بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 234
Hakikat Perumpamaan “Keledai Pemikul Buku-buku Tebal” & Teriakan “Suara
Buruknya” Terhadap “Singa Allah”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
pentingnya kepatuh-taatan
mutlak kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. sehubungan perintah “membunuh hawa-nafsu” atau melepaskann diri dari cengkraman gejolak “nafs-al-Ammarah” (QS.12:54),
Allah Swt. berfirman:
وَ لَوۡ اَنَّا کَتَبۡنَا
عَلَیۡہِمۡ اَنِ اقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ اَوِ اخۡرُجُوۡا مِنۡ دِیَارِکُمۡ مَّا
فَعَلُوۡہُ اِلَّا قَلِیۡلٌ مِّنۡہُمۡ ؕ
وَ لَوۡ اَنَّہُمۡ فَعَلُوۡا مَا یُوۡعَظُوۡنَ بِہٖ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ وَ اَشَدَّ
تَثۡبِیۡتًا ﴿ۙ﴾ وَّ اِذًا لَّاٰتَیۡنٰہُمۡ مِّنۡ لَّدُنَّـاۤ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿ۙ﴾ وَّ لَہَدَیۡنٰہُمۡ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا ﴿﴾
Dan seandainya Kami
menetapkan kewajiban atas
mereka: ”Bunuhlah diri kamu” atau “keluarlah dari kampung-halaman kamu”,
mereka sekali-kali tidak akan
mengerjakannya kecuali sedikit dari antara
mereka, padahal sesungguhnya seandainya mereka mengerjakan apa yang
dengan-nya mereka dinasihatkan niscaya akan
lebih baik bagi mereka dan lebih
meneguhkan, dan jika
demikian niscaya akan Kami berikan
kepada mereka ganjaran besar dari,
dan niscaya Kami
akan tunjuki mereka ke jalan yang lurus. (An-Nisā [4]:67-69).
Makna Perintah “Membunuh Diri Sendiri”
Kata-kata uqtulu
anfusakum, bukan berarti “bunuhlah
diri kamu” -- karena ajaran Islam
(Al-Quran) melarang keras melakukan “tindakan bunuh diri” dengan dalih apa pun
karena menurut Allah Swt. para pelakunya pasti akan masuk neraka
(QS.4:30-31) -- tetapi “bunuhlah kaum
kamu” (QS.2:55) atau “korbankanlah
jiwa kamu di jalan Allah,” firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ اِنَّکُمۡ ظَلَمۡتُمۡ اَنۡفُسَکُمۡ بِاتِّخَاذِکُمُ
الۡعِجۡلَ فَتُوۡبُوۡۤا اِلٰی بَارِئِکُمۡ فَاقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ خَیۡرٌ لَّکُمۡ عِنۡدَ بَارِئِکُمۡ ؕ فَتَابَ
عَلَیۡکُمۡ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika
Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku,
sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu dengan menjadikan patung anak sapi sebagai sembahan, karena itu kembalilah bertaubat kepada Rabb (Pencipta kamu lalu bunuhlah hawa-nafsumu, yang demikian itu lebih baik bagi kamu di sisi Rabb
(Pencipta) kamu lalu Dia menerima taubatmu, sesungguhnya Dia benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.(Al-Baqarah [2]:55).
Anfusakum (hawa-nafsumu)
berarti: sanak saudara, hawa nafsumu
yang jahat. Nafs adalah
mufrad (bentuk tunggal) dari anfus,
berarti pula hasrat atau keinginan.
Orang-orang Yahudi diperintahkan mensucikan
ruh (jiwa) dari keinginan jahat dengan mematikan hawa nafsu dan dengan bertaubat.
Pernyataan Bible bahwa mereka itu diperintahkan “bunuhlah masing-masing kamu akan saudaranya
dan masing-masing akan sahabatnya dan masing-masing akan orang sekampungnya”
(Keluaran 32:27) tidak
didukung oleh Al-Quran, yang menurut pernyataan itu mereka diampuni (QS.4:154). Malahan pemimpin mereka, Samiri, tidak dibunuh melainkan hanya diasingkan (QS.20:98).
Menurut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, upaya
pembunuhan “hawa-nafsu” melalui
pengamalan hukum-hukum syariat
Islam (Al-Quran) -- atau “pembunuhan
seorang pemuda oleh hamba Allah” (QS.18:75 & 81-82) --
akan melahirkan “bayi hati”,
yang dalam perkembangannya “bayi-bayi
hati” tersebut akan berubah menjadi wildān
(pemuda-pemuda) surgawi yang akan
menjadi para pengkhidmat para ahli
surga (QS.56:18-22), yang ketika hidup di dunia melakukan pembunuhan hawa-nafsunya atau nafs-al-Ammarahnya
(QS.12:54) sebagaimana diperintahkan
Allah Swt. dan Rasul-Nya, yakni Nabi
Besar Muhammad saw.:
Manusia
tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat keduniaannya tidak
akan meninggalkannya sehingga hakikat
menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya
hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah.
Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa
pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah
Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu
yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia
dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat
di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang
sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat
melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara
dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya,
dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji
penyatuan dengan Yang dikasihi.
Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak
bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi
arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa
diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga;
di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi
dalam bentuk cahaya.
Tidak
terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata
yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk
kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran
(kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke
tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua sayap.
Hamba
Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan
dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin,
tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang
ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi
para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa
menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
Gelar “Umat yang Terbaik”
Firman Allah
Swt. selanjutnya membuktikan benarnya penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani tersebut, yakni sesuai dengan upaya keras atau jihad melawan atau membunuh hawa-nafsu atau nafs al-Ammarah
(QS.12:54) maka dengan karunia Allah
mereka akan layak untuk termamsuk ke dalam golongan orang-orang yang yang memperoleh nikmat-nikmat ruhani atau martabat-martabat ruhani yang disediakan Allah Swt. bagi para pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32), firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ
الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ
النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ
اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang
yang Allah memberi
nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat
yang sejati. Itulah karunia dari Allah, dan cukuplah
Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Hanya jika umat Islam meraih maqam-maqam
(martabat-martabat) ruhani
itulah maka mereka layak menyandang sebutan (gelar) mulia sebagai “umat terbaik” yang dijadikan untuk “seluruh umat manusia”, firman-Nya:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia, kamu menyuruh berbuat makruf, melarang
dari berbuat munkar, dan beriman
kepada Allah. Dan seandainya Ahlul
Kitab beriman, niscaya akan lebih
baik bagi mereka. Di antara mereka ada
yang beriman tetapi kebanyakan
mereka orang-orang fasik. (Ali ‘Imran [3]:111). Lihat pula
QS.2:144.
Ayat ini bukan saja mencanangkan bahwa kaum Muslimin
itu kaum
yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan
menyebutkan pula sebab-sebabnya:
(1) Mereka
telah dibangkitkan untuk kepentingan umat
manusia seluruhnya;
(2) Telah menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Kemuliaan
kaum Muslimin bergantung pada dan
ditentukan oleh kedua syarat itu. Mengisyaratkan kepada pentingnya umat Islam agar berusaha termasuk ke dalam keempat
golongan yang mendapat nikmat-nikmat
ruhani tersebut ucapan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sebelum ini:
“Orang yang tidak bisa
menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif
walaupun dia membaca seribu buah buku”.
Beliau menjelaskan
mengenai hal tersebut:
“....Bila
Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang
menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia
lakukan kepada Khaidhir. Kemudian
manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat
di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal. Orang yang
sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Dia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke
akhirnya, dan semua nabi-nabi
yang lain memberikannya kabar gembira
tentang janji penyatuan dengan yang dikasihi. Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah
dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat
dari antara nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syuhada dan shālihīn dan alangkah baiknya mereka ini sebagai
sahabat karib". (Surah Nisā',
ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak
akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat
yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga;
di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi
dalam bentuk cahaya.....”
Keledai-keledai yang Bodoh dan Penakut
serta Bersuara Sangat Buruk
Karena golongan Ahli Kitab tidak mau (menolak keras) melaksanakan perintah
Allah Swt. untuk “membunuh hawa-nafsu mereka” -- melalui beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan
melaksanakan ajaran Al-Quran
(QS.4:67-71) -- maka keadaan mereka sesuai dengan penegasan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani:
“Orang yang tidak
bisa menemui pengetahuan ini di
dalam dirinya tidak akan menjadi arif
walaupun dia membaca seribu buah buku.”
Pernyataan
keras tersebut sesuai pula dengan firman Allah Swt. berikut ini mengenai orang-orang Yahudi, firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِیۡنَ حُمِّلُوا التَّوۡرٰىۃَ
ثُمَّ لَمۡ یَحۡمِلُوۡہَا کَمَثَلِ الۡحِمَارِ یَحۡمِلُ اَسۡفَارًا ؕ بِئۡسَ
مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِ
اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی
الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Misal (perumpamaan) orang-orang yang dipikulkan kepada mereka
Taurat, kemudian mereka tidak
memikulnya, adalah semisal keledai
yang memikul ki-tab-kitab. Sangat
buruk misal kaum yang mendustakan
Tanda-tanda Allah. Dan Allah tidak
akan memberi petunjuk kaum yang zalim. (Al-Jumu’ah [62]:6).
Keledai
dikenal sebagai bintang penakut dan bodoh, tetapi suaranya keras dan tidak enak
didengar, sebagaimana nasihat
Nabi Luqman a.s. kepada anaknya, firman-Nya:
یٰبُنَیَّ اَقِمِ الصَّلٰوۃَ وَ اۡمُرۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ انۡہَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ اصۡبِرۡ عَلٰی مَاۤ
اَصَابَکَ ؕ اِنَّ ذٰلِکَ مِنۡ
عَزۡمِ الۡاُمُوۡرِ ﴿ۚ﴾ وَ لَا تُصَعِّرۡ
خَدَّکَ لِلنَّاسِ وَ لَا تَمۡشِ فِی الۡاَرۡضِ مَرَحًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ
لَا یُحِبُّ کُلَّ مُخۡتَالٍ فَخُوۡرٍ ﴿ۚ﴾ وَ اقۡصِدۡ فِیۡ
مَشۡیِکَ وَ اغۡضُضۡ مِنۡ صَوۡتِکَ ؕ اِنَّ اَنۡکَرَ
الۡاَصۡوَاتِ لَصَوۡتُ الۡحَمِیۡرِ ﴿٪﴾
“Wahai anakku, dirikanlah
shalat dan suruhlah orang
mengerjakan kebaikan dan cegahlah
orang berbuat kemungkaran, dan bersabarlah
atas apa yang menimpa engkau. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah dari perkara-perkara yang telah ditetapkan. Dan janganlah
engkau memalingkan pipi engkau dari orang-orang dengan angkuh, dan jangan
berjalan di bumi dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang congkak dan sombong, Dan berjalanlah
engkau dengan sederhana, dan rendahkanlah
suara engkau. Sesungguhnya yang
paling tidak menyenangkan di antara suara-suara adalah suara
keledai.” (Luqman [31]:18-19).
Mengenai kepengecutan keledai-keledai yang bersuara
keras dan tidak enak didengar
tersebut tersebut Allah Swt. berfirman mengenai misal (perumpamaan) orang-orang
yang mendustakan dan menentang
Nabi Besar Muhammad saw. :
فَمَا لَہُمۡ عَنِ
التَّذۡکِرَۃِ مُعۡرِضِیۡنَ ﴿ۙ﴾ کَاَنَّہُمۡ حُمُرٌ مُّسۡتَنۡفِرَۃٌ ﴿ۙ﴾ فَرَّتۡ مِنۡ قَسۡوَرَۃٍ ﴿ؕ﴾ بَلۡ یُرِیۡدُ کُلُّ امۡرِیًٔ مِّنۡہُمۡ
اَنۡ یُّؤۡتٰی صُحُفًا مُّنَشَّرَۃً ﴿ۙ﴾ کَلَّا ؕ بَلۡ
لَّا یَخَافُوۡنَ الۡاٰخِرَۃَ ﴿ؕ﴾ کَلَّاۤ
اِنَّہٗ تَذۡکِرَۃٌ﴿ۚ﴾ فَمَنۡ
شَآءَ ذَکَرَہٗ ﴿ؕ﴾ وَ مَا یَذۡکُرُوۡنَ اِلَّاۤ
اَنۡ یَّشَآءَ اللّٰہُ ؕ ہُوَ اَہۡلُ التَّقۡوٰی وَ اَہۡلُ الۡمَغۡفِرَۃِ
﴿٪﴾
Maka apakah yang
terjadi dengan mereka hingga mereka
berpaling dari peringatan, seolah-olah
mereka itu keledai-keledai yang
ketakutan, lari dari singa? Bahkan, setiap orang dari mereka menghendaki supaya
dia diberi lembaran-lembaran terbuka. Sekali-kali tidak! Bahkan me-reka tidak takut pada akhirat. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Al-Quran itu adalah peringatan, maka barangsiapa menghendaki, hendaklah ia memperhatikannya. Dan mereka
tidak akan memperhatikan kecuali jika
Allah menghendaki.
Dia memberi ketakwaan dan Dia memberi ampunan.
(Al-Mudatstsār
[74]:50-57).
Yang diisyaratkan dalam ayat بَلۡ یُرِیۡدُ کُلُّ
امۡرِیًٔ مِّنۡہُمۡ اَنۡ یُّؤۡتٰی صُحُفًا مُّنَشَّرَۃ -- “Bahkan, setiap orang
dari mereka menghendaki supaya dia diberi lembaran-lembaran terbuka,” di
sini mungkin tuntutan orang-orang kafir
yang tidak pantas seperti disebut pada suatu tempat dalam Al-Quran, bahwa
mereka tidak akan beriman kecuali
bila Nabi Besar Muhammad saw. membawa turun dari langit sebuah kitab bagi mereka, yang mereka akan dapat membacanya atau memahaminya dengan mudah (QS.17:94).
Orang-orang kafir tidak akan dapat mendapat faedah dari Al-Quran
kecuali bila mereka menyesuaikan kehendak
mereka dengan kehendak Ilahi, yaitu
kecuali bila mereka menundukkan semua
keinginan mereka kepada kehendak Ilahi (QS.76:31), itulah makna
firman-Nya وَ مَا یَذۡکُرُوۡنَ اِلَّاۤ
اَنۡ یَّشَآءَ اللّٰہُ ؕ ہُوَ اَہۡلُ التَّقۡوٰی وَ اَہۡلُ الۡمَغۡفِرَۃِ -- “Dan mereka tidak akan memperhatikan kecuali
jika Allah menghendaki. Dia memberi ketakwaan dan Dia memberi ampunan.”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 12 Mei
2014*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar