بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 238
Hakikat Perumpamaan “Istri Fir’aun” yang Shalihah & “Kelahiran
Ruhani yang Baik” Para Pengikut Hakiki Rasul
Allah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telag dikemukakan mengenai kewajiban
yang harus dilakukan suami terhadap istrinya adalah, yakni:
(1) membuahi
rahim jasmaninya, sehingga akan lahir
anak-keturunan jasmani keduanya (QS.4:2; QS.49:14),
(2)
membuahi “hatinya” atau “rahim ruhaninya” sehingga akan menjadi istri-istri yang “menyejukkan mata” suaminya (QS.25:75).
Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. berhasil “membuahi rahim jasmani” kedua istri mereka sehingga dari “rahim jasmani” kedua istri tersebut
lahir anak-anak jasmani kedua Rasul Allah tersebut. Tetapi dari segi ruhani kedua istri durhaka tersebut menolak “rahim hatinya dibuahi”
oleh “pembuahan ruhani” kedua suami
mereka yang berpangkat Rasul Allah
tersebut, bahkan kedua istri durhaka tersebut – bersama-sama kaum mereka -- mendustakan dan menentang pendakwaan kerasulan
kedua suami mereka yang suci
tersebut.
“Rahim Ruhani” Manusia yang Menolak “Dibuahi” Ajaran Rasul Allah yang Merupakan “Suami
Ruhani” Kaumnya
Akibat penolakan tersebut maka
dalam “rahim ruhani” (hati) kedua istri
durhaka itu tidak terjadi “pembuahan
ruhani” yang baik, yang akan melahirkan akhlak
dan ruhani terpuji seperti yang dimiliki kedua suami mereka yang suci -- yang oleh Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani disebut kelahiran “bayi hati” kedua istri Rasul Allah, melainkan dari “rahim hati” keduanya melahirkan “darah kotor” berupa akhlak-akhlak buruk, yang menajiskan diri kedua istri durhaka tersebut sehingga akibatnya di akhirat keduanya menjadi
penghuni api neraka, firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ مَثَلًا
لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوا
امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ
عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ
شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ
مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
Allah mengemukakan istri
Nuh dan istri Luth sebagai misal
bagi orang-orang kafir. Keduanya di
bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua
suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di
hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: “Masuklah kamu berdua ke dalam Api
beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm
[66]:11).
Dengan kata lain,
karena orang-orang kafir tidak berusaha
melepaskan diri mereka dari cengkraman nafs-al-Ammarah
(QS.12:54) -- yang digambarkan sebagai
“pembunuhan pemuda” oleh “seorang hamba Allah” agar Allah Swt. menggantinya dengan “pemuda yang shaleh” (QS.18:75 & 81-82) -- lalu akibatnya
sesuai dengan firman Allah Swt.: وَ اَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ
مَوَازِیۡنُہٗ -- dan adapun orang yang
ringan timbangan amalnya, فَاُمُّہٗ ہَاوِیَۃٌ --
maka yang akan menjadi ibu inangnya adalah Hāwiyah, وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا ہِیَہۡ --
dan apakah engkau mengetahui apa Hāwiyah
itu? نَارٌ حَامِیَۃٌ -- yaitu api yang menyala-nyala! (Al-Qāri’ah [101]:9-12).
Pelajaran
lain yang dapat diambil dari istri-istri
durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth
a.s. tersebut adalah, bahwa pada
hakikatnya kedudukan para Rasul Allah bagi kaumnya atau bagi umat
manusia merupakan kedudukan suami
terhadap istrinya, itulah sebabnya
Allah Swt. telah mengumpamakan kaum
yang mendustakan dan menentang
Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka dengan istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan
Nabi Luth.
Kenapa
demikian? Sebab sebagaimana kedua istri
durhaka tersebut termasuk orang-orang yang mendapat azab Ilahi bersama dengan kaum keduanya yang juga durhaka
kepada Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth
a.s., demikian pula merupakan Sunnatullah
bahwa kaum-kaum yang mendustakan
dan menentang para Rasul Allah akhirnya dibinasakan oleh azab Ilahi yang sebelumnya telah diperingatkan para Rasul
Allah kepada mereka, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ الٓرٰ ۟ تِلۡکَ
اٰیٰتُ الۡکِتٰبِ الۡحَکِیۡمِ ﴿﴾ اَکَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا اَنۡ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلٰی رَجُلٍ مِّنۡہُمۡ اَنۡ
اَنۡذِرِ النَّاسَ وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنَّ لَہُمۡ قَدَمَ صِدۡقٍ
عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ؕؔ قَالَ الۡکٰفِرُوۡنَ اِنَّ ہٰذَا لَسٰحِرٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. الٓرٰ -- Aku
Allah Yang Maha Melihat. Inilah
Ayat-ayat Kitab yang penuh hikmah.
Apakah senantiasa menjadi hal
yang mengherankan bagi manusia, bahwa Kami
telah mewahyukan kepada seorang lelaki di antara mereka: “Peringatkanlah
manusia dan sampaikanlah kabar
gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa sesungguhnya untuk mereka ada martabat yang sempurna di sisi Rabb (Tuhan) mereka” Orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya
orang ini tukang sihir yang
nyata.” (Yunus [10]:1-3).
“Istri Fir’aun”
Misal Orang-orang Beriman dan Bertakwa
Berbeda
dengan misal keadaan orang-orang kafir, keadaan orang-orang
yang beriman kepada Allah Swt.
dan Rasul-Nya dimisalkan (diumpamakan) sebagai istri Fir’aun yang shalihah,
firman-Nya:
وَ ضَرَبَ اللّٰہُ مَثَلًا
لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal
bagi orang-orang beriman, ketika ia
berkata: “Hai Rabb (Tuhan), buatkanlah
bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
aku dari kaum yang zalim. (At-Tahrīm
[66]:11).
Istri Fir’aun yang shalihah menggambarkan keadaan orang-orang
beriman yang berhasil melepaskan diri dari
keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:54) lalu memasuki keadaan nafs-al-Lawwamah (QS.75:3), yang
meskipun berkeinginan dan berdoa terus-menerus agar bebas dari dosa, tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk yang dilukiskan dalam
wujud Fir’aun, yakni pengaruh buruk
keadaan nafs- al-Ammarah (QS.12:54) belum sepenuhnya hilang dalam
dirinya, sekali pun mereka digambarkan
dalam Al-Quran telah meminum “minuman
surgawi” yang campurannya kafur,
firman-Nya:
اِنَّ الۡاَبۡرَارَ
یَشۡرَبُوۡنَ مِنۡ کَاۡسٍ کَانَ مِزَاجُہَا کَافُوۡرًا ۚ﴿﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا عِبَادُ اللّٰہِ
یُفَجِّرُوۡنَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan, mereka minum
dari piala yang campurannya kapur, dari
mata air yang darinya hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan pancaran yang deras. (Ad-Dahr [76]:6-7).
Kafūr berasal dari kafara, yang
berarti menutup atau menekan. Arti ayat ini ialah meneguk minuman
kapur akan membawa akibat hawa-nafsu
kebinatangan menjadi dingin
atau dapat dikendalikan, sehingga hati
orang-orang beriman yang bertakwa akan disucikan dari segala pikiran
kotor, dan mereka akan didinginkan
dengan kesejukan irfan (makrifat) Ilahi yang mendalam.
Orang-orang beriman yang bertakwa akan minum dari cawan yang diisi dari sumber-sumber mata air yang digali mereka sendiri dengan bekerja keras, karena itulah arti kata tafjīr.
Perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan mereka dalam kehidupan duniawi akan nampak di akhirat dalam bentuk sumber-sumber
mata air.
Setelah
berhasil melepaskan diri dari
cengraman keadaan nafs-al-Ammarah
(QS.12:54) tersebut lalu orang-orang beriman dan bertakwa tersebut lalu mulai
memasuki keadaan nafs-al-Lawwāmah (jiwa
yang menyesali diri sendiri - QS.75:3), dan dalam tingkatan ruhani ini keadaan mereka seperti halnya anak-anak yang baru belajar berjalan,
atau seperti orang yang baru sembuh dari sakit berat sehingga
kadang-kadang gagal dan kadang-kadang
tergelincir dan jatuh.
Tetapi
karena setiap kali mereka
tergelincir dan jatuh lalu mereka berusaha bangkit
kembali serta meneruskan perjalanannya
atau pendakian ruhaninya sehingga akhirnya mereka dapat melewati keadaan nafs al-Lawwāmah,
lalu -- dengan rahmat dan karunia Ilahi
-- akan memasuki keadaan nafs-al-Muthmainnah (jiwa yang tentram –
QS.89:28-31 itulah sebabnya mereka yang berada pada tingkatan nafs-al-Lawwamah
di akhirat digambarkan akan diberi minuman surgawi yang campurannya zanjabil (jahe) dari
mata air surgawi yang nama salsabil, firman-Nya:
وَ یُطَافُ عَلَیۡہِمۡ بِاٰنِیَۃٍ
مِّنۡ فِضَّۃٍ وَّ اَکۡوَابٍ
کَانَتۡ قَؔوَارِیۡرَا۠ ﴿ۙ﴾ قَؔوَارِیۡرَا۠ مِنۡ فِضَّۃٍ قَدَّرُوۡہَا تَقۡدِیۡرًا ﴿﴾ وَ یُسۡقَوۡنَ فِیۡہَا کَاۡسًا کَانَ مِزَاجُہَا
زَنۡجَبِیۡلًا ﴿ۚ﴾ عَیۡنًا فِیۡہَا تُسَمّٰی سَلۡسَبِیۡلًا ﴿﴾ وَ یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ
وِلۡدَانٌ مُّخَلَّدُوۡنَ ۚ اِذَا رَاَیۡتَہُمۡ حَسِبۡتَہُمۡ لُؤۡلُؤًا مَّنۡثُوۡرًا﴿﴾
Dan bejana-bejana
minuman dari perak diedarkan
kepada mereka dan piala-piala seperti kaca, seperti kaca, terbuat dari perak,
mereka mengukurnya sesuai dengan ukuran. Dan di dalamnya mereka diberi segelas minuman yang dicam-purannya
zanjabil (jahe). Dari mata
air di dalamnya yang disebut Salsabil.
Dan mereka dikelilingi pemuda-pemuda yang tetap muda.
Apabila engkau melihat mereka, engkau menyangka mereka itu mutiara-mutiara yang bertaburan. (Ad-Dahr [76]:16-20).
Kata zanjabil (jahe) sebagai
kata majemuk, ialah, paduan kata zanā (naik) dan jabal (gunung),
berarti “ia mendaki gunung”. Zanjabil
atau jahe itu sangat berfaedah
guna membangkitkan suhu badan, panas
secara alamiah. Zanjabil memberi kekuatan
dan membangkitkan suhu panas dalam badan yang lemah sehingga orang itu
mampu mendaki ketinggian-ketinggian
yang terjal.
Kedua ayat itu yang di
dalamnya kata kafūr (kamper) dan kata zanjabil (jahe) disebut,
dimaksudkan memikat perhatian kepada kedua
tingkat keadaan ruhani yang orang
beriman harus melaluinya untuk meraih kemajuan
ruhani, dari tingkat rendah
keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:54)
sebagai budak nafsunya meningkat ke ketinggian
budipekerti dan ketakwaan dalam
keadaan nafs-Lawwamah (76:3) dan keadaan
nafs-al-Muthmainnah (QS.
98:28-31).
Mengenai kenyataan tersebut Pendiri Jemaat
Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s., menjelaskan dalam buku Falsafah Ajaran Islam:
“Tingkat pertama, yang pada tingkat itu zat-zat racun ditindas dan gejolak nafsu jadi mereda, disebut
tingkat kafur, sebab pada tingkat
inilah penindasan terhadap zat-zat racun berlaku, seperti halnya kamper (kapur barus) mempunyai khasiat melenyapkan akibat yang kuat dorongan nafsu. Tetapi kekuatan ruhani yang diperlukan guna
mengatasi segala kesukaran diperoleh pada tingkat kedua, yang disebut tingkat zanjabil.
Jahe
ruhani (zanjabil) yang mempunyai khasiat seperti obat kuat pada sistem keruhanian
adalah pengejawantahan keindahan dan
kemuliaan Ilahi, yang memberi makan
kepada ruh. Dibantu oleh penjelmaan itu sang pengembara ruhani mampu menempuh padang pasir tandus dan menaiki (mendaki) ketinggian-ketinggian
terjal yang dijumpai olehnya pada perjalanan
ruhaninya…..
Kata
salsabil
yang secara harfiah berarti “menanyakan
jalan yang harus ditempuh”, makna ayat ini ialah pada tingkat zanjabil (jahe) sang kelana ruhani menjadi begitu mabuk
cinta kepada Allah Swt. sehingga dalam kerinduannya yang meluap-luap hendak
berjumpa dengan Allah Swt. ia bertanya
di mana-mana dan kepada setiap orang menanyakan jalan pendekatan terdekat dan tercepat
ke ambang pintu Ilahi.”
Jadi, falsafah “minuman surgawi” yang campurannya kapur melambangkan
tingkat pertama dalam perkembangan
ruhani yang menghendaki kerja keras
dan tidak putus-putus pada pihak
orang-orang beriman, sebab selama
manusia belum dapat mengendalikan serta
menekan hawa nafsu jahatnya, selama
itu ia tidak dapat membuat suatu kemajuan
ruhani pada tingkatan nafs-al-Lawwamah
(QS.75:3).
“Mata air” yang tercantum dalam ayat ini adalah mata air kecintaan Allah Swt. dan makrifat Ilahi.
Sehubungan dengan keadaan nafs-al-Lawwamah tersebut, Mirza
Ghulam Ahmad a.s. – Al-Masih Mau’ud a.s.
– dalam buku Falsafah Ajaran
Islam lebih lanjut menjelaskan:
“Keadaan manusia pada derajat nafs lawwaamah adalah ia berulang
kali bertaubat dan berulang kali tergelincir. Bahkan acapkali ia berputus asa terhadap kemampuan
dirinya dan menganggap penyakitnya tidak dapat
disembuhkan lagi. Hingga satu jangka
waktu tertentu keadaannya demikian. Kemudian ketika waktu yang ditetapkan
telah sempurna, maka pada malam
hari atau pada siang hari
turunlah suatu nur (cahaya) kepadanya, dan di dalam nur (cahaya) itu terkandung kekuatan Ilahi.
Bersamaan dengan turunnya nur (cahaya) itu timbul suatu perubahan
menakjubkan di dalam dirinya dan terasa adanya suatu kekuatan Tangan Gaib, lalu
nampaklah di hadapannya suatu alam yang menakjubkan. Pada saat
itu manusia menyadari bahwa Tuhan
benar-benar ada, dan pada matanya muncul cahaya
yang tidak ada sebelumnya.
Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat
menemui jalan itu, dan bagaimana kita dapat memperoleh nur (cahaya) itu? Jadi, hendaknya diketahui bahwa di dunia ini
-- yang merupakan tempat berlakunya faktor-faktor sebab -- bagi setiap akibat
ada satu penyebabnya, dan bagi setiap gerak ada satu penggeraknya.
Dan untuk meraih setiap ilmu ada satu jalan
yang dinamakan shirāthal mustaqim.
Tiada suatu pun di dunia ini yang dapat diperoleh tanpa mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh kudrat (kekuasaan Tuhan) baginya sejak awal.
Hukum kudrat menunjukkan,
bahwa untuk memperoleh sesuatu ada shirāthal
mustaqim, yang secara kudrati dengan bertumpu kepadanyalah
hal itu baru dapat diperoleh. Umpamanya, jika kita duduk
di dalam sebuah kamar yang gelap dan memerlukan cahaya
matahari maka shirātal mustaqim bagi kita ialah kita harus membuka jendela
yang menghadap ke arah matahari. Dengan demikian barulah
cahaya
matahari akan masuk ke dalam lalu menyinari kita.
Jadi,
jelaslah untuk memperoleh karunia Tuhan yang sejati dan hakiki pasti ada suatu jendela
tertentu, dan untuk mencapai keruhanian yang suci pasti ada suatu cara tersendiri.
Dan caranya, carilah shirāthal mustaqim bagi hal-hal ruhaniah
sebagaimana kita mencari shirāthal mustaqim bagi
keberhasilan-keberhasilan dalam segala
urusan kehidupan kita.
Akan tetapi apakah memang demikian
caranya, yaitu kita mencari perjumpaan dengan Tuhan hanya
bertumpu pada kemampuan akal kita dan melalui hal-hal yang kita rancang
sendiri saja? Apakah hanya melalui logika dan falsafah kita saja
maka pintu-pintu itu akan terbuka
bagi kita – padahal terbukanya
pintu-pintu tersebut sangat
tergantung pada Tangan-Nya
yang perkasa?
Fahamilah dengan seyakin-yakinnya, bahwa
hal demikian sama sekali tidak benar.
Kita sama sekali tidak dapat meraih Sang Hayyul Qayyum dengan hanya melalui upaya-upaya
kita sendiri. Justru pada jalan ini satu-satunya shirāthal
mustaqim ialah, pertama-tama kita harus mewakafkan kehidupan kita beserta kemampuan
kita pada jalan Allah, kemudian tetap tekun memanjatkan doa
untuk meraih perjumpaan dengan Allah,
supaya kita bisa mendapatkan Tuhan dengan perantaraan Tuhan sendiri.”
Jadi, semata-maka dengan rahmat
dan karunia Allah Swt. akhirnya
para salik (penempuh jalan ruhani) yang
hakiki tersebut akan memasuki keadaan nafs-al-Muthmainnah,
firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ
الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang
tenteram! Kembalilah kepada Rabb
(Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya
dan Dia pun ridha kepada
engkau, maka masuklah dalam golongan
hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:27-29).
Ini merupakan tingkat perkembangan
ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha
kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan
akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani
yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa
Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi
di dalam dirinya, dan di dunia inilah
dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar