Minggu, 14 September 2014

Lingkungan "Rumahtangga" (Keluarga) Merupakan "Medan Jihad" Utama bagi Pasangan Suami-istri




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   318

   Lingkungan  Rumahtangga  (Keluarga) Merupakan “Medan Jihad” Utama bagi Pasangan Suami-istri   

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai lebih mulianya kedudukan istri atau pun suami  daripada kedudukan sahabat karib, selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada orang-orang yang  beriman  agar  mereka benar-benar mengutamakan persamaan iman atau agama dalam melakukan pernikahan:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا لَا تَتَوَلَّوۡا قَوۡمًا غَضِبَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِمۡ  قَدۡ یَئِسُوۡا مِنَ الۡاٰخِرَۃِ کَمَا یَئِسَ الۡکُفَّارُ  مِنۡ اَصۡحٰبِ  الۡقُبُوۡرِ ﴿٪﴾
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan sebagai sahabat kaum yang  Allah  murka atas mereka, sesungguhnya mereka telah berputus-asa mengenai akhirat sebagaimana orang-orang kafir telah berputus-asa mengenai orang-orang yang ada di dalam kubur (Al-Mumtahanah [60]:14).
        Kata-kata sesungguhnya mereka telah berputus asa mengenai alam ukhrawi, berarti bahwa mereka tidak beriman kepada alam ukhrawi seperti halnya mereka tidak percaya bahwa orang mati akan dibangkitkan kembali. Kata “mereka” dapat secara khusus dikenakan kepada orang-orang Yahudi karena ungkapan, yang Allah telah murka atas mereka, telah dipakai mengenai orang-orang Yahudi atau Ahli Kitab dalam beberapa ayat Al-Quran (QS.1:7; QS.2:62 & 91; QS.3:113; QS.5:61 & 79). Dengan demikian benarlah firman-Nya sebelum ini:
وَ لَا تَنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکٰتِ حَتّٰی یُؤۡمِنَّ ؕ وَ لَاَمَۃٌ مُّؤۡمِنَۃٌ  خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکَۃٍ  وَّ لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ ۚ وَ لَا تُنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکِیۡنَ حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا ؕ وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ  اِلَی النَّارِ ۚۖ وَ اللّٰہُ  یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ الۡمَغۡفِرَۃِ  بِاِذۡنِہٖ ۚ وَ یُبَیِّنُ  اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ  یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan  janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik حَتّٰی یُؤۡمِنَّ -- hingga mereka terlebih  dulu beriman, لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ  وَ لَاَمَۃٌ مُّؤۡمِنَۃٌ  خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکَۃٍ  وَّ --  dan niscaya  hamba-sahaya perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia mempesona hati kamu. Dan janganlah kamu menikahkan perem-puan yang beriman dengan laki-laki musyrik  حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا  --  hingga mereka terlebih dulu  beriman,  وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ   -- dan niscaya  hamba-sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun ia mempesona hati kamu.  اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ  اِلَی النَّارِ  --   mereka mengajak ke dalam Api, وَ اللّٰہُ  یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ الۡمَغۡفِرَۃِ  بِاِذۡنِہٖ  -- sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. وَ یُبَیِّنُ  اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ  یَتَذَکَّرُوۡنَ  -- Dan Dia menjelaskan Tanda-tanda-Nya kepada manusia supaya mereka  mendapat nasihat. (Al-Baqarah [2]:222).

Lingkungan “Rumahtangga” (Keluarga) Merupakan “Medan Jihad” Bagi  Pasangan Suami-istri   

      Mengenai pentingnya  penikahan, masalah tersebut telah dibahas dengan sangat terinci dalam Al-Quran,  mulai dari tujuan pernikahan, landasan pokok yang harus mendasari pernikahan pasangan suami-istri – yaitu pentingnya   persamaan iman (agama), pembayaran mahar (maskawin)  serta berbagai aturan (hukum) mengenai berbagai problema yang mungkin timbul setelah melakukan pernikahan, seperti pisah sementara, masalah talak, masalah rujuk, masalah menyusui anak dan sebagainya.
         Masalah pernikahan  berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw. dan  para istri mulia beliau saw. telah dijelaskan secara terinci dalam beberapa Bab sebelumnya (Bab 87  sd Bab  92 & Bab 97 sd Bab 102), karena pada  hakikatnya “medan jihad  yang sebenarnya bagi laki-laki dan perempuan  yang menyatakan beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya – terutama Nabi Besar Muhammad saw. – adalah “lingkungan rumahtangga” (keluarga) yang mereka bangun melalui ikatan tali pernikahan. Dan  dalam masalah tersebut Allah Swt. telah menjadikan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “suri teladan terbaik” (QS.33:22).
           Mengapa “medan jihad  yang sebenarnya bagi laki-laki dan perempuan   yang menyatakan beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya – terutama Nabi Besar Muhammad saw. – adalah “lingkungan rumahtangga” (keluarga) yang mereka bangun melalui ikatan tali pernikahan? Sebab pembahasan masalah peragaan ketinggian akhlak Islam, masalah ketakwaan   dan  mukjizat pun   dijelaskan Allah Swt. dalam kaitannya dengan pembahasan masalah pernikahan (Ath-Thalaq [65]: 1-8), sebagaimana telah diperagakan secara sempurna oleh Nabi Besar Muhammad saw..
      Itulah sebabnya beliau saw. telah bersabda kepada para sahabah r.a.:   Khairukum khairukum li ahlihi, wa ana khairukum li ahli   -- sebaik-baik kalian, adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan sesungguhnya aku adalah yang terbaik kepada keluargaku.”   
         Bahwa  tatanan “keluarga” yang dibangun oleh pasangan suami-istri melalui ikatan tali pernikahan  merupakan “medan jihad” utama yang harus dihadapi oleh pasangan suami istri tersebut dalam upaya memperagakan ketakwaan kepada Allah Swt.  dan memperagakan akhlak Islami  sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.,  Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا  لَّکُمۡ   فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ  وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾  فَاتَّقُوا اللّٰہَ  مَا  اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا  لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Hai  orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kamu dan anak-anakmu adalah musuh bagi kamu, maka waspadalah terhadap mereka, وَ  اِنۡ  تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا  فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ  -- dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  اِنَّمَاۤ  اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ  فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عِنۡدَہٗۤ   اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ  -- sesungguhnya  harta kamu dan  anak-anak kamu adalah fitnah (ujian). Dan Allah, di sisi-Nya ganjaran yang besar.   فَاتَّقُوا اللّٰہَ  مَا  اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا  لِّاَنۡفُسِکُمۡ --  maka bertakwalah kepada Allah sejauh kesanggupan kamu, dan dengarlah serta taatlah, dan belanjakanlah hartamu, hal itu baik bagi diri kamu. وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ  -- Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil. (At-Taghābun [64]:15-17).

Pasangan Suami-istri  Merupakan Cikal-bakal Munculnya Suatu Bangsa

       Jika pasangan suami-istri melandasi penikahan yang mereka  lakukan  benar-benar berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka, insya Allah, tidak akan terjadi kasus KDRT (kekerasan dalam rumahtangga) mau pun perselingkuhan dan lain-lain, sebab segala  “masalah” yang  mungkin terjadi dalam “rumahtangga” akan mereka selesaikan dengan cara-cara yang tidak menodai ketakwaan kepada Allah Swt. dan melanggar akhlak Islami yang luhur, sehingga kalau pun terpaksa terjadi juga “perceraian”  tidak akan sampai timbul “permusuhan   atau pemutusan “tali silaturahmi”, baik di antara keduanya mau pun   keluarga besar mereka, sehingga tujuan mulia  dari   pernikahan  menurut Islam (Al-Quran) – yakni  menciptakan “kesatuan dan persatuan umat” tetap akan terjaga dengan baik.
       Berikut  firman-Nya mengenai peran pasangan suami-istri dalam membentuk suatu “keluarga besar  berupa  syu’ūb dan qabilah (bangsa-bangsa):   
     یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ  اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ  مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿﴾
Hai manusia, اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ  مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی   -- sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,   وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ -- dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  لِتَعَارَفُوۡا    -- supaya kamu dapat saling mengenal.  اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ    -- sesungguhnya  yang paling mulia  di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.  اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ  -- Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
       Syu’ub itu jamak dari sya’b, yang berarti: suku bangsa besar;  induk suku-suku bangsa disebut qabilah, tempat mereka berasal dan yang meliputi mereka; suku bangsa (Lexicon Lane).
   Suami mau pun istri  dari suatu pasangan suami-istri pasti berasal dari suatu keluarga yang berbeda, dan keluarga-keluarga pasangan suami istri tersebut merupakan bagian dari “keluarga-besar” mereka, yang merupakan bagian dari  syu’ub (suku bangsa) dan qabilah (induk suku bangsa).

Magna Charta” (Piagam Persaudaraan dan Persamaan Umat Manusia)  

   Jadi, betapa lembaga pernikahan tersebut  merupakan sarana yang dapat mempersatukan “keluarga besar” yang berbeda    -- bahkan suku bangsa (syu’ub) dan induk suku bangsa (qabilah)   -- atau sebaliknya,  akan menimbulkan perpecahan dan peperangan di antara mereka.
   Atas dasar itulah Allah Swt. dalam Al-Quran telah menjelaskan secara terinci masalah penikahan dan segala sesuatu yang ada sangkut-pautnya (hubungannya) dengan pernikahan, dan di akhir  firman-Nya tersebut telah menekankan masalah pokok yang harus dihasilkan dari pernikahan tersebut yaitu tetap memperagakan  ketakwaan kepada Allah Swt., firman-Nya: اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ    -- sesungguhnya  yang paling mulia  di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.”  
      Sesudah membahas masalah persaudaraan dalam Islam  (QS.49:11-13) pada tiga  ayat sebelumnya, ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya, ayat ini merupakan Magna Charta- piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia.
    Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia, semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt.
   Menurut Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut bahwa harga seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban kepada Allah  Swt. dan manusia, yakni melaksanakan haququllah dan haququl ‘ibad, yang merupakan dua kegiatan pokok pengamalan  agama secara vertical dan horizontal.
   Menurut Allah Swt.,  seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada    لِتَعَارَفُوۡا    -- supaya kamu dapat saling mengenal”, yakni   mereka saling pengertian yang lebih baik, terhadap satu-sama lain agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing.
    Pada peristiwa Haj terakhir di Mekkah, tidak lama sebelum Nabi Besar Muhammad saw.   wafat, beliau saw.  khutbah di hadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan:
 Wahai sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak-bapakmu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Allah dan manusia. اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ   -- orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
     Sabda agung Nabi Besar Muhammad saw. ini menyimpulkan cita-cita paling luhur dan asas-asas paling kuat. Di tengah suatu masyarakat yang terpecah-belah dalam kelas-kelas yang berbeda itulah Nabi Besar Muhammad saw.   mengajarkan asas yang sangat demokratis.

Perubahan “Kiblat” Pemahaman  dan Pengamalan Berupa “Revolusi Akhlak dan Ruhani” Terbesar Melalui Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw.

  Sekalian orang Muslim merupakan bagian tidak terpisahkan dari persaudaraan dalam Islam (QS.49:11) Islam memberikan hak sama kepada putra-putra padang pasir buta huruf dan biadab, seperti halnya kepada penduduk kota kecil mau pun kota besar yang beradab dan berbudaya; hanya oleh Islam dianjurkan kepada mereka yang disebut pertama, agar mereka berusaha lebih keras untuk belajar dan meresapkan ke dalam dirinya ajaran Islam dan membuat ajaran-ajaran itu menjadi pedoman hidup mereka, itulah makna lain: لِتَعَارَفُوۡا    -- “supaya kamu dapat saling mengenal.
     Sejarah menjadi saksi bahwa melalui suri teladan terbaik yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22), hanya dalam waktu 23 tahun saja bangsa Arab jahiliyah yang berada dalam “kesesatan yang nyata” (QS.62:3-4) telah berubah menjadi “umat terbaik” (QS.2:144; QS.3:111), melalui  perubahan “kiblat” pemahaman dan pengamalan  yang diajarkan  dan dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ  اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً  اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ  ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan demikianlah  Kami menjadikan kamu  اُمَّۃً وَّسَطًا  -- satu umat yang mulia,  لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ    -- supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia,  وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا   -- dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga  kamu. وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ  اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ  -- Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan  kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya. وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً  اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ    --   dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.  وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ  -- dan Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah [2]:144).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  25 Agustus     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar