بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 241
Syaitan-syaitan Pengingkar Janji di Dunia dan di Akhirat & Kemampuan Mengalami Rukya
dan Kasyaf (Terbuka Hijab) Hanyalah Kulit, Bukan Isi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
jejaring godaan-godaan dan bujukan-bujukan yang diancamkan oleh iblis atau syaitan yaitu: لَاَقۡعُدَنَّ
لَہُمۡ صِرَاطَکَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ -- “niscaya aku akan menghadang mereka di jalan Engkau yang lurus, ثُمَّ لَاٰتِیَنَّہُمۡ مِّنۡۢ بَیۡنِ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مِنۡ
خَلۡفِہِمۡ وَ عَنۡ اَیۡمَانِہِمۡ وَ عَنۡ
شَمَآئِلِہِمۡ ؕ وَ لَا تَجِدُ
اَکۡثَرَہُمۡ شٰکِرِیۡنَ -- kemudian
niscaya akan kudatangi mereka
dari depan mereka, dari belakang mereka,
dari kanan mereka, dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur.”
Mengenai jaringan-jaringan penghadangan yang diancamkan Iblis tersebut dijelaskan dalam
firman-Nya berikut ini:
قَالَ اذۡہَبۡ فَمَنۡ تَبِعَکَ مِنۡہُمۡ فَاِنَّ
جَہَنَّمَ جَزَآؤُکُمۡ جَزَآءً
مَّوۡفُوۡرًا ﴿﴾ وَ اسۡتَفۡزِزۡ مَنِ اسۡتَطَعۡتَ مِنۡہُمۡ بِصَوۡتِکَ وَ
اَجۡلِبۡ عَلَیۡہِمۡ بِخَیۡلِکَ وَ رَجِلِکَ وَ شَارِکۡہُمۡ فِی الۡاَمۡوَالِ وَ
الۡاَوۡلَادِ وَ عِدۡہُمۡ ؕ وَ مَا یَعِدُہُمُ الشَّیۡطٰنُ اِلَّا
غُرُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّ عِبَادِیۡ
لَیۡسَ لَکَ عَلَیۡہِمۡ سُلۡطٰنٌ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ
وَکِیۡلًا ﴿﴾
Dia berfirman: “Pergilah,
lalu barangsiapa akan mengikuti engkau
dari antara mereka maka sesungguhnya Jahannamlah
balasan bagi kamu, suatu balasan yang penuh. Dan bujuklah
siapa dari antara mereka yang engkau sanggup de-ngan suara engkau, dan kerahkanlah
terhadap mereka pasukan berkuda eng-kau dan pasukan berjalan-kaki engkau dan berserikatlah dengan mereka dalam harta, dan anak-anak mereka,
dan berikanlah janji-janji kepada mereka.”
Dan syaitan tidak menjanjikan
kepada mereka selain tipu-daya. Sesungguhnya mengenai hamba-hamba-Ku, engkau tidak akan mempunyai kekuasaan atas mereka, dan cukuplah Rabb (Tuhan)
engkau sebagai Pelindung. (Bani
Israil [17]:64-66).
Ayat 65 menguraikan tiga macam daya-upaya yang dilakukan oleh putra-putra
kegelapan -- yakni Iblis dan para pengikutnya -- untuk membujuk manusia supaya menjauhi jalan kebenaran
yang dibawa para Rasul Allah:
(1) mereka
berusaha menakut-nakuti orang-orang
miskin dan lemah dengan ancaman akan mempergunakan kekerasan terhadap mereka;
(2) mereka
mempergunakan tindakan-tindakan yang
lebih keras terhadap mereka yang tidak
dapat ditakut-takuti dengan ancaman yaitu dengan mengadakan persekutuan-persekutuan untuk tujuan melawan mereka dan mengadakan serangan
bersama terhadap mereka dengan segala cara;
(3) mereka mencoba membujuk orang-orang kuat dan yang lebih berpengaruh
dengan tawaran akan menjadikannya pemimpin mereka, asalkan mereka tidak
akan membantu lagi pihak kebenaran atau Rasul Allah.
Makna
ayat ﴾
اِنَّ
عِبَادِیۡ لَیۡسَ لَکَ
عَلَیۡہِمۡ سُلۡطٰنٌ -- “Sesungguhnya mengenai
hamba-hamba-Ku, engkau tidak akan mempunyai kekuasaan atas mereka” Manusia dapat terkena oleh bujukan-bujukan syaitan selama dia belum
“dibangkitkan”, yaitu selama keimanannya belum mencapai taraf yang sempurna mencapai tingkatan nafs-al-Muthmainnah (jiwa yang tentram),
firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ فِیۡ
عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang
tenteram! Kembalilah kepada Rabb
(Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya
dan Dia pun ridha kepada
engkau. Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:27-29).
Ini
merupakan tingkat perkembangan ruhani
tertinggi ketika manusia ridha kepada
Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat
ini yang disebut pula tingkat surgawi,
ia menjadi kebal terhadap segala
macam kelemahan akhlak, diperkuat
dengan kekuatan ruhani yang khusus.
Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan
tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam
dirinya, dan di dunia inilah dan bukan
di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
Fungsi Godaan atau Jebakan
Syaitan
Dalam
Bab-bab sebelumnya telah dikemukakan
firman Allah Swt. mengenai pentingnya
orang-orang beriman untuk busana (pakaian) ketakwaan yang harus terus semakin disempurnakan dalam segala seginya, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ
وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ لَعَلَّہُمۡ
یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿ ﴾
Wahai Bani Adam, sungguh
Kami telah menurunkan kepada kamu
pakaian penutup auratmu dan sebagai
perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang terbaik, yang demikian
itu adalah sebagian dari Tanda-tanda
Allah, supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Arāf [7]:27).
Selanjutnya
Allah Swt. memperingatkan Bani
Adam terhadap ancaman iblis
yang dikemukannya ketika ia “diusir”
Allah Swt. dari “surga keridhaan-Nya”
karena menolak perintah Allah Swt.
untuk “sujud” (patuh-taat) kepada Adam – Khalifah Allah -- bersama-sama dengan para malaikat:
یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
لَا یَفۡتِنَنَّکُمُ الشَّیۡطٰنُ کَمَاۤ اَخۡرَجَ اَبَوَیۡکُمۡ
مِّنَ الۡجَنَّۃِ یَنۡزِعُ عَنۡہُمَا لِبَاسَہُمَا لِیُرِیَہُمَا سَوۡاٰتِہِمَا
ؕ اِنَّہٗ یَرٰىکُمۡ ہُوَ وَ قَبِیۡلُہٗ مِنۡ حَیۡثُ لَا تَرَوۡنَہُمۡ ؕ اِنَّا
جَعَلۡنَا الشَّیٰطِیۡنَ اَوۡلِیَآءَ
لِلَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ ﴾
Wahai Bani Adam, janganlah sekali-kali
membiarkan syaitan menggoda kamu
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua
orang-tua kamu dari jannah (kebun surgawi), ia menanggalkan pakaian keduanya itu untuk menampakkan
kepada keduanya aurat mereka,
sesungguhnya ia dan suku bangsanya
melihat kamu dari tempat yang kamu
tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan syaitan-syaitan itu
sahabat-sahabat bagi orang-orang
yang tidak beriman. (Al-Arāf
[7]:28).
Ruh jahat yang disebut syaitan
dan mereka yang sebangsanya, pada umumnya tidak
nampak oleh mata. Mereka mempergunakan pengaruh
secara tidak nampak dan mencari-cari kelemahan-kelemahan tersembunyi pada
diri manusia agar dapat membuatnya tetap mengumbar kelakuan jahatnya yakni berada
pada keadaan nafs- al-Ammarah
(QS.12:54).
Allah Swt. telah menciptakan syaitan hanya sebagai ujian
bagi manusia. Syaitan berlaku sebagai
perintang dalam perlombaan ruhani yang sedang dihadapi manusia. Perintang-perintang itu dimaksudkan
tidak sebagai penghambat melainkan
untuk menciptakan persaingan dalam perlombaan itu dan melipatgandakan upaya mereka.
Mereka yang tidak berhati-hati dan lalai, yaitu mereka yang tergelincir
karena rintangan-rintangan itu dan
kemudian kalah dalam perlombaan harus menyesali diri mereka sendiri dan jangan menyalahkan orang atau orang-orang yang menempatkan perintang-perintang
di jalan mereka untuk mencoba dan menguji ketabahan mereka.
Iblis dan Syaitan dari Kalangan Manusia
Dari
firman-Nya berikut ini diketahui bahwa yang dimaksud dengan iblis
atau syaitan (setan) tidak selalu harus diartikan sebagai “makhluk halus” atau “makhluk gaib” tetapi bisa juga merujuk
kepada manusia-manusia yang berkarakter
(bersifat) seperti iblis atau syaitan (setan) yang memprovokasi atau menghasut orang-orang
lainnya -- khususnya orang-orang awam (masyarakat umum) –
untuk bersama-sama mereka mendustakan dan menentang kebenaran (haq) yang dibawa oleh Rasul Allah yang dibangkitkan di
kalangan mereka (QS.7:35-37).
Tetapi
ketika makar buruk mereka dalam menentang Rasul Allah tersebut tersebut gagal-total dan mereka ditimpa akibat buruk perbuatan mereka itru maka mereka akan bertengkar saling menyalahkan, firman-Nya:
وَ بَرَزُوۡا لِلّٰہِ جَمِیۡعًا
فَقَالَ الضُّعَفٰٓؤُا لِلَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡۤا اِنَّا کُنَّا لَکُمۡ تَبَعًا
فَہَلۡ اَنۡتُمۡ مُّغۡنُوۡنَ عَنَّا مِنۡ عَذَابِ اللّٰہِ مِنۡ شَیۡءٍ ؕ قَالُوۡا
لَوۡ ہَدٰىنَا اللّٰہُ لَہَدَیۡنٰکُمۡ ؕ
سَوَآءٌ عَلَیۡنَاۤ اَجَزِعۡنَاۤ
اَمۡ صَبَرۡنَا مَا لَنَا مِنۡ
مَّحِیۡصٍ ﴿٪﴾
Dan mereka itu
semua akan tampil di hadapan Allah,
maka akan berkata orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang takabur: “Sesungguhnya
kami dahulu pengikut-pengikut kamu,
lalu tidak dapatkah kamu mengelakkan kami dari azab Allah sedikit pun?”
Mereka berkata: “Seandainya Allah memberi
petunjuk kepada kami, pasti kami pun
telah memberi petunjuk kepada kamu. Adalah sama saja bagi kita, apakah kita berkeluh-kesah atau kita bersabar, sekali-kali tidak
ada bagi kita jalan untuk melepaskan diri.” (Ibrahim
[14]:22).
Bukan semata-mata
perbuatan buruknya sendiri, yang
mendatangkan kejatuhan bagi suatu kaum, tetapi yang terutama mendatangkan kejatuhan itu ialah terbukanya kelemahan mereka. Setelah kelemahan menjadi nampak, maka gengsi
dan nama baik mereka — yang melebihi hasil karya mereka, dan merupakan penolong utama untuk sukses mereka — mendapat pukulan maut dengan jatuhnya mereka di mata kaum-kaum
lawan mereka, hal mana diikuti oleh kemunduran
dan kemerosotan. Itulah arti ayat وَ بَرَزُوۡا لِلّٰہِ جَمِیۡعًا -- “mereka itu semuanya akan tampil di
hadapan Allah.”
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan
mengenai pengingkaran syaitan-syaitan
penghasut tersebut atas janji-janji muluknya yang penuh kedustaan
-- mengenai kegagalan makar-makar buruk yang mereka lakukan secara berjama’ah
-- ketika mereka diminta pertanggungjawaban oleh para pendukung mereka yang fanatik
buta dan jahil tersebut mengenai nasib buruk yang menimpa mereka, firman-Nya:
وَ قَالَ الشَّیۡطٰنُ لَمَّا قُضِیَ الۡاَمۡرُ اِنَّ
اللّٰہَ وَعَدَکُمۡ وَعۡدَ الۡحَقِّ وَ وَعَدۡتُّکُمۡ فَاَخۡلَفۡتُکُمۡ ؕ وَ مَا
کَانَ لِیَ عَلَیۡکُمۡ مِّنۡ سُلۡطٰنٍ
اِلَّاۤ اَنۡ دَعَوۡتُکُمۡ
فَاسۡتَجَبۡتُمۡ لِیۡ ۚ فَلَا تَلُوۡمُوۡنِیۡ وَ لُوۡمُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ ؕ
مَاۤ اَنَا بِمُصۡرِخِکُمۡ وَ مَاۤ اَنۡتُمۡ بِمُصۡرِخِیَّ ؕ اِنِّیۡ کَفَرۡتُ
بِمَاۤ اَشۡرَکۡتُمُوۡنِ مِنۡ قَبۡلُ ؕ اِنَّ الظّٰلِمِیۡنَ لَہُمۡ عَذَابٌ اَلِیۡمٌ ﴿﴾
Dan tatkala
perkara itu telah diputuskan, syaitan berkata: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kamu suatu janji yang benar,
dan aku pun menjanjikan kepada kamu
tetapi aku telah menyalahinya, dan aku sekali-kali tidak memiliki kekuasaan
apa pun atas kamu, melainkan aku
telah mengajak kamu lalu kamu telah mengabulkan ajakanku.
Karena itu janganlah kamu mengecamku
tetapi kecamlah diri kamu sendiri.
Aku sama sekali tidak dapat menolong
kamu dan kamu pun sama sekali tidak
dapat menolongku. Sesungguhnya aku
telah mengingkari apa yang kamu persekutukan denganku sebelumnya,
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
bagi mereka ada azab yang pedih.”
(Ibrahim [14]:23).
Tingkatan Ruhani “Maryam binti ‘Imran”
Kembali
kepada pembahasan tingkatan ruhani Maryam
binti ‘Imran sebelum ini dalam Bab
239 sebelumnya, firman-Nya:
وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ﴿٪﴾
Dan juga Maryam
putri ‘Imran, yang memelihara
kesuciannya, maka Kami meniupkan ke
dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Rabb-nya (Tuhan-nya)
dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm
[66]:11).
Maryam binti Maryam, ibunda Nabi
Isa ibnu Maryam a.s. melambangkan
hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang
karena telah menutup segala jalan dosa
dan karena telah berdamai dengan Allah
Swt., mereka dikaruniai ilham Ilahi;
kata pengganti hi dalam fīhi (lihat ayat 13, Pent.) menunjuk
kepada orang-orang beriman yang
bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata
farj, yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
Tingkatan suluk (perjalanan
ruhani atau pendakian ruhani) pada keadaan ruhani Maryam binti ‘Imran yang
dikemukakan Al-Quran disebut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai tingkatan-tingjatan alam
malakut (alam malaikat) dan alam
jabarut, yang di dalamnya para salik
(para penempuh jalan ruhani) akan mengalami berbagai pengalaman yang ajaib yang
keadaannya di luar nalar, yang
disebut “karamah” (kekeramatan) atau khariqul ‘adat (hal yang luar biasa).
Menurut
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani,
hendaknya para salik jangan mempedulikan hal-hal (kekeramatan)
tersebut -- terlebih lagi
menjadi tujuan utama suluk yang
dilakukannya:
“....Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan
dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin,
tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang
ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi
para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa
menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
Penjelasan
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrar tersbeut adalah:
“Manusia
tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat keduniaannya tidak
akan meninggalkannya sehingga hakikat
menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya
hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah.
Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa
pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah
Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu
yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia
dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat
di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang
yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat
melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara
dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya,
dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji
penyatuan dengan Yang dikasihi.
Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena
Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta
orang-orang yang diberi nikmat yaitu
nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan
alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā' ayat 70).
Orang
yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak
akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat
yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga;
di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi
dalam bentuk cahaya.
Tidak
terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata
yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk
kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran
(kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke
tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua sayap.
Hamba
Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan
dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin,
tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang
ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku,
jika engkau ingin masuk kepada kesucian
berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam
tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa
menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
Seorang Hindu
Pencari “Kebenaran”
Berikut
adalahpenjelasan Pendiri Jemaat
Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s.
-- Al-Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s. -- sehubungan
dengan berbahayanya keadaan
berbagai tingkatan pendakian
ruhani yang penuh
ujian sehingga dapat menggelincirkan para salik
yang berhati bengkok.
Sejak beberapa
hari seorang pencari kebenaran dari kalangan Hindu datang kepada Al-Masih Mau'ud a.s.. di Qadian, ia
berasal dari distrik Gujrat. Orang itu memaparkan isi hatinya beliau a.s.:
“Dari sejak
awal saya merasakan dharm bao (unsur keruhanian) dalam diri saya. Dan
bersesuaian dengan itu di dalam pemikiran-pemikiran saya, saya juga terus
melakukan kebaikan-kebaikan. Namun saya merasa sangat menderita menyaksikan dunia
dan orang-orang yang mencari dunia di sekeliling saya, dan di
dalam diri sendiri pun saya menemukan gejolak yang tarik menarik.
Suatu kali
saya sedang berjalan-jalan di tepi
sungai Jhelum, tiba-tiba diperlihatkan kepada
saya suatu pemandangan (rukya) indah.
Saya merasakan suatu kelezatan
dan kenikmatan. Ke arah mana pun saya melemparkan pandang, yang saya temukan
hanyalah ketenteraman. Dalam makan,
minum, berjalan, kesana-kemari, ringkasnya dalam setiap gerakan yang terasa
adalah keindahan dan keindahan.
Beberapa jam
kemudian pemandangan (rukya) itu pun
hilang, namun sisanya masih terasa oleh saya sampai dua bulan, yakni pemandangan yang tingkatan dan kenikmatannya lebih rendah dari pemandangan tersebut. Pada waktu itu
saya tenggelam dalam kerisauan yang
aneh. Saya berusaha supaya saya mendapatkan kembali hal itu namun tak berhasil.
Dalam upaya
mencari-cari itulah saya pergi ke Babu
Abnaasy Candra Foreman Sahib di Lahore. Beliau adalah seorang anggota aktif
Brahmu Samaj. Namun sayang, dia hanya
dapat memberikan waktu beberapa menit saja, dan juga saya tidak dapat
menemuinya di kantornya.
Kemudian saya
pergi ke Pandit Shiva Nirain Satyanand
Agni Hotri. Saya lihat, orang itu merasakan unsur keruhanian dalam kadar tertentu. Akhirnya saya sekitar dua
bulan bekerja sebagai third master di high school mereka, dan saya terus saja melakukan perbaikan pada diri saya. Kepergian saya
ke sana hanyalah dengan maksud supaya saya dapat membangun kehidupan saya.
Pada masa itu
mulai tampak kembali oleh saya sedikit pemandangan
ringkas namun saya tidak puas. Keindahan
dan kenikmatan yang saya cari-cari itu tidak saya temukan. Walaupun
saya ingin tinggal di sana dengan sabar namun karena sakit saya terpaksa
pulang.
Suatu kali, di
kota saya, saya mendengar Syekh Maula Bakhs Sahib membacakan artikel Tuan pada Jalsah
Agama-agama Besar (di Lahore, yakni Islami Ushul Ki Filasafi -- Falsafah
Ajaran Islam), saya merenung dan berpikir secara mendalam. Suara
beliau masuk ke telinga saya. Dengan luar biasa terasa di dalam jiwa saya bahwa
di dalam tulisan itu terdapat cahaya, dan penulisnya pun tentu
memiliki cahaya di dalam dirinya.
Saya telah membaca artikel itu
beberapa kali, dan di dalam hati saya telah timbul keinginan untuk
berkunjung ke Qadian. Namun
dikarenakan masih hangatnya masalah pembunuhan
Lekhram, jika saya menanyakan alamat [Tuan] kepada orang
Islam, tentu tidak akan diberitahukan. Mungkin akan dianggap bahwa saya pergi
hendak membunuh Mirza Sahib.
Ringkasnya, di dalam hati saya timbul suatu gejolak. Kini keinginan saya
telah terpenuhi, dan saya ingin membangun kehidupan saya, dan untuk tujuan itulah saya datang ke hadapan Tuan.”
Mengalami Rukya & Kasyaf (Terbuka Hijab) Merupakan Kulit
Mengenai penglihatan ruhani atau rukya
atau kasyaf (terbuka hijab) yang
dialami orang Hindu tersebut Al-Masih
Mau’ud a.s. bersabda:
“Pada hakikatnya, manusia hendaknya jangan berhenti sebatas kulit
dan lapisan luar saja, dan tidak
pula manusia merasa cukup hanya sebatas kulit saja,
melainkan dia ingin maju lebih ke depan.
Sedangkan Islam ingin menyampaikan
manusia pada inti dan ruh tersebut, yang memang dicari-cari
oleh manusia secara fitrat. Namanya sendiri (Islam) sudah sedemikian rupa, sehingga
dengan mendengarnya maka di dalam ruh timbul suatu kelezatan.
Dari nama
agama lainnya di dalam ruh tidak timbul suatu ketentraman. Misalnya dari nama Arya,
ruhaniah apa yang yang timbul? Islam
diciptakan untuk ketentraman, kedamaian
dan ketenangan, yang
untuk hal-hal itulah ruh manusia merasa lapar dan haus, supaya orang yang mendengar namanya, dapat mengerti bahwa orang
yang mempercayai agama ini dengan hati
jujur dan mengamalkannya, adalah
orang yang mengenal Tuhan.
Namun masalahnya adalah, jika manusia
berkeinginan supaya segala sesuatunya
ini terjadi dalam seketika dan serta-merta derajat tertinggi makrifat
Ilahi itu dapat dicapai, hal demikian tidak pernah terjadi. Di dunia ini setiap pekerjaan berlangsung secara bertahap. Perhatikanlah, tidak ada suatu ilmu dan kepandaian yang
dapat dipelajari oleh manusia tanpa banyak berpikir dan tanpa banyak waktu. Adalah mutlak,
supaya jenjang- jenjang itu
ditelusuri secara berurutan.
Lihat, petani terpaksa harus menunggu setelah dia menanam benih dalam tanah. Pertama-tama, dia menanamkan benih yang disayangi itu ke dalam
tanah, dan benih itu dapat saja dengan
cepat hilang dimakan binatang atau ditelan tanah maupun oleh penyebab lainnya. Akan tetapi pengalaman memberikan ketenteraman
kepada si petani, bahwa tidak
akan terjadi demikian. Suatu waktu akan tiba bahwa benih yang diserahkan kepada tanah seperti itu akan tumbuh, dan sawah (kebun) itu akan tampak melambai-lambai
serba hijau, dan benih yang dibenamkan di dalam tanah itu menjadi rezeki.
Kini, renungkanlah oleh Anda, untuk rezeki duniawi dan jasmani saja -- yang tanpanya manusia
tidak akan dapat bertahan hidup
sampai beberapa hari – membutuhkan waktu
enam bulan. Padahal kehidupan
yang bergantung pada rezeki jasmani itu tidaklah abadi,
melainkan bakal punah. Lalu, rezeki ruhani yang merupakan makanan kehidupan ruhani – yang tidak pernah punah dan akan dilalui selamanya -- bagaimana mungkin dapat diraih dalam tempo dua atau empat hari
saja?
Walau pun Allah Ta’ala berkuasa untuk melakukan sesuatu dalam seketika, dan kita percaya bahwa tidak ada suatu hal yang tidak mungkin bagi-Nya,
tetapi Islam justru tidak memaparkan Tuhan
yang demikian. Tidak seperti misalnya, parmesywar (Tuhan) yang dipaparkan oleh orang-orang Arya, yaitu [Tuhan] yang tidak dapat menciptakan ruh (jiwa), yang tidak dapat menciptakan zat dasar, dan tidak pula dapat memberikan ketenteraman
hakiki serta keselamatan abadi
kepada para pencarinya dan kepada orang-orang
yang benar.
Tidak, melainkan Islam sajalah yang
telah memaparkan Tuhan demikian,
yaitu [Tuhan] yang tiada tandingan dan sekutu-Nya
dalam hal qudrat (kekuasaan)
dan kekuatan-kekuatan-Nya. Namun ya, hukum-Nya (ketentuan-Nya) adalah, setiap pekerjaan itu berlangsung secara teratur dan tahap demi tahap,
oleh karena itu jika tidak sabar
dan tidak
berpraduga baik maka keberhasilan itu akan sulit.
Aku ingat, seseorang datang kepada saya
mengatakan bahwa orang-orang suci terdahulu dapat menyampaikan [manusia] sampai ke langit dengan cara menjampinya. Saya katakan, “Anda keliru, tidak demikian hukum (ketentuan) Allah Ta’ala. Jika Anda
mau membuat lantai di sebuah rumah maka pertama-tama adalah penting melakukan
perbaikan terlebih dulu pada bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Dan dimana
saja terdapat kotoran serta
ketidakbersihan akan dibersihkan dengan
dengan menggunakan alat tertentu.”
Ringkasnya, setelah melalui banyak upaya dan proses barulah akan layak untuk
dibuat di atasnya lantai. Seperti
itu pula, sebelum hati manusia layak untuk dihuni
oleh Allah Ta’ala, [hati] itu
merupakan singgasana setan dan berada di dalam kerajaan setan.
Kini, untuk kerajaan yang berikutnya (Kerajaan Ilahi – pent.) adalah mutlak untuk menghancur-leburkan kerajaan
setan.
Sangat malanglah nasib orang-orang yang
berangkat untuk mencari kebenaran dan kemudian mereka
tidak menerapkan sikap berpraduga
baik. Lihatlah perajin keramik, apa saja yang harus
dilakukan untuk membuat mangkuk keramik. Lihatlah tukang cuci ketika dia mulai membasuh pakaian yang penuh daki dan kotoran, betapa berat pekerjaan
yang harus dia lakukan. Kadang-kadang pakaian
itu direbus, kadang-kadang disabuni,
lalu dengan berbagai cara dia
mengeluarkan kotoran dan daki pakaian tersebut. Akhirnya kain itu bersih dan tampil putih.
Sekian banyak daki (kotoran) yang ada di dalamnya semua telah keluar. Tatkala untuk hal-hal kecil seperti itu saja terpaksa harus
menerapkan sikap sabar, maka betapa bodohnya orang yang untuk
memperbaiki hidupnya dan untuk perbaikan hidupnya serta untuk membersihkan kotoran-kotoran serta
sampah kalbunya dia berkeinginan supaya
semua itu keluar melalui penyemburan (jampi-jainpian) sehingga
bersihlah kalbunya.
Ingatlah, sabar merupakan syarat untuk melakukan ishlah (perbaikan).
Kemudian yang kedua, tidak akan
berlangsung pensucian akhlak dan jiwa selama tidak hidup bergaul
dengan insan yang berjiwa suci.
Pintu pertama yang terbuka
adalah hapusnya kekotoran
tadi, sedangkan kotoran-kotoran yang memperoleh kesesuaian [di dalam diri
manusia] akan tetap bertahan di
dalam. Akan tetapi ketika dia memperoleh tariyaaqi shuhbat (pergaulan yang mengobati), maka kotoran-kotoran intern itu
lambat-laun akan mulai lenyap, sebab Ruh Suci – yang
dalam istilah Al-Quran Karim dinamakan Ruhul Qudus –
tidak akan dapat terjalin
hubungan dengannya selama tidak ada kesesuaian dengannya.
Saya tidak dapat mengatakan kapan hubungan itu terbentuk. Ya, hendaknya manusia menerapkan sikap fana
(meleburkan diri) sebagai debu di
jalan ini, dan tempuhlah jalan ini
dengan penuh sabar dan teguh, akhirnya Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan upaya gigih sejati orang itu, dan
Dia akan menganugerahkan nur serta cahaya kepada orang itu, yaitu [nur dan cahaya) yang memang dia cari-cari.
Saya menjadi heran dan tidak mengerti
sedikit pun, mengapa manusia berani-beranian,
padahal dia tahu bahwa Tuhan itu ada.” (Malfuzat,
jld. II, hlm. 226-227).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar