بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 326
“Kemusyrikan” Dalam Keluarga Berupa Berlebihan Mencintai Anak-Keturunan
dan Istri
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai hubungan antara “pisah ranjang” (pisah sementara) Nabi Besar Muhammad saw. dengan
para istri mulia beliau saw. (QS.4:35),
dalam hubungannya dengan permintaan “perbaikan ekonomi
keluarga” yang disampaikan oleh istri-istri
mulia beliau saw. melalui Siti‘Aisyah r.a. dan Siti Hafsah r.a., serta
hubungannya dengan perintah Allah
Swt. agar orang-orang
beriman berusaha menyelamatkan diri
dan keluarga mereka dari “api
neraka” (QS.66:7).
Permintaan “perbaikan ekonomi keluarga” itulah yang tidak
disukai oleh Nabi Besar Muhammad saw.,
-- sebab para istri mulia beliau saw. merupakan Ummahatul- mukminin (ibu-ibu orang-orang
beriman – QS.33:7) -- sehingga dalam
memperlihatkan ketidak-sukaan tersebut Nabi Besar Muhammad saw. telah bersumpah
bahwa untuk sementara waktu akan
“menjauhi” semua istri beliau
saw. dari “tempat tidur” mereka, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ لِمَ
تُحَرِّمُ مَاۤ اَحَلَّ اللّٰہُ لَکَ ۚ تَبۡتَغِیۡ مَرۡضَاتَ
اَزۡوَاجِکَ ؕ وَ اللّٰہُ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ قَدۡ
فَرَضَ اللّٰہُ لَکُمۡ
تَحِلَّۃَ اَیۡمَانِکُمۡ ۚ وَ
اللّٰہُ مَوۡلٰىکُمۡ ۚ وَ ہُوَ
الۡعَلِیۡمُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ وَ اِذۡ
اَسَرَّ النَّبِیُّ اِلٰی بَعۡضِ
اَزۡوَاجِہٖ حَدِیۡثًا ۚ فَلَمَّا نَبَّاَتۡ بِہٖ وَ اَظۡہَرَہُ اللّٰہُ عَلَیۡہِ عَرَّفَ بَعۡضَہٗ وَ اَعۡرَضَ عَنۡۢ بَعۡضٍ ۚ فَلَمَّا
نَبَّاَہَا بِہٖ قَالَتۡ مَنۡ اَنۡۢبَاَکَ
ہٰذَا ؕ ﴿﴾ اِنۡ تَتُوۡبَاۤ
اِلَی اللّٰہِ فَقَدۡ صَغَتۡ
قُلُوۡبُکُمَا ۚ وَ اِنۡ تَظٰہَرَا
عَلَیۡہِ فَاِنَّ اللّٰہَ ہُوَ مَوۡلٰىہُ وَ جِبۡرِیۡلُ وَ صَالِحُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۚ وَ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ بَعۡدَ ذٰلِکَ ظَہِیۡرٌ ﴿﴾ عَسٰی رَبُّہٗۤ اِنۡ
طَلَّقَکُنَّ اَنۡ یُّبۡدِلَہٗۤ اَزۡوَاجًا خَیۡرًا مِّنۡکُنَّ مُسۡلِمٰتٍ مُّؤۡمِنٰتٍ قٰنِتٰتٍ تٰٓئِبٰتٍ
عٰبِدٰتٍ سٰٓئِحٰتٍ ثَیِّبٰتٍ وَّ
اَبۡکَارًا ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ
وَ اَہۡلِیۡکُمۡ نَارًا وَّ قُوۡدُہَا النَّاسُ وَ الۡحِجَارَۃُ عَلَیۡہَا مَلٰٓئِکَۃٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا یَعۡصُوۡنَ اللّٰہَ
مَاۤ اَمَرَہُمۡ وَ یَفۡعَلُوۡنَ مَا یُؤۡمَرُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَاۤ اَحَلَّ اللّٰہُ لَکَ ۚ تَبۡتَغِیۡ مَرۡضَاتَ
اَزۡوَاجِکَ ؕ وَ اللّٰہُ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ -- Hai Nabi,
mengapa engkau mengharamkan apa yang
Allāh telah menghalalkannya bagi engkau karena engkau mencari kesenangan istri-istri engkau? Dan Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh
Allah telah mewajibkan kepada kamu
membebaskan diri dari sumpah-sumpah kamu, dan Allah adalah Pelindung kamu, dan Dia Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana. وَ اِذۡ اَسَرَّ النَّبِیُّ اِلٰی
بَعۡضِ اَزۡوَاجِہٖ حَدِیۡثًا ۚ
فَلَمَّا نَبَّاَتۡ بِہٖ وَ اَظۡہَرَہُ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ عَرَّفَ
بَعۡضَہٗ وَ اَعۡرَضَ عَنۡۢ بَعۡضٍ -- dan
ketika Nabi menceritakan secara rahasia kepada salah seorang istri-istrinya, lalu tatkala istrinya
itu memberitahukannya kepada istri yang lain dan Allah menzahirkan hal itu kepadanya, dia, Rasulullah, memberi-tahukan
sebagian darinya kepada istrinya itu dan menyembunyikan sebagiannya. فَلَمَّا نَبَّاَہَا بِہٖ قَالَتۡ مَنۡ اَنۡۢبَاَکَ ہٰذَا -- maka tatkala dia memberitahukan hal itu kepada istrinya,
istrinya berkata: “Siapakah
memberitahukan kepada engkau perihal itu?” قَالَ
نَبَّاَنِیَ الۡعَلِیۡمُ الۡخَبِیۡرُ -- Nabi berkata: “Tuhan
Yang Maha Mengetahui, Maha Mengenal telah memberitahukannya
kepadaku.” اِنۡ
تَتُوۡبَاۤ اِلَی اللّٰہِ فَقَدۡ صَغَتۡ قُلُوۡبُکُمَا -- Jika kamu
berdua bertaubat kepada Allah maka sesungguhnya hati kamu berdua telah cenderung kepada-Nya, وَ اِنۡ تَظٰہَرَا عَلَیۡہِ فَاِنَّ اللّٰہَ ہُوَ مَوۡلٰىہُ وَ جِبۡرِیۡلُ وَ صَالِحُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۚ وَ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ بَعۡدَ ذٰلِکَ ظَہِیۡرٌ -- tetapi jika kamu
berdua saling mendukung terhadapnya maka se-sungguhnya Allah adalah Pelindung-nya, dan juga Jibril, orang-orang beriman yang saleh, dan sesudah itu malaikat
adalah pendukungnya. عَسٰی رَبُّہٗۤ اِنۡ
طَلَّقَکُنَّ اَنۡ یُّبۡدِلَہٗۤ اَزۡوَاجًا خَیۡرًا مِّنۡکُنَّ -- boleh jadi Rabb-nya (Tuhan-nya) jika
Nabi menceraikan kamu maka Dia akan
menggantikan baginya istri-istri yang lebih baik daripada kamu, مُسۡلِمٰتٍ
-- yang berserah diri, مُّؤۡمِنٰتٍ -- yang beriman, قٰنِتٰتٍ -- yang taat, تٰٓئِبٰتٍ -- yang bertaubat, عٰبِدٰتٍ -- yang
beribadah,
سٰٓئِحٰتٍ -- yang berpuasa,
ثَیِّبٰتٍ وَّ اَبۡکَارًا
-- yang janda dan yang perawan.” (At-Tahrīm [66]:1-8).
Penafsiran Keliru
Tentang “Pisah Ranjang”
Jadi,
firman Allah Swt. tersebut merupakan penjelasaan
dari firman-Nya sebelumnya mengenai hukuman
yang kedua yang dapat dilakukan suami
kepada istrinya yang “bersalah”
yaitu berupa “pisah ranjang”: فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ وَ
اضۡرِبُوۡہُنَّ
-- “maka nasihatilah
mereka, jauhilah mereka di tempat
tidur, dan pukullah mereka.” (QS.4:35).
Surah At-Tahrīm
ayat 2 sama sekali tidak ada hubungannya
dengan cerita fiktif yang dibuat-buat orang-orang yang berhati bengkok, bahwa -- guna menyenangkan istri-istri beliau maka
Nabi Besar Muhammad saw. bersumpah
untuk tidak lagi minum madu, sebagaimana penafsiran yang keliru mengenai ayat-ayat awal Surah At Tahrīm tersebut, sebab bagaimana
mungkin hanya karena “ulah” salah seorang istrinya kemudian
Nabi Besar Muhammad saw. telah bersumpah
untuk tidak lagi minum madu? Padahal dengan jelas Allah Swt. telah menyatakan
bahwa madu itu bukan saja merupakan minuman yang halal dan lezat tetapi
juga dalam madu terkandung penyembuh bagi berbagai penyakit manusia (QS.16:70).
Mengenai hikmah yang
terkandung dalam ayat-ayat Surah At
–Tahrim tersebut telah dijelaskan
secara terinci dalam Bab 87 dan beberapa
Bab selanjutnya.
Jadi, kembali kepada peringatan Allah Swt. kepada para kepala keluarga (suami) dalam firman-Nya berikut ini mengenai
pentingnya mewaspadai keberadaan “musuh”
dalam keluarganya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا لَّکُمۡ فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ وَ
اِنۡ تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ
تَغۡفِرُوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ فَاتَّقُوا اللّٰہَ
مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا
وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا
لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اِنۡ
تُقۡرِضُوا اللّٰہَ قَرۡضًا
حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ
لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ شَکُوۡرٌ حَلِیۡمٌ ﴿ۙ۱۷﴾ عٰلِمُ الۡغَیۡبِ
وَ الشَّہَادَۃِ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
﴿٪﴾
Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anak
kamu adalah musuh bagimu, maka waspadalah terhadap mereka, وَ اِنۡ
تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ
-- dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ -- Sesungguhnya
harta kamu dan anak-anakmu
adalah fitnah (ujian), dan Allah di sisi-Nya ganjaran yang besar. فَاتَّقُوا
اللّٰہَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ
اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا لِّاَنۡفُسِکُمۡ -- maka
bertakwalah kepada Allah sejauh kesanggupan
kamu, dan dengarlah serta taatlah, dan belanjakanlah harta kamu di jalan-Nya, hal itu baik bagi diri kamu.
وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ
فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ -- Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil.
اِنۡ تُقۡرِضُوا اللّٰہَ قَرۡضًا حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ شَکُوۡرٌ
حَلِیۡمٌ -- Jika kamu meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman
yang baik, niscaya Dia
akan melipat-gandakan bagimu dan akan
mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Menghargai, Maha Penyantun, عٰلِمُ الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- Dia Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak, Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. (At-Taghābun
[64]:15-19).
Sehubungan keberadaan “musuh” di lingkungan keluarga – berupa kecintaan berlebihan kepada istri
dan anak keturunan -- selanjutnya
Allah Swt. memperingatkan kepala keluarga
(suami) , firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لَا تُلۡہِکُمۡ
اَمۡوَالُکُمۡ وَ لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ
یَّفۡعَلۡ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ فَیَقُوۡلَ رَبِّ لَوۡ
لَاۤ اَخَّرۡتَنِیۡۤ اِلٰۤی
اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ فَاَصَّدَّقَ وَ
اَکُنۡ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَنۡ
یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang
beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ وَ
لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- janganlah
harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat
Allah, ۚ وَ مَنۡ
یَّفۡعَلۡ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ -- dan barangsiapa
berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi. وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ
مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ -- dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu
sebelum kematian menimpa sese-orang dari
antara kamu, فَیَقُوۡلَ رَبِّ لَوۡ لَاۤ اَخَّرۡتَنِیۡۤ اِلٰۤی
اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ -- lalu ia
berkata: Hai Rabb-ku (Tuhan-ku), seandainya Engkau
menangguhkan sebentar batas
waktuku, فَاَصَّدَّقَ
اَکُنۡ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ وَ -- dan tentu aku akan bersedekah dan menjadi termasuk orang-orang yang saleh.” وَ لَنۡ
یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ -- dan Allah
tidak pernah menangguhkan suatu
jiwa apabila batas waktunya telah
tiba, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (Al-Munafiquūn [10]:10-12).
Kecintaan kepada Keluarga Jangan Melalaikan Dzikir Ilahi
Allah
Swt. berfirman dalam Surah At-Taghābun ayat 15 sebelumnya mengenai keberadaan “musuh” dalam keluarga
yang harus diwaspadai yaitu “istri dan anak-keturunan”: یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا لَّکُمۡ فَاحۡذَرُوۡہُمۡ -- “Hai,
orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istri kamu
dan anak-anak kamu adalah musuh bagimu, maka waspadalah terhadap mereka.”
Tetapi
dalam ayat selanjutnya, sebutan istri-istri (azwāj) telah diganti dengan kata amwal (harta), sedang sebutan awlād
(anak-anak), hal tersebut mengisyaratkan bahwa -- sesuai dengan sabda Nabi Besar Muhammad
saw. – kedudukan istri bagi suami pun merupakan harta: اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ -- “Sesungguhnya harta
kamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian), dan Allah di
sisi-Nya ganjaran yang besar.”
Dengan demikian yang dimaksud dengan amwāl (harta kekayaan) yang dalam
firman-Nya: لَا تُلۡہِکُمۡ
اَمۡوَالُکُمۡ وَ لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- janganlah
harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat
Allah” (QS.63:10) termasuk di dalamnya istri,
sebagaimana firman-Nya berikut ini:
زُیِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّہَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَ الۡبَنِیۡنَ وَ الۡقَنَاطِیۡرِ
الۡمُقَنۡطَرَۃِ مِنَ الذَّہَبِ وَ الۡفِضَّۃِ وَ الۡخَیۡلِ الۡمُسَوَّمَۃِ وَ
الۡاَنۡعَامِ وَ الۡحَرۡثِ ؕ ذٰلِکَ مَتَاعُ
الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۚ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الۡمَاٰبِ ﴿﴾
Ditampakkan indah bagi manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini
yaitu: مِنَ النِّسَآءِ -- perempuan-perempuan, anak-anak,
kekayaan yang berlimpah berupa emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Yang demikian itu adalah perlengkapan hidup di dunia, dan Allah, di sisi-Nya-lah sebaik-baik tempat kembali. (Ali-Imran [3]:15).
Begitu juga seperti halnya dalam Surah Al-Taghābun
ayat
15, setelah menyinggung istri
dan anak keturunan selanjutnya Allah Swt. berfirman وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ -- “dan Allah
di sisi-Nya ganjaran yang besar,” demikian pula dalam Surah Ali ‘Imran ayat 15, setelah menyinggung
masalah kecintaan terhadap perempuan (istri), anak
keturunan dan harta kekayaan,
selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُلۡ اَؤُنَبِّئُکُمۡ بِخَیۡرٍ مِّنۡ ذٰلِکُمۡ ؕ
لِلَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا عِنۡدَ رَبِّہِمۡ جَنّٰتٌ
تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا وَ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ وَّ رِضۡوَانٌ مِّنَ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ بَصِیۡرٌۢ بِالۡعِبَادِ ﴿ۚ﴾
Katakanlah:
“Maukah kamu aku beri tahu sesuatu yang
lebih baik daripada yang demikian itu?” لِلَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا عِنۡدَ رَبِّہِمۡ
جَنّٰتٌ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ
خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا -- bagi orang-orang yang bertakwa, di sisi Rabb
(Tuhan) mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya, وَ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ -- jodoh-jodoh
suci, وَّ رِضۡوَانٌ مِّنَ
اللّٰہِ -- dan keridhaan
dari Allah, وَ اللّٰہُ
بَصِیۡرٌۢ بِالۡعِبَادِ -- dan Allah
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali ‘Imran [3]:16).
Jadi,
kembali kepada firman-Nya dalam Surah Al-Munāfiqūn ayat
10: “Hai orang-orang yang
beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ وَ
لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- janganlah harta
kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ
ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡخٰسِرُوۡنَ -- dan barangsiapa berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi,” jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan peringatan Allah Swt.
tersebut tertuju kepada setiap kepala
keluarga (suami) agar kecintaan
mereka terhadap keluarga (anak-istri)
jangan melampaui batas, sehingga mereka melupakan kewajiban melaksanakan syariat (hukum-hukum agama), yang dalam ayat
tersebut dikatakan sebagai “lalai dari mengingat Allah Swt.”: لَا تُلۡہِکُمۡ
اَمۡوَالُکُمۡ وَ لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- “janganlah
harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat
Allah.”
Selanjutnya Allah Swt. menasihati para kepala keluarga (suami) tersebut: وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ -- dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu
sebelum kematian menimpa seseorang dari
antara kamu, (Al-Munafiquūn [10]:11).
Perbuatan Syirik
Karena Berlebihan Mencintai Keluarga
Walau pun benar bahwa memenuhi kebutuhan keluarga (anak-istri) pun
merupakan bagian dari kewajiban syariat
orang-orang yang beriman, tetapi hal
tersebut jangan sampai menghalangi
para suami (kepala keluarga) untuk memenuhi
kewajiban pengorbanan harta lainnya di jalan
Allah Swt. seperti zakat, shadaqah dan lain-lain, termasuk berbuat ihsan
terhadap kedua orang tua, saudara-saudara serta karib-kerabat
dan sebagainya.
Kenapa
demikian? Sebab kecintaan berlebihan
terhadap keluarga (anak-istri) -- sehingga melupakan dzikr Ilahi (mengingat Allah)
-- termasuk ke dalam perbuatan syirik
(kemusyrikan) pula, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ
خَلَقَکُمۡ مِّنۡ نَّفۡسٍ وَّاحِدَۃٍ وَّ جَعَلَ مِنۡہَا زَوۡجَہَا لِیَسۡکُنَ اِلَیۡہَا ۚ فَلَمَّا تَغَشّٰہَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِیۡفًا فَمَرَّتۡ بِہٖ ۚ فَلَمَّاۤ اَثۡقَلَتۡ دَّعَوَا اللّٰہَ رَبَّہُمَا لَئِنۡ اٰتَیۡتَنَا صَالِحًا لَّنَکُوۡنَنَّ مِنَ الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّاۤ اٰتٰہُمَا
صَالِحًا
جَعَلَا لَہٗ شُرَکَآءَ فِیۡمَاۤ اٰتٰہُمَا ۚ فَتَعٰلَی اللّٰہُ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
اَیُشۡرِکُوۡنَ مَا لَا یَخۡلُقُ شَیۡئًا وَّ ہُمۡ یُخۡلَقُوۡنَ ﴿﴾۫ۖ وَ لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ لَہُمۡ نَصۡرًا وَّ لَاۤ اَنۡفُسَہُمۡ یَنۡصُرُوۡنَ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah menciptakan
kamu dari satu jiwa dan darinya Dia menjadikan pasangannya supaya ia mendapat ketenteraman padanya, maka tatkala digaulinya ia me-ngandung
suatu kandungan yang ringan, lalu ia berjalan kian kemari dengan kandungan itu, maka tatkala kandungannya
berat keduanya
ber-doa kepada Allah, Rabb (Tuhan) mereka berdua: لَئِنۡ
اٰتَیۡتَنَا صَالِحًا لَّنَکُوۡنَنَّ مِنَ الشّٰکِرِیۡنَ -- seandainya Engkau benar-benar memberi kami seorang anak yang shalih yakni sempurna niscaya
kami akan menjadi di antara
orang-orang yang bersyukur.” فَلَمَّاۤ
اٰتٰہُمَا
صَالِحًا جَعَلَا لَہٗ شُرَکَآءَ فِیۡمَاۤ اٰتٰہُمَا -- tetapi tatkala Dia meng-anugerahkan kepada kedua mereka itu seorang anak yang sehat
lalu keduanya menjadikan
sekutu-sekutu bagi-Nya berkenaan dengan apa yang telah dianugerahkan-Nya kepada kedua mereka itu. فَتَعٰلَی اللّٰہُ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ -- Mahaluhur
Allah jauh di atas apa yang mereka persekutukan. اَیُشۡرِکُوۡنَ مَا
لَا یَخۡلُقُ شَیۡئًا وَّ ہُمۡ یُخۡلَقُوۡنَ -- apakah mereka mempersekutukan Allah dengan apa yang tidak menciptakan sesuatu pun dan bahkan mereka itulah yang diciptakan? (Al-A’rāf [7]:190-192).
Makna kata “anak yang shalih” dalam ayat
لَئِنۡ اٰتَیۡتَنَا صَالِحًا لَّنَکُوۡنَنَّ مِنَ الشّٰکِرِیۡنَ -- “seandainya Engkau benar-benar memberi kami seorang anak yang shalih yakni sempurna niscaya
kami akan menjadi di antara
orang-orang yang bersyukur,” arti shalih
tersebut adalah bayi
yang sempurna keadaan pisiknya ketika dilahirkan.
Berbagai Jenis Perbuatan “Syirik”
Dalam Keluarga & Pentingnya Berbuat Ihsan
Teehadap Kedua Orang Tua
Tetapi ketika doa pasangan suami-istri
tersebut dikabulkan Allah Swt.
kemudian mereka melakukan “kemusyrikan”
terhadap Allah Swt. berkenaan anak
mereka itu, firman-Nya: فَلَمَّاۤ اٰتٰہُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَہٗ شُرَکَآءَ فِیۡمَاۤ اٰتٰہُمَا
-- tetapi tatkala Dia menganugerahkan kepada kedua mereka itu seorang anak yang sehat
lalu keduanya menjadikan
sekutu-sekutu bagi-Nya berkenaan dengan apa yang telah dianugerahkan-Nya kepada kedua mereka itu.”
Ada pun makna “menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya” antara lain maksudnya adalah:
1.
Kedua
orangtuanya berlebih-lebihan dalam mencintai
anak mereka, sehingga membuat si anak
menjadi lepas kontrol dalam pertumbuhan jiwanya karena terlalu dimanja.
2.
Keduanya bukannya
bersyukur kepada Allah Swt., tetapi
melakukan berbagai bentuk “kemusyrikan”
berkenaan dengan anak-kesayangannya
tersebut, antara lain melupakan
pendidikan akhlak dan ruhaninya dengan ajaran agama yang benar, tetapi hanya mempersiapkannya dengan berbagai pendidikan duniawi supaya dapart meraih berbagai keberhasilan duniawi.
Dalam Surah lain Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai
larangan melakukan syirik
(kemusyrikan) dan berbagai hal yang dilarang
serta yang diperintahkan Allah Swt.
dalam agama Islam (Al-Quran):
قُلۡ
تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّکُمۡ
عَلَیۡکُمۡ اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ
شَیۡئًا وَّ بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَکُمۡ مِّنۡ
اِمۡلَاقٍ ؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُکُمۡ
وَ اِیَّاہُمۡ ۚ وَ لَا تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَہَرَ مِنۡہَا وَ مَا بَطَنَ ۚ وَ لَا تَقۡتُلُوا
النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ
اِلَّا بِالۡحَقِّ ؕ ذٰلِکُمۡ وَصّٰکُمۡ بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ ۚ وَ اَوۡفُوا
الۡکَیۡلَ وَ الۡمِیۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ ۚ لَا نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا
ۚ وَ اِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَ لَوۡ کَانَ ذَا قُرۡبٰی ۚ وَ بِعَہۡدِ
اللّٰہِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰلِکُمۡ وَصّٰکُمۡ
بِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ۙ وَ اَنَّ ہٰذَا صِرَاطِیۡ مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ
ۚ وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِکُمۡ عَنۡ
سَبِیۡلِہٖ ؕ ذٰلِکُمۡ وَصّٰکُمۡ بِہٖ
لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿﴾
Katakan:
“Marilah aku bacakan apa yang diharamkan
Rabb (Tuhan) kamu atasmu yaitu: اَلَّا تُشۡرِکُوۡا بِہٖ شَیۡئًا وَّ
بِالۡوَالِدَیۡنِ اِحۡسَانًا -- Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya, dan berbuat
ihsanlah terhadap kedua orang-tua, janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin, Kami-lah Yang
memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka, dan jangan kamu mendekati perbuatan keji, baik itu yang zahir ataupun yang tersembunyi, وَ لَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِیۡ حَرَّمَ اللّٰہُ اِلَّا بِالۡحَقِّ -- janganlah
kamu membunuh suatu jiwa yang Allah
mengharamkan untuk membunuhnya kecuali dengan haq. Demikianlah Dia
telah memerintahkan kepada kamu mengenai hal itu supaya kamu mengerti. وَ لَا تَقۡرَبُوۡا
مَالَ الۡیَتِیۡمِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ -- dan janganlah
kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik hingga ia mencapai kedewasaannya. Dan penuhilah
sukatan dan timbangan dengan adil,
لَا
نُکَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا -- Kami
tidak membebani suatu jiwa melainkan
menurut kemampuannya. Dan apabila kamu berkata maka hendaklah
berlaku adil walau pun itu terhadap kerabat, وَ بِعَہۡدِ اللّٰہِ اَوۡفُوۡا -- dan sempurnakanlah
janji dengan Allah. Demikianlah
Dia telah memerintahkan mengenai hal itu
kepada kamu supaya kamu ingat.” وَ
اَنَّ ہٰذَا صِرَاطِیۡ
مُسۡتَقِیۡمًا فَاتَّبِعُوۡہُ -- dan katakanlah: ”Inilah jalan-Ku yang lurus
maka ikutilah jalan ini, وَ لَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِکُمۡ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ -- dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Demikianlah Dia telah memerintahkan mengenai hal itu kepada kamu supaya kamu
bertakwa.” (Al-An’ām [6]:152-154). Lihat pula QS.17:24-40.
Kedudukan Mulia Kedua Orang Tua Setelah Allah Swt.
Dalam berbagai tempat Allah Swt. selalu
menempatkan urutan larangan melakukan
syirik (kemusyrikan) dengan perintah berlaku baik terhadap kedua orang tua, sebab dari antara seluruh
manusia – kecuali para Rasul Allah –
orang-orang yang secara alami memperagakan Sifat-sifat
Allah Swt. dalam memelihara
makhluknya adalah sikap kedua orang tua
terhadap anak-anak mereka
(QS.31:13-16).
Oleh karena
itu alangkah malangnya
nasib kepala keluarga (suami) yang karena terlalu mencintai istri dan anak-anaknya,
sehingga membuat mereka lalai
dari dzikr
Ilahi dan melalaikan kewajiban
mereka pengkhidmatan mereka terhadap kedua orangtuanya (QS.17:24-25).
Jadi, kembali kepada firman-Nya dalam
Surah Al-Munafiqūn ayat
10: “Hai orang-orang yang
beriman, لَا تُلۡہِکُمۡ اَمۡوَالُکُمۡ وَ
لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ -- janganlah harta
kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu dari mengingat Allah, ۚ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡ
ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡخٰسِرُوۡنَ -- dan barangsiapa berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi,” jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan peringatan Allah Swt.
tersebut tertuju kepada setiap kepala
keluarga (suami) agar kecintaan
mereka terhadap keluarga (anak-istri)
jangan melampaui batas sehingga
mereka melupakan kewajiban
melaksanakan syariat (hukum-hukum agama),
yang dalam ayat tersebut dikatakan
sebagai “lalai dari mengingat
Allah Swt.”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 4 September
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar