Sabtu, 07 Juni 2014

Hakikat Perintah "Membunuh Hawa-nafsu" & Hubungannya dengan Menjadi "Umat Terbaik"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   233

 Hakikat Perintah  Membunuh  Hawa-nafsu” &  Hubungannya  dengan  Menjadi “Umat Terbaik 

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai   pentingnya keberadaan Rasul Allah dan wahyu Ilahi   sebab wahyu Ilahi merupakan salah satu sarana Allah Swt. berkomunikasi dengan umat manusia melalui Rasul-Nya, firman-Nya:
 وَ مَا کَانَ  لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ  اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ  اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا  الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ  نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ  بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ  مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾  صِرَاطِ اللّٰہِ  الَّذِیۡ  لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana.  Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu,  tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur, yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus,   Jalan  Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allāh segala perkara kembali. (Asy-Syurā [42]:52-54).
   Ayat 52 ini menyebut tiga cara Allah  Swt.   berbicara (berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
      (1) Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara.
   (2) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang tabir,"
     (3) Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau   malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
  Al-Quran disebut dalam ayat 53  disebut  ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), sebab dengan perantaraannya, bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru (QS.57:17-18).  Jadi,   Islam  atau Al-Quran adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya (QS.51:57).

Pentingnya Patuh-taat kepada Allah Swt. dan Rasul Allah

   Sehubungan dengan kelahiran “bayi hati” yang disinggung oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul Asrar  dan hubungannya dengan “pembunuhan seorang pemuda” oleh “hamba Allah” yang mengajari Nabi Musa a.s. (QS.18:75 & 81-82)  serta kaitannya  dengan  wildān  (para pemuda) pengkhidmat  ahli surga  yang menyajikan minuman dan makanan surgawi (QS.56:18-22), berikut firman Allah Swt. adalah  firman-Nya  mengenai perintah “membunuh hawa-nafsu”,  yang kemudian dilanjutkan dengan  firman-Nya mengenai  nikmat-nikmat  keruhanian yang disediaian bagi orang-orang yang mentaati Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. yaitu:  nabi-nabi- shiddiq-shiddiq, syuhada (saksi-saksi) dan orang-orang shaleh.
  Mengenai hal tersebut berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai pentingnya taat kepada Allah Swt. dan Rasul-rasul-Nya, terutama kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنَا مِنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا لِیُطَاعَ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اَنَّہُمۡ اِذۡ ظَّلَمُوۡۤا اَنۡفُسَہُمۡ جَآءُوۡکَ فَاسۡتَغۡفَرُوا اللّٰہَ وَ اسۡتَغۡفَرَ لَہُمُ الرَّسُوۡلُ لَوَجَدُوا اللّٰہَ تَوَّابًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾ فَلَا وَ رَبِّکَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ حَتّٰی  یُحَکِّمُوۡکَ فِیۡمَا شَجَرَ  بَیۡنَہُمۡ ثُمَّ  لَا  یَجِدُوۡا فِیۡۤ  اَنۡفُسِہِمۡ حَرَجًا  مِّمَّا قَضَیۡتَ  وَ یُسَلِّمُوۡا  تَسۡلِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak Kami  utus seorang rasul pun kecuali supaya ia ditaati dengan izin Allah. Dan sesungguhnya  seandainya  ketika mereka menzalimi  dirinya datang kepada engkau, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memintakan ampun bagi mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.    Tidak, demi Rabb (Tuhan) engkau,  mereka tidak akan beriman  hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati suatu keberatan dalam hati mereka mengenai apa yang engkau putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisā[4]:65-66).
   Kadangkala dicoba menarik kesimpulan  keliru dari kata-kata ini,  bahwa sungguhpun seorang nabi Allah harus ditaati oleh kaumnya yang kepada mereka beliau menyampaikan amanatnya, tetapi beliau sendiri tidak perlu menampakkan kesetiaan kepada nabi Allah  yang lain.
        Ini jelas satu kesimpulan yang keliru. Kenyataan bahwa seorang nabi Allah harus ditaati oleh orang-orang lain, tidak menghalangi kemungkinan bagi dirinya sendiri tunduk (patuh-taat) kepada dan menjadi pengikut nabi Allah  lain.  Contohnya adalah Nabi Harun a.s. adalah    seorang nabi yang ikut  (patuh-taat) kepada Nabi Musa  a.s. (QS.2:88; QS.7:143; QS.20:91--95).    Makna ayat:
فَلَا وَ رَبِّکَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ حَتّٰی  یُحَکِّمُوۡکَ فِیۡمَا شَجَرَ  بَیۡنَہُمۡ ثُمَّ  لَا  یَجِدُوۡا فِیۡۤ  اَنۡفُسِہِمۡ حَرَجًا  مِّمَّا قَضَیۡتَ  وَ یُسَلِّمُوۡا  تَسۡلِیۡمًا
Tidak, demi Rabb (Tuhan) engkau,  mereka tidak akan beriman  hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati suatu keberatan dalam hati mereka mengenai apa yang engkau putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya    hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara mereka” (An-Nisā[4]:66).
       Perintah itu berhubungan dengan Nabi Besar Muhammad saw.  sebagai Kepala Negara Islam, dan oleh karenanya perintah itu harus juga berlaku untuk para Khulafa-ur-Rasyidin, yang merupakan  wakil atau penerus  dari Nabi Besar Muhammad saw., dalam memimpin umat Islam atau pemerintahan Islam.

Hakikat Perintah “Membunuh Hawa-nafsu” dan Manfaatnya

     Berkenaan dengan pentingnya kepatuh-taatan mutlak kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ لَوۡ اَنَّا کَتَبۡنَا عَلَیۡہِمۡ اَنِ اقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ اَوِ اخۡرُجُوۡا مِنۡ دِیَارِکُمۡ مَّا فَعَلُوۡہُ  اِلَّا قَلِیۡلٌ مِّنۡہُمۡ ؕ وَ لَوۡ اَنَّہُمۡ فَعَلُوۡا مَا یُوۡعَظُوۡنَ بِہٖ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ  وَ اَشَدَّ  تَثۡبِیۡتًا ﴿ۙ﴾ وَّ اِذًا لَّاٰتَیۡنٰہُمۡ مِّنۡ لَّدُنَّـاۤ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿ۙ﴾  وَّ لَہَدَیۡنٰہُمۡ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا ﴿﴾ 
Dan seandainya Kami menetapkan kewajiban atas  mereka:  Bunuhlah diri kamu atau “keluarlah dari kampung-halaman kamu”, mereka sekali-kali tidak akan mengerjakannya kecuali sedikit  dari antara  mereka, padahal sesungguhnya seandainya mereka  mengerjakan apa yang dengan-nya mereka dinasihatkan niscaya akan lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan,    dan  jika demikian niscaya akan Kami berikan kepada mereka ganjaran besar dari,   dan niscaya  Kami  akan tunjuki mereka ke jalan yang lurus. (An-Nisā [4]:67-69). 
         Kata-kata uqtulu anfusakum, bukan berarti “bunuhlah diri kamu   -- karena ajaran Islam (Al-Quran)  melarang keras melakukan “tindakan bunuh diri dengan dalih  apa pun   karena  menurut Allah Swt. para pelakunya pasti akan masuk neraka (QS.4:30-31) -- tetapi “bunuhlah kaum kamu” (QS.2:55) atau “korbankanlah jiwa kamu di jalan Allah,” firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ  اِنَّکُمۡ ظَلَمۡتُمۡ اَنۡفُسَکُمۡ بِاتِّخَاذِکُمُ الۡعِجۡلَ فَتُوۡبُوۡۤا اِلٰی بَارِئِکُمۡ فَاقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ خَیۡرٌ  لَّکُمۡ عِنۡدَ بَارِئِکُمۡ ؕ فَتَابَ عَلَیۡکُمۡ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
Dan  ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi  dirimu dengan menjadikan patung anak sapi  sebagai sembahan, karena itu kembalilah bertaubat kepada Rabb (Pencipta kamu lalu bunuhlah hawa-nafsumu,  yang demikian itu lebih baik bagi kamu di sisi Rabb (Pencipta) kamu lalu   Dia menerima taubatmu, sesungguhnya Dia benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.(Al-Baqarah [2]:55).
          Anfusakum (hawa-nafsumu) berarti: sanak saudara, hawa nafsumu yang jahat. Nafs  adalah mufrad  (bentuk tunggal) dari anfus, berarti pula  hasrat atau keinginan. Orang-orang Yahudi diperintahkan mensucikan ruh  (jiwa) dari keinginan jahat dengan mematikan hawa nafsu dan dengan bertaubat.
       Pernyataan Bible bahwa mereka itu diperintahkan “bunuhlah masing-masing kamu akan saudaranya dan masing-masing akan sahabatnya dan masing-masing akan orang sekampungnya” (Keluaran 32:27) tidak didukung oleh Al-Quran, yang menurut pernyataan itu mereka diampuni (QS.4:154). Malahan pemimpin mereka, Samiri, tidak dibunuh  melainkan hanya diasingkan (QS.20:98).
        Menurut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, upaya pembunuhan “hawa-nafsu” melalui pengamalan hukum-hukum syariat Islam  (Al-Quran)  -- atau “pembunuhan seorang pemuda oleh hamba Allah  (QS.18:75 & 81-82)  --  akan melahirkan “bayi hati”, yang dalam perkembangannya “bayi-bayi hati” tersebut akan berubah menjadi wildān (pemuda-pemuda) surgawi yang akan menjadi para pengkhidmat  para ahli surga (QS.56:18-22), yang ketika hidup di dunia  melakukan pembunuhan hawa-nafsunya atau nafs-al-Ammarahnya (QS.12:54) sebagaimana diperintahkan Allah Swt. dan Rasul-Nya, yakni Nabi Besar Muhammad saw.:
     Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
       Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
     Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
     Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

Gelar “Umat yang Terbaik

      Firman Allah Swt. selanjutnya membuktikan benarnya penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani tersebut, yakni sesuai dengan upaya keras atau jihad  melawan   atau membunuh hawa-nafsu atau nafs al-Ammarah  (QS.12:54) maka dengan karunia Allah mereka akan layak untuk termamsuk ke dalam golongan orang-orang yang  yang memperoleh nikmat-nikmat ruhani  atau martabat-martabat ruhani   yang disediakan Allah Swt. bagi para pengikut hakiki Nabi Besar Muhammadf saw. (QS.3:32):
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka  itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui(An-Nisā [4]:70-71).
       Hanya jika umat Islam meraih maqam-maqam (martabat-martabat) ruhani  itulah maka mereka layak menyandang sebutan (gelar) mulia  sebagai “umat terbaik” yang dijadikan untuk “seluruh umat manusia”, firman-Nya:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ  الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia,  kamu menyuruh berbuat makruf, melarang dari berbuat munkar, dan beriman kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman, niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang fasik.  (Ali ‘Imran [3]:111). Lihat pula QS.2:144.
        Ayat ini bukan saja mencanangkan bahwa kaum Muslimin itu kaum  yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan menyebutkan pula sebab-sebabnya:
  (1) Mereka telah dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia seluruhnya;   
  (2) Telah menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.   
      Kemuliaan kaum Muslimin bergantung pada dan ditentukan oleh kedua syarat itu, yang tanpa itu tidak layak orang-orang Muslim mendakwakan diri sebagai "umat terbaik" yang dijadikan untuk kepentingan seluruh umat manusia, sesuai dengan misi kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai "rahmat untuk seluruh alam" (QS.21:108).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   10 Mei      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar