Kamis, 11 September 2014

Hikmah Penggunaan Ungkapan Bahasa yang "Mutasyabihat" Pada "Nubuatan" Para Nabi Allah dan "Uga-uga Wangsit" Para Leluhur




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   314

Hikmah  Penggunaan Ungkapan Bahasa yang Mutasyabihat  Pada Nubuatan Para Nabi Allah  dan Uga-uga Wangsit Para Leluhur

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai  berbagai nubuatan-nubuatan Nabi  Besar Muhammad saw. tentang kedatangan  Al-Masih Mau’ud a.s.  dan Imam Mahdi a.s. di Akhir Zaman dalam warna mutasyābihāt, yakni beliau saw. menggunakan kata nazala (turun) berkenaan kedatangan   kedua kali Nabi Isa  Ibnu Maryam a.s. atau kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.4358):
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  Kayfa antum idzā nazala- bnu maryama fīkum, wa imamukum minkum    -- “Bagaimana keadaan kalian apabila Isa putera Maryam turun di kalangan    kalian dan menjadi  imam  kalian dari   kalian?”  (HR. Muslim no. 155).
      Dalam hadits tersebut penggunaan kata nazala (turun) sama sekali tidak ada hubungannya dengan langit  -- yang secara sengaja telah disalah-tafsirkan  --  demikian pula penggunaan kata nazala  (turun) dalam hadits-hadits lainnya berkenaan kedatangan kedua kali Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. 
Rasulullah saw. bersabda: “Demi yang berada ditangannya, sungguh ‘Isa Ibn Maryam hampir akan turun di tengah-tengah kamu sebagai pemimpin yang adil, maka ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menolak upeti, melimpahkan harta sehingga tidak seorang pun yang mau menerima pemberian,  dan sehingga satu kali sujud lebih baik dari dunia dan segala isinya.” (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i dan Ibn Majah dari Abi Hurairah).
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:
“Ketika ia (dajjal) berbuat seperti itu, maka Allah pun mengutus ‘Isa Ibn Maryam. Ia akan turun di menara putih yang terletak di Timur Damsyik dengan memakai dua pakaian kuning yang dicelup dengan wangi-wangian, sambil meletakkan dua telapak tangannya di atas sayap-sayap dua malaikat, apabila ia mengangguk-anggukkan kepalanya, maka jatuhlah tetesan air dan apabila ia mengangkat kepalanya maka jatuhlah darinya butir-butir seperti mutiara.” (Sebagian dari teks hadist riwayat Muslim pada kitab Al Fitan dari an Nawwas bin Sam’an).
Dalam Hadist lainnya lagi:
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada seorang nabi pun antara aku dengan ‘Isa dan sesungguhnya ia benar-benar akan turun, apabila kamu telah melihatnya, maka ketahuilah: bahwa ia adalah seorang laki-laki yang berpostur tubuh sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), berkulit putih kemerah-merahan, dia akan turun dengan memakai dua helai kain  yang berwarna    kuning, kepalanya seakan-akan meneteskan air walaupun ia tidak basah.” (Hadist shahih riwayat Abu Dawud dari Abi Hurairah. Dalam kitab Ash Shahihah Al Albaani, nomor 2182).
        Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“(Saat aku diisra’kan), aku melihat ‘Isa dan Musa serta Ibrahim ‘alahimis salam. Adapun ‘Isa, dia adalah laki-laki yang kulitnya kemerahan, tegap dan dadanya bidang sedangkan Musa adalah orang yang kurus (tinggi) seperti kebanyakan laki-laki dari Sudan (Afrika)“. (HR. Bukhari no. 3438).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nabi   antara masaku dan ‘Isa. Sungguh, kelak ia akan turun, jika kalian melihatnya maka kenalilah. Ia adalah seorang laki-laki yang sedang (tidak tinggi dan tidak terlalu pendek), berkulit merah keputih-putihan, beliau memakai di antara dua kain berwarna sedikit kuning. Seakan rambut kepala beliau menetes meski tidak basah. Beliau akan memerangi manusia hingga mereka masuk ke dalam Islam, beliau akan menghancurkan salib, membunuh babi dan menghapus jizyah (upeti). Pada masa beliau, Allah akan membinasakan semua agama selain Islam, Isa akan membunuh Dajjal, dan beliau akan tinggal di muka bumi selama empat puluh tahun. Setelah itu ia meninggal dan kaum Muslimin menshalatinya.” (HR. Abu Daud no. 4324 dan Ahmad 2/437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
 Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ditampakkan kepadaku para nabi, ternyata Musa adalah salah satu jenis laki-laki seperti laki-laki bani Syanu’ah. Aku melihat Isa bin Maryam ‘alaihis salam, ternyata beliau mirip dengan orang yang telah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu ‘Urwah bin Mas’ud. Aku pun melihat Ibrahim ‘alaihis salam, ternyata dia mirip dengan orang yang aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu sahabat kalian (maksudnya beliau sendiri). Dan aku melihat Jibril Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang pernah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu Dihyah.”  (HR. Muslim no. 167).

Makna Penggunaan Kata Nazala (Turun)  dalam Al-Quran 

       Dari  berbagai gambaran   berbeda yang diterangkan Nabi Besar Muhammad saw. mengenai ciri-ciri fisik (jasmani)   Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., dapat disimpulkan bahwa  Al-Masih Mau’ud a.s. yang akan datang di Akhir Zaman dari kalangan umat Islam, bukanlah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili  yang  dijumpai oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mi’raj   di langit kedua bersama dengan Nabi Yahya a.s., yang   telah wafat,   seperti juga para Rasul Allah lainnya yang dijumpai  Nabi Besar Muhammad saw. pada  berbagai tingkatan langit lainnya yang lebih tinggi, yakni  Nabi Harun a.s., Nabi Musa a.s., dan Nabi Ibrahim a.s., yang  semuanya telah wafat. Karena itu Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. yang telah wafat tersebut (QS.3:56 & 145; QS.5:117-119; QS.21:35-36) tidak mungkin datang lagi dari langit  dengan tubuh jasmaninya.
          Di dalam Al-Quran pun penggunaan kata anzala atau nazala  tidak mutlak harus di artikan turun  dari langit  atau turun dari suatu ketinggian, tetapi  mengisyaratkan kepada sangat pentingnya  dan sangat bermanfaatnya  obyek yang kedatangannya (keberadaannya) menggunakan kata nazala atau anzala  (turun), contohnya Al-Quran (QS.4:106; QS.97:2), besi (QS.57:26); pakaian (QS.7:27), manna dan salwa (QS.2:58); binatang ternak (QS.39:7) dan lain-lain.
         Dengan demikian semua nubuatan kedatangan para  rasul Allah yang dijanjikan   -- baik dalam Kitab-kitab suci mau pun  berdasarkan sabda-sabda para rasul Allah, bahkan ramalan dalam bentuk uga wangsit  para leluhur pun, contohnya Uga Wangsit Prabu Siliwangi  -- selalu  dalam bentuk ungkapan yang mutasyābihāt,  berikut firman-Nya mengenai hal tersebut:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ؃ وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾  رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ﴿﴾
Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran  kepada engkau, مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ  --   di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,  itulah pokok-pokok  Al-Kitab,  وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ  -- sedangkan  yang lain  ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ --  Adapun   orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt  karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah, وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِ --padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya   kecuali Allah,   dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata:  اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ --  “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.”  وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ  -- Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal.    رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ  --   Ya (Rabb) Tuhan kami, janganlah Eng-kau menyimpangkan hati kami  setelah  Engkau  memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Eng-kau benar-benar Maha Pemberi anugerah. (Ali  ‘Imran [3]:8-9).

Makna Muhkamat dan Mutasyābihāt

       Muhkam berarti: (1) hal yang telah terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Mufradat dan Lane).
        Umm dalam “ummul-kitab” berarti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4) sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Aqrab-al-Mawarid dan Al-Mufradat).
       Mutasyābih dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan arti  yang tidak dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam; (5) hal yang tidak dapat dipahami dengan segera  tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu terlebih dahulu (Al-Mufradat).
      Ta’wil berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lexicon Lane). Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama  kata itu mengandung arti yang kedua atau yang ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau yang kelima.
     Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal yang mengenainya terdapat perbedaan paham maka hendaklah  bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas (muhkamat) harus diperhatikan. Bila bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud, maka kalimat  yang mutasyābihāt tersebut itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas kata-katanya (muhkamat).  
   Menurut ayat ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
     Dalam QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak boleh dianggap bertentangan dengan ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam dan beberapa lainnya mutasyabih.
     Sepanjang hal yang menyangkut maksud hakiki ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam yaitu dalam pengertian bahwa ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran pasti dan kekal-abadi. Tetapi dalam pengertian lain   seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu juga ayat itu mempunyai berbagai arti yang sama-sama benar dan baik.
    Al-Quran itu mutasyābih pula (menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya,  berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu (QS.4:83). Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
        Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan  dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena itu nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
      Untuk nubuatan-nubuatan yang muhkam para pembaca diingatkan kepada QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih. Istilah muhkam dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang merupakan  bagian dari perintah tertentu dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan suatu perintah yang lengkap.
        Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya,  atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
      Ayat-ayat demikian hendaknya jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas (muhkam). Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan, yang tanpa itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan mungkin tercapai.

Bisa Berbahasa Arab Belum Tentu Memahami Makna Ayat-ayat   Al-Quran

        Makna   ayat    رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ  --   Ya  Rabb  (Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami  setelah  Engkau  memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah. (Ali  ‘Imran [3]:8-9), bahwa    makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan kepada orang-orang yang  berhati suci  atau orang-orang yang disucikan Allah Swt., firman-Nya:
اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾  تَنۡزِیۡلٌ  مِّنۡ  رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia, فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ  --  dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara,  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ   --  yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.    تَنۡزِیۡلٌ  مِّنۡ  رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ   --              wahyu yang diturunkan dari Rabb (Tuhan) seluruh alam.    (Al-Wāqi’ah [56]:78-81).
    Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10), merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya.
   Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa “kitab   yang disodorkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.   kepada dunia empat belas abad yang lalu, telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun” (Williams Muir).
       Makna ayat  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ   -- sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia, فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ  --  dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara”, bahwa   Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya: لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ   --  yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.
     Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam,  demikian pula cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah,  serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman.
     Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt.  kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
  Makna ayat  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ   --  yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan”, bahwa hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan   dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih (QS.3:8-9). Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.

Para  Pewaris” Hakiki Al-Quran

    Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai orang-orang yang  menjadi “pewaris”   hakiki Al-Quran:
وَ الَّذِیۡۤ  اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ  مِنَ الۡکِتٰبِ ہُوَ الۡحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِعِبَادِہٖ  لَخَبِیۡرٌۢ  بَصِیۡرٌ ﴿﴾  ثُمَّ  اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ  الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾
Dan Kitab yang Kami wahyukan kepada engkau adalah  kebenaran untuk menggenapi apa yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah terhadap hamba-hambanya benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat.  ثُمَّ  اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا   -- Kemudian Kitab itu Kami   wariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami,  فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ   -- maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya,  وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ  -- dari antara mereka ada yang mengambil jalan te-ngah, وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ  -- dan dari antara mereka ada yang    unggul dalam kebaikan  dengan izin Allah, itu adalah  karunia yang sangat besar. (Al-Fāthir [35]:32-33).
     Menurut Allah Swt. dalam ayat tersebut, seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan peperangan yang sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya serta mengamalkan peniadaan diri (fana) secara mutlak, yakni melawan  gejolak nafs Ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan QS.12:54).
         Pada tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya  hanya sebagian saja, yaitu pada derajat nafs Lawwamah (jiwa yang mencela diri sendiri   -- QS.75:3),  dan pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya yang agung itu berlangsung cepat sekali dan merata, yaitu ketika mencapat derajat nas Muthmainnah (jiwa yang tentram), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.   Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]:28-31).
     Derajat nafs-al-Muthmainnah  (jiwa yang tentram)  merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dalam kehidupan dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.

Makna “Jihad” yang Hakiki

          Jihad pengamalan Al-Quran  dalam kehidupan  sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. seperti itulah  yang dimaksud beliau saw. dengan “jihad  besar”, sedangkan “jihad” dengan senjata melawan musuh adalah “jihad kecil   -- sekali pun  sampai  terbunuh di dalam peperangan     -- sebab tujuan utama dari pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.  bukanlah agar umat Islam membunuh atau terbunuh di jalan Allah Swt., melainkan agar mereka mengamalkan   ajaran Al-Quran   agar umat Islam  menjadi   umat terbaik (QS.2:144; QS.3:111)  yang menjadi “rahmat bagi seluruh alam”, seperti halnya  misi kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.21:108). , firman-Nya:
وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنٰہُ بَیۡنَہُمۡ  لِیَذَّکَّرُوۡا ۫ۖ فَاَبٰۤی  اَکۡثَرُ  النَّاسِ   اِلَّا کُفُوۡرًا  ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَبَعَثۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ نَّذِیۡرًا ﴿۫ۖ﴾  فَلَا  تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ جِہَادًا کَبِیۡرًا ﴿﴾  
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah menjelaskan Al-Quran ini dengan berbagai cara di antara mereka supaya mereka mendapat pelajaran, tetapi kebanyakan manusia menolak kecuali kekafiran.  وَ لَوۡ شِئۡنَا لَبَعَثۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ نَّذِیۡرًا  --  dan seandainya Kami menghendaki  niscaya Kami membangkitkan di tiap-tiap negeri seorang pem-beri ingat.  فَلَا  تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ جِہَادًا کَبِیۡرًا  --  Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihad-lah terhadap mereka dengan Al-Quran ini, jihad yang besar.   (Al-Furqān [25]:51-53).
        Jihad besar dan jihad yang sesungguhnya menurut ayat ini adalah menablighkan amanat Al-Quran. Oleh karena itu berjuang (jihad) untuk menyiarkan Islam dan menyebarkan serta menaburkan ajaran-ajarannya yang sempurna adalah jihad, yang orang-orang Islam selalu dianjurkan supaya melaksanakannya dengan semangat pantang mundur.
    Jihad jenis inilah yang diisyaratkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.   ketika kembali dari suatu gerakan militer   -- yakni perang Badar --  menurut riwayat beliau saw. pernah bersabda:  “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (Radd al-Muhtar), firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ  لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat  ihsan (kebajikan). (Al-Ankabūt [29]:70).
        Jadi, jihad sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh atau menjadi kurban pembunuhan   -- sebagaimana yang telah disalah-tafsirkan --  melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi di dalam kehidupan di dunia ini juga,  sebab kata fīnā berarti “untuk menjumpai Kami.”
      Demikianlah  pengembalian “kiblat” pemahaman yang  hakiki  mengenai masalah jihad  yang banyak disalah-tafsirkan, terutama di Akhir Zaman ini.

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  21 Agustus     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar