بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 233
Hakikat Perintah “Membunuh
Hawa-nafsu” & Hubungannya
dengan Menjadi “Umat Terbaik”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
pentingnya
keberadaan Rasul Allah dan wahyu Ilahi sebab wahyu Ilahi merupakan salah satu sarana Allah Swt. berkomunikasi dengan umat
manusia melalui Rasul-Nya,
firman-Nya:
وَ مَا کَانَ
لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ
اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا
فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ رُوۡحًا
مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا
کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا
الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ
نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ
نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ
لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾ صِرَاطِ اللّٰہِ
الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ
وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ اِلَی
اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan sekali-kali tidak
mungkin bagi manusia bahwa Allah
berbicara kepadanya, kecuali dengan
wahyu atau dari belakang tabir
atau dengan mengirimkan seorang utusan guna
mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia
Maha Tinggi, Maha Bijaksana.
Dan demikianlah Kami telah mewahyukan
kepada engkau firman ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa
Kitab itu, dan tidak pula apa
iman itu, tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur,
yang dengan itu Kami memberi petunjuk
kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus, Jalan
Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan
apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allāh segala perkara kembali.
(Asy-Syurā [42]:52-54).
Ayat 52 ini menyebut tiga cara Allah Swt. berbicara
(berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
(1) Dia berfirman secara
langsung kepada mereka tanpa perantara.
(2) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat
ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata
dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang
yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang tabir,"
(3) Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
Al-Quran disebut dalam ayat 53
disebut ruh (nafas hidup —
Lexicon Lane), sebab dengan
perantaraannya, bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya
mendapat kehidupan baru
(QS.57:17-18). Jadi, Islam atau Al-Quran
adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya (QS.51:57).
Pentingnya Patuh-taat kepada Allah Swt. dan Rasul
Allah
Sehubungan dengan kelahiran “bayi hati” yang disinggung oleh Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul Asrar dan hubungannya dengan “pembunuhan seorang pemuda” oleh “hamba Allah” yang mengajari Nabi Musa
a.s. (QS.18:75 & 81-82) serta
kaitannya dengan wildān (para pemuda) pengkhidmat ahli surga yang menyajikan minuman dan makanan surgawi
(QS.56:18-22), berikut firman Allah Swt. adalah
firman-Nya mengenai perintah “membunuh hawa-nafsu”, yang kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya mengenai nikmat-nikmat
keruhanian yang disediaian bagi
orang-orang yang mentaati Allah Swt.
dan Nabi Besar Muhammad saw. yaitu: nabi-nabi-
shiddiq-shiddiq, syuhada (saksi-saksi) dan orang-orang shaleh.
Mengenai hal tersebut berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.
mengenai pentingnya taat kepada Allah Swt. dan Rasul-rasul-Nya, terutama kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنَا مِنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا لِیُطَاعَ
بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اَنَّہُمۡ اِذۡ ظَّلَمُوۡۤا اَنۡفُسَہُمۡ جَآءُوۡکَ
فَاسۡتَغۡفَرُوا اللّٰہَ وَ اسۡتَغۡفَرَ لَہُمُ الرَّسُوۡلُ لَوَجَدُوا اللّٰہَ
تَوَّابًا رَّحِیۡمًا ﴿﴾ فَلَا وَ رَبِّکَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ
حَتّٰی یُحَکِّمُوۡکَ فِیۡمَا شَجَرَ بَیۡنَہُمۡ ثُمَّ لَا
یَجِدُوۡا فِیۡۤ اَنۡفُسِہِمۡ
حَرَجًا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَ یُسَلِّمُوۡا تَسۡلِیۡمًا ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak Kami utus seorang rasul pun kecuali supaya ia ditaati dengan izin
Allah. Dan sesungguhnya
seandainya ketika mereka menzalimi dirinya
datang kepada engkau, lalu mereka
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul
pun memintakan ampun bagi mereka,
niscaya mereka akan mendapati Allah benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Tidak, demi Rabb (Tuhan) engkau, mereka
tidak akan beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim
dalam apa yang menjadi perselisihan di
antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati suatu keberatan dalam hati mereka mengenai apa yang engkau putuskan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisā[4]:65-66).
Kadangkala dicoba menarik kesimpulan keliru dari kata-kata ini, bahwa sungguhpun seorang nabi Allah harus ditaati
oleh kaumnya yang kepada mereka beliau menyampaikan amanatnya, tetapi beliau sendiri tidak perlu menampakkan kesetiaan kepada nabi Allah yang lain.
Ini jelas satu kesimpulan yang keliru. Kenyataan bahwa seorang nabi Allah harus ditaati oleh orang-orang lain, tidak
menghalangi kemungkinan bagi dirinya sendiri tunduk (patuh-taat) kepada dan menjadi pengikut nabi Allah lain. Contohnya adalah Nabi Harun a.s. adalah seorang nabi yang ikut (patuh-taat) kepada Nabi
Musa a.s. (QS.2:88; QS.7:143; QS.20:91--95). Makna ayat:
فَلَا وَ رَبِّکَ لَا
یُؤۡمِنُوۡنَ حَتّٰی یُحَکِّمُوۡکَ
فِیۡمَا شَجَرَ بَیۡنَہُمۡ ثُمَّ لَا
یَجِدُوۡا فِیۡۤ اَنۡفُسِہِمۡ
حَرَجًا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَ یُسَلِّمُوۡا تَسۡلِیۡمًا
Tidak, demi Rabb (Tuhan) engkau, mereka
tidak akan beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim
dalam apa yang menjadi perselisihan di
antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati suatu keberatan dalam hati mereka mengenai apa yang engkau putuskan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim
dalam apa yang menjadi perselisihan di
antara mereka” (An-Nisā[4]:66).
Perintah itu berhubungan dengan Nabi
Besar Muhammad saw. sebagai Kepala Negara Islam, dan oleh karenanya perintah itu harus juga berlaku untuk
para Khulafa-ur-Rasyidin, yang
merupakan wakil atau penerus dari Nabi Besar Muhammad saw., dalam memimpin
umat Islam atau pemerintahan Islam.
Hakikat Perintah “Membunuh Hawa-nafsu” dan Manfaatnya
Berkenaan dengan pentingnya kepatuh-taatan mutlak kepada Allah Swt.
dan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ لَوۡ
اَنَّا کَتَبۡنَا عَلَیۡہِمۡ اَنِ اقۡتُلُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ اَوِ اخۡرُجُوۡا مِنۡ
دِیَارِکُمۡ مَّا فَعَلُوۡہُ اِلَّا
قَلِیۡلٌ مِّنۡہُمۡ ؕ وَ لَوۡ اَنَّہُمۡ فَعَلُوۡا مَا یُوۡعَظُوۡنَ بِہٖ لَکَانَ
خَیۡرًا لَّہُمۡ وَ اَشَدَّ تَثۡبِیۡتًا ﴿ۙ﴾ وَّ اِذًا لَّاٰتَیۡنٰہُمۡ
مِّنۡ لَّدُنَّـاۤ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿ۙ﴾ وَّ لَہَدَیۡنٰہُمۡ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا ﴿﴾
Dan
seandainya Kami menetapkan kewajiban
atas mereka: ”Bunuhlah diri kamu” atau “keluarlah
dari kampung-halaman kamu”, mereka sekali-kali tidak akan mengerjakannya kecuali sedikit dari antara mereka, padahal sesungguhnya seandainya mereka mengerjakan apa yang
dengan-nya mereka dinasihatkan niscaya akan
lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan, dan jika demikian niscaya akan Kami berikan kepada mereka ganjaran
besar dari, dan niscaya Kami akan tunjuki mereka ke jalan yang lurus.
(An-Nisā
[4]:67-69).
Kata-kata uqtulu anfusakum, bukan
berarti “bunuhlah diri kamu” -- karena ajaran Islam (Al-Quran) melarang keras melakukan “tindakan bunuh diri” dengan dalih apa pun
karena menurut Allah Swt. para pelakunya pasti akan masuk neraka (QS.4:30-31)
-- tetapi “bunuhlah kaum kamu”
(QS.2:55) atau “korbankanlah jiwa kamu di
jalan Allah,” firman-Nya:
وَ اِذۡ
قَالَ مُوۡسٰی
لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ اِنَّکُمۡ ظَلَمۡتُمۡ اَنۡفُسَکُمۡ
بِاتِّخَاذِکُمُ الۡعِجۡلَ فَتُوۡبُوۡۤا اِلٰی بَارِئِکُمۡ فَاقۡتُلُوۡۤا
اَنۡفُسَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ
خَیۡرٌ لَّکُمۡ عِنۡدَ بَارِئِکُمۡ ؕ
فَتَابَ عَلَیۡکُمۡ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada
kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu dengan menjadikan patung anak sapi sebagai sembahan, karena itu kembalilah bertaubat kepada Rabb (Pencipta kamu lalu bunuhlah hawa-nafsumu, yang demikian itu lebih baik bagi kamu di sisi Rabb
(Pencipta) kamu lalu Dia menerima taubatmu, sesungguhnya Dia benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.(Al-Baqarah [2]:55).
Anfusakum (hawa-nafsumu) berarti: sanak
saudara, hawa nafsumu yang jahat. Nafs adalah mufrad (bentuk tunggal) dari anfus, berarti
pula hasrat
atau keinginan.
Orang-orang Yahudi diperintahkan mensucikan
ruh (jiwa) dari keinginan jahat dengan mematikan hawa nafsu dan dengan bertaubat.
Pernyataan Bible bahwa mereka itu diperintahkan “bunuhlah masing-masing kamu akan saudaranya dan masing-masing akan
sahabatnya dan masing-masing akan orang sekampungnya” (Keluaran 32:27) tidak didukung oleh Al-Quran, yang menurut
pernyataan itu mereka diampuni
(QS.4:154). Malahan pemimpin mereka, Samiri,
tidak dibunuh melainkan hanya diasingkan
(QS.20:98).
Menurut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, upaya pembunuhan “hawa-nafsu” melalui pengamalan hukum-hukum syariat Islam (Al-Quran)
-- atau “pembunuhan seorang pemuda
oleh hamba Allah” (QS.18:75
& 81-82) -- akan melahirkan “bayi hati”, yang dalam perkembangannya “bayi-bayi hati” tersebut akan berubah menjadi wildān (pemuda-pemuda) surgawi
yang akan menjadi para pengkhidmat para ahli
surga (QS.56:18-22), yang ketika hidup di dunia melakukan pembunuhan
hawa-nafsunya atau nafs-al-Ammarahnya (QS.12:54)
sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
dan Rasul-Nya, yakni Nabi Besar Muhammad
saw.:
Manusia tidak dapat mencapai hakikat
kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya
bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat
dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa
mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi
sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana
Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia
mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan suasana
ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi
para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa
menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
Gelar “Umat yang Terbaik”
Firman Allah Swt. selanjutnya membuktikan benarnya
penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani
tersebut, yakni sesuai dengan upaya keras
atau jihad melawan
atau membunuh hawa-nafsu atau nafs al-Ammarah (QS.12:54) maka dengan karunia Allah mereka
akan layak untuk termamsuk ke dalam golongan orang-orang yang yang memperoleh nikmat-nikmat ruhani atau martabat-martabat ruhani yang disediakan Allah Swt. bagi para pengikut
hakiki Nabi Besar Muhammadf saw. (QS.3:32):
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang
Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat
yang sejati. Itulah karunia dari Allah, dan cukuplah
Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Hanya jika umat Islam meraih maqam-maqam
(martabat-martabat) ruhani itulah
maka mereka layak menyandang sebutan (gelar) mulia sebagai “umat terbaik” yang dijadikan untuk “seluruh umat manusia”, firman-Nya:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ
لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ
بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia, kamu menyuruh berbuat makruf, melarang
dari berbuat munkar, dan beriman
kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman, niscaya
akan lebih baik bagi mereka. Di
antara mereka ada yang beriman
tetapi kebanyakan mereka orang-orang
fasik. (Ali ‘Imran [3]:111). Lihat pula QS.2:144.
Ayat
ini bukan saja mencanangkan bahwa
kaum Muslimin itu kaum
yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan
menyebutkan pula sebab-sebabnya:
(1)
Mereka telah dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia seluruhnya;
(2) Telah menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Kemuliaan kaum Muslimin bergantung pada dan ditentukan oleh kedua syarat
itu, yang tanpa itu tidak layak orang-orang Muslim mendakwakan diri sebagai "umat terbaik" yang dijadikan untuk kepentingan seluruh umat manusia, sesuai dengan misi kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai "rahmat untuk seluruh alam" (QS.21:108).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar