بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 231
Kelahiran “Bayi Hati” dan
Hubungannya dengan “Pembunuhan Seorang
Pemuda” oleh Seorang “Hamba Allah”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
makna ayat لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا
لَغۡوًا وَّ لَا تَاۡثِیۡمًا -- “di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا -- melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera,” -- bukan mengucapkan pernyataan-pernyataan “nyleneh” yang tidak benar seperti para penganut faham Wihdatul
Wujud, yang karena
menganggap diri mereka telah “menjadi Tuhan” sehingga menurut mereka tidak perlu lagi mengamalkan ketentuan-ketentuan syariat.
Ayat-ayat لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا
لَغۡوًا وَّ
لَا تَاۡثِیۡمًا -- “di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
﴿ اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا -- melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera,” ini -- seperti
banyak lagi ayat-ayat Al-Quran lainnya -- dengan sangat ampuh menyangkal semua anggapan bodoh para pengorek kesalahan
dan pengecam Islam yang berdalih
menemukan dalam Al-Quran sebutan
mengenai surga yang mesum. Ayat ini
pun memberi pengertian untuk menyelami sifat
inti, dan hakikat sebenarnya
mengenai surga.
Surga, sebagaimana dibayangkan
dan dijanjikan Allah Swt. kepada
orang-orang Muslim oleh Al-Quran,
akan merupakan tempat kenikmatan ruhani,
di dalam tempat itu percakapan yang berbau dosa, sia-sia atau kosong atau dusta (QS.78:36) tidak akan terdengar.
Semua rahmat-Nya akan mencapai puncaknya serta
kesempurnaannya dalam kedamaian –
yaitu kedamaian paripurna pada alam
pikiran dan jiwa, yang tidak akan
ada rahmat lebih besar lagi daripada
itu. Surga yang dijanjikan kepada seorang Muslim
telah ditetapkan sebagai “rumah keselamatan” dalam Al-Quran (QS.6:128);
martabat tertinggi dalam perkembangan
ruhani yang dapat dicapai orang-orang beriman ialah mencapai derajat nafs-al-muthmainnah
(jiwa yang tenteram - QS.89:28);
dan karunia terbesar yang akan
diterima oleh para penghuni surga
dari Allah Swt. adalah ucapan “Salām
-- damai” (QS.36:59), karena Allah Sendiri adalah Pencipta kedamaian (QS.59:24). Demikianlah tanggapan luhur Al-Quran
mengenai surga.
Ringkasan Gambaran “Kehidupan Surgawi”
Sehubungan dengan hal
tersebut, berbagai rincian gambaran
mengenai nikmat-nikmat surgawi yang dijanjikan Allah Swt. kepada para penghuni surga di akhirat dalam berbagai Surah
Al-Quran, secara ringkas tercakup dalam firman-Nya
berikut ini:
اِنَّ الَّذِیۡنَ لَا یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا
وَ رَضُوۡا بِالۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ اطۡمَاَنُّوۡا بِہَا وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنۡ
اٰیٰتِنَا غٰفِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ مَاۡوٰىہُمُ النَّارُ بِمَا کَانُوۡا
یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ یَہۡدِیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ
بِاِیۡمَانِہِمۡ ۚ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہِمُ
الۡاَنۡہٰرُ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿﴾ دَعۡوٰىہُمۡ فِیۡہَا سُبۡحٰنَکَ اللّٰہُمَّ وَ
تَحِیَّتُہُمۡ فِیۡہَا سَلٰمٌ ۚ وَ اٰخِرُ
دَعۡوٰىہُمۡ اَنِ الۡحَمۡدُ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami dan telah merasa senang dengan kehidupan dunia
ini serta merasa puas dengannya, dan
orang-orang yang lalai terhadap Tanda-tanda Kami, mereka
itulah yang tempat tinggalnya Api,
disebabkan apa yang senantiasa mereka
usahakan. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh,
mereka akan diberi petunjuk oleh Rabb
(Tuhan) mereka karena keimanan
mereka. Di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam kebun-kebun kenikmatan. Seruan
mereka di dalamnya: “Mahasuci Engkau,
ya Allah!” Dan ucapan salam mereka satu
sama lain di dalamnya: “Selamat
sejahtera”, sedangkan akhir seruan mereka: “Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan)
seluruh alam.” (Yunus [10]:8-11).
Makna kata “yarjuna – mengharapkan” dalam
ayat اِنَّ الَّذِیۡنَ لَا یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا -- “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami”, penyelidikan
tentang fitrat manusia membuka
kenyataan penting, bahwa semua kemajuan
manusia itu berhubungan erat dengan naluri-naluri harapan dan ketakutan.
Usaha manusia yang terbaik diilhami
oleh salah satu dari kedua naluri
itu. Sebagian orang bekerja dan memeras keringat karena didorong oleh harapan akan memperoleh kekayaan dan kemuliaan, sebagian lain oleh rasa takut. Ayat ini berseru kepada kedua-dua
golongan manusia itu dengan menggunakan kata raja, yang sekaligus
berarti, “ia mengharapkan, ia takut” (Laxicon
Lane).
Kata taht (di bawah) mengenai “sungai-sungai
surgawi” dalam ayat تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہِمُ الۡاَنۡہٰرُ فِیۡ
جَنّٰتِ النَّعِیۡمِ – “Di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam kebun-kebun kenikmatan,” digunakan
di sini dalam arti kiasan, yang
menyatakan pembawahan atau penguasaan. Dalam pengertian ini ungkapan di bawah
mereka akan berarti, bahwa para penghuni
surga akan menjadi penguasa dan pemilik sungai-sungai itu, dan bukan
hanya semata-mata menggunakannya sebagai penyewa
atau pemakai.
Ayat selanjutnya ﴿﴾ دَعۡوٰىہُمۡ فِیۡہَا سُبۡحٰنَکَ اللّٰہُمَّ وَ
تَحِیَّتُہُمۡ فِیۡہَا سَلٰمٌ ۚ وَ اٰخِرُ
دَعۡوٰىہُمۡ اَنِ الۡحَمۡدُ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- “Seruan mereka di dalamnya: “Mahasuci
Engkau, ya Allah!” Dan
ucapan salam mereka
satu sama lain di dalamnya: “Selamat
sejahtera”, sedangkan akhir seruan mereka: “Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan)
seluruh alam,” menjelaskan bahwa di dalam surga
itu orang-orang akan bertasbih
kepada Allah Swt. atas kemauannya
sendiri dan secara naluri, sebab
di sana hakikat benda-benda itu akan nampak kepada manusia, dan mereka akan menyadari bahwa setiap pekerjaan Allah Swt. dilandasi oleh kebijaksanaan yang mendalam.
Kesadaran itu akan menyebabkan
mereka secara naluri dan dengan
serta-merta berseru: سُبۡحٰنَکَ
اللّٰہُمَّ -- Mahasuci
Engkau, ya Allah! Ayat ini menegaskan juga, bahwa kesudahan orang-orang yang beriman itu senantiasa senang-bahagia. Mereka itu melahirkan kegembiraannya dengan menyanjung kemuliaan Allah Swt..
Hubungan Suluk dengan “Jihad di Dalam Allah”
Gambaran nikmat-nikmat surga
yang dianugerahkan Allah Swt. kepada assābiqūn
--
yakni orang-orang beriman yang
bernasib baik yang akan dikaruniai kedekatan istimewa kepada Tuhan
yakni al-muqarrabun sebagaimana disebut dalam ayat-ayat 11-27
dalam Surah Al-Wāqi’ah ini -- sangat
menyerupai karunia-karunia Tuhan yang
telah disebut dalam Surah Ar-Rahmān ayat 47-62. Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang mukmin yang disebut dalam ayat-ayat
47-62 Surah Al-Rahmān itu dari
golongan assābiqūn (mereka yang telah diberi anugerah kedekatan istimewa
kepada Allah) dalam Surah Al-Wāqi’ah.
Ayat یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ وِلۡدَانٌ مُّخَلَّدُوۡنَ -- “Mereka dikelilingi pemuda-pemuda yang dikekalkan dalam
kebaikan,” menjelaskan kemaksuman (tuna-dosa) dan kesegaran
yang lestari khadim-khadim yang akan mengkhidmati orang-orang beriman
golongan وَ
السّٰبِقُوۡنَ السّٰبِقُوۡنَ -- “Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu.”
Sebagaimana telah
dijelaskan dalam Bab sebelumnya mengenai penjelasan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrār
sehubungan dengan kelahiran “bayi
hati”, bahwa yang dimaksud dengan “wildān”
-- yakni “para pemuda surgawi”
yang mengkhidmati pengkhuni surga
golongan al-muqarrabūn (orang yang
didekatkan kepada Allah Swt.) dengan
“minuman dan makanan surgawi” yang terpilih tersebut, adalah perwujudan
dari “bayi hati” yang “dilahirkan”
oleh hamba-hamba
Allah yang melakukan suluk (perjalanan
ruhani) atau melakukan “jihad di dalam”
Allah Swt., firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ
اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka
pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan (kebajikan). (Al-Ankabūt
[29]:70).
Jihad sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh atau menjadi kurban pembunuhan, melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti
“untuk menjumpai Kami.” Hal itu hanya
mungkin apabila orang-orang beriman berusaha
untuk “membunuh hawa-nafsunya” -- yakni meninggalkan keadaan nafs-al-
Ammarah (jiwa yang menyuruh kepada
keburukan -- QS.12:54) – sehingga mereka
akan memasuki keadaan nafs-al- Lawwāmah
(jiwa yang mencela diri sendiri –
QS.75:3), kemudian dengan rahmat dan karunia Allah Swt. mereka akan memasuki
martabat nafs- al-Muthmainnah (jiwa
yang tentram – QS.89:28-31).
Tiga Tindakan Aneh Seorang “Hamba
Allah” & Pengalaman Ruhani Nabi Musa a.s. Berguru
kepada “Seorang Hamba Allah”
Mengisyaratkan kepada jihad
melakukan “pembunuhan hawa-nafsu” (nafs-al-Ammarah) itulah maksud pembunuhan
seorang pemuda (ghulam) oleh
seorang hamba Allah yang dicari-cari oleh Nabi Musa a.s. dan teman-mudanya guna belajar ilmu
yang diajarkan khusus Allah
Swt. kepadanya yaitu: (1) melubangi perahu milik orang miskin, (2)
membunuh seorang pemuda, dan (3) mendirikan dinding yang hampir runtuh tanpa
minta upah (QS.18:61-83), yang terbukti Nabi Musa a.s. tidak mampu bersabar melihat ketiga tindakan
aneh yang dilakukan oleh “hamba Allah” tersebut, yang umumnya dipercayai sebagai “Nabi Khidhir a.s..”
Sehubungan dengan hal tersebut berikut adalah perbincangan
antara Nabi Musa a.s. ketika bertemu dengan “hamba Allah” yang sedang dicari beliau bersama-sama dengan “teman-mudanya”, firman-Nya:
فَوَجَدَا
عَبۡدًا مِّنۡ عِبَادِنَاۤ اٰتَیۡنٰہُ رَحۡمَۃً مِّنۡ عِنۡدِنَا وَ
عَلَّمۡنٰہُ مِنۡ لَّدُنَّا
عِلۡمًا ﴿﴾ قَالَ لَہٗ مُوۡسٰی ہَلۡ اَتَّبِعُکَ
عَلٰۤی اَنۡ
تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا ﴿﴾ قَالَ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾ وَ کَیۡفَ تَصۡبِرُ عَلٰی مَا لَمۡ
تُحِطۡ بِہٖ خُبۡرًا ﴿﴾ قَالَ سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ
صَابِرًا وَّ لَاۤ اَعۡصِیۡ لَکَ اَمۡرًا ﴿﴾ قَالَ فَاِنِ اتَّبَعۡتَنِیۡ فَلَا تَسۡـَٔلۡنِیۡ عَنۡ شَیۡءٍ حَتّٰۤی
اُحۡدِثَ لَکَ
مِنۡہُ ذِکۡرًا﴿﴾
Maka
mereka bertemu dengan seorang hamba
dari hamba-hamba Kami, yang
Kami telah menganugerahi rahmat dari
Kami, dan Kami telah mengajarkan
kepadanya ilmu dari hadirat Kami. Musa berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikuti engkau supaya engkau
mengajarkan kepadaku petunjuk dari apa
yang telah diajarkan kepada engkau?” Ia berkata: "Sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku,
"Dan bagaimanakah engkau dapat bersabar atas sesuatu yang engkau tidak
dapat menguasai pengeta-huan mengenainya?" Ia (musa)
berkata: "Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar jika Allah
menghendaki dan aku tidak akan menolak apa pun perintah engkau." Ia
berkata: “Maka jika engkau mengikutiku, janganlah engkau menanyakan kepadaku
mengenai sesuatu hingga aku
menceriterakannya kepada engkau mengenainya." (Al-Kahf [18]:66-71).
Dalam kenyataannya terbukti Nabi Musa
a.s. tidak mampu bersabar melihat tindakan-tindakan aneh yang dilakukan
oleh “hamba Allah” tersebut,
firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا رَکِبَا
فِی السَّفِیۡنَۃِ خَرَقَہَا ؕ قَالَ اَخَرَقۡتَہَا
لِتُغۡرِقَ اَہۡلَہَا ۚ لَقَدۡ
جِئۡتَ شَیۡئًا اِمۡرًا ﴿﴾ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾ قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا
نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ اَمۡرِیۡ عُسۡرًا ﴿﴾ فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Maka
keduanya berangkat hingga ketika mereka
berdua naik perahu ia melubanginya. Musa
berkata: "Apakah engkau
melubanginya untuk menenggelamkan
penumpangnya? Sungguh engkau benar-benar telah melakukan sesuatu perkara jahat." Ia, hamba
Allah, berkata: "Tidakkah telah aku katakan sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar
bersamaku?” Musa
berkata: "Janganlah engkau
menuntutku karena kelupaanku dan janganlah
engkau membebaniku dengan kesulitan
dalam urusanku." Maka
keduanya berangkat hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang pemuda lalu ia
membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak
berdosa bukan karena ia telah membunuh orang lain? Sungguh engkau
benar-benar telah melakukan sesuatu yang
keji!" (Al-Kahf [18]:72-75).
Makna “Membunuh Pemuda” & Empat Macam “Nikmat (Martabat) Ruhani”
Setelah menjelaskan alasan mengepa ia telah “melubangi perahu”, selanjutnya
“hamba Allah” menjelaskan mengapa
ia membunuh seorang pemuda yang dijumpainya, firman-Nya:
وَ اَمَّا الۡغُلٰمُ فَکَانَ
اَبَوٰہُ مُؤۡمِنَیۡنِ فَخَشِیۡنَاۤ اَنۡ یُّرۡہِقَہُمَا طُغۡیَانًا وَّ کُفۡرًا ﴿ۚ﴾ فَاَرَدۡنَاۤ اَنۡ یُّبۡدِلَہُمَا رَبُّہُمَا خَیۡرًا مِّنۡہُ زَکٰوۃً وَّ اَقۡرَبَ رُحۡمًا ﴿﴾
"Dan adapun anak muda (ghulam) itu kedua orang
tuanya adalah orang-orang yang beriman maka kami khawatir bahwa dia akan melibatkan kedua orangtuanya ke dalam
pelanggaran dan kekafiran. Maka kami
menginginkan supaya Rabb (Tuhan) mereka
akan mengganti kepada mereka berdua anak yang lebih baik daripada dia dalam
kesucian dan lebih dekat dalam kasih sayang. (Al-Kahf [18]:81-82).
Seorang pemuda
dalam bahasa mimpi antara lain mengandung arti: keja-hilan,
kekuatan dan dorongan
nafsu jalang. Dibunuhnya pemuda
itu oleh "hamba Allah" yang shalih dalam kasyaf Nabi Musa a.s.
berarti bahwa agama Islam akan menuntut
kepada para pengikutnya untuk
mendatangkan semacam maut (kematian)
atas keinginan dan hawa-nafsu yang rendah, yakni berusaha melawan sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkraman nafs-al-Ammarah
(QS.12:54), yang dalam sebuah hadits
Nabi Besar Muhammad saw. menyebutnya sebagai “jihad kabir” (jihad besar) dan beliau saw. menyebut “perang Badar” yang sangat hebat sebagai jihad shaghir (jihad kecil).
Dalam buku Sirrul-Asrār,
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani -- sebelum menjelaskan mengenai “bayi hati” yang erat hubungannya dengan “pembunuhan pemuda” – beliau terlebih
dulu mengutip firman Allah Swt. mengenai empat
macam nikmat Allah Swt. yang
disediakan bagi orang-orang yang mentaati
Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad
saw., firman-Nya:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan
termasuk di antara orang-orang
yang Allah memberi
nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati. Itulah karunia dari Allah, dan cukuplah
Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Mengenai
firman Allah Swt. tentang keempat macam
nikmat ruhani -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih -- yang
ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang taat
kepada-Nya dan taat kepada Nabi Besar
Muhammad saw., Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani memberikan penjelasan:
“Manusia tidak dapat mencapai hakikat
kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia
menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran;
hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi
sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana
Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali
Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi
Muhamamd saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ,ayat 69).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para
malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku
yang suci".
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar