بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 248
Makna Manusia Diciptakan dari “Shalshal” (Tanah Kering Berdenting) dan “Hamā-in Masnūn” (Lumpur
Hitam yang Diberi Bentuk) & Kesaksian Ruh
Mengenai Tauhid Ilahi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai proses pengangkatan Adam
sebagai Khalifah Allah atau Rasul
Allah di kalangan manusia pada zamannya, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
خَلَقۡنٰکُمۡ ثُمَّ صَوَّرۡنٰکُمۡ ثُمَّ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ ٭ۖ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ
اِبۡلِیۡسَ ؕ لَمۡ یَکُنۡ مِّنَ
السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menciptakan
kamu, kemudian Kami memberi kamu bentuk, lalu Kami berfirman kepada para malaikat: ”Sujudlah yakni patuhlah sepenuhnya kamu
kepada Adam," maka mereka bersujud ke-cuali iblis,
ia tidak termasuk orang-orang yang bersujud. (Al-A’rāf
[7]:12).
Kata yang dipergunakan dalam ayat
tersebut adalah kum (kamu), artinya
bahwa ketika Allah Swt. hendak menjadikan Adam
sebagai “Khalifah-Nya”, ketika itu ia bukan satu-satunya manusia melainkan bagian dari suatu kaum, dan dari kaum tersebut Allah Swt. telah memilih Adam sebagai Khalifah
(Rasul Allah).
Makna ayat ثُمَّ صَوَّرۡنٰکُمۡ --
“kemudian Kami memberi kamu bentuk” artinya bahwa
manusia telah dianugerahi kemampuan oleh Allah Swt. untuk menuangkan
wujud akhlaknya ke dalam berbagai bentuk, sebagaimana tanah liat mudah diberi bentuk
apa pun oleh pengrajin keramik.
Di antara kaum tersebut yang paling sempurna dalam menuangkan “wujud akhlaknya” seperti
akhlak atau Sifat-sifat
Tasybihiyah Allah Swt. adalah Adam, karena itulah Allah Swt. pada waktu itu telah memilih Adam
sebagai Khalifah-Nya (QS.2:31)
serta mengajarkan kepadanya
berbagai rahasia Sifat-sifat-Nya yang
lain, yang para malaikat pun tidak
mampu melaksanakannya atau memberitahukan
hal tersebut kepada Allah Swt., firman-Nya:
وَ عَلَّمَ
اٰدَمَ الۡاَسۡمَآءَ کُلَّہَا ثُمَّ عَرَضَہُمۡ عَلَی الۡمَلٰٓئِکَۃِ ۙ فَقَالَ
اَنۡۢبِـُٔوۡنِیۡ بِاَسۡمَآءِ ہٰۤؤُلَآءِ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ
لَا عِلۡمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ
الۡحَکِیۡمُ﴿﴾قَالَ یٰۤاٰدَمُ اَنۡۢبِئۡہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۚ فَلَمَّاۤ
اَنۡۢبَاَہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۙ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکُمۡ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ وَ
اَعۡلَمُ مَا تُبۡدُوۡنَ وَ مَا کُنۡتُمۡ تَکۡتُمُوۡنَ ﴿﴾
Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama
itu semuanya kemudian Dia mengemukakan mereka itu kepada para malaikat lalu Dia
berfirman: “Beritahukanlah kepada-Ku
nama-nama mereka ini jika kamu memang benar.” Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami tidak memiliki
pengetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami,
sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Dia berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka itu”, maka
tatkala diberitahukannya kepada mereka
na-ma-nama mereka itu, Dia berfirman: “Bukankah
telah Aku katakan kepada kamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia seluruh langit dan bumi dan mengetahui
apa pun yang kamu nyatakan dan apa
pun yang kamu sembunyikan?” (Al-Baqarah
[2]:32-34).
Makna “Shalshal” (Tanah Kering Berdenting)
Mengetahui kenyataan itulah, ketika Allah Swt. memerintahkan para malaikat
untuk “sujud” (patuh-taat) kepada Adam maka mereka semua “sujud” kecuali iblis menolak perintah Allah Swt. dengan alasan ia merasa lebih mulia
daripada Adam ثُمَّ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ
اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ ٭ۖ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ
اِبۡلِیۡسَ ؕ لَمۡ یَکُنۡ مِّنَ
السّٰجِدِیۡنَ -- “lalu Kami berfirman kepada para malaikat:
”Sujudlah yakni patuhlah sepenuhnya kamu
kepada Adam," maka mereka bersujud kecuali iblis, ia tidak termasuk orang-orang yang bersujud.” (QS.7:12).
Karena perintah
supaya sujud kepada Adam
itu ditujukan kepada malaikat-malaikat, maka perintah itu berlaku untuk semua makhluk --
termasuk iblis -- sebab para malaikat adalah "tangan-tangan" atau instrument Allah Swt. yang bertugas melaksanakan perintah-perintah-Nya (QS.66:7).
Iblis
itu bukan malaikat (QS.18:51). Iblis adalah gembong (pemimpin) ruh-ruh
jahat sedangkan malaikat Jibril a.s. adalah pemimpin malaikat-malaikat. Kejadian yang disebutkan dalam ayat
ini serta dalam Surah-surah lainnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan nenek-moyang pertama umat manusia yang
dapat disebut Adam pertama.
Kejadian yang dikemukakan dalam Al-Quran mau pun Bible hanya berhubungan dengan Nabi Adam -- yang tinggal
di bumi ini kira-kira 6.000 tahun yang lalu yang dan menurunkan Nabi Nuh a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. . serta
keturunan beliau-beliau -- yang dibahas dalam kisah ini.
Dalam Surah berikut ini proses
pengangkatan Adam sebagai sebagai Khalifah
Allah dan pemberitahuan mengenai
berbagai Asma (Sifat-sifat)
Allah Swt. kepada Adam (QS.2:31-34) digambarkan sebagai “peniupan ruh” Allah Swt., firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ
﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ
خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menciptakan insan (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi
bentuk. Dan sebelumnya Kami telah menjadikan jin dari api angin panas. (Al-Hijr
[15]:27-28).
Diciptakan-Nya
manusia dari shalshal (tanah liat kering-denting) mengandung arti, bahwa ia telah diciptakan
dari zat yang di dalamnya terkandung kemampuan dan sifat-sifat yang latent (tersembunyi) untuk berbicara. Ini menunjukkan, bahwa manusia telah dianugerahi kekuatan
untuk menyambut suara dari langit, yakni seruan Allah Swt. melaui Rasul Allah.
Akan tetapi karena shalshal
itu mengeluarkan suara hanya apabila terkena oleh sesuatu benda dari luar, maka kata itu mengisyaratkan,
bahwa kekuatan manusia untuk menyambut itu bergantung pada penerimaan dia terhadap seruan Ilahi. Kemampuan ini membuktikan keunggulannya dari seluruh makhluk.
Hakikat Kesaksian Ruh
Manusia Mengenai Tauhid Ilahi
Mengisyaratkan kepada kemampuan ruh (jiwa) manusia memberikan jawaban (tanggapan) terhadap seruan Allah Swt. itulah firman-Nya berikut ini:
وَ اِذۡ
اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ
اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا
عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ
تَقُوۡلُوۡۤا اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil kesaksian dari bani
Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil
berfirman: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُم -- “Bukankah
Aku Rabb (Tuhan) kamu?” Mereka berkata: بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا -- “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal itu supaya kamu
tidak berkata pada Hari Kiamat:
“Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari hal ini.” Atau
kamu mengatakan: ”Sesungguhnya
bapak-bapak kami dahulu yang berbuat
syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat batil itu?” Dan
demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda
itu dan supaya mereka
kembali kepada yang haq. (Al-A’raf
[7]:173-175).
Ayat 173 menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat atau ruh
manusia sendiri mengenai adanya Dzat Mahatinggi yang telah menciptakan seluruh alam serta mengendalikannya (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk
kepada kemunculan para nabi Allah
yang menunjuki jalan menuju Allah Swt..
Ungkapan مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ
ذُرِّیَّتَہُمۡ -- “dari sulbi bani (keturunan) Adam”, maksudnya umat
dari setiap zaman yang kepada mereka rasul
Allah diutus (QS.7:35-37). Pada hakikatnya keadaan tiap-tiap pengutusan rasul
baru itulah yang mendorong timbulnya
pertanyaan Ilahi: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُم
-- “Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?”
Pertanyaan itu berarti bahwa jika Allah Swt. telah menyediakan perbekalan untuk keperluan jasmani
manusia, demikian
pula untuk kemajuan akhlak dan
keruhanian betapa ia (manusia) dapat
mengingkari Ketuhanan-Nya.
Sesungguhnya jika manusia menolak nabi Allah yang diutus kepada mereka (QS.7”35-37)
maka manusia menjadi saksi terhadap diri
mereka sendiri, sebab jika demikian mereka tidak dapat berlindung di balik dalih
(alasan) bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan Allah atau syariat-Nya atau Hari
Pembalasan. Itulah makna ayat:
اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ
اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا
غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا
اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾
Hal itu supaya kamu tidak berkata pada Hari Kiamat: “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari hal ini.” Atau
kamu mengatakan: ”Sesungguhnya
bapak-bapak kami dahulu yang berbuat
syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat batil itu?” (Al-A’raf
[7]:174-175).
Dengan demikian
kemunculan seorang nabi Allah juga menghalangi (menafikan) kaumnya dari mengemukakan dalih seperti dalam ayat 173 di atas bahwa “mereka
tidak tahu menahu atas hal tersebut” atau berdalih bahwa “mereka hanya sekedar
keturunan yang mengikuti kebiasaan leluhur mereka”, sebab pada saat itulah haq (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan, dan kemusyrikan
dengan terang benderang dicela.
Makna “Lumpur Hitam yang Diberi Bentuk”
Kata hamā’ (lumpur hitam), mengandung
arti bahwa manusia telah diciptakan dari lumpur
hitam, yakni campuran tanah dan air. Tanah merupakan
sumber badan jasmani, dan air itu sumber ruh. Di lain tempat Al-Quran menyebutkan “tanah” dan “air” (QS.21:31)
secara terpisah sebagai benda-benda
yang darinya manusia telah diciptakan,
firman-Nya:
اِنَّ مَثَلَ عِیۡسٰی عِنۡدَ اللّٰہِ
کَمَثَلِ اٰدَمَ ؕ خَلَقَہٗ مِنۡ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَہٗ کُنۡ فَیَکُوۡنُ ﴿﴾
Sesungguhnya
misal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti misal penciptaan Adam. Dia menjadikannya dari debu kemudian
Dia berfirman kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Ali ‘Imran [3]:60).
Pada
hakikatnya ayat ini merupakan salah satu dari sekian banyak dalil Al-Quran yang menolak paham sesat “ketuhanan”
Isa Ibnu Maryam a.s., sebab Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. pun seperti umumnya manusia lainnya diciptakan berasal dari tanah dan terbentuk sebagai manusia
di dalam rahim perempuan.
Kata Adam utamanya berarti orang laki-laki, yakni anak-cucu Adam
a.s (Bani Adam) seumumnya. Dengan
demikian Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dinyatakan sama seperti makhluk
lainnya tunduk kepada hukum mati dan
semuanya dijadikan dari debu
(QS.40:68), oleh karena itu tiada sifat Ketuhanan melekat pada diri
beliau.
Tetapi bila kata Adam diartikan menunjuk kepada leluhur umat manusia, maka ayat itu harus diartikan mengisyaratkan
kepada persamaan antara Isa dan Adam dalam hal adanya telah dilahirkan
tanpa perantaraan seorang ayah. Kenyataan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. itu mempunyai ibu, tidak mempengaruhi persamaan itu, dan seperti dinyatakan di
atas persamaan itu tidak seharusnya
lengkap dalam segala hal.
Di
tempat lain dinyatakan bahwa manusia dijadikan dari thīn (tanah liat -- QS.6:3). Perbedaan yang hendak dikemukakan penggunaan kata turab (debu) dan thīn (tanah liat) adalah, bila dipakai kata “debu” wawasan mengenai wahyu (air ruhani) tidak dimasukkan,
tetapi kalau “tanah liat” -- yakni campuran tanah
dengan air -- yang dipakai maka wawasan wahyu juga
termasuk di dalamnya.
Manusia adalah Micro Cosmos
Jadi, jika Allah Swt. menggunakan
kata thīn (tanah liat) berkenaan dengan penciptaan manusia maka hal itu mengandung isyarat halus bahwa Allah Swt. telah menanamkan dalam jiwa setiap manusia potensi
(kemampuan) untuk menerima wahyu Ilahi atau pun menerima wahyu
syaitan, firman-Nya:
وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ فَاَلۡہَمَہَا
فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ قَدۡ
اَفۡلَحَ مَنۡ زَکّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ قَدۡ خَابَ مَنۡ دَسّٰىہَا ﴿ؕ﴾
Dan demi jiwa dan penyempurnaannya,
maka Dia mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya
dan ketakwaannya. Sungguh
beruntunglah orang yang
mensucikannya, dan
sungguh binasalah orang yang
mengotorinya. (Asy-Syams [91]:8-11).
Makna ayat وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا -- “Dan demi jiwa dan penyempurnaannya” berarti, bahwa semua khasiat yang dipersembahkan benda-benda
langit seperti matahari, bulan, dan lain-lain dalam rangka melayani (mengkhidmati)
makhluk-makhluk Allah – yang
dikemukakan dalam ayat 2 sampai ayat 9 sebagai obyek-obyek persumpahan Allah Swt. -- dan yang mengenai kenyataan itu telah
disebutkan dalam ayat 10, memberi kesaksian
bahwa manusia telah dianugerahi sifat-sifat
serupa itu dalam derajat lebih tinggi.
Pada
hakikatnya, manusia adalah alam semesta ukuran
mini (micro cosmos) dan dalam dirinya ditampilkan dalam skala kecil segala sesuatu yang terwujud di alam semesta, yakni:
(1)Bagaikan matahari ia memancarkan cahayanya ke
alam dunia serta meneranginya dengan kilauan cahaya hikmah dan ilmu.
(2) Penaka bulan ia memancarkan (memantulkan) kembali
cahaya
kasyaf, ilham, dan wahyu yang dipinjamnya dari Sumber Asli lagi agung, untuk ditujukan kepada mereka yang bermukim di dalam kegelapan.
(4) Ia
terang benderang laksana siang hari
dan menunjukkan jalan kebenaran dan kebajikan.
(5) Bagaikan
malam ia menutupi keaiban dan kesalahan amal orang-orang lain, meringankan beban mereka, dan memberikan istirahat
kepada si lelah dan si letih.
(6) Seperti
langit ia menaungi setiap jiwa yang bersusah hati dan menghidupkan bumi yang
telah mati dengan hujan yang member kesegaran.
(7) Laksana
bumi ia menyerahkan diri
dengan segala kerendahan untuk
diinjak-injak di bawah telapak kaki orang-orang sebagai percobaan
(ujian) bagi mereka, dan dari ruhnya
yang telah disucikan itu tumbuhlah
dengan berlimpah-ruah bermacam-macam pohon ilmu pengetahuan dan kebenaran, dan dengan keteduhan
rindangnya dahan-dahan, dan dengan bunga-bunganya, dan dengan buah-buahnya ia menjamu sesama umat
manusia.
Demikianlah keadaan orang-orang kudus (suci) dan para mushlih rabbani yakni para Rasul
Allah di antaranya yang terbesar dan paling sempurna ialah Muhammad,
Rasulullah saw., sehingga beliau saw. sebagai suri
teladan terbaik (QS.33:22)dan pemilik akhlak
yang agung (QS.68:5) mendapat gelar Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41).
Makna ayat
فَاَلۡہَمَہَا فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا --
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya
keburukan-keburukannya dan ketakwaannya”, Allah Swt.
telah menanamkan dalam fitrat manusia perasaan atau pengertian
mengenai apa yang baik dan buruk, dan telah mewahyukan kepadanya bahwa ia dapat memperoleh kesempurnaan ruhani dengan menjauhi apa yang buruk dan salah dan
menerima apa yang benar dan baik.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 5 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar