡمُسۡلِمٰتِ وَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ وَ الۡقٰنِتِیۡنَ وَ الۡقٰنِتٰتِ وَ الصّٰدِقِیۡنَ وَ الصّٰدِقٰتِ وَ الصّٰبِرِیۡنَ وَ الصّٰبِرٰتِ وَ الۡخٰشِعِیۡنَ وَ الۡخٰشِعٰتِ وَ الۡمُتَصَدِّقِیۡنَ وَ الۡمُتَصَدِّقٰتِ وَ الصَّآئِمِیۡنَ وَ الصّٰٓئِمٰتِ وَ الۡحٰفِظِیۡنَ فُرُوۡجَہُمۡ وَ الۡحٰفِظٰتِ وَ الذّٰکِرِیۡنَ اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ الذّٰکِرٰتِ ۙ اَعَدَّ  اللّٰہُ   لَہُمۡ  مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا  عَظِیۡمًا  ﴿﴾   وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang berserah diri, laki-laki  dan perempuan yang beriman,  laki-laki  dan perempuan  yang patuh,  laki-laki  dan perempuan yang benar,  laki-laki  dan perempuan yang sabar,   laki-laki  dan perempuan yang meren-dahkan diri, laki-laki  dan  perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,  laki-laki  dan perempuan yang berpuasa,  laki-laki  dan perempuan yang memelihara   kesucian mereka,  laki-laki  dan perempuan yang banyak mengingat Dia, Allah telah menyediakan bagi  mereka itu ampunan dan ganjaran yang besar.  وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ   --  Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا --   Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb [33]:36-37)

Kesetaraan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan  &  Satu sama Lain Merupakan “Pakaian

         Ayat 36  mengandung sangkalan yang paling jitu terhadap tuduhan, bahwa Islam memberi kedudukan yang rendah terhadap kaum perempuan. Menurut Al-Quran, kaum perempuan berdiri sejajar dengan kaum laki-laki dan mereka dapat mencapai ketinggian-ketinggian ruhani yang dapat dicapai kaum laki-laki serta menikmati semua hak politik dan sosial yang dinikmati kaum laki-laki.
       Hanya saja karena lapangan kegiatan mereka berbeda maka kewajiban-kewajiban mereka pun berbeda pula. Perbedaan dalam tugas kedua golongan jenis kelamin inilah yang dengan keliru, atau mungkin dengan sengaja  telah disalahartikan oleh pengecam-pengecam yang tidak bersahabat terhadap Islam, seolah-olah memberikan kedudukan lebih rendah kepada kaum perempuan.
          Mengisyaratkan kepada  adanya “persamaan derajat” untuk mencapai berbagai kemajuan dalam bidang akhlak dan ruhani antara laki-laki dan perempuan itulah maka Allah Swt. telah menyebut keduanya  sebagai  pakaian” karena dapat saling melengkapi kekurangan atau kelemahan masing-masing,  firman-Nya:
اُحِلَّ لَکُمۡ لَیۡلَۃَ الصِّیَامِ الرَّفَثُ اِلٰی نِسَآئِکُمۡ ؕ ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ ؕ عَلِمَ اللّٰہُ  اَنَّکُمۡ کُنۡتُمۡ تَخۡتَانُوۡنَ اَنۡفُسَکُمۡ فَتَابَ عَلَیۡکُمۡ وَ عَفَا عَنۡکُمۡ ۚ فَالۡـٰٔنَ بَاشِرُوۡہُنَّ وَ ابۡتَغُوۡا مَا کَتَبَ اللّٰہُ  لَکُمۡ  ۪ وَ کُلُوۡا وَ اشۡرَبُوۡا حَتّٰی یَتَبَیَّنَ لَکُمُ الۡخَیۡطُ الۡاَبۡیَضُ مِنَ الۡخَیۡطِ الۡاَسۡوَدِ  مِنَ الۡفَجۡرِ۪ ثُمَّ   اَتِمُّوا الصِّیَامَ اِلَی الَّیۡلِ ۚ وَ لَا تُبَاشِرُوۡہُنَّ وَ اَنۡتُمۡ عٰکِفُوۡنَ  ۙ فِی الۡمَسٰجِدِ ؕ تِلۡکَ حُدُوۡدُ  اللّٰہِ فَلَا تَقۡرَبُوۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ  اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ  یَتَّقُوۡنَ﴿﴾
Pada malam puasa dihalalkan bagi kamu   bercampur dengan istri-istri kamu, ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ  --  mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah  pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu  senantiasa mengkhianati dirimu sendiri lalu Dia kembali  kepada kamu dengan kasih-sayang dan Dia memperbaiki kesalahan kamu. فَالۡـٰٔنَ بَاشِرُوۡہُنَّ وَ ابۡتَغُوۡا مَا کَتَبَ اللّٰہُ  لَکُمۡ    -- maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditentukan Allah bagi kamu, dan makanlah dan minumlah hingga tampak jelas kepadamu benang-putih dan benang-hitam dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam وَ لَا تُبَاشِرُوۡہُنَّ وَ اَنۡتُمۡ عٰکِفُوۡنَ  ۙ فِی الۡمَسٰجِدِ  --   dan janganlah kamu mencampuri mereka ketika kamu ber-’itikaf dalam masjid-masjid. Inilah batas-batas ketentuan Allah maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan hukum-hukum-Nya bagi manusia supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah [2]:188).
        Sehubungan  kata  pakaian dalam ayat ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ  --  mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah  pakaian bagi mereka”,   betapa indahnya Al-Quran telah melukiskan dengan kata-kata singkat ini hak dan kedudukan perempuan dan tujuan serta arti pernikahan dan hubungan suami-istri, yaitu satu-sama lain merupakan “pakaian”.
        Tujuan pokok pernikahan – sebagaimana halnya fungsi pakaian --  demikian ayat ini mengatakan, ialah kesentausaan, perlindungan, dan memperhias kedua pihak (suami-istri) secara timbal-balik, sebab memang itulah tujuan mengenakan pakaian (QS.7:27 dan QS.16:82). Sudah pasti tujuan pernikahan  bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual. Suami-istri sama-sama menjaga satu sama lain terhadap kejahatan dan skandal, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  قَدۡ  اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ  لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  لَعَلَّہُمۡ  یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Wahai Bani Adam,  sungguh  Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup auratmu dan sebagai  perhiasan, وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ  --  dan pakaian takwa   itulah yang terbaik, yang demikian itu ada-lah sebagian dari Tanda-tanda Allah, supaya  mereka mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).
   Dengan  pakaian “takwa” itulah Adam a.s. dan “istrinya”   menutupi “aurat” dalam jannah (kebun surgawi) akibat diperdayai oleh bujukan syaitan yang menipu (QS.7:20-26; QS.20:116-123).

Hikmah Adanya Perbedaan Sifat dan Kebiasaan Pasangan Suami-Istri

        Dikarenakan pasangan suami-istri  berasal dari pasangan  orangtua yang berbeda, maka pasti suami dan istri  akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orangtua mereka masing-masing, yang boleh jadi karena adanya perbedaan  dalam  kebiasaan dan  lain-lain maka dalam membina rumahtangga akan terjadi riak-riak gelombang  yang dapat menggoyang  bahtera rumahtangga. Mengenai hal tersebut Allah Swt.  memberikan petunjuk, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا یَحِلُّ لَکُمۡ اَنۡ تَرِثُوا النِّسَآءَ کَرۡہًا ؕ وَ لَا تَعۡضُلُوۡہُنَّ لِتَذۡہَبُوۡا بِبَعۡضِ مَاۤ اٰتَیۡتُمُوۡہُنَّ  اِلَّاۤ اَنۡ یَّاۡتِیۡنَ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ ۚ وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ﴿ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan secara  paksa, dan jangan pula kamu menahan mereka agar kamu dapat mengambil kembali secara zalim sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka,  kecuali jika mereka itu  melakukan perbuatan keji yang nyata, وَ عَاشِرُوۡہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ --  dan bergaullah dengan mereka secara baik, فَاِنۡ کَرِہۡتُمُوۡہُنَّ فَعَسٰۤی اَنۡ تَکۡرَہُوۡا شَیۡئًا وَّ یَجۡعَلَ اللّٰہُ فِیۡہِ خَیۡرًا کَثِیۡرًا   -- karena jika kamu tidak menyukai mereka maka  boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan  banyak kebaikan di dalamnya. (An-Nisa [4]:20).
        Sehubungan dengan kemungkinan adanya “ketidak-sukaan” terhadap pasangan dalam rumahtangga atau terhadap calon pasangan hidup,  Allah Swt. berfirman dalam ayat sebelumnya: 
وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman, اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا   --  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan,  اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ  --  bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا --   Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb [33]:37).
       Kejadian yang langsung berkaitan dengan turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan Sitti Zainab r.a.  menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  agar Sitti Zainab r.a.  menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a.,  seorang budak (hamba-sahaya) beliau  saw. yang telah dimerdekakan, yaitu guna  menghilangkan  adanya perbedaan “kasta” dalam masyarakat Muslim.
        Kita patut memuji Sitti Zainab r.a.,    -- seorang bangsawati  bangsa Arab --  karena menghormati  kehendak  Nabi Besar Muhammad saw.  beliau  akhirnya setuju menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan hati beliau pribadi.  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak memaksa Sitti Zainab menerima Zaid bin Haristsah r.a. sebagai suami. Sitti Zainab hanyalah menghormati keinginan beliau saw..

Keberkatan Taat Kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya

        Walau pun kenyataan membuktikan bahwa   -- karena adanya ketidak-serasian atau tidak kufu’  dalam beberapa hal lainnya di antara pasangan suami-istri tersebut     -- maka  Zaid bin Haristsah r.a. mengemukakan keinginannya kepada Nabi Besar Muhammad saw.  untuk menceraikan Siri Zainab r.a., yang  tentu  saja  perceraian tersebut  sangat tidak diinginkan oleh  beliau saw. (QS.33:38).
        Tetapi karena Allah Swt.   memiliki rencana lain yang jauh lebih penting daripada  tujuan  pernikahan   antara Zaid bin Haritsah r.a. dengan Siti  Zainab r.a.  yang diprakarsai oleh Nabi Besar Muhammad saw. tersebut tersebut, maka perceraian  pasangan suami-istri itu pun akhirnya terjadi, yang tentu saja membuat   Nabi Besar Muhammad saw. merasa “kecewa.”,
         Tetapi  yang paling terpukul oleh persitiwa perceraian tersbeut  adalah  hati Sitti Zainab r.a.  karena pada dirinya kemudian  melekat sebutan  janda  (bekas istri) dari seorang mantan hamba sahaya (budak), karena kedudukan sebagai janda yang diceraikan  oleh suami  tidak seperti  halnya kedudukan janda karena ditinggal mati oleh suami atau  kedudukan janda   yang minta cerai  dari suaminya.
         Namun Allah Swt. tidak pernah mengingkari janji-Nya kepada orang-orang yang  benar-benar mendahulukan kehendak-Nya  daripada kehendak   atau pilihan diri mereka sendiri (QS.33:37), lalu Allah menikahkan Sitti Zainab r.a. dengan Nabi Besar Muhammad saw.,  sehingga dengan demikian kedudukan Sitti Zainab r.a.  menjadi salah seorang dari Ummul Mukminin  (QS.33:7).
          Pernikahan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Sitti Zainab r.a.  pun  sekali gus membatalkan kekeliruan adat-istiadat  bangsa Arab jahiliyah, bahwa seorang ayah angkat tidak boleh menikahi janda anak-angkatnya, karena menurut mereka kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung (QS.33:5-6), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾

Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya:  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  --  Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allāh lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya.  فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا  -- maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadapnya, زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ   --   Kami menikahkan engkau dengan dia,  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka,  وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا  -- dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.”  (Al-Ahzāb [33]:38).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar