بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab
227
Makna “Minuman Surgawi” yang Dicampur “Tasnim” dan Dimeterai dengan “Kesturi” & “Orang yang Disucikan” Allah Swt.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
dua tingkatan “Melihat
Wajah” Allah Swt. & makna
Sijjīn dan ‘Iliyyīn, bahwa nikmat melihat wajah Allah dianugerahkan kepada
orang beriman melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah walau pun Wujud Allah Swt. bagi mereka dalam keadaan gaib (QS.2:1-6;
QS.35:19; QS.36:12).
Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi. Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi pada Hari
Pembalasan mereka tidak akan melihat
Wajah Allah Swt., firman-Nya:
وُجُوۡہٌ یَّوۡمَئِذٍ نَّاضِرَۃٌ ﴿ۙ﴾ اِلٰی رَبِّہَا
نَاظِرَۃٌ ﴿ۚ﴾
Wajah-wajah pada hari itu
berseri-seri, kepada Rabb-nya
(Tuhan-nya) mereka memandang. (Al-Qiyāmah [75]: 23-24).
Orang-orang beriman yang bertakwa akan memandang kepada Rabb
(Tuhan) mereka, sambil mengharapkan memperoleh ganjaran untuk amal saleh
mereka, atau mereka akan dianugerahi mata
ruhani istimewa agar dapat melihat
Allah Swt. Penampakkan Allah Swt. akan
merupakan penjelmaan istimewa Allah Swt. yang akan disingkapkan kepada ruh manusia tidak terhalang oleh hijab duniawinya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
کَلَّاۤ اِنَّ کِتٰبَ الۡاَبۡرَارِ لَفِیۡ عِلِّیِّیۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مَاۤ
اَدۡرٰىکَ مَا عِلِّیُّوۡنَ ﴿ؕ﴾
کِتٰبٌ
مَّرۡقُوۡمٌ ﴿ۙ﴾
یَّشۡہَدُہُ الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali
tidak, sesungguhnya rekaman orang-orang
yang berbuat kebajikan (abrār) itu niscaya ada di dalam ‘illiyyīn, dan tahukah engkau
apa ‘illiyyūn itu?
Yaitu sebuah Kitab tertulis. Orang-orang yang didekatkan kepada Allah akan menyaksikannya. (Al-Muthaffifīn
[83]:19-23).
Makna Penyempurnaan Cahaya dan Maghfirah
‘Illiyyūn
yang dianggap oleh sebagian orang berasal dari ‘ala, yang
berarti sesuatu itu tinggi atau menjadi tinggi,
maksudnya martabat-martabat paling mulia yang akan dinikmati oleh orang-orang beriman yang bertakwa. Menurut Al-Mufradat ‘illiyyūn itu
orang-orang bertakwa pilihan,
yang akan menikmati kelebihan ruhani
di atas orang-orang beriman.
Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, kata ‘Illiyyūn
itu dapat juga menampilkan bagian-bagian
Al-Quran yang mengandung nubuatan-nubuatan
mengenai kemajuan dan kesejahteraan besar orang-orang beriman.
Menurut Ibn ‘Abbas kata itu berarti surga
(Tafsir Ibnu Katsir), sedang Imam Raghib menganggap ‘illiyyūn itu
sebutan bagi para penghuninya.
Karena sijjīn itu mufrad (tunggal) dan ‘illiyyīn
jamak, maka nampak bahwa sementara hukuman
bagi orang-orang berdosa akan statis yakni tetap pada satu tempat,
sedangkan kemajuan ruhani orang-orang
bertakwa akan berkesinambungan tanpa rintangan dan akan mengambil bentuk
berbeda-beda. Mereka akan maju dari satu tingkat
ruhani kepada tingkat ruhani
lebih tinggi, sebagaimana tergambar dalam
firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا
تُوۡبُوۡۤا اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ
یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ النَّبِیَّ
وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ
نُوۡرُہُمۡ یَسۡعٰی بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ
یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ
اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ
لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh
jadi Rabb (Tuhan) kamu akan menghapuskan dari kamu
keburukan-keburukanmu dan akan
memasukkan kamu ke dalam kebun-kebun
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan
menghinakan Nabi maupun orang-orang
yang beriman besertanya, نُوۡرُہُمۡ یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ
بِاَیۡمَانِہِمۡ -- cahaya
mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah
kanan mereka, mereka akan berkata: رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا
وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ -- Hai Rabb
(Tuhan) kami, sempurnakanlah bagi kami
cahaya kami, dan maafkanlah kami,
sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrīm [66]:9).
Keinginan
tidak kunjung padam bagi kesempurnaan
meraih “perjumpaan” dengan Allah Swt. pada pihak orang-orang yang beriman
di surga, sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata, رَبَّنَاۤ
اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا -- “Hai
Rabb (Tuhan) kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami“, menunjukkan bahwa kehidupan di surga itu
bukanlah kehidupan menganggur.
Bahkan kebalikannya, yakni kemajuan ruhani di surga tiada berhingga, sebab
bila orang-orang beriman akan mencapai kesempurnaan yang menjadi ciri tingkat surga tertentu, mereka tidak akan berhenti sampai
di situ, melainkan serentak terlihat di
hadapannya ada tingkat kesempurnaan surgawi
lebih tinggi -- dan diketahuinya bahwa tingkat
yang didapati olehnya itu bukan tingkat
tertinggi -- maka ia akan maju terus
dan seterusnya tanpa berakhir.
Ada pun makna ucapan وَ اغۡفِرۡ
لَنَا --
“dan
maafkanlah kami,” tampak
bahwa setelah masuk surga, orang-orang beriman akan mencapai maghfirah – penutupan
kekurangan (Lexicon Lane).
Mereka akan terus-menerus berdoa
kepada Allah Swt. untuk mencapai rangkaian kesempurnaan
dan sama sekali tenggelam dalam Nur Ilahi dan akan terus naik kian menanjak ke atas, dan memandang tiap-tiap tingkat surgawi sebagai ada kekurangan dibandingkan dengan tingkat
surgawi lebih tinggi berikutnya yang
didambakan oleh mereka, dan karena itu akan berdoa
kepada Allah Swt. supaya Dia menutupi
ketidaksempurnaannya, sehingga mereka akan mampu mencapai tingkat lebih tinggi itu. Inilah makna
yang sesungguhnya mengenai istighfar, yang secara harfiah berarti “mohon ampunan atas segala kealpaan.”
Makna “Minuman Surgawi” yang Dimeterai
Kesturi
Kembali kepada Surah Al-Muthaffifīn selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai para
pelaku kebajikan (birr/abrār):
اِنَّ
الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ
نَضۡرَۃَ النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ
مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan (abrār) benar-benar dalam kenikmatan,
mereka
duduk di atas dipan-dipan sambil
memandang. Engkau dapat
mengenal kesegaran nikmat itu pada
wajah mereka. Mereka
akan diberi minum dari minuman yang
bermeterai, meterainya kesturi.
Dan yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan campurannya adalah tasnīm, mata
air yang minum darinya orang-orang
yang didekatkan kepada Allah.
(Al-Muthaffifiin [83]:19-29).
Jika “minuman murni” dalam ayat یُسۡقَوۡنَ مِنۡ رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ -- mereka akan diberi minum dari minuman yang bermeterai, خِتٰمُہٗ مِسۡکٌ --
meterainya kesturi” dapat
dimaksudkan Al-Quran maka tasnīm dapat dianggap wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada orang-orang pilihan Tuhan dari kalangan para pengikut Nabi Besar Muhammad
saw. yang bertakwa.
Bahwa Al-Quran merupakan “minuman
surgawi” yang “dimeterai” dengan
“kesturi” (ketakwaan) yang
campurannya “tasnim” (wahyu Ilahi)
sesuai dengan firman-Nya berikut ini:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Alif Lām Mīm. Inilah
Kitab yang sempurna
itu, tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa.
(Al-Baqarah [2]:1-3).
Muttaqi diserap dari kata waqa
yang mempunyai pengertian menjaga diri terhadap apa-apa yang merugikan dan
memudaratkan. Wiqayah berarti perisai, dan ittaqa bihi (muttaqi
itu bentuk ism fa’il dari ittaqa) berarti ia menganggap dia atau sesuatu sebagai
perisai (Lexicon Lane).
Ubayy bin Ka’ab, sahabat Nabi
Besar Muhammadf saw. yang
terkenal, tepat benar menerangkan kata taqwa dengan memisalkan muttaqi
(orang bertakwa) sebagai seorang yang
berjalan melalui semak-semak berduri.
Dengan segala ikhtiar yang mungkin ia menjaga agar pakaiannya tidak tersangkut
dan robek oleh duri-durinya (Tafsir
Ibnu Katsir).
Jadi seorang muttaqi (orang
yang bertakwa) adalah orang yang senantiasa berjaga-jaga
terhadap dosa dan menganggap Allah Swt. sebagai perisainya atau pelindungnya
dan sangat hati-hati dalam tugas
kewajibannya. Kata-kata “petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”
berarti bahwa petunjuk yang termuat
dalam Al-Quran tidak terbatas, dan Al-Quran
membantu manusia mencapai taraf kesempurnaan
ruhani dan menjadikannya semakin layak mendapat rahmat Ilahi yang juga tidak terbatas.
Tanda-tanda Utama “Orang
yang Bertakwa”
Ada pun tanda-tanda orang bertakwa dikemukakan dalam ayat selanjutnya, firman-Nya:
الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan
shalat dan mereka membelanjakan
sebagian dari apa yang Kami rezekikan
kepada mereka. (Al-Baqarah
[2]:2-3).
Al-ghaib berarti: sesuatu yang
tersembunyi atau tidak nampak; sesuatu yang tidak terlihat, tidak hadir, atau
jauh sekali (Aqrab-al-Mawarid).
Allah Swt. para malaikat
, Hari Kiamat dan Akhirat
semuanya al-ghaib. Lagi pula, kata ghaib yang digunakan dalam Al-Quran tersebut tidak berarti hal-hal
yang khayali dan tidak nyata, melainkan hal-hal
yang nyata dan telah dibenarkan adanya
meskipun tidak nampak oleh indera-indra jasmani (QS.32:7;
QS.49:19).
Oleh karena itu keliru sekali menyangka — seperti dikira oleh beberapa
kritikus Al-Quran dari Barat — bahwa Islam memaksakan kepada para pengikutnya
beberapa kepercayaan aneh yang tidak
dapat dipahami dan mengajak mereka mempercayainya dengan membabi buta.
Kata ghaib
itu berarti hal-hal yang meskipun di luar jangkauan indera manusia tetapi dapat dibuktikan oleh akal atau pengalaman.
Yang tidak tertangkap oleh pancaindera tidak senantiasa tak dapat diterima oleh akal. Tidak ada dari hal-hal
gaib yang orang Islam
diminta agar beriman kepadanya itu di
luar jangkauan akal. Banyak benda-benda
di dunia yang meskipun tidak nampak
tetapi terbukti adanya dengan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang kuat dan tiada seorang
pun dapat menolak kehadiran
(keberadaan) benda-benda itu.
Anak kalimat یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ -- “mendirikan
shalat” – sebagaimana tanda kedua
dari orang bertakwa -- berarti:
mereka melakukan shalat dengan segala
syarat yang telah ditetapkan; aqama berarti ia menempatkan benda atau
perkara itu pada keadaan yang tepat (Lexicon
Lane).
Beribadah itu merupakan ungkapan lahiriah dari perhubungan batin manusia dengan Allah
Swt., sebagai bukti kecintaan
kepada-Nya. Tambahan
pula karunia
Ilahi meliputi baik jasmani
maupun ruh. Jadi ibadah
yang sempurna adalah saat ketika jasmani
dan ruhani keduanya sama-sama berperan. Tanpa keduanya jiwa sejati ibadah tidak dapat dipelihara, sebab meskipun pemujaan oleh hati itu merupakan isinya dan pemujaan oleh jasmani hanya kulitnya, namun isi tidak dapat dipelihara tanpa kulit. Jika kulit binasa isinya pun pasti
mengalami nasib yang sama.
Rizq
dalam ayat “dan mereka membelanjakan sebagian dari apa
yang Kami rezekikan kepada mereka” berarti sesuatu yang dianugerahkan Allah Swt.
kepada manusia, baik anugerah itu bersifat kebendaan atau selain itu (Al-Mufradat). Ayat ini
menentukan tiga petunjuk dan
menjelaskan tiga tingkat kesejahteraan
ruhani manusia:
(1) Ia harus beriman kepada
kebenaran yang tersembunyi dari pandangan mata dan di luar jangkauan
pancaindera, sebab kepercayaan demikian
menunjukkan bahwa ia mempunyai ketakwaan
yang sejati.
(2) Bila ia merenungkan keajaiban alam semesta dan tertib serta rancangan menakjubkan yang terdapat di dalamnya, dan bila sebagai hasil dari renungan itu ia menjadi yakin akan adanya Dzat Yang menciptakan (QS.3:191-193)
maka suatu hasrat yang tidak dapat
ditahan untuk mempunyai perhubungan
nyata dan benar dengan Dzat itu
menguasai dirinya. Hasrat tersebut terpenuhi dengan mendirikan shalat, yang merupakan bagian dari
melaksanakan haququllLah.
(3) Akhirnya, ketika orang beriman
itu berhasil menegakkan perhubungan
yang hidup dengan Khāliq-nya
(Pencipta-nya), ia merasakan adanya dorongan
batin untuk berbakti kepada sesama manusia yang merupakan
pelaksanaan haququl ‘ibād.
Makna Lain Al-Akhirah &
Pembukaan Rahasia Ghaib Allah Swt.
Selanjutnya Allah Swt. beriman mengenai tanda lainnya dari orang-orang yang bertakwa tersebut:
وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Dan
orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau dan kepada akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb-nya (Tuhan-nya) dan mereka itulah orang-orang
yang berhasil. (Al-Baqarah [2]:5-6).
Iman
kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran merupakan inti sejauh menyangkut hubungan iman
kepada Rasul-rasul Allah dan Kitab-kitab suci (QS.2:286; QS.4:66, 137). Islam
mewajibkan para pengikutnya beriman bahwa ajaran
semua nabi yang terdahulu bersumber
dari Allah Swt., sebab Allah Swt. mengutus para Rasul-Nya
kepada semua kaum (QS.13:8; QS.35:25).
Al-ākhirah (akhirat) dalam
ayat وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ -- “dan
kepada akhirat pun mereka
yakin” berarti: (a) tempat tinggal ukhrawi, yaitu kehidupan di hari kemudian; (b) al-akhirah
dapat juga berarti wahyu yang akan
datang. Arti kedua kata itu lebih lanjut diuraikan dalam QS.62:3-4; di sana
Al-Quran menyebut dua kebangkitan (pengutusan)
Nabi Besar Muhammad saw..
Kedatangan
beliau saw. untuk pertama
kali terjadi di tengah orang-orang Arab dalam abad ke-7 Masehi, ketika Al-Quran diwahyukan kepada beliau saw.,
dan yang kedua terjadi di Akhir Zaman
ini dalam wujud seorang dari antara para pengikut
hakiki beliau saw.. Nubuatan ini
menjadi sempurna dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad a.s. .
yakni Al-Masih Mau’ud a.s.,. Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
Kesinambungan pengutusan Rasul Allah di kalangan pengikut
Nabi Besar Muhammad saw. untuk kepentingan perbaikan
akhlak dan ruhani umat manusia
tersebut mutlak diperlukan, sebab hanya
kepada Rasul Allah sajalah Allah Swt.
membukakan rahasia-rahasia ghaib-Nya
yang perlu diketahui oleh umat manusia di setiap zaman (QS.7:35-37) --
termasuk di Akhir Zaman
ini (QS.61:10) -- firman-Nya:
مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ
اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di
dalam keadaan kamu berada di
dalamnya hingga Dia
memisahkan yang buruk dari yang baik.
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali
‘Imran [3]:180).
Firman-Nya
lagi:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ
ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ اَنۡ
قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ
رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada
Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya supaya Dia
mengetahui bahwa sungguh mereka
telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka
dan Dia membuat perhitungan mengenai
segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Wahyu Ilahi Merupakan Nur (Cahaya) yang Membuat
Segala Sesuatu Nampak Jelas
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti:
diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia
gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting. Ayat
27-28 ini merupakan ukuran yang tiada
tara bandingannya guna membedakan
antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan
kepada seorang rasul Allah dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan
kepada orang-orang beriman
yang bertakwa lainnya terutama
para wali Allah.
Perbedaan itu letaknya
pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul
Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia
yang diturunkan kepada orang-orang
bertakwa dan orang-orang suci
lainnya (para wali Allah) tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi maka keadaannya aman dari pemutar-balikkan
atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada
orang-orang bertakwa lainnya tidak
begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah
itu dijamin keamanannya terhadap pemu-tarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah itu membawa tugas dari Allah Swt. yang
harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus
disampaikan oleh mereka itulah makna firman-Nya
dalam ayat 29 mengenai pengutusan para malaikat penjaga (pengawal).
Jadi, demikian
pentingnya keberadaan Rasul Allah dan
wahyu Ilahi sebab wahyu Ilahi merupakan salah satu
sarana Allah Swt. berkomunikasi
dengan umat manusia melalui Rasul-Nya, firman-Nya:
وَ مَا کَانَ
لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ
اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا
فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ اَوۡحَیۡنَاۤ
اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾ صِرَاطِ
اللّٰہِ الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ
ؕ اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan
sekali-kali tidak mungkin bagi manusia
bahwa Allah berbicara kepadanya,
kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman ini dengan
perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak
mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula
apa iman itu, tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur,
yang dengan itu Kami memberi petunjuk
kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus, Jalana Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan
apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allāh segala perkara kembali.
(Asy-Syurā [42]:52-54).
Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi dengan Manusia
Ayat 52 ini menyebut tiga cara Allah Swt. berbicara
(berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
(a) Dia berfirman secara langsung
kepada mereka tanpa perantara.
(b)
Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf
(penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang
membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu
mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti
kata-kata "dari belakang tabir,"
(c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
Al-Quran disebut dalam ayat 53 disebut ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), sebab dengan perantaraannya, bangsa yang
telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan
baru (QS.57:17-18). Jadi, Islam atau Al-Quran
adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya (QS.51:57).
Makna
ayat اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ
تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ – “ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali”
yakni permulaan dan akhir
segala sesuatu terletak di Tangan Allah Swt..
Jadi, itulah penjelasan mengenai
makna “kesturi” -- yakni ketakwaan kepada Allah Swt. -- sebagai meterai minuman surgawi yang campurannya tasnim, yang tanpa ketakwaan kepada Allah Swt. maka Al-Quran itu bagaikan
“minuman” yang disegel (dimeterai), sehingga mustahil
dapat membuka khazanah-khazanah ruhani tak
terhingga yang terkandung di dalamnya.
Orang-orang yang berusaha memahami Al-Quran tanpa didasari ketakwaan
yang hakiki maka yang diperoleh bukannya petunjuk
melainkan kesesatan (QS.2:27; QS.3:8-9), karena itu peran wahyu Ilahi --
yakni tasnim -- sangat besar sekali
untuk memahami serta memperoleh khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang tidak terbatas. Benarlah
firman-Nya berikut ini:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِمَوٰقِعِ النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ اِنَّہٗ
لَقَسَمٌ لَّوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ
کَرِیۡمٌ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan, dan sesungguhnya itu benar-benar kesaksian
agung, seandainya kamu mengetahui, Sesungguhnya itu benar-benar Al-Quran yang mulia, dalam suatu kitab yang sangat
terpelihara, yang tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah
[56]:76-80).
Bahwa Al-Quran
itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10) merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak
mendapat sambutan.
Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya. Tetapi semua daya
upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh
musuh-musuh – bahwa kitab yang
disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia empat belas abad yang
lalu, “telah sampai kepada kita tanpa
perubahan barang satu huruf pun” (Sir Williams Muir).
“Orang yang Disucikan Allah Swt.” Bukan “Yang Menganggap Dirinya Suci”
Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya (ayat 80).
Ayat ini pun dapat
berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas
itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah
serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar
tanpa menerima hukuman (QS.4:83).
Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt.
kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani
berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar
dan telah dilimpahi kemampuan untuk
sampai kepada keputusan yang benar.
Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
Makna لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” Hanya
orang yang bernasib baik
sajalah yang diberi pengertian mengenai dan dan
dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan
bertakwa lalu meraih kebersihan hati
dan dimasukkan ke dalam alam rahasia
ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup
bagi orang-orang yang hatinya tidak
bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.
Pendek kata itulah makna atau hikmah mengenai “minuman surgawi” yang campurannya “tasnim” dan disegel (dimeterai) dengan “kesturi”
sebagai “minuman khusus” orang-orang
yang “didekatkan kepada Allah Swt.” yang terkandung dalam firman-Nya:
اِنَّ
الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ
نَضۡرَۃَ النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ
مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan (abrār) benar-benar dalam kenikmatan, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal
kesegaran nikmat itu pada wajah mereka. Mereka
akan diberi minum dari minuman yang
bermeterai, meterainya kesturi.
Dan yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan campurannya
adalah tasnīm, mata
air yang minum darinya orang-orang
yang didekatkan kepada Allah.
(Al-Muthaffifiin [83]:19-29).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 1 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar