بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 314
Hikmah Penggunaan Ungkapan Bahasa yang Mutasyabihat Pada Nubuatan Para Nabi Allah dan
Uga-uga Wangsit Para Leluhur
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai berbagai nubuatan-nubuatan
Nabi Besar Muhammad saw. tentang
kedatangan Al-Masih Mau’ud a.s. dan Imam Mahdi a.s. di Akhir Zaman dalam warna mutasyābihāt, yakni beliau saw.
menggunakan kata nazala (turun)
berkenaan kedatangan kedua kali Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. atau kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.4358):
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Kayfa antum idzā nazala- bnu maryama fīkum,
wa imamukum minkum -- “Bagaimana
keadaan kalian apabila Isa putera Maryam turun di kalangan kalian dan menjadi imam kalian dari
kalian?” (HR. Muslim no. 155).
Dalam hadits tersebut
penggunaan kata nazala (turun) sama
sekali tidak ada hubungannya dengan langit
-- yang secara sengaja telah disalah-tafsirkan -- demikian pula penggunaan kata nazala (turun) dalam hadits-hadits lainnya berkenaan kedatangan kedua kali Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s..
Rasulullah saw. bersabda: “Demi yang berada ditangannya, sungguh ‘Isa Ibn Maryam hampir akan turun di tengah-tengah kamu sebagai pemimpin
yang adil, maka ia akan
menghancurkan salib, membunuh babi,
menolak upeti, melimpahkan harta sehingga tidak
seorang pun yang mau menerima pemberian, dan sehingga satu kali sujud lebih baik dari dunia dan segala isinya.” (Hadis Riwayat Bukhari,
Muslim,
Ahmad,
Nasa’i dan Ibn Majah
dari Abi Hurairah).
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah
saw. bersabda:
“Ketika ia (dajjal) berbuat seperti itu, maka Allah
pun mengutus ‘Isa Ibn Maryam. Ia
akan turun di menara putih yang terletak di Timur
Damsyik dengan memakai dua pakaian
kuning yang dicelup dengan wangi-wangian, sambil meletakkan dua telapak
tangannya di atas sayap-sayap dua
malaikat, apabila ia mengangguk-anggukkan kepalanya, maka jatuhlah tetesan air dan apabila ia mengangkat
kepalanya maka jatuhlah darinya
butir-butir seperti mutiara.” (Sebagian dari teks hadist riwayat Muslim pada kitab Al Fitan dari
an Nawwas bin Sam’an).
Dalam Hadist
lainnya lagi:
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada seorang nabi pun antara aku dengan ‘Isa
dan sesungguhnya ia benar-benar akan turun,
apabila kamu telah melihatnya, maka ketahuilah: bahwa ia adalah seorang laki-laki yang berpostur tubuh sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), berkulit putih kemerah-merahan, dia
akan turun dengan memakai dua helai kain yang berwarna
kuning,
kepalanya seakan-akan meneteskan air
walaupun ia tidak basah.” (Hadist
shahih riwayat Abu Dawud dari
Abi Hurairah. Dalam kitab Ash
Shahihah Al Albaani, nomor 2182).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“(Saat aku diisra’kan), aku melihat ‘Isa dan Musa serta Ibrahim ‘alahimis salam. Adapun ‘Isa, dia adalah laki-laki yang kulitnya kemerahan, tegap dan dadanya bidang sedangkan
Musa adalah orang yang kurus (tinggi) seperti kebanyakan laki-laki
dari Sudan (Afrika)“. (HR. Bukhari
no. 3438).
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nabi antara
masaku dan ‘Isa. Sungguh, kelak ia
akan turun, jika kalian melihatnya
maka kenalilah. Ia adalah seorang laki-laki yang sedang (tidak
tinggi dan tidak terlalu pendek), berkulit
merah keputih-putihan, beliau memakai di antara dua kain berwarna sedikit kuning. Seakan rambut kepala beliau
menetes meski tidak basah. Beliau akan memerangi manusia hingga mereka masuk ke
dalam Islam, beliau akan menghancurkan salib, membunuh babi dan menghapus jizyah (upeti). Pada masa beliau, Allah akan membinasakan semua agama selain Islam, Isa akan membunuh Dajjal, dan beliau akan
tinggal di muka bumi selama empat puluh
tahun. Setelah itu ia meninggal
dan kaum Muslimin menshalatinya.” (HR.
Abu Daud
no. 4324 dan Ahmad
2/437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ditampakkan kepadaku para nabi, ternyata Musa adalah salah satu jenis laki-laki seperti laki-laki bani Syanu’ah.
Aku melihat Isa bin Maryam ‘alaihis
salam, ternyata beliau mirip dengan
orang yang telah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu ‘Urwah bin Mas’ud. Aku pun melihat Ibrahim ‘alaihis salam, ternyata dia mirip dengan orang yang aku lihat
memiliki kemiripan dengannya, yaitu sahabat
kalian (maksudnya beliau sendiri). Dan aku melihat Jibril Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang pernah aku lihat memiliki kemiripan
dengannya, yaitu Dihyah.” (HR.
Muslim
no. 167).
Makna Penggunaan Kata Nazala (Turun) dalam Al-Quran
Dari berbagai gambaran berbeda yang diterangkan Nabi Besar
Muhammad saw. mengenai ciri-ciri fisik
(jasmani) Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., dapat disimpulkan bahwa Al-Masih
Mau’ud a.s. yang akan datang di Akhir
Zaman dari kalangan umat Islam, bukanlah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili
yang dijumpai oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj
di langit kedua bersama dengan
Nabi Yahya a.s., yang telah wafat,
seperti juga para Rasul Allah lainnya yang dijumpai Nabi Besar Muhammad saw. pada berbagai tingkatan
langit lainnya yang lebih tinggi, yakni
Nabi Harun a.s., Nabi Musa a.s., dan Nabi Ibrahim a.s., yang semuanya
telah wafat. Karena itu Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. yang telah wafat
tersebut (QS.3:56 & 145; QS.5:117-119; QS.21:35-36) tidak mungkin datang lagi dari langit dengan tubuh jasmaninya.
Di dalam Al-Quran pun penggunaan kata anzala atau nazala tidak mutlak harus di
artikan turun dari langit
atau turun dari suatu ketinggian,
tetapi mengisyaratkan kepada sangat pentingnya dan sangat bermanfaatnya
obyek
yang kedatangannya (keberadaannya) menggunakan kata nazala atau anzala (turun), contohnya Al-Quran (QS.4:106; QS.97:2), besi
(QS.57:26); pakaian (QS.7:27), manna
dan salwa (QS.2:58); binatang ternak (QS.39:7)
dan lain-lain.
Dengan demikian semua nubuatan kedatangan para rasul Allah yang dijanjikan -- baik dalam Kitab-kitab suci mau pun
berdasarkan sabda-sabda para rasul Allah, bahkan ramalan dalam bentuk uga
wangsit para leluhur pun, contohnya Uga
Wangsit Prabu Siliwangi -- selalu dalam bentuk ungkapan yang mutasyābihāt, berikut firman-Nya mengenai hal tersebut:
ہُوَ
الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ
اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ
فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ
مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
﴿﴾ رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ
رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ﴿﴾
Dia-lah Yang
menurunkan Al-Kitab yakni
Al-Quran kepada engkau, مِنۡہُ اٰیٰتٌ
مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ الۡکِتٰبِ -- di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok
Al-Kitab, وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ -- sedangkan yang
lain ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ
فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ
وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ -- Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya
ada kebengkokan maka mereka mengikuti
darinya apa yang mutasyābihāt karena
ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang
salah, وَ مَا یَعۡلَمُ
تَاۡوِیۡلَہٗۤ اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ
یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِ --padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari
sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- Dan tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang
yang mempergunakan akal. رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا
بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا
مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ -- Ya
(Rabb) Tuhan kami, janganlah Eng-kau
menyimpangkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau,
sesungguhnya Eng-kau benar-benar Maha
Pemberi anugerah. (Ali
‘Imran [3]:8-9).
Makna Muhkamat dan Mutasyābihāt
Muhkam berarti: (1) hal yang telah terjamin aman dari perobahan
atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada
keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat
yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Mufradat dan Lane).
Umm
dalam “ummul-kitab” berarti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu;
(3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu dan penunjang, atau sarana islah
(reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4) sesuatu yang di sekitarnya
benda-benda lain dihubungkan (Aqrab-al-Mawarid
dan Al-Mufradat).
Mutasyābih
dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, meskipun selaras;
(2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan
atau yang selaras satu sama lain; (3)
hal yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan arti yang tidak dimaksudkan;
(4) hal yang arti sebenarnya
diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam; (5) hal
yang tidak dapat dipahami dengan
segera tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran
sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu terlebih dahulu (Al-Mufradat).
Ta’wil
berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato
atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang
benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lexicon Lane). Dalam ayat ini
kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama
kata itu mengandung arti yang kedua atau yang ketiga, sedangkan pada
tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau yang kelima.
Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat
luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal yang mengenainya terdapat perbedaan paham maka hendaklah bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas
(muhkamat) harus diperhatikan. Bila bagian yang tegas itu terbukti berlawanan
dengan susunan kalimat tertentu yang
mengandung dua maksud, maka kalimat yang mutasyābihāt
tersebut itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan
bagian-bagian yang tegas dan jelas kata-katanya (muhkamat).
Menurut ayat
ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam
(kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat
diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih
adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
Dalam QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih
dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak
boleh dianggap bertentangan dengan
ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam
dan beberapa lainnya mutasyabih.
Sepanjang
hal yang menyangkut maksud hakiki
ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam yaitu dalam pengertian
bahwa ayat-ayatnya mengandung
kebenaran-kebenaran pasti dan kekal-abadi.
Tetapi dalam pengertian lain seluruh
Al-Quran itu mutasyābih, sebab
ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada
waktu itu juga ayat itu mempunyai berbagai arti yang sama-sama benar dan baik.
Al-Quran itu mutasyābih pula
(menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau
ketidakselarasan di dalamnya,
berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu
(QS.4:83). Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyābih
untuk berbagai pembaca menurut ilmu
pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan
oleh ayat sekarang ini.
Adapun nubuatan-nubuatan yang
dikemukakan dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan
dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena
itu nubuatan-nubuatan yang
digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
Untuk nubuatan-nubuatan yang muhkam para pembaca diingatkan kepada
QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan
yang mutasyābih. Istilah muhkam dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang merupakan
bagian dari perintah tertentu dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat
lain untuk menjadikan suatu perintah yang
lengkap.
Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti)
umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt
umumnya membahas pokok pembahasan
yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah
bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat
dianggap mempunyai berbagai arti.
Ayat-ayat demikian hendaknya
jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas (muhkam). Baiklah
dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan
yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci,
perlu sekali menjamin keluasan arti
dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya
bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan, yang tanpa itu perkembangan
dan penyempurnaan ruhaninya tidak
akan mungkin tercapai.
Bisa Berbahasa Arab
Belum Tentu Memahami Makna
Ayat-ayat Al-Quran
Makna ayat رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا
بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا
مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ -- Ya
Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami setelah
Engkau memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau,
sesungguhnya Engkau benar-benar Maha
Pemberi anugerah. (Ali
‘Imran [3]:8-9), bahwa makrifat
Al-Quran hanya dianugerahkan kepada orang-orang
yang berhati
suci atau orang-orang yang disucikan Allah Swt., firman-Nya:
اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
itu benar-benar Al-Quran
yang mulia, فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- dalam suatu kitab yang sangat terpelihara, لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- wahyu
yang diturunkan dari Rabb (Tuhan)
seluruh alam. (Al-Wāqi’ah
[56]:78-81).
Bahwa Al-Quran
itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang
terpelihara dan terjaga baik
(QS.15:10), merupakan tantangan
terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantangan itu tetap tidak
terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya yang telah
disia-siakan para pengecam yang tidak
bersahabat untuk mencela kemurnian
teksnya.
Tetapi semua daya upaya
ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan –
walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa “kitab yang disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia empat belas abad yang
lalu, telah sampai kepada kita tanpa
perubahan barang satu huruf pun” (Williams Muir).
Makna ayat اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ
کَرِیۡمٌ -- sesungguhnya
itu benar-benar Al-Quran
yang mulia, فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- dalam suatu kitab yang sangat terpelihara”, bahwa Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian
bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya: لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Ayat ini pun dapat
berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas
itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, demikian pula cita-cita dan asas-asas itu juga kekal
dan tidak berubah, serta hukum-hukumnya
tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman.
Atau, ayat ini dapat
diartikan bahwa Al-Quran dipelihara
dalam fitrat yang telah dianugerahkan
Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah
dilimpahi kemampuan untuk sampai
kepada keputusan yang benar. Orang
yang secara jujur bertindak sesuai
dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
Makna ayat لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”, bahwa hanya orang yang bernasib baik sajalah yang
diberi pengertian mengenai dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang
tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih (QS.3:8-9). Secara
sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca
Al-Quran sementara keadaan fisik
kita tidak bersih.
Para “Pewaris”
Hakiki Al-Quran
Allah Swt. berfirman kepada
Nabi Besar Muhammad saw. mengenai orang-orang yang menjadi “pewaris” hakiki
Al-Quran:
وَ
الَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ
مِنَ الۡکِتٰبِ ہُوَ الۡحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ بِعِبَادِہٖ لَخَبِیۡرٌۢ بَصِیۡرٌ ﴿﴾ ثُمَّ
اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ
فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ
بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾
Dan Kitab yang Kami wahyukan kepada engkau
adalah kebenaran untuk menggenapi apa yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah terhadap hamba-hambanya benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat. ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ
الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا -- Kemudian Kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang telah Kami pilih
dari antara hamba-hamba Kami, فَمِنۡہُمۡ
ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- maka
dari antara mereka sangat zalim terhadap
dirinya, وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ -- dari antara mereka ada yang mengambil jalan te-ngah, وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ -- dan dari antara mereka ada yang
unggul dalam kebaikan dengan izin
Allah, itu adalah karunia yang sangat besar. (Al-Fāthir
[35]:32-33).
Menurut Allah Swt. dalam ayat tersebut, seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan
peperangan yang sungguh-sungguh
terhadap keinginan dan nafsu rendahnya serta mengamalkan peniadaan diri (fana) secara mutlak,
yakni melawan gejolak nafs Ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan QS.12:54).
Pada
tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya
hanya sebagian saja, yaitu pada derajat nafs Lawwamah (jiwa yang mencela diri sendiri -- QS.75:3), dan pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak sempurna, dan kemajuan ke arah
tujuannya yang agung itu berlangsung cepat sekali dan merata, yaitu ketika
mencapat derajat nas Muthmainnah (jiwa yang tentram), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau
ridha kepada-Nya dan Dia pun
ridha kepada engkau. Maka masuklah
dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:28-31).
Derajat nafs-al-Muthmainnah (jiwa yang tentram) merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya
dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula
tingkat surgawi, ia menjadi kebal
terhadap segala macam kelemahan akhlak,
diperkuat dengan kekuatan ruhani yang
khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt.
dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dalam kehidupan
dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani
besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia
inilah dan bukan di tempat lain jalan
dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
Makna “Jihad” yang Hakiki
Jihad pengamalan Al-Quran dalam
kehidupan sebagaimana yang dicontohkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. seperti itulah
yang dimaksud beliau saw. dengan “jihad besar”, sedangkan “jihad” dengan senjata melawan musuh
adalah “jihad kecil” -- sekali pun sampai
terbunuh di dalam peperangan --
sebab tujuan utama dari pengutusan
Nabi Besar Muhammad saw. bukanlah agar
umat Islam membunuh atau terbunuh di jalan Allah Swt., melainkan agar
mereka mengamalkan ajaran Al-Quran agar umat Islam menjadi
umat terbaik (QS.2:144;
QS.3:111) yang menjadi “rahmat bagi seluruh alam”, seperti
halnya misi kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108). , firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
صَرَّفۡنٰہُ بَیۡنَہُمۡ لِیَذَّکَّرُوۡا
۫ۖ فَاَبٰۤی اَکۡثَرُ النَّاسِ
اِلَّا کُفُوۡرًا ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَبَعَثۡنَا فِیۡ کُلِّ
قَرۡیَۃٍ نَّذِیۡرًا ﴿۫ۖ﴾ فَلَا تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ
جِہَادًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menjelaskan Al-Quran ini dengan berbagai cara di antara mereka supaya
mereka mendapat pelajaran, tetapi kebanyakan manusia menolak kecuali kekafiran. وَ لَوۡ
شِئۡنَا لَبَعَثۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ نَّذِیۡرًا -- dan
seandainya Kami menghendaki niscaya Kami
membangkitkan di tiap-tiap negeri seorang pem-beri ingat. فَلَا تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ
جِہَادًا کَبِیۡرًا -- Maka janganlah
kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihad-lah
terhadap mereka dengan Al-Quran ini, jihad yang besar. (Al-Furqān
[25]:51-53).
Jihad besar dan jihad yang sesungguhnya menurut ayat ini adalah menablighkan amanat Al-Quran. Oleh
karena itu berjuang (jihad) untuk
menyiarkan Islam dan menyebarkan serta menaburkan ajaran-ajarannya yang sempurna adalah jihad, yang orang-orang Islam selalu dianjurkan supaya melaksanakannya dengan
semangat pantang mundur.
Jihad jenis inilah yang
diisyaratkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. ketika kembali dari suatu gerakan
militer -- yakni perang Badar -- menurut
riwayat beliau saw. pernah bersabda:
“Kita telah kembali dari jihad
kecil menuju jihad besar (Radd
al-Muhtar), firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ
اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang yang berjuang untuk
Kami niscaya Kami akan memberi
petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan
Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
berbuat ihsan (kebajikan). (Al-Ankabūt [29]:70).
Jadi, jihad
sebagaimana diperintahkan oleh Islam,
tidak berarti harus membunuh atau
menjadi kurban pembunuhan -- sebagaimana yang telah disalah-tafsirkan -- melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan
Ilahi di dalam kehidupan di dunia
ini juga, sebab kata fīnā berarti “untuk
menjumpai Kami.”
Demikianlah
pengembalian “kiblat” pemahaman
yang hakiki mengenai masalah jihad yang banyak disalah-tafsirkan, terutama di Akhir Zaman ini.
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 21 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar