Jumat, 06 Juni 2014

Kelahiran "Bayi Hati" dan Hubungannya dengan "Pembunuhan Pemuda" oleh Seorang "Hamba Allah""



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   231

 Kelahiran “Bayi Hati” dan Hubungannya dengan “Pembunuhan Seorang Pemuda” oleh Seorang “Hamba Allah”

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 

D

alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai   makna ayat    لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا  وَّ لَا  تَاۡثِیۡمًا  -- “di dalamnya mereka tidak   mendengar  ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,    اِلَّا  قِیۡلًا  سَلٰمًا سَلٰمًا  -- melainkan hanya ucapan: “Selamat sejahtera, selamat sejahtera,  --  bukan mengucapkan  pernyataan-pernyataan “nyleneh” yang tidak benar seperti para penganut faham Wihdatul Wujud,  yang karena  menganggap diri mereka telah “menjadi Tuhan” sehingga  menurut mereka tidak perlu lagi mengamalkan  ketentuan-ketentuan  syariat.

   Ayat-ayat      لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا  وَّ لَا  تَاۡثِیۡمًا  -- “di dalamnya mereka tidak   mendengar  ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa, ﴿   اِلَّا  قِیۡلًا  سَلٰمًا سَلٰمًا  -- melainkan hanya ucapan: “Selamat sejahtera, selamat sejahtera,ini  --  seperti banyak lagi ayat-ayat Al-Quran lainnya -- dengan sangat ampuh menyangkal semua anggapan bodoh para pengorek kesalahan dan pengecam Islam yang berdalih menemukan dalam Al-Quran sebutan mengenai surga yang mesum. Ayat ini pun memberi pengertian untuk menyelami sifat inti, dan hakikat sebenarnya mengenai  surga.

   Surga, sebagaimana dibayangkan dan dijanjikan Allah Swt. kepada orang-orang Muslim oleh Al-Quran, akan merupakan tempat kenikmatan ruhani, di dalam tempat itu percakapan yang berbau dosa, sia-sia atau kosong atau dusta (QS.78:36) tidak akan terdengar.

    Semua rahmat-Nya akan mencapai puncaknya serta kesempurnaannya dalam kedamaian – yaitu  kedamaian paripurna pada alam pikiran dan jiwa, yang tidak akan ada rahmat lebih besar lagi daripada itu. Surga yang dijanjikan kepada seorang Muslim telah ditetapkan sebagai “rumah keselamatan” dalam Al-Quran (QS.6:128); martabat tertinggi dalam perkembangan ruhani yang dapat dicapai orang-orang beriman  ialah mencapai  derajat nafs-al-muthmainnah (jiwa yang tenteram - QS.89:28); dan karunia terbesar yang akan diterima oleh para penghuni surga dari Allah  Swt. adalah ucapan “Salām -- damai” (QS.36:59), karena Allah Sendiri adalah Pencipta kedamaian (QS.59:24). Demikianlah tanggapan luhur Al-Quran mengenai surga.



Ringkasan Gambaran “Kehidupan Surgawi



   Sehubungan dengan hal tersebut, berbagai rincian gambaran mengenai nikmat-nikmat surgawi yang  dijanjikan Allah Swt. kepada para penghuni surga di akhirat  dalam berbagai Surah Al-Quran,  secara ringkas tercakup dalam firman-Nya berikut ini:

اِنَّ الَّذِیۡنَ لَا یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا وَ رَضُوۡا بِالۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ اطۡمَاَنُّوۡا بِہَا وَ الَّذِیۡنَ  ہُمۡ عَنۡ  اٰیٰتِنَا غٰفِلُوۡنَ ۙ﴿﴾  اُولٰٓئِکَ مَاۡوٰىہُمُ النَّارُ بِمَا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾  اِنَّ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ یَہۡدِیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ بِاِیۡمَانِہِمۡ ۚ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہِمُ  الۡاَنۡہٰرُ  فِیۡ  جَنّٰتِ  النَّعِیۡمِ ﴿﴾ دَعۡوٰىہُمۡ فِیۡہَا سُبۡحٰنَکَ اللّٰہُمَّ وَ تَحِیَّتُہُمۡ فِیۡہَا سَلٰمٌ ۚ وَ اٰخِرُ  دَعۡوٰىہُمۡ اَنِ  الۡحَمۡدُ  لِلّٰہِ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾

Sesungguhnya  orang-orang yang tidak mengharapkan  pertemuan dengan Kami dan telah merasa senang dengan kehidupan dunia ini serta merasa puas dengannya, dan orang-orang  yang lalai terhadap Tanda-tanda Kami,   mereka itulah yang tempat tinggalnya Api, disebabkan apa yang senantiasa mereka usahakan.   Sesungguhnya orang-orang  yang beriman dan beramal saleh, mereka akan diberi petunjuk oleh Rabb (Tuhan) mereka  karena  keimanan mereka. Di bawah  mereka mengalir sungai-sungai  di dalam kebun-kebun kenikmatan.    Seruan mereka di dalamnya: “Mahasuci Engkau, ya  Allah! Dan ucapan salam mereka satu sama lain di dalamnya: “Selamat sejahtera”, sedangkan  akhir seruan mereka: “Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam.” (Yunus [10]:8-11).

   Makna kata “yarjuna – mengharapkan” dalam  ayat اِنَّ الَّذِیۡنَ لَا یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا  -- “Sesungguhnya  orang-orang yang tidak mengharapkan  pertemuan dengan Kami”,    penyelidikan tentang fitrat manusia membuka kenyataan penting, bahwa semua kemajuan manusia itu berhubungan erat dengan naluri-naluri harapan dan ketakutan.

  Usaha manusia yang terbaik diilhami oleh salah satu dari kedua naluri itu. Sebagian orang bekerja dan memeras keringat karena didorong oleh harapan akan memperoleh kekayaan dan kemuliaan, sebagian lain oleh rasa takut. Ayat ini berseru kepada kedua-dua golongan manusia itu dengan menggunakan kata raja, yang sekaligus berarti, “ia mengharapkan, ia takut” (Laxicon Lane).

  Kata taht (di bawah)  mengenai “sungai-sungai surgawi  dalam ayat  تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہِمُ  الۡاَنۡہٰرُ  فِیۡ  جَنّٰتِ  النَّعِیۡمِ  – “Di bawah  mereka mengalir sungai-sungai  di dalam kebun-kebun kenikmatan,” digunakan di sini dalam arti kiasan, yang menyatakan pembawahan atau penguasaan.  Dalam pengertian ini ungkapan di bawah mereka akan berarti, bahwa para penghuni surga akan menjadi penguasa dan pemilik sungai-sungai itu, dan bukan hanya semata-mata menggunakannya sebagai penyewa atau pemakai.

  Ayat selanjutnya   ﴿﴾ دَعۡوٰىہُمۡ فِیۡہَا سُبۡحٰنَکَ اللّٰہُمَّ وَ تَحِیَّتُہُمۡ فِیۡہَا سَلٰمٌ ۚ وَ اٰخِرُ  دَعۡوٰىہُمۡ اَنِ  الۡحَمۡدُ  لِلّٰہِ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ  -- “Seruan mereka di dalamnya: “Mahasuci Engkau, ya  Allah! Dan ucapan salam mereka satu sama lain di dalamnya: “Selamat sejahtera”, sedangkan  akhir seruan mereka: “Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam,”  menjelaskan  bahwa di dalam  surga itu orang-orang akan bertasbih kepada  Allah Swt.  atas kemauannya sendiri dan secara naluri, sebab di sana hakikat benda-benda itu akan nampak kepada manusia,  dan mereka akan menyadari  bahwa setiap pekerjaan  Allah Swt.  dilandasi oleh kebijaksanaan yang mendalam.

  Kesadaran itu akan menyebabkan mereka secara naluri dan dengan serta-merta berseru:    سُبۡحٰنَکَ اللّٰہُمَّ  -- Mahasuci Engkau, ya Allah! Ayat ini menegaskan juga, bahwa kesudahan orang-orang yang beriman itu senantiasa senang-bahagia. Mereka itu melahirkan kegembiraannya dengan menyanjung kemuliaan  Allah Swt..



Hubungan Suluk dengan “Jihad di Dalam Allah



 Gambaran nikmat-nikmat surga yang  dianugerahkan Allah Swt. kepada assābiqūn  --  yakni orang-orang beriman yang bernasib baik yang akan dikaruniai kedekatan istimewa kepada Tuhan  yakni al-muqarrabun   sebagaimana disebut dalam ayat-ayat 11-27 dalam Surah  Al-Wāqi’ah ini  --   sangat menyerupai karunia-karunia Tuhan yang telah disebut dalam Surah Ar-Rahmān  ayat 47-62.  Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang mukmin yang disebut dalam ayat-ayat 47-62 Surah Al-Rahmān itu dari golongan assābiqūn (mereka yang telah diberi anugerah kedekatan istimewa kepada Allah) dalam Surah Al-Wāqi’ah.

  Ayat  یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ  وِلۡدَانٌ   مُّخَلَّدُوۡنَ --  “Mereka  dikelilingi pemuda-pemuda yang dikekalkan dalam kebaikan,  menjelaskan kemaksuman (tuna-dosa) dan kesegaran yang lestari khadim-khadim yang akan mengkhidmati orang-orang beriman golongan  وَ السّٰبِقُوۡنَ  السّٰبِقُوۡنَ --  “Dan yang paling dahulu,  mereka benar-benar paling dahulu. 

 Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya  mengenai  penjelasan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani  dalam buku Sirrul-Asrār sehubungan  dengan kelahiran  bayi hati”, bahwa yang dimaksud  dengan “wildān   -- yakni “para pemuda surgawi” yang mengkhidmati pengkhuni surga golongan al-muqarrabūn (orang yang didekatkan kepada Allah Swt.)   dengan  minuman dan makanan surgawi” yang terpilih tersebut,  adalah perwujudan dari “bayi hati” yang “dilahirkan” oleh  hamba-hamba Allah yang melakukan suluk (perjalanan ruhani) atau melakukan “jihad di dalam” Allah Swt., firman-Nya:

وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ  لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾

Dan orang-orang yang berjuang  untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan (kebajikan). (Al-Ankabūt [29]:70).

   Jihad sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh atau menjadi kurban pembunuhan, melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti “untuk menjumpai Kami.” Hal itu hanya mungkin apabila  orang-orang beriman  berusaha untuk “membunuh hawa-nafsunya   -- yakni meninggalkan keadaan   nafs-al- Ammarah  (jiwa yang menyuruh kepada keburukan -- QS.12:54) – sehingga  mereka akan memasuki keadaan nafs-al- Lawwāmah (jiwa yang mencela diri  sendiri – QS.75:3), kemudian dengan rahmat dan karunia Allah Swt. mereka akan memasuki martabat nafs- al-Muthmainnah (jiwa yang tentram – QS.89:28-31).



Tiga  Tindakan Aneh  Seorang “Hamba Allah”  &  Pengalaman Ruhani Nabi Musa a.s. Berguru kepada “Seorang Hamba Allah



 Mengisyaratkan kepada  jihad melakukan “pembunuhan  hawa-nafsu” (nafs-al-Ammarah) itulah  maksud pembunuhan seorang pemuda (ghulam) oleh seorang  hamba Allah  yang  dicari-cari oleh Nabi Musa a.s. dan teman-mudanya guna belajar ilmu  yang diajarkan khusus Allah Swt. kepadanya yaitu: (1)  melubangi perahu milik orang miskin, (2) membunuh seorang pemuda, dan (3) mendirikan dinding yang hampir runtuh tanpa minta upah (QS.18:61-83), yang terbukti Nabi Musa a.s. tidak mampu bersabar melihat  ketiga tindakan aneh  yang dilakukan oleh “hamba Allah” tersebut, yang  umumnya dipercayai sebagai “Nabi Khidhir a.s..”

 Sehubungan dengan hal tersebut berikut adalah  perbincangan antara Nabi Musa a.s. ketika bertemu dengan “hamba Allah” yang sedang dicari beliau  bersama-sama dengan “teman-mudanya”, firman-Nya:

فَوَجَدَا عَبۡدًا مِّنۡ عِبَادِنَاۤ اٰتَیۡنٰہُ رَحۡمَۃً  مِّنۡ عِنۡدِنَا وَ عَلَّمۡنٰہُ مِنۡ لَّدُنَّا عِلۡمًا ﴿﴾  قَالَ لَہٗ مُوۡسٰی ہَلۡ اَتَّبِعُکَ عَلٰۤی اَنۡ تُعَلِّمَنِ  مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا ﴿﴾  قَالَ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾  وَ کَیۡفَ تَصۡبِرُ  عَلٰی مَا لَمۡ تُحِطۡ بِہٖ خُبۡرًا ﴿﴾  قَالَ سَتَجِدُنِیۡۤ  اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ صَابِرًا وَّ لَاۤ اَعۡصِیۡ  لَکَ  اَمۡرًا ﴿﴾  قَالَ فَاِنِ اتَّبَعۡتَنِیۡ فَلَا تَسۡـَٔلۡنِیۡ عَنۡ شَیۡءٍ  حَتّٰۤی  اُحۡدِثَ  لَکَ  مِنۡہُ  ذِکۡرًا﴿﴾

Maka mereka bertemu dengan seorang hamba dari hamba-­hamba Kami, yang Kami telah menganugerahi rahmat dari Kami, dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari hadirat Kami. Musa berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikuti engkau supaya engkau mengajarkan ke­padaku petunjuk dari apa  yang telah diajarkan kepada engkau?”  Ia berkata: "Sesungguhnya engkau  tidak  akan pernah sanggup bersabar bersamaku,  "Dan bagaimanakah engkau dapat bersabar atas sesuatu yang engkau tidak dapat menguasai pengeta-huan mengenainya?"   Ia (musa) berkata: "Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar jika Allah menghendaki dan aku tidak akan menolak apa pun perintah engkau." Ia berkata: “Maka jika engkau mengikutiku,  janganlah engkau menanyakan ke­padaku mengenai sesuatu hingga aku menceriterakannya kepada engkau mengenainya." (Al-Kahf [18]:66-71).

         Dalam kenyataannya terbukti Nabi Musa a.s. tidak mampu bersabar melihat tindakan-tindakan aneh yang dilakukan oleh “hamba Allah” tersebut, firman-Nya: 

فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا رَکِبَا فِی السَّفِیۡنَۃِ خَرَقَہَا ؕ قَالَ اَخَرَقۡتَہَا لِتُغۡرِقَ اَہۡلَہَا ۚ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا اِمۡرًا ﴿﴾  قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾  قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ  اَمۡرِیۡ  عُسۡرًا ﴿﴾  فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی   اِذَا  لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ  اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا  زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ  نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾

Maka keduanya berangkat hingga ketika mereka berdua naik perahu ia melubanginya. Musa berkata: "Apakah engkau melubanginya untuk me­nenggelamkan penumpangnya? Sungguh  engkau benar-benar  telah melakukan   sesuatu perkara jahat."   Ia, hamba Allah,  berkata: "Tidakkah telah  aku katakan sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku?”  Musa berkata: "Janganlah engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku  dengan kesulitan dalam  urusanku."   Maka keduanya be­rangkat hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang pe­muda  lalu ia membunuhnya. Musa berkata:  "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak berdosa bukan karena ia telah  membunuh orang lain? Sungguh  engkau benar-benar telah melakukan  sesuatu yang keji!" (Al-Kahf [18]:72-75).



Makna “Membunuh Pemuda” & Empat Macam “Nikmat (Martabat) Ruhani”



         Setelah menjelaskan alasan  mengepa ia telah “melubangi perahu”, selanjutnya  hamba Allah” menjelaskan  mengapa  ia membunuh seorang pemuda yang dijumpainya,  firman-Nya:

وَ اَمَّا الۡغُلٰمُ فَکَانَ اَبَوٰہُ  مُؤۡمِنَیۡنِ  فَخَشِیۡنَاۤ  اَنۡ یُّرۡہِقَہُمَا طُغۡیَانًا وَّ کُفۡرًا ﴿ۚ﴾  فَاَرَدۡنَاۤ  اَنۡ یُّبۡدِلَہُمَا رَبُّہُمَا خَیۡرًا مِّنۡہُ  زَکٰوۃً  وَّ  اَقۡرَبَ  رُحۡمًا ﴿﴾

 "Dan adapun anak muda (ghulam)  itu  kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman maka kami khawatir bahwa dia akan me­libatkan kedua orangtuanya ke dalam pelanggaran dan kekafiran.   Maka kami menginginkan supaya  Rabb (Tuhan) mereka akan mengganti  kepada mereka berdua anak yang lebih baik daripada dia dalam kesucian dan lebih dekat dalam kasih sayang. (Al-Kahf [18]:81-82).

   Seorang pemuda dalam bahasa mimpi  antara lain mengandung arti: keja-hilan, kekuatan  dan dorongan nafsu jalang. Dibunuhnya pemuda  itu oleh "hamba Allah" yang shalih dalam kasyaf Nabi Musa a.s.  berarti bahwa agama Islam akan menuntut kepada para pengikutnya untuk mendatangkan semacam maut (kematian) atas keinginan dan hawa-nafsu yang rendah, yakni berusaha melawan sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkraman nafs-al-Ammarah  (QS.12:54), yang dalam sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. menyebutnya sebagai “jihad kabir” (jihad besar) dan beliau saw. menyebut “perang Badar” yang sangat hebat sebagai jihad shaghir (jihad kecil).

 Dalam  buku Sirrul-Asrār,  Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani  -- sebelum menjelaskan mengenai “bayi hati yang erat hubungannya dengan “pembunuhan pemuda” – beliau  terlebih dulu mengutip firman Allah Swt. mengenai empat macam nikmat Allah Swt.  yang disediakan bagi orang-orang yang mentaati Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:

وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾

Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui.   (An-Nisā [4]:70-71).

      Mengenai  firman Allah Swt. tentang keempat macam  nikmat   ruhani  -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih -- yang ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang taat kepada-Nya dan taat kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan penjelasan:

     “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.

        Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.

        Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhamamd saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:

"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā' ,ayat 69).    

       Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.

        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.

       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:

"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".



(Bersambung)



Rujukan: The Holy Quran

Editor: Malik Ghulam Farid



***

Pajajaran Anyar,   7 Mei      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar