Minggu, 01 Juni 2014

Makna "Minuman Surgawi" yang Dicampur "Tasnim" dan Dimeterai dengan "Kesturi" & "Orang yang Disucikan" Allah Swt.



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   227

Makna “Minuman Surgawi” yang Dicampur “Tasnim” dan Dimeterai dengan “Kesturi” & “Orang yang Disucikan” Allah Swt.

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  dua tingkatan “Melihat  Wajah” Allah Swt. & makna  Sijjīn dan ‘Iliyyīn, bahwa nikmat melihat wajah Allah dianugerahkan kepada orang beriman  melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah walau pun Wujud Allah Swt.  bagi mereka dalam keadaan gaib (QS.2:1-6; QS.35:19; QS.36:12).
  Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi. Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi pada Hari Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah Allah Swt., firman-Nya:
وُجُوۡہٌ   یَّوۡمَئِذٍ  نَّاضِرَۃٌ ﴿ۙ﴾  اِلٰی رَبِّہَا نَاظِرَۃٌ ﴿ۚ﴾
Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri,  kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) mereka memandang.  (Al-Qiyāmah [75]: 23-24).
       Orang-orang beriman yang bertakwa akan memandang kepada Rabb (Tuhan) mereka, sambil mengharapkan memperoleh ganjaran untuk amal saleh mereka, atau mereka akan dianugerahi mata ruhani istimewa agar dapat melihat Allah Swt. Penampakkan Allah Swt. akan merupakan penjelmaan istimewa Allah Swt.   yang akan disingkapkan kepada ruh manusia tidak terhalang oleh hijab duniawinya.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
کَلَّاۤ  اِنَّ  کِتٰبَ الۡاَبۡرَارِ لَفِیۡ عِلِّیِّیۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا عِلِّیُّوۡنَ ﴿ؕ﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ ﴿ۙ﴾ یَّشۡہَدُہُ  الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sekali-kali tidak, sesungguhnya rekaman orang-orang yang berbuat kebajikan (abrār) itu niscaya ada di dalam ‘illiyyīn, dan tahukah  engkau   apa ‘illiyyūn itu?   Yaitu sebuah Kitab tertulis.   Orang-orang yang didekatkan kepada Allah  akan menyaksikannya.     (Al-Muthaffifīn [83]:19-23).

Makna Penyempurnaan Cahaya  dan Maghfirah  

  ‘Illiyyūn  yang dianggap oleh sebagian orang berasal dari ‘ala, yang berarti sesuatu itu tinggi atau menjadi tinggi, maksudnya martabat-martabat paling mulia yang akan dinikmati oleh orang-orang beriman yang bertakwa. Menurut Al-Mufradat ‘illiyyūn itu orang-orang bertakwa  pilihan, yang akan menikmati kelebihan ruhani di atas orang-orang beriman.
 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,  kata  ‘Illiyyūn  itu dapat juga menampilkan bagian-bagian Al-Quran yang mengandung nubuatan-nubuatan mengenai kemajuan dan kesejahteraan besar orang-orang beriman. Menurut Ibn ‘Abbas kata itu berarti surga (Tafsir Ibnu Katsir), sedang Imam Raghib menganggap ‘illiyyūn itu sebutan bagi para penghuninya.
    Karena sijjīn itu mufrad (tunggal) dan ‘illiyyīn jamak, maka nampak bahwa sementara hukuman bagi orang-orang berdosa akan statis yakni tetap pada satu tempat, sedangkan kemajuan ruhani orang-orang bertakwa akan berkesinambungan tanpa rintangan dan akan mengambil bentuk berbeda-beda. Mereka akan maju dari satu tingkat ruhani kepada tingkat ruhani lebih tinggi, sebagaimana tergambar dalam  firman-Nya berikut  ini:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً  نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ  اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ  مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh jadi Rabb (Tuhan) kamu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu dan akan memasukkan kamu ke dalam  kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  -- cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanan mereka, mereka  akan berkata:   رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ  --  Hai Rabb (Tuhan) kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”    (At-Tahrīm [66]:9).
    Keinginan tidak kunjung padam bagi kesempurnaan meraih  perjumpaan” dengan Allah Swt. pada pihak orang-orang yang beriman di surga,  sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata, رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا --  “Hai  Rabb (Tuhan) kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami“,  menunjukkan bahwa kehidupan di surga itu bukanlah kehidupan menganggur.
 Bahkan kebalikannya, yakni  kemajuan ruhani di surga tiada berhingga,  sebab bila orang-orang beriman  akan mencapai kesempurnaan  yang menjadi ciri tingkat surga  tertentu, mereka tidak akan berhenti sampai di situ, melainkan serentak terlihat di hadapannya ada tingkat kesempurnaan surgawi lebih tinggi -- dan diketahuinya bahwa tingkat yang didapati olehnya itu bukan tingkat tertinggi -- maka ia akan maju terus dan seterusnya tanpa berakhir.
 Ada pun makna ucapan وَ اغۡفِرۡ لَنَا --  dan maafkanlah kami,  tampak bahwa setelah masuk surga,  orang-orang beriman  akan mencapai maghfirah – penutupan kekurangan (Lexicon Lane). Mereka akan terus-menerus berdoa kepada Allah Swt. untuk mencapai  rangkaian kesempurnaan dan sama sekali tenggelam dalam Nur Ilahi dan akan terus naik kian menanjak ke atas,  dan memandang tiap-tiap tingkat  surgawi sebagai ada kekurangan dibandingkan dengan tingkat surgawi lebih tinggi  berikutnya yang didambakan oleh mereka, dan karena itu akan berdoa kepada Allah Swt. supaya Dia menutupi ketidaksempurnaannya, sehingga mereka akan mampu mencapai tingkat lebih tinggi itu. Inilah makna yang sesungguhnya mengenai istighfar, yang secara harfiah berarti “mohon ampunan atas segala kealpaan.”

Makna “Minuman Surgawi” yang Dimeterai Kesturi

Kembali kepada Surah  Al-Muthaffifīn  selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai para pelaku kebajikan (birr/abrār):
  اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ  وُجُوۡہِہِمۡ نَضۡرَۃَ  النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ  رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ  مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ  مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan  (abrār) benar-benar  dalam kenikmatan,    mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal  kesegaran nikmat itu pada wajah mereka.   Mereka akan diberi minum dari minuman  yang bermeterai,  meterainya kesturi. Dan  yang demikian itu mereka yang menginginkan  hendaknya menginginkannya. Dan  campurannya adalah tasnīm,   mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.  (Al-Muthaffifiin [83]:19-29).
    Jika “minuman murni” dalam ayat  یُسۡقَوۡنَ مِنۡ  رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ  --  mereka akan diberi minum dari minuman  yang bermeterai,  خِتٰمُہٗ  مِسۡکٌ --  meterainya kesturi” dapat dimaksudkan Al-Quran maka tasnīm dapat dianggap wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada orang-orang pilihan Tuhan dari kalangan para pengikut  Nabi Besar Muhammad saw.   yang bertakwa.
  Bahwa Al-Quran merupakan “minuman surgawi” yang “dimeterai” dengan “kesturi” (ketakwaan) yang campurannya “tasnim” (wahyu Ilahi) sesuai dengan firman-Nya berikut ini:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾   الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ  الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی  لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Alif Lām Mīm. Inilah  Kitab yang sempurna itu,  tidak ada keraguan  di dalamnya,  petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.  (Al-Baqarah [2]:1-3).
        Muttaqi diserap dari kata waqa yang mempunyai pengertian menjaga diri terhadap apa-apa yang merugikan dan memudaratkan. Wiqayah berarti perisai, dan ittaqa bihi (muttaqi itu bentuk ism fa’il dari ittaqa)  berarti ia menganggap dia atau sesuatu sebagai perisai (Lexicon Lane).
Ubayy bin Ka’ab, sahabat Nabi Besar Muhammadf saw.   yang terkenal, tepat benar menerangkan kata taqwa dengan memisalkan muttaqi (orang bertakwa) sebagai seorang yang berjalan melalui semak-semak berduri. Dengan segala ikhtiar yang mungkin ia menjaga agar pakaiannya tidak tersangkut dan robek oleh duri-durinya (Tafsir Ibnu Katsir).
   Jadi  seorang muttaqi (orang yang bertakwa) adalah orang yang senantiasa berjaga-jaga terhadap dosa dan menganggap Allah Swt.   sebagai perisainya atau pelindungnya dan sangat hati-hati dalam tugas kewajibannya. Kata-kata  petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa” berarti bahwa petunjuk yang termuat dalam Al-Quran tidak terbatas, dan  Al-Quran membantu manusia mencapai taraf kesempurnaan ruhani dan menjadikannya semakin layak mendapat rahmat Ilahi yang juga tidak terbatas.

Tanda-tanda Utama “Orang yang Bertakwa

     Ada pun tanda-tanda orang bertakwa  dikemukakan dalam ayat selanjutnya, firman-Nya:
 الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ  وَ  مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ  یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾   اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Yaitu orang-orang yang beriman kepada  yang gaib,   mendirikan shalat  dan mereka membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan kepada mereka.  (Al-Baqarah [2]:2-3).
        Al-ghaib berarti: sesuatu yang tersembunyi atau tidak nampak; sesuatu yang tidak terlihat, tidak hadir, atau jauh sekali (Aqrab-al-Mawarid). Allah Swt.  para malaikat , Hari Kiamat dan Akhirat  semuanya al-ghaib. Lagi pula, kata ghaib yang digunakan dalam Al-Quran tersebut tidak berarti hal-hal yang khayali dan tidak nyata, melainkan hal-hal yang nyata dan telah dibenarkan adanya meskipun tidak nampak oleh indera-indra jasmani (QS.32:7; QS.49:19).
   Oleh karena itu keliru sekali menyangka — seperti dikira oleh beberapa kritikus Al-Quran dari Barat — bahwa Islam memaksakan kepada para pengikutnya beberapa kepercayaan aneh yang tidak dapat dipahami dan mengajak mereka mempercayainya dengan membabi buta.
        Kata  ghaib  itu berarti hal-hal yang meskipun di luar jangkauan indera manusia tetapi dapat dibuktikan oleh akal atau pengalaman. Yang tidak tertangkap oleh pancaindera tidak senantiasa tak dapat diterima oleh akal. Tidak ada dari hal-hal  gaib  yang orang Islam diminta agar beriman kepadanya itu di luar jangkauan akal. Banyak benda-benda di dunia yang meskipun tidak nampak tetapi terbukti adanya dengan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang kuat dan tiada seorang pun dapat menolak kehadiran (keberadaan)  benda-benda itu.
       Anak kalimat یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ  -- “mendirikan shalat” – sebagaimana tanda kedua dari orang bertakwa -- berarti: mereka melakukan shalat dengan segala syarat yang telah ditetapkan; aqama berarti ia menempatkan benda atau perkara itu pada keadaan yang tepat (Lexicon Lane).
      Beribadah itu merupakan ungkapan lahiriah dari perhubungan batin manusia dengan Allah Swt., sebagai bukti kecintaan kepada-Nya.   Tambahan pula  karunia Ilahi  meliputi baik jasmani  maupun ruh. Jadi ibadah yang sempurna adalah saat ketika jasmani dan ruhani keduanya sama-sama berperan. Tanpa keduanya jiwa sejati ibadah   tidak dapat dipelihara, sebab meskipun pemujaan oleh hati itu merupakan isinya dan pemujaan oleh jasmani hanya kulitnya, namun isi tidak dapat dipelihara tanpa kulit. Jika kulit binasa isinya pun  pasti  mengalami nasib yang sama.
        Rizq dalam ayat    dan mereka  membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan kepada mereka” berarti  sesuatu yang dianugerahkan  Allah Swt.   kepada manusia, baik anugerah itu bersifat kebendaan atau selain itu (Al-Mufradat). Ayat  ini  menentukan tiga petunjuk dan menjelaskan tiga tingkat kesejahteraan ruhani manusia:
        (1) Ia harus beriman kepada kebenaran yang tersembunyi dari pandangan mata dan di luar jangkauan pancaindera, sebab kepercayaan demikian  menunjukkan bahwa ia mempunyai ketakwaan yang sejati.
      (2) Bila ia merenungkan keajaiban alam semesta dan tertib serta rancangan menakjubkan yang terdapat di dalamnya, dan bila  sebagai hasil dari renungan itu ia menjadi yakin akan adanya Dzat Yang menciptakan  (QS.3:191-193) maka suatu hasrat yang tidak dapat ditahan untuk mempunyai perhubungan nyata dan benar dengan Dzat itu menguasai dirinya. Hasrat  tersebut terpenuhi dengan mendirikan shalat, yang merupakan bagian dari melaksanakan haququllLah.
        (3) Akhirnya, ketika orang beriman itu berhasil menegakkan perhubungan yang hidup dengan Khāliq-nya (Pencipta-nya), ia merasakan adanya dorongan batin untuk berbakti kepada sesama manusia yang merupakan pelaksanaan haququl ‘ibād.   

Makna Lain Al-Akhirah & Pembukaan Rahasia Ghaib Allah Swt.

   Selanjutnya Allah Swt. beriman mengenai tanda lainnya dari orang-orang yang bertakwa tersebut:
  وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang  yang beriman kepada apa yang  diturunkan kepada engkau, juga kepada apa yang telah diturunkan sebelum engkau dan kepada  akhirat   pun mereka   yakin.   Mereka itulah orang-orang yang  berada di atas  petunjuk dari Rabb-nya (Tuhan-nya)  dan mereka itulah  orang-orang yang  berhasil. (Al-Baqarah [2]:5-6).
         Iman kepada Nabi Besar Muhammad saw.  dan Al-Quran  merupakan inti sejauh menyangkut hubungan iman kepada Rasul-rasul  Allah dan Kitab-kitab suci (QS.2:286; QS.4:66, 137).   Islam mewajibkan para pengikutnya beriman bahwa ajaran semua nabi yang terdahulu bersumber dari Allah Swt.,  sebab Allah Swt.  mengutus  para Rasul-Nya  kepada semua kaum (QS.13:8; QS.35:25).
        Al-ākhirah (akhirat) dalam ayat  وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ  -- “dan kepada  akhirat   pun mereka   yakin” berarti: (a) tempat tinggal ukhrawi, yaitu  kehidupan di hari kemudian; (b) al-akhirah dapat juga berarti wahyu yang akan datang. Arti kedua kata itu lebih lanjut diuraikan dalam QS.62:3-4; di sana Al-Quran menyebut dua kebangkitan (pengutusan)  Nabi Besar Muhammad saw..
       Kedatangan beliau saw.  untuk pertama kali terjadi di tengah orang-orang Arab dalam abad ke-7 Masehi, ketika Al-Quran diwahyukan kepada beliau saw., dan yang kedua terjadi di Akhir Zaman  ini dalam wujud seorang dari antara para pengikut hakiki beliau saw.. Nubuatan ini menjadi sempurna dalam wujud  Mirza Ghulam Ahmad a.s. . yakni Al-Masih Mau’ud a.s.,. Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
      Kesinambungan pengutusan Rasul Allah di kalangan pengikut Nabi Besar Muhammad saw. untuk kepentingan perbaikan akhlak dan ruhani umat manusia tersebut  mutlak diperlukan, sebab hanya kepada Rasul Allah sajalah Allah Swt. membukakan rahasia-rahasia ghaib-Nya yang perlu diketahui oleh umat manusia di setiap zaman (QS.7:35-37)  --  termasuk di Akhir Zaman ini   (QS.61:10) --   firman-Nya:
   مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya   hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih  di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran [3]:180).
 Firman-Nya lagi:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun,   kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).

Wahyu Ilahi Merupakan Nur (Cahaya) yang Membuat   Segala Sesuatu Nampak Jelas

    Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.         Ayat 27-28 ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Allah dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang   beriman  yang bertakwa lainnya terutama para wali Allah.
  Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya (para wali Allah) tidak menikmati kehormatan serupa itu.
 Tambahan pula wahyu Ilahi  yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi maka keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
      Wahyu rasul-rasul Allah itu dijamin keamanannya terhadap pemu-tarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul  Allah itu membawa tugas dari Allah Swt. yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh mereka itulah makna firman-Nya  dalam ayat 29 mengenai pengutusan para malaikat penjaga (pengawal).
     Jadi, demikian pentingnya keberadaan Rasul Allah dan wahyu Ilahi   sebab wahyu Ilahi merupakan salah satu sarana Allah Swt. berkomunikasi dengan umat manusia melalui Rasul-Nya, firman-Nya:
 وَ مَا کَانَ  لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ  اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ  اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا  الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ  نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ  بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ  مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾  صِرَاطِ اللّٰہِ  الَّذِیۡ  لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya  apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana.   Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu,  tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur, yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus,   Jalana Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allāh segala perkara kembali. (Asy-Syurā [42]:52-54).

Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi dengan Manusia

   Ayat 52 ini menyebut tiga cara Allah  Swt.   berbicara (berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
     (a) Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara.
   (b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang tabir,"
      (c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau   malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
     Al-Quran disebut dalam ayat 53  disebut  ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), sebab dengan perantaraannya, bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru (QS.57:17-18).  Jadi,   Islam  atau Al-Quran adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya (QS.51:57).
  Makna ayat اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ  – “ketahuilah,   kepada Allah segala perkara kembali” yakni  permulaan dan akhir segala sesuatu terletak di Tangan Allah Swt..
Jadi, itulah penjelasan mengenai makna “kesturi    -- yakni ketakwaan kepada Allah Swt. -- sebagai meterai minuman surgawi yang campurannya tasnim, yang tanpa ketakwaan  kepada Allah Swt. maka Al-Quran itu bagaikan “minuman” yang disegel (dimeterai),  sehingga mustahil dapat membuka  khazanah-khazanah ruhani  tak terhingga yang terkandung di dalamnya.
        Orang-orang yang  berusaha memahami Al-Quran tanpa didasari ketakwaan yang hakiki maka yang diperoleh bukannya petunjuk melainkan kesesatan  (QS.2:27; QS.3:8-9), karena itu peran wahyu Ilahi   -- yakni tasnim -- sangat besar sekali untuk memahami  serta memperoleh khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang tidak terbatas. Benarlah firman-Nya berikut ini:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ﴿ۙ﴾ فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan,  dan sesungguhnya itu benar-benar  kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui,  Sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia,   dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.  (Al-Wāqi’ah [56]:76-80).
    Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10) merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya. Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.   kepada dunia empat belas abad yang lalu, “telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun” (Sir Williams Muir).

Orang yang Disucikan Allah Swt.” Bukan “Yang Menganggap Dirinya  Suci

    Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya (ayat 80).
   Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman (QS.4:83).
   Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
 Makna  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.”  Hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.
    Pendek kata itulah makna  atau hikmah  mengenai “minuman surgawi” yang campurannya “tasnim” dan disegel (dimeterai) dengan “kesturi” sebagai “minuman khusus” orang-orang yang “didekatkan kepada Allah Swt.”  yang terkandung dalam  firman-Nya: 
  اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ  وُجُوۡہِہِمۡ نَضۡرَۃَ  النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ  رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ  مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ  مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan  (abrār) benar-benar  dalam kenikmatan,    mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal  kesegaran nikmat itu pada wajah mereka.   Mereka akan diberi minum dari minuman  yang bermeterai,  meterainya kesturi. Dan  yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan  campurannya adalah tasnīm,   mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.  (Al-Muthaffifiin [83]:19-29).

(Bersambung)                                   

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   1 Mei      2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar