بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah
Ruhani Surah Shād
Bab 318
Lingkungan Rumahtangga
(Keluarga) Merupakan “Medan Jihad” Utama bagi Pasangan Suami-istri
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai lebih mulianya kedudukan istri
atau pun suami daripada kedudukan sahabat karib,
selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada orang-orang
yang beriman agar
mereka benar-benar mengutamakan persamaan
iman atau agama dalam melakukan pernikahan:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لَا تَتَوَلَّوۡا قَوۡمًا غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ
قَدۡ یَئِسُوۡا مِنَ الۡاٰخِرَۃِ کَمَا یَئِسَ الۡکُفَّارُ مِنۡ اَصۡحٰبِ
الۡقُبُوۡرِ ﴿٪﴾
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan sebagai sahabat kaum yang Allah murka atas mereka, sesungguhnya mereka telah berputus-asa mengenai akhirat
sebagaimana orang-orang kafir
telah berputus-asa mengenai orang-orang
yang ada di dalam kubur (Al-Mumtahanah [60]:14).
Kata-kata sesungguhnya mereka telah
berputus asa mengenai alam ukhrawi, berarti bahwa mereka tidak beriman kepada alam ukhrawi seperti halnya mereka tidak percaya bahwa orang mati akan dibangkitkan kembali.
Kata “mereka” dapat secara khusus dikenakan kepada orang-orang Yahudi karena ungkapan, yang Allah telah murka atas
mereka, telah dipakai mengenai orang-orang
Yahudi atau Ahli Kitab dalam
beberapa ayat Al-Quran (QS.1:7; QS.2:62 & 91; QS.3:113; QS.5:61 & 79).
Dengan demikian benarlah firman-Nya sebelum ini:
وَ لَا
تَنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکٰتِ حَتّٰی یُؤۡمِنَّ ؕ وَ لَاَمَۃٌ مُّؤۡمِنَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکَۃٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ
ۚ وَ لَا تُنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکِیۡنَ حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا ؕ وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ
خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ ۚۖ وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ ۚ وَ
یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ
لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik حَتّٰی یُؤۡمِنَّ -- hingga
mereka terlebih dulu beriman, لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ
وَ لَاَمَۃٌ
مُّؤۡمِنَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ
مُّشۡرِکَۃٍ وَّ -- dan niscaya
hamba-sahaya perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia mempesona hati kamu. Dan janganlah kamu menikahkan perem-puan
yang beriman dengan laki-laki
musyrik حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا -- hingga
mereka terlebih dulu beriman,
وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَیۡرٌ مِّنۡ
مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ
-- dan niscaya hamba-sahaya laki-laki yang beriman lebih
baik daripada laki-laki musyrik,
meskipun ia mempesona hati kamu. اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ
-- mereka mengajak
ke dalam Api, وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ -- sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. وَ یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ
-- Dan Dia menjelaskan Tanda-tanda-Nya kepada manusia supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Baqarah [2]:222).
Lingkungan “Rumahtangga”
(Keluarga) Merupakan “Medan Jihad” Bagi
Pasangan Suami-istri
Mengenai pentingnya penikahan,
masalah tersebut telah dibahas dengan sangat terinci dalam Al-Quran, mulai dari tujuan pernikahan, landasan pokok yang harus mendasari pernikahan pasangan suami-istri – yaitu pentingnya persamaan
iman (agama), pembayaran mahar (maskawin) serta berbagai aturan (hukum) mengenai berbagai problema yang mungkin timbul setelah melakukan pernikahan, seperti pisah sementara, masalah talak, masalah rujuk,
masalah menyusui anak dan sebagainya.
Masalah pernikahan berkenaan dengan
Nabi Besar Muhammad saw. dan para istri mulia beliau saw. telah dijelaskan
secara terinci dalam beberapa Bab sebelumnya (Bab 87 sd Bab
92 & Bab 97 sd Bab 102), karena pada
hakikatnya “medan jihad” yang sebenarnya bagi laki-laki dan perempuan yang menyatakan beriman kepada Allah Swt.
dan Rasul-Nya – terutama Nabi Besar
Muhammad saw. – adalah “lingkungan
rumahtangga” (keluarga) yang mereka bangun melalui ikatan tali
pernikahan. Dan dalam masalah
tersebut Allah Swt. telah menjadikan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “suri teladan terbaik” (QS.33:22).
Mengapa “medan jihad” yang sebenarnya
bagi laki-laki dan perempuan yang menyatakan beriman kepada Allah Swt.
dan Rasul-Nya – terutama Nabi Besar
Muhammad saw. – adalah “lingkungan rumahtangga” (keluarga) yang mereka bangun melalui ikatan tali pernikahan? Sebab pembahasan masalah peragaan ketinggian akhlak Islam, masalah ketakwaan dan mukjizat pun dijelaskan Allah Swt. dalam kaitannya dengan
pembahasan masalah pernikahan
(Ath-Thalaq [65]: 1-8), sebagaimana telah diperagakan
secara sempurna oleh Nabi Besar Muhammad saw..
Itulah sebabnya beliau saw. telah
bersabda kepada para sahabah r.a.: “Khairukum khairukum li ahlihi, wa ana
khairukum li ahli -- sebaik-baik
kalian, adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan sesungguhnya aku adalah
yang terbaik kepada keluargaku.”
Bahwa tatanan “keluarga” yang dibangun oleh pasangan suami-istri melalui ikatan tali pernikahan merupakan “medan
jihad” utama yang harus dihadapi oleh pasangan suami istri tersebut dalam upaya memperagakan ketakwaan kepada Allah Swt. dan
memperagakan akhlak Islami sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw., Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا لَّکُمۡ
فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ وَ اِنۡ
تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَاۤ
اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ
فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ
عِنۡدَہٗۤ اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ فَاتَّقُوا اللّٰہَ
مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا
وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا
لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya di antara
istri-istri kamu dan anak-anakmu
adalah musuh bagi kamu, maka waspadalah terhadap mereka, وَ اِنۡ
تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ
-- dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ -- sesungguhnya harta
kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (ujian). Dan Allah, di sisi-Nya ganjaran yang besar. فَاتَّقُوا
اللّٰہَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا وَ اَطِیۡعُوۡا وَ
اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا لِّاَنۡفُسِکُمۡ -- maka bertakwalah
kepada Allah sejauh kesanggupan
kamu, dan dengarlah serta taatlah, dan belanjakanlah hartamu, hal itu baik bagi diri kamu. وَ مَنۡ یُّوۡقَ
شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُفۡلِحُوۡنَ -- Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil. (At-Taghābun [64]:15-17).
Pasangan Suami-istri Merupakan Cikal-bakal Munculnya
Suatu Bangsa
Jika pasangan suami-istri melandasi penikahan
yang mereka lakukan benar-benar berdasarkan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah Swt. dan ketaatan kepada
Nabi Besar Muhammad saw. maka, insya
Allah, tidak akan terjadi kasus KDRT (kekerasan
dalam rumahtangga) mau pun perselingkuhan
dan lain-lain, sebab segala “masalah”
yang mungkin terjadi dalam “rumahtangga”
akan mereka selesaikan dengan cara-cara
yang tidak menodai ketakwaan kepada
Allah Swt. dan melanggar akhlak Islami yang
luhur, sehingga kalau pun terpaksa
terjadi juga “perceraian” tidak akan sampai timbul “permusuhan” atau pemutusan “tali silaturahmi”, baik di antara keduanya mau pun keluarga besar mereka, sehingga tujuan mulia dari pernikahan menurut Islam
(Al-Quran) – yakni menciptakan “kesatuan dan persatuan umat” tetap akan terjaga
dengan baik.
Berikut firman-Nya mengenai peran pasangan suami-istri
dalam membentuk suatu “keluarga besar” berupa
syu’ūb dan qabilah (bangsa-bangsa):
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ
اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ
وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ
اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ
﴿﴾
Hai manusia, اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ
وَّ اُنۡثٰی -- sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ
--
dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku لِتَعَارَفُوۡا -- supaya kamu dapat saling mengenal. اِنَّ
اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ -- sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah yang paling
bertakwa di antara kamu. اِنَّ اللّٰہَ
عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ -- Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
Syu’ub itu jamak dari sya’b, yang berarti: suku
bangsa besar; induk suku-suku bangsa
disebut qabilah, tempat mereka berasal dan yang meliputi mereka; suku
bangsa (Lexicon Lane).
Suami mau pun istri dari suatu pasangan
suami-istri pasti berasal dari suatu keluarga
yang berbeda, dan keluarga-keluarga pasangan suami istri tersebut merupakan bagian dari “keluarga-besar” mereka,
yang merupakan bagian dari syu’ub (suku bangsa) dan qabilah (induk suku bangsa).
“Magna Charta” (Piagam Persaudaraan dan Persamaan Umat Manusia)
Jadi, betapa lembaga pernikahan
tersebut merupakan sarana yang dapat mempersatukan
“keluarga besar” yang berbeda -- bahkan suku bangsa (syu’ub) dan induk suku
bangsa (qabilah) -- atau
sebaliknya, akan menimbulkan perpecahan dan peperangan di antara mereka.
Atas dasar itulah Allah Swt. dalam Al-Quran telah menjelaskan secara
terinci masalah penikahan dan segala
sesuatu yang ada sangkut-pautnya (hubungannya) dengan pernikahan, dan di akhir
firman-Nya tersebut telah menekankan masalah pokok yang harus dihasilkan
dari pernikahan tersebut yaitu tetap
memperagakan ketakwaan kepada Allah Swt., firman-Nya: اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ
عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ -- sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.”
Sesudah membahas masalah persaudaraan dalam Islam (QS.49:11-13) pada tiga ayat sebelumnya, ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan
meliputi seluruh umat manusia. Pada
hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna
Charta” - piagam persaudaraan
dan persamaan umat manusia.
Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu lagi bodoh, yang lahir
dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari
jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia, semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt.
Menurut Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut
bahwa harga seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta miliknya,
oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan
akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban
kepada Allah Swt. dan manusia, yakni melaksanakan haququllah dan haququl ‘ibad, yang merupakan dua
kegiatan pokok pengamalan agama secara vertical dan horizontal.
Menurut Allah Swt., seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga
belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada لِتَعَارَفُوۡا -- supaya kamu dapat saling
mengenal”, yakni mereka saling pengertian yang lebih baik, terhadap
satu-sama lain agar mereka dapat saling
mengambil manfaat dari kepribadian
serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa
itu masing-masing.
Pada peristiwa Haj terakhir di Mekkah,
tidak lama sebelum Nabi Besar Muhammad saw. wafat,
beliau saw. khutbah di hadapan sejumlah
besar orang-orang Muslim dengan
mengatakan:
“Wahai
sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak-bapakmu satu jua.
Seorang orang Arab tidak mempunyai
kelebihan atas orang-orang non Arab.
Seorang kulit putih sekali-kali
tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang
berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana
ia melaksanakan kewajibannya terhadap
Allah dan manusia. اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ
عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ -- orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah
yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
Sabda agung Nabi Besar Muhammad saw. ini
menyimpulkan cita-cita paling luhur dan
asas-asas paling kuat. Di tengah
suatu masyarakat yang terpecah-belah dalam kelas-kelas yang berbeda itulah Nabi
Besar Muhammad saw. mengajarkan
asas yang sangat demokratis.
Perubahan “Kiblat” Pemahaman dan Pengamalan
Berupa “Revolusi Akhlak dan Ruhani”
Terbesar Melalui Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw.
Sekalian orang Muslim merupakan bagian tidak terpisahkan dari persaudaraan dalam Islam
(QS.49:11) Islam memberikan hak sama
kepada putra-putra padang pasir buta huruf dan biadab, seperti halnya kepada penduduk
kota kecil mau pun kota besar
yang beradab dan berbudaya; hanya oleh Islam
dianjurkan kepada mereka yang disebut pertama, agar mereka berusaha lebih keras untuk belajar
dan meresapkan ke dalam dirinya ajaran Islam dan membuat ajaran-ajaran itu menjadi pedoman hidup mereka, itulah makna lain:
لِتَعَارَفُوۡا -- “supaya kamu dapat saling
mengenal.”
Sejarah menjadi saksi bahwa melalui suri
teladan terbaik yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22),
hanya dalam waktu 23 tahun saja bangsa Arab jahiliyah yang berada dalam
“kesesatan yang nyata” (QS.62:3-4)
telah berubah menjadi “umat terbaik” (QS.2:144;
QS.3:111), melalui perubahan “kiblat” pemahaman
dan pengamalan yang diajarkan
dan dicontohkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ
اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ
الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ
عَلَیۡہَاۤ اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ
الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ وَ اِنۡ کَانَتۡ
لَکَبِیۡرَۃً اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ
ہَدَی اللّٰہُ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ
لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan demikianlah Kami menjadikan kamu اُمَّۃً وَّسَطًا -- satu umat yang mulia, لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی
النَّاسِ --
supaya kamu senantiasa menjadi penjaga
manusia, وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ
عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا -- dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu. وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ
الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ اِلَّا
لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ -- Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan kiblat
yang kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan
supaya Kami mengetahui orang yang
mengikuti Rasul dari orang yang
berpaling di atas kedua tumitnya. وَ اِنۡ کَانَتۡ
لَکَبِیۡرَۃً اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ
ہَدَی اللّٰہُ -- dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ
اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ -- dan Allah sekali-kali tidak akan pernah
menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah
[2]:144).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar