Jumat, 27 Juni 2014

Berbagai Kemampuan Manusia Sebagai "MIcro Cosmos" (Miniatur Alam Semesta) & Makna Diciptakan-Nya Iblis dari "Api"





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   249

    Berbagai Kemampuan Manusia  Sebagai   Micro Cosmos (Miniatur Alam Semesta) & Makna  Diciptakan-Nya Iblis dari “Api

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 

D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan    mengenai  makna  ayat وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا   --   Dan demi jiwa dan penyempurnaannya” berarti,   bahwa semua khasiat yang dipersembahkan benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan lain-lain dalam rangka melayani (mengkhidmati) makhluk-makhluk Allah – yang dikemukakan dalam ayat 2 sampai ayat 9 sebagai obyek-obyek persumpahan Allah Swt. --  dan yang mengenai kenyataan itu telah disebutkan dalam ayat 10, memberi kesaksian bahwa manusia telah dianugerahi sifat-sifat serupa itu dalam derajat lebih tinggi, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ الۡقَمَرِ  اِذَا  تَلٰىہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ النَّہَارِ  اِذَا  جَلّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ الَّیۡلِ  اِذَا یَغۡشٰىہَا ۪ۙ﴿۴﴾ وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا طَحٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Demi matahari dan sinarnya di pagi hari,   dan demi bulan apabila ia mengikutinya,    dan demi siang apabila ia menzahirkan kemegahannya,   dan demi malam  apabila ia menutupinya,   dan demi langit dan pembinaannya,  dan demi bumi dan penghamparannya,   dan demi jiwa dan penyempurnaannya. (Asy-Syams [91]:1-8).

Makna “Sumpah” Allah Swt. dalam Al-Quran

    Huruf wau berarti:  juga; maka; sedangkan; sementara itu; pada waktu itu juga; bersama-sama; dengan; namun; tetapi. Huruf itu mempunyai arti yang sama dengan kata rubba, yaitu seringkali; kadang-kadang; barangkali. Huruf wau itu pun merupakan huruf persumpahan, yang berarti “demi” atau “aku bersumpah” atau “aku kemukakan sebagai saksi” (Aqrab-al-Mawarid dan Lexicon Lane). Wau telah dipakai dalam ayat-ayat  dalam arti “demi,” atau “aku bersumpah,” atau “aku kemukakan sebagai saksi.”
 Dalam Al-Quran Allah Ta’ala telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda tertentu atau telah menyebut wujud-wujud dan benda-benda itu sebagai saksi. Biasanya, bila seseorang mengambil sumpah dan bersumpah dengan nama Allah maka tujuannya ialah mengisi kelemahan persaksian yang kurang cukup atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya. Dengan berbuat demikian ia memanggil Allah Swt. sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar bila tidak ada orang lain dapat memberikan persaksian atas kebenaran pernyataannya.
Tetapi tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah Al-Quran. Bilamana Al-Quran mempergunakan bentuk demikian maka kebenaran pernyataan yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan belaka melainkan dengan dalil kuat yang terkandung dalam sumpah itu sendiri.
Kadang-kadang sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan sendirinya menarik perhatian kepada apa yang dapat diambil arti, yaitu hukum-hukum ruhani dari apa yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan suatu nubuatan yang dengan menjadi sempurnanya membuktikan kebenaran Al-Quran. Demikianlah halnya di sini.
 Sumpah-sumpah Allah Swt.  dalam Al-Quran mengandung makna yang mendalam. Hukum Allah menampakkan dua segi perbuatan-Nya,  yaitu yang nyata dan yang tersirat. Segi pertama (yang nyata) dapat diketahui dengan mudah, tetapi dalam memahami yang terakhir (yang tersirat)  ada kemungkinan bisa keliru.
 Dalam sumpah-sumpah-Nya, Allah Swt.  menarik perhatian kita kepada apa yang dapat disimpulkan dan benda yang nyata. Dalam sumpah-sumpah tersebut pada ayat-ayat 2-7, matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi, termasuk “yang nyata” – karena khasiat-khasiat benda-benda tersebut pada ayat-ayat ini telah dimaklumi serta diakui secara umum.
   Namun khasiat-khasiat serupa yang terdapat pada ruh manusia “tidak nyata”. Untuk membawa kepada kesimpulan mengenai adanya khasiat-khasiat dalam ruh manusia, Allah Swt.  telah menyebut perbuatan-perbuatan-Nya yang nyata itu sebagai saksi. 

Khasiat Benda-benda Langit dan Bumi & Manusia  adalah Micro Cosmos

   “Matahari” dalam ayat ini dapat menunjuk kepada matahari alam ruhani – Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:46-47)  – yang merupakan sumber seluruh cahaya ruhani dan yang akan terus-menerus menyinari dunia sampai Akhir Zaman.
   “Bulan” selain dapat juga menunjuk kepada  Nabi Nabi Besar Muhammad saw.   --   sebab beliau menerima cahaya dari Allah Swt. dan menyiarkan (memantulkan) cahaya itu ke persada alam ruhani yang gelap itu,  atau kata “bulan” itu dapat pula menunjuk kepada para wali Allah dan para Imam Zaman – khususnya kepada wakil agung beliau saw. di Akhir Zaman ini (QS.61:7),  Mirza Ghulam Ahmad a.s. --  Imam Mahdi a.s. dan  Masih Mau’ud a.s.  . – yang akan menerima cahaya kebenaran dari  Nabi Besar Muhammad saw.  dan menyiarkannya ke dunia untuk menghilangkan kegelapan akhlak dan ruhani yang merebak kembali di Akhir Zaman ini (QS.30:42).
  “Siang” dapat menunjuk kepada masa tatkala Amanat Islam serta kebenaran Pendirinya (Nabi Nabi Besar Muhammad saw.) ditegakkan serta dasar-dasar telah ditegakkan untuk  penyebarluasannya di dunia. Isyarat yang terkandung di dalam ayat ini mungkin tertuju kepada masa Khulafaur-Rasyidin, ketika cahaya Islam memancar dengan segala kemegahan dan kejayaannya selama 3 abad.
  “Malam” dapat menunjuk kepada masa kemunduran dan kemerosotan orang-orang Islam ketika cahaya Islam  -- setelah masa kejayaannya yang pertama selama 3 abad -- secara bertahap dalam waktu 1000 tahun (QS.32:6) telah tersembunyi dari mata dunia.
Keempat ayat ini (2-5) menunjuk kepada empat kurun masa perjalanan Islam yang penuh peristiwa itu, yaitu:
 (1) masa  Nabi Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri, ketika Matahari Ruhani (Rasulullah saw.) sedang memancar dengan sangat megahnya di cakrawala ruhani;   
 (2) masa wakil agung  Nabi Nabi Besar Muhammad saw., yaitu Al-Masih Mau’ud a.s. , ketika nur (cahaya) yang diperoleh dari Nabi Nabi Besar Muhammad saw. dipantulkan  oleh bulan purnama ruhani  tersebut ke suatu dunia yang gelap; 
 (3) masa 4 Khalifah  Nabi Nabi Besar Muhammad saw.  (Khulafaur-Rasyidin) ketika cahaya Islam masih tetap berkilau-kilauan dan,
  (4) masa ketika kegelapan ruhani telah meluas ke seluruh dunia yang terjadi sesudah lewat 3  abad pertama kejayaan Islam.
  Huruf   dalam ayat 6-8   adalah masdariyah atau berarti alladzi, yakni  ia yang”, dengan demikian dalam ayat-ayat ini perhatian telah dipusatkan pada Sang Perencana dan Sang Arsitek Agung alam semesta ini atau pada penyempurnaan alam semesta serta kebebasannya yang penuh dari setiap macam cacat dan kekurangan (QS.67:1-5).
Makna ayat selanjutnya وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا – “demi jiwa dan penyempurnaannya,” menjelaskan bahwa pada hakikatnya  insan  (manusia) adalah merupakan micro cosmos (alam semesta ukuran mini )  dan dalam dirinya ditampilkan dalam skala kecil segala sesuatu yang terwujud di alam semesta, yakni:
(1) Bagaikan matahari ia memancarkan cahayanya ke alam dunia serta meneranginya dengan kilauan cahaya hikmah dan ilmu.
(2) Penaka bulan ia memancarkan (memantulkan) kembali  cahaya kasyaf, ilham, dan wahyu yang dipinjamnya dari Sumber Asli lagi agung, untuk ditujukan kepada mereka yang bermukim di dalam kegelapan.
(4) Ia terang benderang laksana siang hari dan menunjukkan jalan kebenaran dan kebajikan.
(5) Bagaikan malam ia menutupi keaiban dan kesalahan amal orang-orang lain, meringankan beban mereka, dan memberikan istirahat kepada si lelah dan si letih.
(6) Seperti langit ia menaungi setiap jiwa yang bersusah hati dan menghidupkan bumi yang telah mati dengan hujan yang memberi kesegaran.
 7) Laksana  bumi ia menyerahkan diri dengan segala kerendahan untuk diinjak-injak di bawah telapak kaki orang-orang  sebagai percobaan (ujian) bagi mereka, dan dari ruhnya yang telah disucikan itu  tumbuhlah dengan berlimpah-ruah bermacam-macam pohon  ilmu pengetahuan dan kebenaran, dan dengan keteduhan rindangnya dahan-dahan, dan dengan bunga-bunganya, dan dengan buah-buahnya ia menjamu sesama umat manusia.
 Demikianlah keadaan orang-orang kudus (suci) dan para mushlih rabbani yakni para Rasul Allah di antaranya yang terbesar dan paling sempurna ialah Nabi Besar Muhammad saw., sehingga beliau saw.  sebagai suri teladan terbaik (QS.33:22)dan pemilik akhlak yang agung (QS.68:5) mendapat gelar  Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41).
     Makna ayat   فَاَلۡہَمَہَا فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا  -- “Maka Dia mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya dan ketakwaannya”,  Allah Swt.  telah menanamkan  dalam fitrat manusia perasaan atau pengertian mengenai apa yang baik dan buruk, dan telah mewahyukan kepadanya bahwa ia dapat memperoleh kesempurnaan ruhani dengan menjauhi apa yang buruk dan salah dan menerima apa yang benar dan baik.

Penciptaan Insan Kamil (Manusia Sempurna)

     Jadi, kembali kepada  asal penciptaan insan   dalam firman-Nya sebelum ini, yakni:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ ﴿﴾
Dan sungguh  Kami benar-benar telah menciptakan insan  (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk.  Dan sebelumnya Kami telah menjadikan  jin dari api angin panas.  (Al-Hijr [15]:27-28).
     Dengan menggabungkan kata shalshal (tanah liat kering-denting) kepada kata hamā’ (lumpur hitam), Al-Quran bermaksud menunjukkan, bahwa di mana makhluk-makhluk lainnya yang bernyawa diciptakan dari hamā’ (lumpur hitam) saja, yaitu dari campuran  tanah dan air — sebab mereka pun memiliki semacam ruh tertentu, tetapi tidak berkembang dengan sempurna — maka sebaliknya manusia diciptakan dari hamā’ (lumpur hitam) dipadukan dengan shalshal (tanah liat kering denting) -- yang menunjukkan sifat berbicara  --  ia pun masnun, yakni diberi bentuk  atau  diberi berbagai kemampuan jasmani dan ruhani   yang sempurna, firman-Nya:
الَّذِیۡ خَلَقَکَ فَسَوّٰىکَ فَعَدَلَکَ ۙ﴿﴾  فِیۡۤ  اَیِّ صُوۡرَۃٍ  مَّا شَآءَ  رَکَّبَکَ ؕ﴿﴾  کَلَّا  بَلۡ تُکَذِّبُوۡنَ بِالدِّیۡنِ ۙ﴿﴾
Hai insan, apa yang telah memperdayai engkau ihwal Rabb (Tuhan) engkau Yang Maha Mulia, Yang telah menciptakan engkau kemudian  menyempurnakan engkau lalu menata tubuh engkau dengan serasi, di dalam bentuk apa pun yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh engkau? (Al-Infithar [82]:7-9).
      Allah Swt. telah menganugerahi manusia kekuatan-kekuatan (potensi-potensi) dan kemampuan-kemampuan fitri agung agar ia dapat naik ke puncak kemuliaan ruhani setinggi-tingginya. Firman-Nya lagi:
 لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ فِیۡۤ  اَحۡسَنِ تَقۡوِیۡمٍ ۫﴿﴾  ثُمَّ  رَدَدۡنٰہُ  اَسۡفَلَ سٰفِلِیۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَہُمۡ  اَجۡرٌ غَیۡرُ  مَمۡنُوۡنٍ ؕ﴿﴾  فَمَا یُکَذِّبُکَ بَعۡدُ بِالدِّیۡنِ ؕ﴿﴾  اَلَیۡسَ اللّٰہُ  بِاَحۡکَمِ الۡحٰکِمِیۡنَ ٪﴿﴾
Sesungguhnya Kami telah menciptakan insan   dalam sebaik-baik  bentuk, kemudian jika bebuat dosa Kami mengembalikannya ke tingkat paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih maka bagi mereka ada ganjaran yang tidak ada putusnya. Maka apakah yang menyebabkan engkau mendustakan Hari Pembalasan sesudah itu? Bukankah Allah itu Hakim Yang Maha Adil di antara para hakim? (At-Tīn [95]:5-9).
     Jadi,   ayat  وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ  --   “Dan sungguh  Kami benar-benar telah menciptakan insan  (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk” (Al-Hijr [15]:27),    tidak berarti bahwa lumpur itu sekaligus memperoleh bentuk suatu wujud yang hidup tatkala Allah Swt.   menghembuskan ruh ke dalamnya melalui ucapan “Kun, fayakun --  Jadilah, maka terjadilah ia).
       Berulang-ulang kali Al-Quran menyatakan, bahwa kejadian atau penciptaan alam semesta itu berlangsung setahap demi setahap di bawah sifat Rabbubiyyah Allah Swt. (QS.1:2). Ayat yang sekarang ini hanya menyebutkan tahapan pertama saja dari kejadian manusia itu. Tahapan-tahapan lain dalam kejadiannya itu telah disebutkan dalam QS.30:21; QS.35:12; QS.22:6; QS.23:15 dan QS.40:68.
       Pernyataan Al-Quran bahwa manusia telah diciptakan dari “tanah” -- yang secara sepintas lalu berarti, bahwa proses kejadiannya yang panjang itu dimulai dengan tanah --  dikuatkan oleh kenyataan, bahwa bahkan sekarang juga makanan manusia berasal dari tanah, beberapa bagian tertentu dari makanan itu diambil langsung darinya dan beberapa bagian lainnya lagi secara tidak langsung.  Hal tersebut sesuai dengan Sifat Rububiyyah Allah Swt. (QS.1:2).
      Hal ini menunjukkan bahwa zat yang terkandung dalam tanah, merupakan asal manusia; sebab sekiranya bukan demikian, niscaya ia tidak dapat mengambil gizinya (zat sari makanannya) dari tanah, sebab yang dapat memberikan makanan kepada suatu wujud, hanyalah barang yang darinya telah dibuat wujud itu, karena unsur dari luar tidak akan mampu mengisi apa yang telah menjadi susut. 

Makna Penciptaan Jin dari “Api Angin Panas” & Hakikat Peniupan “Ruh” kepada Adam  (Khalifah Allah)

      Kemudian mengenai ayat selanjutnya  وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ  -- “Dan sebelumnya Kami telah menjadikan  jin dari api angin panas.  (Al-Hijr [15]:28).” Sebuah ungkapan Al-Quran yang serupa ini ialah manusia dijadikan dari ketergesa-gesaan (QS.21:38) menunjukkan, bahwa ayat yang sedang dalam pembahasan ini berarti  bahwa jin memiliki pembawaan seperti api dan bukan bahwa makhluk jin itu sesungguhnya dibuat dari api. Berdasarkan QS.18:51 iblis  berasal dari golongan) jin, firman-Nya:
وَ اِذۡ  قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا  لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا  اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ کَانَ مِنَ  الۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ اَمۡرِ رَبِّہٖ ؕ اَفَتَتَّخِذُوۡنَہٗ وَ ذُرِّیَّتَہٗۤ  اَوۡلِیَآءَ مِنۡ دُوۡنِیۡ  وَ ہُمۡ  لَکُمۡ عَدُوٌّ ؕ بِئۡسَ  لِلظّٰلِمِیۡنَ  بَدَلًا﴿﴾ 
Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni patuhlah kepada  Adam," maka   mereka  sujud kecuali iblis, ia adalah dari golongan jin  maka ia mendurhakai perintah  Rabb-Nya (Tuhan-nya). Apakah kamu hendak mengambil dia dan keturunannya sebagai sahabat-sahabat selain Aku, padahal mereka itu musuh-musuh kamu? Sangat buruk  bagi orang-orang yang zalim pertukaran itu. (Al-Kahf [18]:51).
     Dengan demikian bahwa Adam “dijadikan  dari tanah liat” mengandung arti  berpembawaan lemah lembut dan suka tunduk, sedangkan  jin atau Iblis  dijadikan dari api” mengandung arti, ia bertabiat seperti api dan mudah menyala yakni pemarah. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ  اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ  وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ  کُلُّہُمۡ  اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia (basyar) مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ   -- dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Maka apabila Aku telah membentuknya  dengan sempurna, وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِیۡ    -- dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, َقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ --  maka sujudlah yakni patuh-taatlah  kamu   kepadanya.”  Maka  malaikat-malaikat itu sujud semuanya bersama-sama,     kecuali iblis, ia menolak   menjadi termasuk di antara  mereka yang sujud. (Al-Hijr [15]:29-32).


(Bersambung)


Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  6 Juni    2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar