بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 249
Berbagai Kemampuan Manusia Sebagai Micro Cosmos (Miniatur Alam Semesta) & Makna Diciptakan-Nya Iblis dari “Api”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
makna ayat وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا
-- “Dan demi jiwa dan penyempurnaannya” berarti, bahwa semua khasiat yang dipersembahkan benda-benda
langit seperti matahari, bulan, dan lain-lain dalam rangka melayani
(mengkhidmati) makhluk-makhluk Allah
– yang dikemukakan dalam ayat 2 sampai ayat 9 sebagai obyek-obyek persumpahan Allah Swt. -- dan yang mengenai kenyataan itu telah
disebutkan dalam ayat 10, memberi kesaksian
bahwa manusia telah dianugerahi sifat-sifat
serupa itu dalam derajat lebih tinggi,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الۡقَمَرِ
اِذَا تَلٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ النَّہَارِ
اِذَا جَلّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الَّیۡلِ
اِذَا یَغۡشٰىہَا ۪ۙ﴿۴﴾ وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الۡاَرۡضِ
وَ مَا طَحٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Demi matahari dan
sinarnya di pagi hari, dan demi bulan apabila ia
mengikutinya, dan demi
siang apabila ia
menzahirkan kemegahannya, dan demi
malam apabila ia menutupinya, dan
demi langit dan pembinaannya, dan demi bumi dan penghamparannya, dan demi jiwa dan penyempurnaannya.
(Asy-Syams
[91]:1-8).
Makna “Sumpah” Allah Swt. dalam Al-Quran
Huruf wau
berarti: juga; maka; sedangkan;
sementara itu; pada waktu itu juga; bersama-sama; dengan; namun; tetapi. Huruf
itu mempunyai arti yang sama dengan kata rubba, yaitu seringkali;
kadang-kadang; barangkali. Huruf wau itu pun merupakan huruf persumpahan, yang berarti “demi” atau “aku bersumpah” atau “aku
kemukakan sebagai saksi” (Aqrab-al-Mawarid
dan Lexicon Lane). Wau
telah dipakai dalam ayat-ayat dalam arti
“demi,” atau “aku bersumpah,” atau “aku
kemukakan sebagai saksi.”
Dalam Al-Quran Allah Ta’ala telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda
tertentu atau telah menyebut wujud-wujud
dan benda-benda itu sebagai saksi.
Biasanya, bila seseorang mengambil sumpah
dan bersumpah dengan nama Allah maka tujuannya ialah mengisi kelemahan persaksian yang kurang cukup
atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya. Dengan berbuat
demikian ia memanggil Allah Swt.
sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar bila tidak ada orang lain dapat
memberikan persaksian atas kebenaran pernyataannya.
Tetapi tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah Al-Quran. Bilamana
Al-Quran mempergunakan bentuk demikian maka kebenaran
pernyataan yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan
belaka melainkan dengan dalil kuat
yang terkandung dalam sumpah itu
sendiri.
Kadang-kadang sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan sendirinya menarik perhatian
kepada apa yang dapat diambil arti,
yaitu hukum-hukum ruhani dari apa
yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan
suatu nubuatan yang dengan menjadi
sempurnanya membuktikan kebenaran
Al-Quran. Demikianlah halnya di sini.
Sumpah-sumpah
Allah Swt. dalam Al-Quran mengandung
makna yang mendalam. Hukum Allah
menampakkan dua segi perbuatan-Nya, yaitu yang nyata dan yang tersirat.
Segi pertama (yang nyata) dapat diketahui dengan mudah, tetapi dalam memahami yang terakhir (yang
tersirat) ada kemungkinan bisa keliru.
Dalam sumpah-sumpah-Nya, Allah Swt.
menarik perhatian kita kepada
apa yang dapat disimpulkan dan benda yang nyata. Dalam sumpah-sumpah tersebut pada ayat-ayat
2-7, matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi, termasuk “yang nyata”
– karena khasiat-khasiat benda-benda
tersebut pada ayat-ayat ini telah dimaklumi
serta diakui secara umum.
Namun khasiat-khasiat serupa
yang terdapat pada ruh manusia “tidak nyata”. Untuk membawa kepada
kesimpulan mengenai adanya
khasiat-khasiat dalam ruh
manusia, Allah Swt. telah
menyebut perbuatan-perbuatan-Nya yang
nyata itu sebagai saksi.
Khasiat Benda-benda Langit
dan Bumi & Manusia adalah Micro Cosmos
“Matahari”
dalam ayat ini dapat menunjuk kepada matahari
alam ruhani – Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:46-47) – yang merupakan sumber seluruh cahaya ruhani
dan yang akan terus-menerus menyinari
dunia sampai Akhir Zaman.
“Bulan”
selain dapat juga menunjuk kepada Nabi
Nabi Besar Muhammad saw. -- sebab beliau menerima cahaya dari Allah Swt. dan menyiarkan
(memantulkan) cahaya itu ke persada alam ruhani yang gelap itu, atau kata “bulan”
itu dapat pula menunjuk kepada para wali
Allah dan para Imam Zaman – khususnya
kepada wakil agung beliau saw. di Akhir Zaman ini (QS.61:7), Mirza
Ghulam Ahmad a.s. -- Imam
Mahdi a.s. dan Masih Mau’ud a.s. . – yang akan menerima cahaya kebenaran dari Nabi Besar Muhammad saw. dan menyiarkannya
ke dunia untuk menghilangkan kegelapan
akhlak dan ruhani yang merebak
kembali di Akhir Zaman ini
(QS.30:42).
“Siang” dapat menunjuk kepada masa tatkala Amanat Islam serta kebenaran
Pendirinya (Nabi Nabi Besar Muhammad saw.) ditegakkan serta dasar-dasar telah ditegakkan untuk penyebarluasannya
di dunia. Isyarat yang terkandung di dalam ayat ini mungkin tertuju kepada
masa Khulafaur-Rasyidin,
ketika cahaya Islam memancar dengan segala kemegahan dan kejayaannya selama 3 abad.
“Malam” dapat menunjuk kepada masa kemunduran dan kemerosotan orang-orang Islam ketika cahaya Islam -- setelah masa kejayaannya yang pertama selama 3 abad -- secara bertahap dalam waktu 1000 tahun (QS.32:6) telah tersembunyi dari mata dunia.
Keempat ayat ini (2-5) menunjuk kepada empat
kurun masa perjalanan Islam yang
penuh peristiwa itu, yaitu:
(1)
masa Nabi Nabi Besar Muhammad saw. sendiri, ketika Matahari Ruhani (Rasulullah saw.) sedang memancar dengan sangat
megahnya di cakrawala ruhani;
(2)
masa wakil agung Nabi Nabi Besar Muhammad saw., yaitu Al-Masih Mau’ud a.s. , ketika
nur (cahaya) yang diperoleh dari Nabi
Nabi Besar Muhammad saw. dipantulkan
oleh bulan purnama ruhani tersebut ke suatu dunia yang gelap;
(3)
masa 4 Khalifah Nabi Nabi Besar Muhammad saw. (Khulafaur-Rasyidin)
ketika cahaya Islam masih tetap
berkilau-kilauan dan,
(4) masa ketika kegelapan ruhani telah meluas ke seluruh dunia yang terjadi sesudah
lewat 3
abad pertama kejayaan Islam.
Huruf
mā dalam ayat 6-8 adalah masdariyah atau berarti alladzi,
yakni “ia yang”, dengan demikian dalam ayat-ayat ini perhatian telah
dipusatkan pada Sang Perencana dan Sang Arsitek Agung alam semesta ini atau
pada penyempurnaan alam semesta serta
kebebasannya yang penuh dari setiap
macam cacat dan kekurangan (QS.67:1-5).
Makna ayat selanjutnya وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا – “demi
jiwa dan penyempurnaannya,”
menjelaskan bahwa pada hakikatnya insan
(manusia) adalah merupakan micro
cosmos (alam semesta ukuran mini )
dan dalam dirinya ditampilkan
dalam skala kecil segala sesuatu yang
terwujud di alam semesta, yakni:
(1) Bagaikan matahari ia memancarkan cahayanya
ke alam dunia serta meneranginya dengan kilauan cahaya hikmah dan ilmu.
(2) Penaka bulan ia memancarkan (memantulkan) kembali cahaya
kasyaf, ilham, dan wahyu yang dipinjamnya dari Sumber Asli lagi agung, untuk ditujukan kepada mereka yang bermukim di dalam kegelapan.
(4) Ia terang benderang laksana siang hari dan menunjukkan jalan kebenaran dan kebajikan.
(5) Bagaikan malam ia menutupi keaiban
dan kesalahan amal orang-orang lain,
meringankan beban mereka, dan
memberikan istirahat kepada si lelah
dan si letih.
(6) Seperti langit ia menaungi setiap jiwa
yang bersusah hati dan menghidupkan bumi yang telah mati dengan hujan yang
memberi kesegaran.
7)
Laksana bumi ia menyerahkan diri dengan segala kerendahan untuk diinjak-injak di bawah telapak kaki
orang-orang sebagai percobaan (ujian) bagi mereka, dan dari ruhnya yang telah disucikan
itu tumbuhlah
dengan berlimpah-ruah bermacam-macam pohon ilmu pengetahuan dan kebenaran, dan dengan keteduhan
rindangnya dahan-dahan, dan dengan bunga-bunganya, dan dengan buah-buahnya ia menjamu sesama umat
manusia.
Demikianlah keadaan orang-orang kudus (suci) dan para mushlih rabbani yakni para Rasul
Allah di antaranya yang terbesar dan paling sempurna ialah Nabi Besar
Muhammad saw., sehingga beliau saw.
sebagai suri teladan terbaik
(QS.33:22)dan pemilik akhlak yang agung
(QS.68:5) mendapat gelar Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41).
Makna
ayat فَاَلۡہَمَہَا فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا -- “Maka
Dia mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya dan ketakwaannya”, Allah Swt.
telah menanamkan dalam fitrat manusia perasaan atau pengertian
mengenai apa yang baik dan buruk, dan telah mewahyukan kepadanya bahwa ia dapat memperoleh kesempurnaan ruhani dengan menjauhi apa yang buruk dan salah dan
menerima apa yang benar dan baik.
Penciptaan Insan Kamil (Manusia Sempurna)
Jadi, kembali
kepada asal penciptaan insan
dalam firman-Nya sebelum ini, yakni:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ
حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ
السَّمُوۡمِ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menciptakan insan (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi
bentuk. Dan sebelumnya Kami telah menjadikan jin dari api angin panas. (Al-Hijr
[15]:27-28).
Dengan menggabungkan kata shalshal (tanah liat kering-denting) kepada
kata hamā’ (lumpur hitam), Al-Quran bermaksud menunjukkan, bahwa di mana
makhluk-makhluk lainnya yang bernyawa diciptakan dari hamā’
(lumpur hitam) saja, yaitu dari campuran
tanah dan air — sebab mereka pun memiliki semacam ruh tertentu, tetapi tidak berkembang dengan sempurna — maka
sebaliknya manusia diciptakan dari hamā’
(lumpur hitam) dipadukan dengan shalshal (tanah liat kering denting) --
yang menunjukkan sifat berbicara -- ia
pun masnun, yakni diberi bentuk atau
diberi berbagai kemampuan jasmani
dan ruhani yang sempurna, firman-Nya:
الَّذِیۡ خَلَقَکَ فَسَوّٰىکَ فَعَدَلَکَ ۙ﴿﴾ فِیۡۤ اَیِّ
صُوۡرَۃٍ مَّا شَآءَ رَکَّبَکَ ؕ﴿﴾ کَلَّا بَلۡ
تُکَذِّبُوۡنَ بِالدِّیۡنِ ۙ﴿﴾
Hai insan, apa
yang telah memperdayai engkau ihwal Rabb
(Tuhan) engkau Yang Maha Mulia, Yang
telah menciptakan engkau kemudian menyempurnakan
engkau lalu menata tubuh engkau dengan serasi, di dalam bentuk
apa pun yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuh engkau? (Al-Infithar [82]:7-9).
Allah Swt.
telah menganugerahi manusia kekuatan-kekuatan
(potensi-potensi) dan kemampuan-kemampuan
fitri agung agar ia dapat naik ke
puncak kemuliaan ruhani
setinggi-tingginya. Firman-Nya lagi:
لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ فِیۡۤ اَحۡسَنِ تَقۡوِیۡمٍ ۫﴿﴾ ثُمَّ
رَدَدۡنٰہُ اَسۡفَلَ سٰفِلِیۡنَ ۙ﴿﴾ اِلَّا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَہُمۡ
اَجۡرٌ غَیۡرُ مَمۡنُوۡنٍ ؕ﴿﴾ فَمَا یُکَذِّبُکَ بَعۡدُ بِالدِّیۡنِ ؕ﴿﴾ اَلَیۡسَ اللّٰہُ
بِاَحۡکَمِ الۡحٰکِمِیۡنَ ٪﴿﴾
Sesungguhnya Kami
telah menciptakan insan dalam sebaik-baik
bentuk, kemudian jika bebuat
dosa Kami mengembalikannya ke
tingkat paling rendah, kecuali orang-orang
yang beriman dan beramal shalih
maka bagi mereka ada ganjaran yang tidak
ada putusnya. Maka apakah yang menyebabkan engkau mendustakan Hari Pembalasan sesudah itu? Bukankah Allah itu Hakim Yang Maha Adil di antara para hakim? (At-Tīn [95]:5-9).
Jadi, ayat وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ
حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ -- “Dan sungguh Kami benar-benar telah menciptakan insan (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi
bentuk” (Al-Hijr [15]:27),
tidak berarti bahwa lumpur itu
sekaligus memperoleh bentuk suatu wujud yang hidup tatkala Allah Swt.
menghembuskan ruh ke
dalamnya melalui ucapan “Kun, fayakun
-- Jadilah, maka terjadilah ia).
Berulang-ulang kali
Al-Quran menyatakan, bahwa kejadian
atau penciptaan alam semesta itu berlangsung setahap demi setahap di bawah sifat Rabbubiyyah Allah Swt. (QS.1:2). Ayat
yang sekarang ini hanya menyebutkan tahapan
pertama saja dari kejadian manusia itu. Tahapan-tahapan lain dalam
kejadiannya itu telah disebutkan dalam QS.30:21; QS.35:12; QS.22:6; QS.23:15 dan
QS.40:68.
Pernyataan Al-Quran
bahwa manusia telah diciptakan dari “tanah”
-- yang secara sepintas lalu berarti, bahwa proses
kejadiannya yang panjang itu dimulai dengan tanah -- dikuatkan oleh
kenyataan, bahwa bahkan sekarang juga makanan
manusia berasal dari tanah, beberapa
bagian tertentu dari makanan itu
diambil langsung darinya dan beberapa bagian lainnya lagi secara tidak
langsung. Hal tersebut sesuai dengan
Sifat Rububiyyah Allah Swt. (QS.1:2).
Hal ini menunjukkan bahwa zat yang terkandung dalam tanah, merupakan asal manusia; sebab sekiranya bukan demikian, niscaya ia tidak
dapat mengambil gizinya (zat sari
makanannya) dari tanah, sebab yang
dapat memberikan makanan kepada suatu
wujud, hanyalah barang yang darinya telah dibuat wujud itu, karena unsur dari
luar tidak akan mampu mengisi apa
yang telah menjadi susut.
Makna Penciptaan Jin dari “Api Angin Panas” & Hakikat Peniupan “Ruh” kepada Adam (Khalifah Allah)
Kemudian
mengenai ayat selanjutnya وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ
السَّمُوۡمِ -- “Dan sebelumnya Kami telah menjadikan jin dari api angin panas. (Al-Hijr
[15]:28).” Sebuah ungkapan Al-Quran yang serupa ini ialah manusia dijadikan
dari ketergesa-gesaan (QS.21:38) menunjukkan, bahwa ayat yang sedang dalam
pembahasan ini berarti bahwa jin memiliki pembawaan seperti api dan bukan bahwa makhluk jin itu sesungguhnya dibuat dari api. Berdasarkan QS.18:51 iblis berasal dari golongan)
jin, firman-Nya:
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ کَانَ
مِنَ الۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ اَمۡرِ رَبِّہٖ ؕ اَفَتَتَّخِذُوۡنَہٗ وَ ذُرِّیَّتَہٗۤ اَوۡلِیَآءَ مِنۡ دُوۡنِیۡ وَ ہُمۡ
لَکُمۡ عَدُوٌّ ؕ بِئۡسَ لِلظّٰلِمِیۡنَ بَدَلًا﴿﴾
Dan
ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni patuhlah kepada Adam," maka mereka
sujud kecuali iblis, ia
adalah dari golongan jin maka ia
mendurhakai perintah Rabb-Nya (Tuhan-nya). Apakah kamu hendak mengambil dia dan keturunannya sebagai sahabat-sahabat selain Aku,
padahal mereka itu musuh-musuh kamu?
Sangat buruk bagi orang-orang
yang zalim pertukaran itu. (Al-Kahf [18]:51).
Dengan demikian bahwa Adam “dijadikan
dari tanah liat” mengandung arti
berpembawaan lemah lembut dan suka tunduk, sedangkan jin
atau Iblis “dijadikan dari api” mengandung arti, ia bertabiat seperti api dan
mudah menyala yakni pemarah. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ
مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ
وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا لَہٗ
سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ کُلُّہُمۡ اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ
السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku
hendak menciptakan manusia (basyar) مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ
حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ -- dari tanah
liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk.
Maka apabila Aku telah membentuknya dengan sempurna, وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ
مِنۡ رُّوۡحِیۡ -- dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, َقَعُوۡا لَہٗ سٰجِدِیۡنَ --
maka sujudlah yakni
patuh-taatlah kamu kepadanya.” Maka
malaikat-malaikat itu sujud
semuanya bersama-sama, kecuali iblis,
ia menolak menjadi termasuk di antara mereka
yang sujud. (Al-Hijr [15]:29-32).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar