Jumat, 13 Juni 2014

Syaitan-syaitan "Pengingkar Janji" di Dunia dan di Akhirat & Kemampuan Mengalami "Rukya" dan "Kasyaf" (Terbuka Hijab) Hanyalah Kulit, bukan Isi


 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   241

Syaitan-syaitan  Pengingkar Janji  di Dunia dan di Akhirat  &  Kemampuan Mengalami  Rukya dan Kasyaf  (Terbuka Hijab) Hanyalah Kulit, Bukan Isi

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma 


D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai    jejaring godaan-godaan dan bujukan-bujukan yang diancamkan oleh iblis atau syaitan  yaitu:  لَاَقۡعُدَنَّ  لَہُمۡ صِرَاطَکَ  الۡمُسۡتَقِیۡمَ --  niscaya aku akan menghadang mereka di jalan Engkau yang lurus, ثُمَّ لَاٰتِیَنَّہُمۡ مِّنۡۢ بَیۡنِ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مِنۡ خَلۡفِہِمۡ  وَ عَنۡ اَیۡمَانِہِمۡ وَ عَنۡ شَمَآئِلِہِمۡ ؕ وَ لَا  تَجِدُ اَکۡثَرَہُمۡ شٰکِرِیۡنَ  --  kemudian  niscaya  akan kudatangi mereka dari depan  mereka, dari belakang mereka, dari kanan mereka, dan dari kiri mereka,  dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka  bersyukur.”
Mengenai jaringan-jaringan penghadangan yang diancamkan Iblis tersebut dijelaskan dalam firman-Nya berikut ini:
قَالَ اذۡہَبۡ فَمَنۡ تَبِعَکَ مِنۡہُمۡ فَاِنَّ جَہَنَّمَ  جَزَآؤُکُمۡ  جَزَآءً  مَّوۡفُوۡرًا ﴿﴾  وَ اسۡتَفۡزِزۡ مَنِ اسۡتَطَعۡتَ مِنۡہُمۡ بِصَوۡتِکَ وَ اَجۡلِبۡ عَلَیۡہِمۡ بِخَیۡلِکَ وَ رَجِلِکَ وَ شَارِکۡہُمۡ فِی الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَوۡلَادِ وَ عِدۡہُمۡ ؕ وَ مَا یَعِدُہُمُ الشَّیۡطٰنُ   اِلَّا  غُرُوۡرًا ﴿﴾  اِنَّ عِبَادِیۡ  لَیۡسَ  لَکَ  عَلَیۡہِمۡ سُلۡطٰنٌ ؕ وَ کَفٰی  بِرَبِّکَ  وَکِیۡلًا  ﴿﴾
Dia berfirman: “Pergilah, lalu barangsiapa akan mengikuti engkau dari antara mereka maka sesungguhnya Jahannamlah balasan bagi kamu,  suatu balasan yang penuh.   Dan bujuklah siapa dari antara mereka yang engkau sanggup de-ngan suara engkau, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda eng-kau dan pasukan berjalan-kaki engkau dan berserikatlah dengan mereka dalam harta, dan anak-anak mereka, dan berikanlah janji-janji kepada mereka.” Dan syaitan tidak menjanjikan kepada mereka selain tipu-daya.    Sesungguhnya mengenai hamba-hamba-Ku, engkau tidak akan mempunyai kekuasaan  atas mereka, dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai Pelindung. (Bani Israil [17]:64-66).
       Ayat   65  menguraikan tiga macam daya-upaya yang dilakukan oleh putra-putra kegelapan  -- yakni Iblis dan para pengikutnya -- untuk membujuk manusia supaya menjauhi jalan kebenaran yang dibawa  para Rasul Allah:
     (1) mereka berusaha menakut-nakuti orang-orang miskin dan lemah dengan ancaman akan mempergunakan kekerasan terhadap mereka;
       (2) mereka mempergunakan tindakan-tindakan yang lebih keras terhadap mereka yang tidak dapat ditakut-takuti dengan ancaman  yaitu dengan mengadakan persekutuan-persekutuan untuk tujuan melawan mereka dan mengadakan serangan bersama terhadap mereka dengan segala cara;
      (3) mereka mencoba membujuk orang-orang kuat dan yang lebih berpengaruh dengan tawaran akan menjadikannya pemimpin mereka, asalkan mereka tidak akan membantu lagi pihak kebenaran atau Rasul Allah.
       Makna ayat     اِنَّ عِبَادِیۡ  لَیۡسَ  لَکَ  عَلَیۡہِمۡ سُلۡطٰنٌ -- “Sesungguhnya mengenai hamba-hamba-Ku, engkau tidak akan mempunyai kekuasaan  atas mereka” Manusia dapat terkena oleh bujukan-bujukan syaitan selama dia belum “dibangkitkan”, yaitu selama keimanannya belum mencapai taraf yang sempurna mencapai tingkatan nafs-al-Muthmainnah (jiwa yang tentram), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]:27-29).   
   Ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga

Fungsi Godaan atau Jebakan Syaitan

    Dalam Bab-bab sebelumnya telah dikemukakan  firman Allah Swt. mengenai pentingnya  orang-orang beriman untuk busana (pakaian) ketakwaan  yang  harus terus semakin disempurnakan dalam segala seginya, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  قَدۡ  اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ  لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  لَعَلَّہُمۡ  یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿ ﴾
Wahai Bani Adam,  sungguh  Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup auratmu dan sebagai  perhiasan, dan pakaian takwa  itulah yang terbaik, yang demikian itu adalah sebagian dari Tanda-tanda Allah, supaya  mereka mendapat nasihat. (Al-Arāf [7]:27).
       Selanjutnya Allah Swt. memperingatkan Bani Adam terhadap ancaman iblis yang dikemukannya ketika ia “diusir” Allah Swt. dari “surga keridhaan-Nya” karena menolak perintah Allah Swt. untuk “sujud” (patuh-taat) kepada AdamKhalifah Allah -- bersama-sama dengan para malaikat:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  لَا یَفۡتِنَنَّکُمُ الشَّیۡطٰنُ کَمَاۤ اَخۡرَجَ  اَبَوَیۡکُمۡ  مِّنَ الۡجَنَّۃِ یَنۡزِعُ عَنۡہُمَا لِبَاسَہُمَا لِیُرِیَہُمَا سَوۡاٰتِہِمَا ؕ اِنَّہٗ یَرٰىکُمۡ ہُوَ وَ قَبِیۡلُہٗ مِنۡ حَیۡثُ لَا تَرَوۡنَہُمۡ ؕ اِنَّا جَعَلۡنَا الشَّیٰطِیۡنَ اَوۡلِیَآءَ  لِلَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ ﴾
Wahai Bani Adam, janganlah sekali-kali membiarkan syaitan menggoda kamu sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua orang-tua kamu dari jannah (kebun surgawi), ia menanggalkan pakaian keduanya itu untuk  menampakkan kepada keduanya  aurat mereka, sesungguhnya ia dan suku bangsanya melihat kamu dari tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya  Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu  sahabat-sahabat bagi orang-orang yang tidak beriman.    (Al-Arāf [7]:28).
    Ruh jahat yang disebut syaitan dan mereka yang sebangsanya, pada umumnya tidak nampak oleh mata. Mereka mempergunakan pengaruh secara tidak nampak dan mencari-cari kelemahan-kelemahan tersembunyi pada diri manusia agar dapat membuatnya tetap mengumbar kelakuan jahatnya yakni berada  pada keadaan nafs- al-Ammarah (QS.12:54).
    Allah Swt. telah menciptakan syaitan hanya sebagai ujian bagi manusia. Syaitan berlaku sebagai perintang dalam perlombaan ruhani yang sedang dihadapi manusia. Perintang-perintang itu dimaksudkan tidak sebagai penghambat melainkan untuk menciptakan persaingan dalam perlombaan itu dan melipatgandakan upaya mereka.
    Mereka yang tidak berhati-hati dan lalai, yaitu mereka yang tergelincir karena rintangan-rintangan itu dan kemudian kalah dalam perlombaan harus menyesali diri mereka sendiri dan jangan menyalahkan  orang atau orang-orang yang menempatkan perintang-perintang di jalan mereka untuk mencoba dan menguji ketabahan mereka.

Iblis dan Syaitan dari Kalangan Manusia

   Dari firman-Nya berikut ini diketahui bahwa yang dimaksud dengan iblis  atau   syaitan (setan) tidak selalu harus diartikan sebagai “makhluk halus” atau “makhluk gaib” tetapi bisa juga merujuk kepada manusia-manusia yang  berkarakter (bersifat) seperti iblis atau syaitan (setan) yang memprovokasi atau menghasut orang-orang lainnya   -- khususnya orang-orang awam (masyarakat umum) – untuk  bersama-sama mereka mendustakan dan menentang  kebenaran (haq) yang dibawa oleh Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka (QS.7:35-37).
 Tetapi ketika makar buruk mereka  dalam menentang Rasul Allah tersebut tersebut gagal-total  dan mereka ditimpa akibat buruk perbuatan mereka itru maka mereka akan bertengkar saling menyalahkan, firman-Nya:
وَ بَرَزُوۡا لِلّٰہِ جَمِیۡعًا فَقَالَ الضُّعَفٰٓؤُا لِلَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡۤا اِنَّا کُنَّا لَکُمۡ تَبَعًا فَہَلۡ اَنۡتُمۡ مُّغۡنُوۡنَ عَنَّا مِنۡ عَذَابِ اللّٰہِ مِنۡ شَیۡءٍ ؕ قَالُوۡا لَوۡ ہَدٰىنَا اللّٰہُ  لَہَدَیۡنٰکُمۡ ؕ سَوَآءٌ  عَلَیۡنَاۤ  اَجَزِعۡنَاۤ  اَمۡ صَبَرۡنَا مَا لَنَا مِنۡ  مَّحِیۡصٍ  ﴿٪﴾
Dan mereka itu semua akan tampil di hadapan Allah,  maka akan berkata orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang takabur: “Sesungguhnya kami dahulu pengikut-pengikut kamu, lalu  tidak dapatkah kamu mengelakkan kami dari azab Allah sedikit pun?” Mereka berkata: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, pasti kami pun telah memberi petunjuk kepada kamu. Adalah sama saja bagi kita, apakah kita  berkeluh-kesah atau kita bersabar, sekali-kali tidak ada bagi kita jalan untuk melepaskan diri.” (Ibrahim [14]:22).
        Bukan semata-mata perbuatan buruknya sendiri, yang mendatangkan kejatuhan bagi suatu kaum, tetapi yang terutama mendatangkan kejatuhan itu ialah terbukanya kelemahan mereka. Setelah kelemahan menjadi nampak, maka gengsi dan nama baik mereka — yang melebihi hasil karya mereka, dan merupakan penolong utama untuk sukses mereka — mendapat pukulan maut dengan jatuhnya mereka di mata kaum-kaum lawan mereka, hal mana diikuti oleh kemunduran dan kemerosotan. Itulah arti ayat وَ بَرَزُوۡا لِلّٰہِ جَمِیۡعًا  --  “mereka itu semuanya akan tampil di hadapan Allah.”
      Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan  mengenai  pengingkaran syaitan-syaitan penghasut tersebut atas janji-janji muluknya yang penuh kedustaan -- mengenai kegagalan makar-makar buruk yang mereka lakukan secara berjama’ah -- ketika mereka diminta pertanggungjawaban  oleh para pendukung mereka yang fanatik buta  dan jahil tersebut  mengenai nasib buruk  yang menimpa mereka,  firman-Nya:
وَ قَالَ  الشَّیۡطٰنُ لَمَّا قُضِیَ الۡاَمۡرُ اِنَّ اللّٰہَ وَعَدَکُمۡ وَعۡدَ الۡحَقِّ وَ وَعَدۡتُّکُمۡ فَاَخۡلَفۡتُکُمۡ ؕ وَ مَا کَانَ لِیَ عَلَیۡکُمۡ مِّنۡ سُلۡطٰنٍ  اِلَّاۤ  اَنۡ دَعَوۡتُکُمۡ فَاسۡتَجَبۡتُمۡ لِیۡ ۚ فَلَا تَلُوۡمُوۡنِیۡ وَ لُوۡمُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ ؕ مَاۤ  اَنَا بِمُصۡرِخِکُمۡ وَ مَاۤ  اَنۡتُمۡ بِمُصۡرِخِیَّ ؕ اِنِّیۡ کَفَرۡتُ بِمَاۤ اَشۡرَکۡتُمُوۡنِ مِنۡ قَبۡلُ ؕ اِنَّ الظّٰلِمِیۡنَ لَہُمۡ  عَذَابٌ اَلِیۡمٌ ﴿﴾
Dan tatkala perkara itu telah diputuskan, syaitan berkata: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kamu suatu janji yang benar, dan aku pun menjanjikan kepada kamu tetapi aku telah menyalahinya, dan aku  sekali-kali tidak memiliki kekuasaan apa pun atas kamu, melainkan aku telah mengajak  kamu lalu kamu telah mengabulkan ajakanku. Karena itu janganlah kamu mengecamku tetapi kecamlah diri kamu sendiri. Aku sama sekali tidak dapat menolong kamu dan kamu pun sama sekali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku telah mengingkari apa yang kamu persekutukan denganku sebelumnya, sesungguhnya orang-orang yang zalim itu bagi mereka ada azab yang pedih.”  (Ibrahim [14]:23).

Tingkatan Ruhani “Maryam binti ‘Imran

       Kembali kepada pembahasan tingkatan ruhani Maryam binti ‘Imran  sebelum ini dalam Bab 239 sebelumnya, firman-Nya:
وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ﴿٪﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang  memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm [66]:11). 
   Maryam binti Maryam, ibunda Nabi Isa ibnu Maryam a.s.  melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt., mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi (lihat ayat 13, Pent.) menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
  Tingkatan suluk (perjalanan ruhani atau pendakian ruhani) pada keadaan ruhani Maryam binti ‘Imran  yang dikemukakan Al-Quran disebut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai   tingkatan-tingjatan  alam malakut (alam malaikat)  dan  alam jabarut,   yang di dalamnya para  salik (para penempuh jalan ruhani) akan mengalami berbagai pengalaman yang ajaib  yang keadaannya di luar nalar, yang disebut “karamah” (kekeramatan) atau khariqul ‘adat (hal yang luar biasa).     
      Menurut  Syeikh Abdul Qadir al-Jailani,  hendaknya para salik jangan mempedulikan hal-hal (kekeramatan) tersebut   --  terlebih lagi  menjadi tujuan utama suluk yang dilakukannya:
          “....Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
        Penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrar tersbeut adalah:
     “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
        Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
        Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).   
         Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".


Seorang Hindu  Pencari “Kebenaran

      Berikut adalahpenjelasan  Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. --   Al-Mahdi  dan Al-Masih Mau’ud a.s.  -- sehubungan  dengan berbahayanya  keadaan  berbagai tingkatan pendakian ruhani  yang   penuh ujian  sehingga dapat  menggelincirkan   para salik yang berhati bengkok.
     Sejak beberapa hari  seorang pencari kebenaran dari kalangan Hindu datang kepada  Al-Masih Mau'ud a.s.. di Qadian, ia berasal dari distrik Gujrat. Orang itu  memaparkan  isi hatinya beliau a.s.:
       “Dari sejak awal saya merasakan dharm bao (unsur keruhanian) dalam diri saya. Dan bersesuaian dengan itu di dalam pemikiran-pemikiran saya, saya juga terus melakukan kebaikan-kebaikan. Namun saya merasa sangat menderita menyaksikan dunia dan orang-orang yang mencari dunia di sekeliling saya, dan di dalam diri sendiri pun saya menemukan gejolak yang tarik menarik.
        Suatu kali saya  sedang berjalan-jalan di tepi sungai Jhelum, tiba-tiba  diperlihatkan kepada saya suatu pemandangan (rukya)  indah.  Saya merasakan suatu kelezatan dan kenikmatan.  Ke arah mana pun  saya melemparkan pandang, yang saya temukan hanyalah ketenteraman. Dalam makan, minum, berjalan, kesana-kemari, ringkasnya dalam setiap gerakan yang terasa adalah keindahan dan keindahan. 
      Beberapa jam kemudian pemandangan (rukya) itu pun hilang, namun sisanya masih terasa oleh saya sampai dua bulan, yakni pemandangan yang tingkatan dan kenikmatannya lebih rendah dari pemandangan tersebut. Pada waktu itu saya tenggelam dalam kerisauan yang aneh.  Saya berusaha supaya saya mendapatkan kembali hal itu namun tak berhasil.
      Dalam upaya mencari-cari itulah saya pergi ke Babu Abnaasy Candra Foreman Sahib di Lahore. Beliau adalah seorang anggota aktif Brahmu Samaj. Namun sayang, dia hanya dapat memberikan waktu beberapa menit saja, dan juga saya tidak dapat menemuinya di kantornya.
      Kemudian saya pergi ke Pandit Shiva Nirain Satyanand Agni Hotri. Saya lihat, orang itu merasakan unsur keruhanian dalam kadar tertentu. Akhirnya saya sekitar dua bulan   bekerja sebagai third master di high school  mereka, dan saya terus saja melakukan perbaikan pada diri saya. Kepergian saya ke sana hanyalah dengan maksud supaya saya dapat membangun kehidupan saya.
      Pada masa itu mulai tampak kembali oleh saya sedikit pemandangan ringkas namun saya tidak puas. Keindahan dan kenikmatan yang  saya cari-cari itu tidak saya temukan. Walaupun saya ingin tinggal di sana dengan sabar namun karena sakit saya terpaksa pulang.
     Suatu kali, di kota saya, saya mendengar Syekh Maula Bakhs Sahib membacakan artikel Tuan pada Jalsah Agama-agama Besar (di Lahore, yakni Islami Ushul Ki Filasafi   -- Falsafah Ajaran Islam), saya merenung dan berpikir secara mendalam. Suara beliau masuk ke telinga saya. Dengan luar biasa terasa di dalam jiwa saya bahwa di dalam tulisan itu terdapat cahaya, dan penulisnya pun tentu memiliki cahaya di dalam dirinya.
      Saya telah membaca artikel itu beberapa kali, dan di dalam hati saya telah timbul keinginan untuk berkunjung ke Qadian. Namun dikarenakan masih hangatnya masalah pembunuhan Lekhram, jika saya menanyakan alamat [Tuan] kepada orang Islam, tentu tidak akan diberitahukan. Mungkin akan dianggap bahwa saya pergi hendak membunuh Mirza  Sahib.  Ringkasnya, di dalam hati saya timbul suatu gejolak. Kini keinginan saya telah terpenuhi, dan saya ingin membangun kehidupan saya, dan untuk  tujuan itulah saya  datang ke hadapan Tuan.”

Mengalami Rukya & Kasyaf (Terbuka Hijab) Merupakan Kulit

       Mengenai  penglihatan ruhani atau rukya atau kasyaf (terbuka hijab) yang dialami orang Hindu  tersebut   Al-Masih Mau’ud a.s. bersabda:
     “Pada hakikatnya, manusia  hendaknya jangan berhenti sebatas kulit dan lapisan luar saja, dan tidak pula manusia  merasa cukup hanya sebatas kulit saja, melainkan dia ingin maju lebih ke depan. Sedangkan Islam ingin menyampaikan manusia pada inti dan ruh tersebut, yang memang dicari-cari oleh manusia secara fitrat. Namanya sendiri (Islam) sudah sedemikian rupa, sehingga dengan mendengarnya maka di dalam ruh timbul suatu kelezatan.
     Dari nama agama lainnya  di dalam ruh tidak timbul suatu ketentraman. Misalnya dari nama Arya, ruhaniah apa yang yang timbul?  Islam diciptakan untuk  ketentraman, kedamaian dan   ketenangan, yang untuk hal-hal itulah ruh manusia merasa lapar dan haus, supaya orang yang mendengar namanya, dapat mengerti bahwa orang yang mempercayai agama ini dengan hati jujur dan mengamalkannya, adalah orang yang mengenal Tuhan.
      Namun masalahnya adalah, jika manusia berkeinginan supaya segala sesuatunya ini terjadi dalam seketika dan serta-merta derajat tertinggi makrifat Ilahi itu dapat dicapai, hal demikian tidak pernah terjadi. Di dunia ini setiap pekerjaan berlangsung secara bertahap. Perhatikanlah,  tidak ada suatu ilmu dan kepandaian yang dapat dipelajari oleh manusia tanpa banyak berpikir dan tanpa banyak waktu. Adalah mutlak, supaya jenjang- jenjang itu ditelusuri secara berurutan.
      Lihat, petani terpaksa harus menunggu setelah dia menanam benih dalam tanah.      Pertama-tama, dia menanamkan benih yang disayangi itu ke dalam tanah, dan benih itu dapat saja dengan cepat hilang dimakan binatang atau ditelan tanah maupun  oleh penyebab lainnya. Akan tetapi pengalaman memberikan ketenteraman kepada si petani, bahwa tidak akan terjadi  demikian. Suatu waktu akan tiba bahwa benih yang diserahkan kepada tanah seperti itu akan tumbuh, dan sawah (kebun) itu akan tampak melambai-lambai serba hijau, dan benih yang dibenamkan di dalam tanah itu  menjadi rezeki.
      Kini, renungkanlah oleh Anda, untuk rezeki duniawi dan jasmani saja -- ­yang tanpanya manusia tidak akan dapat bertahan hidup sampai beberapa hari – membutuhkan waktu enam bulan. Padahal kehidupan yang bergantung pada  rezeki jasmani itu tidaklah abadi, melainkan bakal punah. Lalu, rezeki ruhani yang merupakan makanan kehidupan ruhani – yang tidak pernah punah dan akan dilalui selamanya -- bagaimana mungkin dapat diraih dalam tempo dua atau empat hari saja?
      Walau pun Allah Ta’ala berkuasa untuk melakukan sesuatu dalam seketika, dan kita percaya bahwa tidak ada suatu hal yang tidak mungkin bagi-Nya, tetapi  Islam justru tidak memaparkan Tuhan yang demikian. Tidak seperti misalnya, parmesywar (Tuhan) yang dipaparkan oleh orang-orang Arya, yaitu [Tuhan] yang tidak dapat menciptakan ruh (jiwa), yang tidak dapat menciptakan zat dasar, dan tidak pula dapat memberikan ketenteraman hakiki serta keselamatan abadi kepada para pencarinya dan  kepada orang-orang yang benar.
      Tidak, melainkan Islam sajalah yang telah memaparkan Tuhan demikian, yaitu [Tuhan] yang tiada tandingan dan sekutu-Nya dalam hal qudrat  (kekuasaan) dan kekuatan-kekuatan-Nya. Namun ya, hukum-Nya (ketentuan-Nya) adalah, setiap pekerjaan itu berlangsung secara teratur dan tahap demi tahap, oleh karena  itu jika tidak sabar dan  tidak berpraduga baik maka keberhasilan itu akan sulit.
     Aku ingat, seseorang datang kepada saya mengatakan  bahwa orang-orang suci terdahulu dapat menyampaikan [manusia] sampai ke langit dengan cara menjampinya.   Saya katakan, “Anda keliru, tidak demikian hukum (ketentuan) Allah Ta’ala. Jika Anda mau membuat lantai di sebuah rumah maka pertama-tama adalah penting melakukan perbaikan terlebih dulu pada bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Dan dimana saja  terdapat kotoran serta ketidakbersihan  akan dibersihkan dengan dengan menggunakan alat tertentu.”
     Ringkasnya, setelah melalui banyak upaya dan proses barulah akan layak untuk dibuat di atasnya lantai. Seperti itu pula, sebelum hati manusia layak untuk dihuni oleh Allah Ta’ala, [hati] itu merupakan singgasana setan dan berada di dalam kerajaan setan. Kini,  untuk kerajaan yang berikutnya (Kerajaan Ilahi – pent.) adalah mutlak untuk menghancur-leburkan kerajaan setan.
      Sangat malanglah nasib orang-orang yang  berangkat untuk mencari kebenaran dan kemudian mereka tidak menerapkan sikap  berpraduga baik. Lihatlah perajin keramik, apa saja yang harus dilakukan untuk membuat  mangkuk keramik. Lihatlah tukang cuci ketika dia mulai membasuh pakaian yang penuh daki dan kotoran, betapa berat pekerjaan yang harus dia lakukan. Kadang-kadang pakaian itu direbus, kadang-kadang disabuni, lalu dengan berbagai cara dia mengeluarkan kotoran dan daki pakaian tersebut. Akhirnya kain itu bersih dan tampil putih.
      Sekian banyak daki (kotoran) yang ada di dalamnya semua telah keluar. Tatkala untuk hal-hal  kecil seperti itu saja terpaksa harus menerapkan sikap sabar,  maka betapa bodohnya orang yang untuk memperbaiki hidupnya dan untuk perbaikan hidupnya serta untuk membersihkan kotoran-kotoran serta sampah kalbunya dia berkeinginan supaya semua itu keluar melalui  penyemburan (jampi-jainpian) sehingga bersihlah kalbunya.
      Ingatlah, sabar merupakan syarat untuk  melakukan ishlah (perbaikan). Kemudian  yang kedua, tidak akan berlangsung pensucian akhlak dan jiwa selama tidak hidup bergaul dengan insan yang berjiwa suci. Pintu pertama yang terbuka adalah  hapusnya kekotoran tadi, sedangkan kotoran-kotoran  yang memperoleh kesesuaian [di dalam diri manusia] akan tetap bertahan di dalam. Akan tetapi  ketika dia  memperoleh tariyaaqi shuhbat (pergaulan yang mengobati), maka kotoran-kotoran intern itu lambat-laun akan mulai  lenyap, sebab Ruh Suci – yang dalam istilah Al-Quran Karim dinamakan Ruhul Qudus  tidak akan dapat terjalin hubungan dengannya selama tidak ada kesesuaian dengannya. 
       Saya tidak dapat mengatakan kapan hubungan itu terbentuk.  Ya, hendaknya manusia menerapkan sikap fana (meleburkan diri) sebagai debu di jalan ini, dan tempuhlah jalan ini dengan penuh sabar dan teguh, akhirnya Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan upaya gigih sejati orang itu, dan Dia akan menganugerahkan nur serta cahaya kepada orang itu, yaitu [nur dan cahaya) yang memang dia cari-cari.
      Saya menjadi heran dan tidak mengerti sedikit pun, mengapa manusia berani-beranian, padahal dia tahu bahwa Tuhan itu ada.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 226-227).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran

Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   28 Mei    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar