بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 232
Perbedaan Kesempurnaan Makrifat Ilahi yang Diajarkan Allah Swt.
kepada Rasul Allah dengan Makrifat Ilahi yang Diajarkan kepada Wali Allah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
buku Sirrul-Asrār, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, bahwa sebelum
menjelaskan mengenai “bayi hati” yang erat hubungannya dengan “pembunuhan pemuda,” beliau terlebih dulu mengutip firman Allah Swt.
mengenai empat macam nikmat Allah
Swt. yang disediakan bagi orang-orang
yang mentaati Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan
termasuk di antara orang-orang
yang Allah memberi
nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati. Itulah karunia dari Allah, dan cukuplah
Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Mengenai
firman Allah Swt. tentang keempat macam
nikmat ruhani -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih -- yang
ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang taat
kepada-Nya dan taat kepada Nabi Besar
Muhammad saw., Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani memberikan penjelasan:
“Manusia tidak dapat mencapai hakikat
kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia
menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan
pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi
sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana
Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia
mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para
malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku
yang suci".
Makna Kata Ma’a
Berkenaan
dengan firman Allah Swt. tentang empat
golongan orang-orang yang mendapat nikmat Allah Swt. dalam QS.4:70-71
-- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang
shalih – sebelumnya, di kalangan umat Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai makna kata ma’a, yakni ada yang mengartikannya:
(1) “Bersama-sama” walau pun berbeda dalam derajat ruhani, contohnya semua pejabat
pemerintah mulai dari Lurah (Kepala
Desa) sampai dengan Kepala Negara (Presiden) bersama-sama
dalam satu ruangan dan mendapat perlakuan (fasilitas) yang sama; atau semua
orang mulai dari yang berderajat shalihīn
sampai dengan nabiyyīn
(nabi-nabi) secara bersama-sama berada pada satu hadirah Allah Swt. serta perlakuan
yang sama dari Allah Swt..
(2) “Menjadi” atau “termasuk” dalam golongan nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan Allah Swt. akan memperlakukan mereka sesuai
dengan derajat keruhaniannya
masing-masing.
Pendapat yang pertama membuahkan kesimpulan yang menyedihkan yaitu bahwa bagaimana pun patuh-taatnya seorang Muslim kepada Allah Swt. dan Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.3:32), tetapi mereka tetap tidak akan pernah dapat meraih martabat shālihīn, syuhada
(saksi-saksi), shiddiqīn apalagi meraih
martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta mereka tidak
berhak disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
Pendapat
yang kedua membuahkan kesimpulan yang menggembirakan yaitu bahwa apabila seorang
Muslim benar-benar patuh-taat kepada Allah
Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw.
(QS.3:32), maka mereka dapat meraih martabat shālihīn, syuhada (saksi-saksi), shiddiqīn
termasuk meraih martabat nabiyyīn (nabi-nabi) serta mereka sesuai maqam
(martabat) ruhaninya masing-masing berhak
disebut sebagai shalih, syahid, shiddiq mau pun nabi.
Kata depan ma’a dalam ayat فَاُولٰٓئِکَ مَعَ
الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ -- menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama
pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40
(Al-Mufradat), yakni Nabi Besar Muhammad saw. bersabda kepada Abu
Bakar Shiddiq r.a. ketika keduanya bersembunyi di gua Tsaur dari kejaran para
pemuka kaum kafir Mekkah yang sudah berada di depan gua: لَا تَحۡزَنۡ اِنَّ اللّٰہَ مَعَنَا -- “jangan
bersedih sesungguhnya Allah bersama
kita” Kata itu dipergunakan pada
beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi artinya “di antara” (QS.3:194; QS.4: 147).
Ayat ini sangat penting sebab ia
menerangkan semua jalur kemajuan ruhani
yang terbuka bagi kaum Muslimin.
Keempat martabat keruhanian — nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syuhada
(saksi-saksi) dan orang-orang saleh — kini
semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3: 32
& 86; QS.33:22) Hal
ini merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammad saw. semata.
Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya,
mereka adalah orang-orang shiddiq dan
saksi-saksi (syuhada) di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi
lainnya dapat mencapai martabat shiddiq,
syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut hakiki Nabi
Besar Muhammad saw. dapat
naik ke martabat nabi juga, yakni nabi yang tidak membawa syariat sebab agama Islam (Al-Quran)
merupakan agama terakhir dan tersempurna
(QS.5:4).
Kitab “Bahr-ul-Muhit”
(jilid III, hlm. 287) menukil pendapat Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman
dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka
empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia
telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat
tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian
itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang
membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum
masih tetap dapat dicapai.”
Dengan demikian jelaslah
bahwa pengutipan firman Allah Swt. tersebut (QS.4:70) oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku Sirrul Asrār mengandung makna yang sangat dalam:
“….Bila Allah Yang Maha
Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang
dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia
dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat
di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan,
tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah
berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para
malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku
yang suci".
Pentingnya Kesinambungan pengutusan Rasul Allah
Dalam Bab 227 telah dibahas mengenai pentingnya kesinambungan pengutusan Rasul Allah di kalangan pengikut Nabi Besar Muhammad saw. untuk
kepentingan perbaikan akhlak dan ruhani umat manusia, sebab hanya kepada Rasul Allah sajalah Allah Swt. membukakan rahasia-rahasia ghaib-Nya yang perlu diketahui oleh umat manusia di
setiap zaman (QS.7:35-37) -- termasuk di Akhir Zaman ini (QS.61:10)
-- firman-Nya:
مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ
اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di
dalam keadaan kamu berada di
dalamnya hingga Dia
memisahkan yang buruk dari yang baik.
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali
‘Imran [3]:180).
Firman-Nya
lagi:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ اَنۡ
قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ
رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada
Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya supaya Dia
mengetahui bahwa sungguh mereka
telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka
dan Dia membuat perhitungan mengenai
segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti:
diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia
gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting. Ayat 27-28 ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat
dan jangkauan rahasia-rahasia gaib
yang dibukakan kepada seorang rasul Allah
dan rahasia-rahasia gaib yang
dibukakan kepada orang-orang beriman
yang bertakwa lainnya terutama
para wali Allah.
Perbedaan itu letaknya
pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul
Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia
yang diturunkan kepada orang-orang
bertakwa dan orang-orang suci
lainnya (para wali Allah) tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi maka keadaannya aman dari pemutar-balikkan
atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada
orang-orang bertakwa lainnya tidak
begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah
itu dijamin keamanannya terhadap pemu-tarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah itu membawa tugas dari Allah Swt. yang
harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus
disampaikan oleh mereka itulah makna firman-Nya
dalam ayat 29 mengenai pengutusan para malaikat penjaga (pengawal).
Wahyu Ilahi Merupakan Nur (Cahaya) yang Membuat
Segala Sesuatu Nampak Jelas
& Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi
dengan Manusia
Jadi, demikian
pentingnya keberadaan Rasul Allah dan
wahyu Ilahi sebab wahyu Ilahi merupakan salah satu sarana Allah Swt. berkomunikasi dengan umat
manusia melalui Rasul-Nya, firman-Nya:
وَ مَا کَانَ
لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ
اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا
فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ رُوۡحًا
مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ
مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا
الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ
نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ
نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ
لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾ صِرَاطِ
اللّٰہِ الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ
ؕ اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan
sekali-kali tidak mungkin bagi manusia
bahwa Allah berbicara kepadanya,
kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman ini dengan
perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak
mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula
apa iman itu, tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur,
yang dengan itu Kami memberi petunjuk
kepada siapa yang Kami kehendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus, Jalan Allah Yang milik-Nya apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allāh segala perkara kembali. (Asy-Syurā
[42]:52-54).
Ayat 52 ini menyebut tiga cara Allah Swt. berbicara
(berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
(a) Dia berfirman secara langsung
kepada mereka tanpa perantara.
(b)
Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf
(penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang
membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu
mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti
kata-kata "dari belakang tabir,"
(c) Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
Al-Quran disebut dalam ayat 53 disebut ruh (nafas hidup — Lexicon Lane), sebab dengan perantaraannya, bangsa yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru (QS.57:17-18). Jadi, Islam
atau Al-Quran
adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt. dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya (QS.51:57).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 8 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar