Selasa, 10 Juni 2014

Hakikat Perumpamaan "istri Fir'aun" yang Shalihah & "Kelahiran Ruhani yang Baik" Para Pengikut Hakiki Rasul Allah


 

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   238

Hakikat Perumpamaan “Istri Fir’aun” yang Shalihah  & “Kelahiran Ruhani yang Baik” Para Pengikut Hakiki Rasul Allah

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir Bab sebelumnya telag dikemukakan mengenai  kewajiban yang harus dilakukan suami terhadap istrinya adalah, yakni:
(1) membuahi rahim jasmaninya, sehingga akan lahir anak-keturunan  jasmani keduanya (QS.4:2; QS.49:14),
        (2) membuahi “hatinya” atau “rahim ruhaninya” sehingga akan menjadi istri-istri yang “menyejukkan mata” suaminya (QS.25:75).
     Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. berhasil “membuahi rahim jasmani” kedua istri mereka sehingga dari “rahim jasmani” kedua istri tersebut lahir anak-anak jasmani kedua Rasul Allah tersebut. Tetapi dari segi ruhani kedua istri durhaka tersebut menolak “rahim hatinya  dibuahi” oleh “pembuahan ruhani” kedua suami mereka yang berpangkat Rasul Allah tersebut, bahkan kedua  istri durhaka tersebut  – bersama-sama kaum mereka --  mendustakan dan menentang pendakwaan kerasulan kedua suami mereka yang suci tersebut.

“Rahim Ruhani”  Manusia yang Menolak “Dibuahi” Ajaran Rasul Allah yang Merupakan    Suami Ruhani” Kaumnya 

 Akibat penolakan tersebut  maka  dalam  rahim ruhani” (hati) kedua istri durhaka itu tidak terjadi “pembuahan ruhani” yang baik, yang akan melahirkan akhlak dan ruhani terpuji  seperti yang dimiliki kedua suami mereka yang suci  -- yang  oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani disebut kelahiran “bayi hati   kedua istri Rasul Allah, melainkan dari “rahim hati” keduanya melahirkan “darah kotor” berupa akhlak-akhlak buruk,  yang menajiskan  diri kedua istri durhaka tersebut sehingga akibatnya di akhirat keduanya   menjadi penghuni api neraka, firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
       Dengan kata lain, karena orang-orang kafir tidak berusaha melepaskan diri mereka dari cengkraman nafs-al-Ammarah (QS.12:54)    -- yang digambarkan sebagai “pembunuhan pemuda” oleh “seorang hamba Allah  agar Allah Swt. menggantinya dengan “pemuda yang shaleh” (QS.18:75 & 81-82)  -- lalu akibatnya sesuai dengan firman Allah Swt.:    وَ اَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ مَوَازِیۡنُہٗ  --  dan adapun orang  yang ringan timbangan amalnya,  فَاُمُّہٗ  ہَاوِیَۃٌ --  maka yang akan menjadi ibu inangnya adalah Hāwiyah,      وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا ہِیَہۡ    -- dan apakah engkau mengetahui apa Hāwiyah itu?     نَارٌ حَامِیَۃٌ  -- yaitu api yang menyala-nyala! (Al-Qāri’ah [101]:9-12).
         Pelajaran lain yang dapat diambil dari istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. tersebut adalah,  bahwa pada hakikatnya kedudukan para Rasul Allah bagi kaumnya atau bagi umat manusia merupakan kedudukan suami terhadap istrinya, itulah sebabnya Allah Swt. telah mengumpamakan kaum yang mendustakan dan menentang  Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka dengan istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth.
        Kenapa demikian? Sebab sebagaimana kedua istri durhaka tersebut termasuk orang-orang yang mendapat azab Ilahi bersama dengan  kaum keduanya  yang juga  durhaka kepada  Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.,  demikian pula merupakan Sunnatullah bahwa  kaum-kaum yang mendustakan dan menentang para Rasul Allah akhirnya dibinasakan oleh azab Ilahi yang sebelumnya telah diperingatkan para Rasul Allah kepada  mereka,  firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ الٓرٰ ۟ تِلۡکَ اٰیٰتُ الۡکِتٰبِ  الۡحَکِیۡمِ ﴿﴾   اَکَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا اَنۡ اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلٰی رَجُلٍ مِّنۡہُمۡ اَنۡ اَنۡذِرِ النَّاسَ وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنَّ لَہُمۡ قَدَمَ صِدۡقٍ عِنۡدَ  رَبِّہِمۡ ؕؔ قَالَ الۡکٰفِرُوۡنَ  اِنَّ ہٰذَا لَسٰحِرٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. الٓرٰ  --  Aku Allah Yang Maha Melihat.  Inilah  Ayat-ayat Kitab yang penuh hikmah.  Apakah senantiasa menjadi hal yang mengherankan bagi manusia, bahwa Kami telah mewahyukan kepada seorang lelaki di antara mereka:  Peringatkanlah manusia dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa sesungguhnya untuk mereka ada martabat yang  sempurna di sisi  Rabb (Tuhan) merekaOrang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya orang ini tukang sihir    yang nyata.”  (Yunus [10]:1-3).

“Istri Fir’aun” Misal  Orang-orang Beriman  dan Bertakwa

        Berbeda dengan misal keadaan orang-orang kafir, keadaan  orang-orang yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dimisalkan (diumpamakan) sebagai istri Fir’aun yang shalihah, firman-Nya:
وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai  Rabb (Tuhan), buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim. (At-Tahrīm [66]:11).
        Istri Fir’aun yang shalihah menggambarkan keadaan orang-orang beriman yang berhasil melepaskan  diri dari  keadaan  nafs-al-Ammarah (QS.12:54) lalu memasuki keadaan nafs-al-Lawwamah (QS.75:3), yang meskipun berkeinginan dan berdoa terus-menerus agar bebas dari dosa, tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk yang dilukiskan dalam wujud Fir’aun, yakni pengaruh  buruk  keadaan nafs- al-Ammarah  (QS.12:54) belum sepenuhnya hilang dalam dirinya,  sekali pun mereka digambarkan dalam Al-Quran telah meminum “minuman surgawi” yang campurannya kafur, firman-Nya:
اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ  یَشۡرَبُوۡنَ مِنۡ کَاۡسٍ کَانَ مِزَاجُہَا  کَافُوۡرًا ۚ﴿﴾  عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا عِبَادُ اللّٰہِ یُفَجِّرُوۡنَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang  yang berbuat kebajikan, mereka  minum dari piala yang campurannya  kapur,   dari mata air   yang darinya hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan pancaran yang deras.  (Ad-Dahr [76]:6-7).
   Kafūr berasal dari kafara, yang berarti menutup atau menekan. Arti ayat ini ialah  meneguk minuman kapur  akan membawa akibat   hawa-nafsu kebinatangan menjadi  dingin   atau dapat dikendalikan, sehingga   hati orang-orang beriman yang bertakwa akan disucikan dari segala pikiran kotor, dan mereka akan didinginkan dengan kesejukan irfan (makrifat) Ilahi yang mendalam.
   Orang-orang beriman yang bertakwa akan minum dari cawan yang diisi dari sumber-sumber mata air yang digali mereka sendiri dengan bekerja keras, karena itulah arti kata tafjīr. Perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan mereka dalam kehidupan duniawi akan nampak di akhirat dalam bentuk sumber-sumber mata air.
      Setelah berhasil melepaskan diri dari cengraman keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:54) tersebut  lalu orang-orang beriman dan bertakwa tersebut lalu  mulai memasuki keadaan nafs-al-Lawwāmah (jiwa yang menyesali diri sendiri   -  QS.75:3),  dan dalam tingkatan  ruhani ini keadaan mereka seperti halnya anak-anak yang baru belajar  berjalan, atau  seperti orang yang baru sembuh dari sakit berat  sehingga kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir dan jatuh.        
       Tetapi  karena  setiap kali  mereka  tergelincir dan jatuh  lalu mereka berusaha bangkit kembali serta  meneruskan perjalanannya  atau pendakian ruhaninya  sehingga akhirnya  mereka dapat melewati keadaan nafs al-Lawwāmah,   lalu  -- dengan rahmat dan karunia Ilahi -- akan memasuki keadaan nafs-al-Muthmainnah (jiwa yang tentram – QS.89:28-31  itulah sebabnya mereka  yang berada pada tingkatan nafs-al-Lawwamah di akhirat digambarkan akan diberi minuman surgawi  yang campurannya zanjabil (jahe) dari mata air surgawi yang nama salsabil, firman-Nya:
وَ یُطَافُ عَلَیۡہِمۡ  بِاٰنِیَۃٍ  مِّنۡ  فِضَّۃٍ وَّ اَکۡوَابٍ کَانَتۡ قَؔوَارِیۡرَا۠ ﴿ۙ﴾  قَؔ‍وَارِیۡرَا۠ مِنۡ فِضَّۃٍ  قَدَّرُوۡہَا تَقۡدِیۡرًا ﴿﴾  وَ یُسۡقَوۡنَ  فِیۡہَا کَاۡسًا کَانَ مِزَاجُہَا زَنۡجَبِیۡلًا ﴿ۚ﴾  عَیۡنًا فِیۡہَا تُسَمّٰی سَلۡسَبِیۡلًا ﴿﴾  وَ یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ وِلۡدَانٌ  مُّخَلَّدُوۡنَ ۚ اِذَا  رَاَیۡتَہُمۡ حَسِبۡتَہُمۡ  لُؤۡلُؤًا مَّنۡثُوۡرًا﴿﴾
Dan bejana-bejana minuman dari perak diedarkan kepada mereka  dan piala-piala seperti kaca,  seperti kaca, terbuat dari perak, mereka mengukurnya sesuai dengan ukuran.  Dan di dalamnya mereka diberi segelas minuman yang dicam-purannya zanjabil (jahe). Dari mata air di dalamnya yang disebut Salsabil.  Dan mereka dikelilingi pemuda-pemuda yang tetap muda. Apabila engkau melihat mereka, engkau menyangka mereka itu mutiara-mutiara yang bertaburan. (Ad-Dahr [76]:16-20).
  Kata zanjabil (jahe) sebagai kata majemuk, ialah, paduan kata zanā (naik) dan jabal (gunung), berarti “ia mendaki gunung”. Zanjabil atau jahe itu sangat berfaedah guna membangkitkan suhu badan, panas secara alamiah. Zanjabil memberi kekuatan dan membangkitkan suhu panas dalam badan yang lemah sehingga orang itu mampu mendaki ketinggian-ketinggian yang terjal.
    Kedua ayat itu yang di dalamnya kata kafūr (kamper) dan kata zanjabil (jahe) disebut, dimaksudkan memikat perhatian kepada kedua tingkat keadaan ruhani yang orang beriman harus melaluinya untuk meraih kemajuan ruhani, dari tingkat rendah keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:54) sebagai budak nafsunya meningkat  ke ketinggian budipekerti dan ketakwaan dalam keadaan nafs-Lawwamah (76:3) dan keadaan  nafs-al-Muthmainnah (QS. 98:28-31).
 Mengenai kenyataan tersebut Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s.,  menjelaskan dalam buku Falsafah Ajaran Islam:
  Tingkat pertama, yang pada tingkat itu zat-zat racun ditindas dan gejolak nafsu jadi mereda, disebut tingkat kafur, sebab pada tingkat inilah penindasan terhadap zat-zat racun berlaku, seperti halnya kamper (kapur barus) mempunyai khasiat melenyapkan akibat yang kuat dorongan nafsu. Tetapi  kekuatan ruhani yang diperlukan guna mengatasi segala kesukaran diperoleh pada tingkat kedua, yang disebut tingkat zanjabil.
  Jahe ruhani (zanjabil) yang mempunyai khasiat seperti obat kuat pada sistem keruhanian adalah pengejawantahan keindahan dan kemuliaan Ilahi, yang memberi makan kepada ruh. Dibantu oleh penjelmaan itu sang pengembara ruhani mampu menempuh padang pasir tandus dan menaiki (mendaki) ketinggian-ketinggian terjal yang dijumpai olehnya pada perjalanan ruhaninya…..
      Kata salsabil yang secara harfiah berarti “menanyakan jalan yang harus ditempuh”, makna ayat ini ialah pada tingkat zanjabil  (jahe) sang kelana ruhani menjadi begitu mabuk cinta kepada Allah  Swt. sehingga dalam kerinduannya yang meluap-luap hendak berjumpa dengan Allah Swt. ia bertanya di mana-mana dan kepada setiap orang   menanyakan jalan pendekatan terdekat dan tercepat ke ambang pintu Ilahi.” 
  Jadi,  falsafah “minuman surgawi” yang campurannya kapur  melambangkan  tingkat pertama dalam perkembangan ruhani yang menghendaki kerja keras dan tidak putus-putus pada pihak orang-orang beriman, sebab selama manusia belum dapat mengendalikan serta menekan hawa nafsu jahatnya, selama itu ia tidak dapat membuat suatu kemajuan ruhani pada tingkatan nafs-al-Lawwamah  (QS.75:3).  “Mata air” yang tercantum dalam ayat ini adalah mata air kecintaan Allah Swt. dan makrifat Ilahi.
      Sehubungan dengan keadaan  nafs-al-Lawwamah tersebut, Mirza Ghulam Ahmad a.s. – Al-Masih Mau’ud a.s.  – dalam buku Falsafah Ajaran Islam lebih lanjut menjelaskan:
      Keadaan manusia pada derajat nafs lawwaamah adalah ia berulang kali bertaubat dan berulang kali tergelincir. Bahkan acapkali ia berputus asa  terhadap kemampuan dirinya dan menganggap penyakitnya tidak dapat disembuhkan lagi. Hingga  satu jangka waktu tertentu keadaannya demikian. Kemudian ketika waktu yang ditetapkan telah sempurna, maka pada malam hari atau pada siang hari turunlah suatu nur (cahaya) kepadanya,  dan di dalam nur (cahaya) itu terkandung kekuatan Ilahi.
       Bersamaan dengan turunnya nur (cahaya) itu timbul suatu perubahan menakjubkan di dalam dirinya dan terasa adanya suatu kekuatan Tangan Gaib, lalu nampaklah di hadapannya suatu alam yang menakjubkan. Pada saat itu manusia menyadari bahwa Tuhan benar-benar ada, dan pada matanya muncul cahaya yang tidak ada sebelumnya.
    Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat menemui jalan itu, dan bagaimana kita dapat memperoleh  nur (cahaya) itu?  Jadi, hendaknya diketahui bahwa di dunia ini -- yang merupakan tempat berlakunya faktor-faktor sebab --  bagi setiap akibat ada satu penyebabnya, dan bagi setiap gerak ada satu penggeraknya. Dan untuk meraih setiap ilmu ada satu jalan yang dinamakan shirāthal mustaqim. Tiada suatu pun di dunia ini yang dapat diperoleh tanpa mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh kudrat (kekuasaan Tuhan) baginya sejak awal.
       Hukum kudrat menunjukkan, bahwa untuk memperoleh sesuatu ada shirāthal mustaqim, yang secara kudrati dengan bertumpu kepadanyalah  hal itu  baru dapat diperoleh. Umpamanya, jika kita duduk di dalam sebuah kamar yang gelap dan memerlukan cahaya matahari maka shirātal mustaqim bagi kita  ialah kita harus membuka jendela yang menghadap ke arah matahari. Dengan demikian barulah cahaya matahari akan masuk ke dalam lalu menyinari kita.
     Jadi,   jelaslah untuk memperoleh karunia Tuhan yang sejati dan hakiki pasti ada suatu jendela tertentu, dan untuk mencapai keruhanian yang suci  pasti ada suatu cara tersendiri. Dan caranya, carilah shirāthal mustaqim bagi hal-hal ruhaniah sebagaimana kita mencari shirāthal mustaqim bagi keberhasilan-keberhasilan dalam segala urusan kehidupan kita.
     Akan tetapi apakah memang demikian caranya, yaitu kita mencari perjumpaan dengan Tuhan hanya bertumpu pada kemampuan akal kita dan melalui hal-hal yang kita rancang sendiri saja? Apakah hanya melalui logika dan falsafah kita saja maka pintu-pintu itu akan terbuka bagi kita – padahal terbukanya pintu-pintu tersebut  sangat tergantung pada Tangan-Nya yang perkasa?
    Fahamilah dengan seyakin-yakinnya, bahwa hal demikian sama sekali tidak benar. Kita sama sekali tidak dapat  meraih Sang Hayyul Qayyum dengan hanya melalui upaya-upaya kita sendiri. Justru pada jalan ini satu-satunya shirāthal mustaqim ialah, pertama-tama kita harus mewakafkan kehidupan kita beserta kemampuan kita pada jalan Allah, kemudian tetap tekun memanjatkan doa untuk meraih perjumpaan dengan Allah, supaya kita bisa mendapatkan Tuhan dengan perantaraan Tuhan sendiri.”
         Jadi, semata-maka dengan  rahmat  dan karunia Allah Swt.  akhirnya para salik (penempuh jalan ruhani) yang  hakiki  tersebut   akan memasuki keadaan nafs-al-Muthmainnah, firman-Nya:  
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau, maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]:27-29).   
  Ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   20 Mei    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar