Minggu, 08 Juni 2014

Hakikat Perumpamaan "Keledai Pemikul Buku-buku Tebal" & Teriakan "Suara Buruknya" Terhadap "Singa Allah"




 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   234

 Hakikat Perumpamaan “Keledai Pemikul Buku-buku Tebal” &  Teriakan “Suara Buruknya” Terhadap “Singa Allah”

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai   pentingnya kepatuh-taatan mutlak kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. sehubungan perintah “membunuh hawa-nafsu” atau  melepaskann diri dari cengkraman gejolak  nafs-al-Ammarah  (QS.12:54),    Allah Swt. berfirman:
وَ لَوۡ اَنَّا کَتَبۡنَا عَلَیۡہِمۡ اَنِ اقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ اَوِ اخۡرُجُوۡا مِنۡ دِیَارِکُمۡ مَّا فَعَلُوۡہُ  اِلَّا قَلِیۡلٌ مِّنۡہُمۡ ؕ وَ لَوۡ اَنَّہُمۡ فَعَلُوۡا مَا یُوۡعَظُوۡنَ بِہٖ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ  وَ اَشَدَّ  تَثۡبِیۡتًا ﴿ۙ﴾ وَّ اِذًا لَّاٰتَیۡنٰہُمۡ مِّنۡ لَّدُنَّـاۤ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿ۙ﴾  وَّ لَہَدَیۡنٰہُمۡ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا ﴿﴾ 
Dan seandainya Kami menetapkan kewajiban atas  mereka:  Bunuhlah diri kamu atau “keluarlah dari kampung-halaman kamu”, mereka sekali-kali tidak akan mengerjakannya kecuali sedikit  dari antara  mereka, padahal sesungguhnya seandainya mereka  mengerjakan apa yang dengan-nya mereka dinasihatkan niscaya akan lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan,    dan  jika demikian niscaya akan Kami berikan kepada mereka ganjaran besar dari,   dan niscaya  Kami  akan tunjuki mereka ke jalan yang lurus. (An-Nisā [4]:67-69). 

Makna Perintah “Membunuh Diri Sendiri 

      Kata-kata uqtulu anfusakum, bukan berarti “bunuhlah diri kamu    -- karena ajaran Islam (Al-Quran)  melarang keras melakukan “tindakan bunuh diri  dengan dalih  apa pun   karena  menurut Allah Swt. para pelakunya pasti akan masuk neraka (QS.4:30-31) -- tetapi “bunuhlah kaum kamu” (QS.2:55) atau “korbankanlah jiwa kamu di jalan Allah,” firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ  اِنَّکُمۡ ظَلَمۡتُمۡ اَنۡفُسَکُمۡ بِاتِّخَاذِکُمُ الۡعِجۡلَ فَتُوۡبُوۡۤا اِلٰی بَارِئِکُمۡ فَاقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ خَیۡرٌ  لَّکُمۡ عِنۡدَ بَارِئِکُمۡ ؕ فَتَابَ عَلَیۡکُمۡ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
Dan  ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi  dirimu dengan menjadikan patung anak sapi  sebagai sembahan, karena itu kembalilah bertaubat kepada Rabb (Pencipta kamu lalu bunuhlah hawa-nafsumu,  yang demikian itu lebih baik bagi kamu di sisi Rabb (Pencipta) kamu lalu   Dia menerima taubatmu, sesungguhnya Dia benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.(Al-Baqarah [2]:55).
      Anfusakum (hawa-nafsumu) berarti: sanak saudara, hawa nafsumu yang jahat. Nafs  adalah mufrad  (bentuk tunggal) dari anfus, berarti pula  hasrat atau  keinginan. Orang-orang Yahudi diperintahkan mensucikan ruh  (jiwa) dari keinginan jahat dengan mematikan hawa nafsu dan dengan bertaubat.
      Pernyataan Bible bahwa mereka itu diperintahkan “bunuhlah masing-masing kamu akan saudaranya dan masing-masing akan sahabatnya dan masing-masing akan orang sekampungnya” (Keluaran 32:27) tidak didukung oleh Al-Quran, yang menurut pernyataan itu mereka diampuni (QS.4:154). Malahan pemimpin mereka, Samiri, tidak dibunuh  melainkan hanya diasingkan (QS.20:98).
       Menurut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, upaya pembunuhan “hawa-nafsu” melalui pengamalan hukum-hukum syariat Islam  (Al-Quran)  -- atau “pembunuhan seorang pemuda oleh hamba Allah  (QS.18:75 & 81-82)  --  akan melahirkan “bayi hati”, yang dalam perkembangannya “bayi-bayi hati” tersebut akan berubah menjadi wildān (pemuda-pemuda) surgawi yang akan menjadi para pengkhidmat  para ahli surga (QS.56:18-22), yang ketika hidup di dunia  melakukan pembunuhan hawa-nafsunya atau nafs-al-Ammarahnya (QS.12:54) sebagaimana diperintahkan Allah Swt. dan Rasul-Nya, yakni Nabi Besar Muhammad saw.:
     Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
      Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
     Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
     Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

 Gelar “Umat yang Terbaik

     Firman Allah Swt. selanjutnya membuktikan benarnya penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani tersebut, yakni sesuai dengan upaya keras atau jihad  melawan   atau membunuh hawa-nafsu atau nafs al-Ammarah  (QS.12:54) maka dengan karunia Allah mereka akan layak untuk termamsuk ke dalam golongan orang-orang yang  yang memperoleh nikmat-nikmat ruhani  atau martabat-martabat ruhani   yang disediakan Allah Swt. bagi para pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad  saw. (QS.3:32), firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka  itulah sahabat yang sejati.    Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.  (An-Nisā [4]:70-71).
      Hanya jika umat Islam meraih maqam-maqam (martabat-martabat) ruhani  itulah maka mereka layak menyandang sebutan (gelar) mulia  sebagai  “umat terbaik” yang dijadikan untuk “seluruh umat manusia”, firman-Nya:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ  الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia,  kamu menyuruh berbuat makruf, melarang dari berbuat munkar, dan beriman kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman, niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang fasik.  (Ali ‘Imran [3]:111). Lihat pula QS.2:144.
       Ayat ini bukan saja mencanangkan bahwa kaum Muslimin itu kaum  yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan menyebutkan pula sebab-sebabnya:
         (1) Mereka telah dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia seluruhnya;  
      (2) Telah menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.  
       Kemuliaan kaum Muslimin bergantung pada dan ditentukan oleh kedua syarat itu.  Mengisyaratkan kepada pentingnya umat Islam agar berusaha  termasuk ke dalam  keempat golongan yang mendapat nikmat-nikmat ruhani tersebut ucapan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sebelum ini:
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku”. 
Beliau menjelaskan mengenai hal tersebut:
       “....Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal. Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Dia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat dari  antara nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada dan shālihīn dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā', ayat 70).    
       Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.....”

Keledai-keledai yang Bodoh dan  Penakut serta  Bersuara Sangat Buruk

      Karena golongan Ahli Kitab tidak mau (menolak keras) melaksanakan  perintah Allah  Swt. untuk “membunuh hawa-nafsu mereka” -- melalui beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw.  dan melaksanakan ajaran Al-Quran (QS.4:67-71)   -- maka  keadaan mereka sesuai dengan   penegasan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani:
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku.”
     Pernyataan keras tersebut sesuai pula dengan firman Allah Swt. berikut ini mengenai orang-orang Yahudi, firman-Nya:
مَثَلُ  الَّذِیۡنَ حُمِّلُوا  التَّوۡرٰىۃَ  ثُمَّ  لَمۡ یَحۡمِلُوۡہَا کَمَثَلِ  الۡحِمَارِ یَحۡمِلُ اَسۡفَارًا ؕ بِئۡسَ مَثَلُ  الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Misal (perumpamaan) orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah semisal keledai yang memikul ki-tab-kitab. Sangat  buruk misal kaum yang mendustakan Tanda-tanda Allah. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kaum yang zalim. (Al-Jumu’ah [62]:6).
     Keledai dikenal sebagai bintang penakut dan bodoh, tetapi suaranya keras dan tidak enak didengar, sebagaimana nasihat Nabi Luqman a.s. kepada anaknya, firman-Nya:
یٰبُنَیَّ  اَقِمِ الصَّلٰوۃَ  وَ اۡمُرۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ انۡہَ  عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ اصۡبِرۡ عَلٰی مَاۤ اَصَابَکَ ؕ اِنَّ  ذٰلِکَ مِنۡ عَزۡمِ  الۡاُمُوۡرِ ﴿ۚ﴾  وَ لَا تُصَعِّرۡ  خَدَّکَ  لِلنَّاسِ وَ لَا  تَمۡشِ فِی الۡاَرۡضِ مَرَحًا ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  لَا  یُحِبُّ  کُلَّ مُخۡتَالٍ  فَخُوۡرٍ ﴿ۚ﴾  وَ اقۡصِدۡ فِیۡ  مَشۡیِکَ وَ اغۡضُضۡ مِنۡ صَوۡتِکَ ؕ اِنَّ  اَنۡکَرَ  الۡاَصۡوَاتِ لَصَوۡتُ الۡحَمِیۡرِ ﴿٪﴾
“Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan cegahlah orang berbuat kemungkaran, dan bersabarlah atas apa yang menimpa engkau. Sesungguhnya yang demikian itu adalah dari perkara-perkara yang telah ditetapkan.   Dan janganlah engkau memalingkan pipi engkau dari orang-orang dengan angkuh,  dan  jangan berjalan di bumi dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang congkak dan sombong,   Dan berjalanlah  engkau dengan sederhana, dan rendahkanlah suara engkau. Sesungguhnya yang paling tidak menyenangkan di antara suara-suara adalah  suara keledai.” (Luqman [31]:18-19).
        Mengenai kepengecutan  keledai-keledai   yang bersuara keras dan tidak enak didengar tersebut tersebut Allah Swt. berfirman mengenai misal (perumpamaan) orang-orang yang mendustakan dan menentang Nabi Besar Muhammad saw. : 
فَمَا لَہُمۡ عَنِ التَّذۡکِرَۃِ  مُعۡرِضِیۡنَ ﴿ۙ﴾  کَاَنَّہُمۡ حُمُرٌ مُّسۡتَنۡفِرَۃٌ ﴿ۙ﴾  فَرَّتۡ مِنۡ قَسۡوَرَۃٍ ﴿ؕ﴾  بَلۡ یُرِیۡدُ کُلُّ امۡرِیًٔ  مِّنۡہُمۡ  اَنۡ یُّؤۡتٰی صُحُفًا مُّنَشَّرَۃً ﴿ۙ﴾  کَلَّا ؕ بَلۡ  لَّا یَخَافُوۡنَ الۡاٰخِرَۃَ ﴿ؕ﴾  کَلَّاۤ  اِنَّہٗ  تَذۡکِرَۃٌ﴿ۚ﴾  فَمَنۡ  شَآءَ  ذَکَرَہٗ ﴿ؕ﴾  وَ مَا یَذۡکُرُوۡنَ  اِلَّاۤ  اَنۡ یَّشَآءَ اللّٰہُ ؕ ہُوَ اَہۡلُ التَّقۡوٰی وَ اَہۡلُ الۡمَغۡفِرَۃِ ﴿٪﴾
Maka apakah yang terjadi dengan mereka hingga mereka berpaling dari peringatan,  seolah-olah mereka itu keledai-keledai yang ketakutan,    lari dari singa?  Bahkan, setiap orang dari mereka menghendaki supaya dia diberi lembaran-lembaran terbuka. Sekali-kali tidak! Bahkan me-reka tidak takut pada akhirat.  Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Al-Quran itu adalah peringatan, maka barangsiapa menghendaki, hendaklah ia memperhatikannya.   Dan mereka tidak akan memperhatikan kecuali jika Allah  menghendaki.  Dia memberi ketakwaan dan Dia memberi ampunan. (Al-Mudatstsār [74]:50-57).
   Yang diisyaratkan dalam ayat    بَلۡ یُرِیۡدُ کُلُّ امۡرِیًٔ  مِّنۡہُمۡ  اَنۡ یُّؤۡتٰی صُحُفًا مُّنَشَّرَۃ -- “Bahkan, setiap orang dari mereka menghendaki supaya dia diberi lembaran-lembaran terbuka,” di sini mungkin tuntutan orang-orang kafir yang tidak pantas seperti disebut pada suatu tempat dalam Al-Quran, bahwa mereka tidak akan beriman kecuali bila  Nabi Besar Muhammad saw. membawa turun dari langit sebuah kitab bagi mereka, yang mereka akan dapat membacanya  atau memahaminya dengan mudah (QS.17:94).
   Orang-orang kafir tidak akan dapat mendapat faedah dari Al-Quran kecuali bila mereka menyesuaikan kehendak mereka dengan kehendak Ilahi, yaitu kecuali bila mereka menundukkan semua keinginan mereka kepada kehendak Ilahi (QS.76:31), itulah makna firman-Nya  وَ مَا یَذۡکُرُوۡنَ  اِلَّاۤ  اَنۡ یَّشَآءَ اللّٰہُ ؕ ہُوَ اَہۡلُ التَّقۡوٰی وَ اَہۡلُ الۡمَغۡفِرَۃِ  -- “Dan mereka tidak akan memperhatikan kecuali jika Allah  menghendaki.  Dia memberi ketakwaan dan Dia memberi ampunan.”

 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   12 Mei      2014*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar