Sabtu, 07 Juni 2014

Perbedaan Kesempurnaan "Makrifat Ilahi" yang Diajarkan Allah Swt. kepada Rasul Allah dengan "Makrifat Ilahi" yang Diajarkan kepada Wali Allah



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   232

 Perbedaan Kesempurnaan Makrifat Ilahi yang Diajarkan Allah Swt. kepada  Rasul Allah dengan Makrifat Ilahi yang Diajarkan kepada   Wali Allah

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai   buku Sirrul-Asrār,  Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, bahwa sebelum menjelaskan mengenai “bayi hati  yang erat hubungannya dengan “pembunuhan pemuda,   beliau  terlebih dulu mengutip firman Allah Swt. mengenai empat macam nikmat Allah Swt.  yang disediakan bagi orang-orang yang mentaati Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati  Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui.   (An-Nisā [4]:70-71).
      Mengenai  firman Allah Swt. tentang keempat macam  nikmat   ruhani  --  nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih -- yang ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang taat kepada-Nya dan taat kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan penjelasan:
    “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
       Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
     Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
      Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

Makna Kata Ma’a

       Berkenaan dengan firman Allah Swt. tentang  empat    golongan orang-orang yang mendapat nikmat Allah Swt. dalam QS.4:70-71   --  nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih – sebelumnya, di kalangan umat Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai makna kata ma’a, yakni ada yang mengartikannya:
       (1) “Bersama-sama” walau pun berbeda dalam derajat   ruhani, contohnya semua pejabat pemerintah mulai dari Lurah (Kepala Desa) sampai dengan Kepala Negara (Presiden)  bersama-sama dalam satu ruangan dan mendapat perlakuan (fasilitas) yang sama; atau semua orang mulai dari yang berderajat shalihīn sampai dengan   nabiyyīn (nabi-nabi)  secara bersama-sama berada pada satu  hadirah  Allah Swt.  serta perlakuan yang sama dari Allah Swt..
     (2)   “Menjadi” atau “termasuk” dalam golongan nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan Allah Swt. akan memperlakukan mereka sesuai dengan derajat keruhaniannya masing-masing.
       Pendapat yang pertama membuahkan kesimpulan yang menyedihkan yaitu bahwa bagaimana pun patuh-taatnya  seorang Muslim kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32), tetapi mereka tetap tidak akan pernah dapat meraih martabat shālihīn, syuhada (saksi-saksi), shiddiqīn apalagi meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta  mereka tidak berhak disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
       Pendapat yang kedua  membuahkan kesimpulan yang menggembirakan yaitu bahwa apabila   seorang Muslim benar-benar patuh-taat  kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32),  maka mereka dapat meraih martabat shālihīn, syuhada (saksi-saksi), shiddiqīn  termasuk meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta  mereka  sesuai maqam  (martabat) ruhaninya  masing-masing  berhak disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
      Kata depan ma’a dalam ayat فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ   -- menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40 (Al-Mufradat), yakni  Nabi Besar Muhammad saw. bersabda kepada Abu Bakar Shiddiq r.a. ketika keduanya bersembunyi di gua Tsaur dari kejaran para pemuka kaum kafir Mekkah yang sudah berada di depan gua: لَا تَحۡزَنۡ اِنَّ اللّٰہَ مَعَنَا  -- “jangan bersedih sesungguhnya  Allah  bersama kita”  Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi artinya “di antara”  (QS.3:194; QS.4: 147).
        Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian nabi-nabi,   shiddiq-shiddiq,  syuhada (saksi-saksi) dan  orang-orang saleh  — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:  32  & 86; QS.33:22)  Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  Nabi Besar Muhammad saw.  semata.
     Tidak ada nabi lain menyamai beliau  saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi (syuhada) di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
        Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw.  dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi yang tidak membawa syariat sebab agama Islam (Al-Quran) merupakan agama terakhir dan tersempurna   (QS.5:4).
        Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil pendapat Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
       Dengan demikian jelaslah bahwa  pengutipan firman Allah Swt.  tersebut (QS.4:70) oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku Sirrul Asrār  mengandung makna yang sangat dalam:
        “….Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
        Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
        Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

Pentingnya Kesinambungan pengutusan Rasul Allah

       Dalam Bab 227 telah dibahas mengenai  pentingnya kesinambungan pengutusan Rasul Allah di kalangan pengikut Nabi Besar Muhammad saw. untuk kepentingan perbaikan akhlak dan ruhani umat manusia,  sebab hanya kepada Rasul Allah sajalah Allah Swt. membukakan rahasia-rahasia ghaib-Nya yang perlu diketahui oleh umat manusia di setiap zaman (QS.7:35-37)  --  termasuk di Akhir Zaman ini   (QS.61:10) --   firman-Nya:
   مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya   hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih  di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran [3]:180).
Firman-Nya lagi:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun,   kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
    Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.  Ayat 27-28 ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Allah dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang   beriman  yang bertakwa lainnya terutama para wali Allah.
  Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya (para wali Allah) tidak menikmati kehormatan serupa itu.
 Tambahan pula wahyu Ilahi  yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi maka keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah itu dijamin keamanannya terhadap pemu-tarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul  Allah itu membawa tugas dari Allah Swt. yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh mereka itulah makna firman-Nya  dalam ayat 29 mengenai pengutusan para malaikat penjaga (pengawal).

Wahyu Ilahi Merupakan Nur (Cahaya) yang Membuat   Segala Sesuatu Nampak Jelas & Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi dengan Manusia

     Jadi, demikian pentingnya keberadaan Rasul Allah dan wahyu Ilahi   sebab wahyu Ilahi merupakan salah satu sarana Allah Swt. berkomunikasi dengan umat manusia melalui Rasul-Nya, firman-Nya:
 وَ مَا کَانَ  لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ  اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ  اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا  الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ  نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ  بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ  مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾  صِرَاطِ اللّٰہِ  الَّذِیۡ  لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu,  tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur, yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus,   Jalan  Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allāh segala perkara kembali. (Asy-Syurā [42]:52-54).
   Ayat 52 ini menyebut tiga cara Allah  Swt.   berbicara (berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
     (a) Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara.
   (b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata "dari belakang tabir,"
      (c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau   malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
     Al-Quran disebut dalam ayat 53  disebut  ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), sebab dengan perantaraannya, bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru (QS.57:17-18).  Jadi,   Islam  atau Al-Quran adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya (QS.51:57).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   8 Mei      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar