بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 230
Kelahiran “Bayi Hati” dan
Hubungannya dengan “Wildān” (Pemuda-pemuda)
yang Mengkhidmati Penghuni Surga
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
keterangan
dari salah seorang pelaku suluk
yang thariqah (jalan tempuhan) yang dilakukannya sangat terkenal, yaitu Syeikh
Abdul Qadir Jailani, dalam buku Sirrul-Asrār (Hakikat Segala Rahasia Kehidupan) yang terkenal, yang dari penjelasan dan pengalaman beliau diketahui
betapa “rumit dan peliknya” berbagai hal (keadaan ruhani) yang
akan dialami oleh para penempuh suluk, sehingga dapat menyebabkan kesesatan bagi orang-orang yang berhati bengkok. Beliau menjelaskan:
“Manusia tidak dapat
mencapai hakikat kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat
menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan
sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak
dapat dicapai dengan pelajaran; hanya
Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan
kepada Khaidhir. Kemudian manusia
dengan kesadaran yang diperolehnya
sampai kepada peringkat makrifat di
mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal. Orang yang
sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhamamd
saw.. Dia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan yang dikasihi. Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta
orang-orang yang diberi nikmat daripada nabi-nabi, siddiqin, syuhada dan
salihin dan Alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat rapat". (Surah
Nisā' ,ayat 69).
Orang
yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif
walaupun dia membaca seribu buah buku.
Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga;
di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan sifat-sifat Ilahi
dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana
sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian
dan mulia, yaitu kehampiran dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu kepada dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan
batin, tidak pernah berhenti di
tengah jalan, tidak tertarik dengan
apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui
rasul-Nya:
"Hamba-Ku, jika kamu ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku
jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang
lebih tinggi di mana kamu bisa menerima sifat-sifat-Ku yang suci".
Dunia kebendaan
ini menjadi godaan dan tipu daya syaitan kepada orang yang
berilmu. Alam malaikat menjadi rangsangan kepada orang yang bermakrifat, dan
suasana Sifat-sifat Ilahi menjadi godaan kepada orang yang memiliki kesadaran terhadap hakikat. Siapa yang berpuas hati dengan salah satu dari yang demikian akan
terhalang dari kurnia Allah yang
membawanya hampir dengan Zat-Nya.
Jika mereka tertarik dengan godaan dan rangsangan tersebut mereka akan berhenti,
mereka tidak bisa maju ke depan,
mereka tidak bisa terbang lebih
tinggi. Walaupun matlamat (tujuan)
mmereka adalah kehampiran dengan Pencipta, mereka tidak lagi bisa sampai ke sana. Mereka
telah terpedaya, mereka hanya
memiliki satu sayap.
Orang yang mencapai kesadaran tentang hakikat yang sebenarnya, menerima rahmat dan kurnia dari Allah yang tidak pernah mata melihatnya dan tidak
pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah hati mengetahui namanya.
Inilah surga kehampiran dan keakraban dengan Allah. Di sana tidak ada mahligai
permata juga tidak ada bidadari yang
cantik sebagai pasangan.
Semoga manusia mengetahui nilai dirinya dan tidak berkehendak, tidak menuntut apa yang tidak layak
baginya. Sayyidina Ali r.a berkata:
"Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui harga dirinya, yang tahu
menjaga diri agar berada di dalam sempadannya, yang memelihara lidahnya, yang
tidak menghabiskan masanya dan umurnya di dalam sia-sia".
Orang yang berilmu
mestilah menyadari bahwa bayi ruh
yang lahir dalam hatinya adalah pengenalan mengenai kemanusiaan yang sebenarnya, yaitu insan yang sejati. Dia patut mendidik bayi hati, mengajarkan Keesaan
melalui berkesinambungan (terus-menerus) menyadari
tentang Keesaan, tinggalkan keduniaan
kebendaan ini yang berbilang-bilang, cari alam keruhanian, alam rahasia
di mana tidak yang lain kecuali Zat Allah.
Dalam kenyataannya di sana
bukan tempat, ia tidak ada permulaan dan tidak ada penghujung. Bayi hati terbang mengaruhi padang yang tidak berkesudahan itu, menyaksikan
perkara-perkara yang tidak pernah
dilihat mata sebelumnya, tidak seorang pun yang bercerita
mengenainya, dan siapa pun tidak bisa menggambarkannya.
Tempat (maqam) yang menjadi rumah
kediaman bagi mereka yang meninggalkan
diri mereka dan menemui Keesaan
dengan Tuhan mereka, mereka yang memandang dengan pandangan yang sama dengan Tuhan
mereka, pandangan Keesaan. Bila
mereka menyaksikan keindahan dan kemuliaan Tuhan mereka, tidak ada apa
(sesuatu) lagi yang tinggal dengan mereka. Bila dia melihat matahari dia tidak dapat melihat yang
lain, dia juga tidak dapat melihat
dirinya sendiri.
Bila keindahan dan kemurahan Allah
menjadi nyata, apa lagi yang tinggal
dengan seseorang? Tidak ada apa-apa! Nabi saw bersabda, "Seseorang perlu dilahirkan dua kali untuk
sampai kepada alam malaikat". Ia adalah kelahiran maksud dari perbuatan dan kelahiran ruhani dari jasad.
Kemungkinan yang demikian
ada dengan manusia. Ini adalah keanehan
(keajaiban) rahasia manusia. Ia lahir
dari percampuran pengetahuan tentang agama
dan kesadaran terhadap hakikat, sebagaimana bayi lahir hasil dari percampuran dua tetes air:
"Sesungguhnya Kami telah jadikan manusia daripada setitik (mani) yang
bercampur, yang Kami berikan cobaan kepada mereka, yaitu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat". (Surah Insaan,
ayat 2).
Bila maksud menjadi nyata dalam kewujudan ia menjadi mudah untuk melepaskan bagian yang dangkal dan masuk ke dalam samudra penciptaan dan membenamkan
dirinya ke dasar hukum-hukum
peraturan Allah. Sekalian alam kebendaan
ini hanyalah satu titik jika
dibandingkan dengan alam kerahanian.
Hanya bila semua ini difahami maka kuasa
keruhanian dan cahaya keajaiban
yang bersifat Ketuhanan, hakikat yang sebenar-benarnya, memancar ke dalam dunia tanpa perkataan tanpa suara.
Kelahiran “Bayi Hati” & Dua Golongan Penghuni Surga
Demikian peliknya berbagai keadaan ruhani yang digambarkan oleh Syeikh Abdul Qadir
Jailani dalam buku Sirrul Asrar
tersebut, sehingga bagi orang-orang yang “tidak
memiliki bakat keruhanian” dan “buta mata ruhaninya”, berbagai ungkapan
ruhani tingkat tinggi seperti itu
benar-benar akan merupakan “batu
sandungan” yang sangat mengelincirkan,
termasuk mereka yang mengaku penganut
berbagai “thariqah” para Sufi
besar, yang di antaranya munculnya golongan Wihdatul Wujud yang
karena kejahiliyahannya beranggapan bahwa diri mereka telah “menjadi Tuhan.”
Salah satu penjelasan yang
sangat menarik dari Sufi besar tersebut adalah mengenai “kelahiran bayi hati”:
“Orang yang berilmu mestilah menyadari bahwa bayi ruh yang lahir dalam hatinya adalah pengenalan mengenai
kemanusiaan yang sebenarnya, yaitu insan
yang sejati. Dia patut mendidik bayi
hati, mengajarkan Keesaan melalui
berkesinambungan (terus-menerus) menyadari
tentang Keesaan - tinggalkan keduniaan kebendaan ini yang
berbilang-bilang, cari alam keruhanian,
alam rahasia di mana tidak yang lain kecuali Zat Allah.”
Mengisyaratkan kepada “bayi hati” yang dilahirkan oleh para penghuni surga dari
golongan al-muqarrabūn (yang
didekatkan kepada Allah Swt.) yang dimaksud dengan “wildān” atau “ghilmān” (QS.52:25) -- yakni “para
pemuda surgawi” yang mengkhidmati
mereka di dalam surga dengan membawa
berbagai jenis “minuman dan makanan surgawi” yang “dipilih” oleh
golongan al-muqarrabūn atau golongan as-sābiqūna-
sābiqūn” firman-Nya:
وَّ کُنۡتُمۡ اَزۡوَاجًا
ثَلٰثَۃً ؕ﴿﴾ فَاَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ۬ۙ مَاۤ اَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ؕ﴿﴾ وَ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ۬ۙ مَاۤ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ؕ﴿ ﴾ وَ السّٰبِقُوۡنَ
السّٰبِقُوۡنَ ﴿ۚۙ﴾ اُولٰٓئِکَ
الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ۚ﴾ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿﴾ ثُلَّۃٌ مِّنَ
الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ قَلِیۡلٌ
مِّنَ الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿ؕ﴾ عَلٰی سُرُرٍ مَّوۡضُوۡنَۃٍ ﴿ۙ﴾ مُّتَّکِـِٕیۡنَ عَلَیۡہَا مُتَقٰبِلِیۡنَ ﴿﴾ یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ
وِلۡدَانٌ مُّخَلَّدُوۡنَ ﴿ۙ﴾ بِاَکۡوَابٍ وَّ اَبَارِیۡقَ ۬ۙ وَ کَاۡسٍ مِّنۡ
مَّعِیۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یُصَدَّعُوۡنَ عَنۡہَا وَ لَا
یُنۡزِفُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ فَاکِہَۃٍ
مِّمَّا یَتَخَیَّرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ
لَحۡمِ طَیۡرٍ مِّمَّا یَشۡتَہُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ حُوۡرٌ عِیۡنٌ ﴿ۙ﴾ کَاَمۡثَالِ اللُّؤۡلُؤَ الۡمَکۡنُوۡنِ ﴿ۚ﴾ جَزَآءًۢ
بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا وَّ لَا
تَاۡثِیۡمًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا
قِیۡلًا سَلٰمًا سَلٰمًا ﴿﴾
Dan kamu menjadi
tiga golongan. Maka mereka yang di sebelah kanan, alangkah bahagianya mereka yang di sebelah kanan itu! Dan mereka yang di sebelah kiri, alangkah celakanya mereka yang di sebelah kiri itu! Dan yang paling
dahulu, mereka benar-benar paling dahulu, Mereka
itulah orang-orang yang didekatkan kepada Tuhan. Mereka berada di dalam surga-surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang
terdahulu, dan segolongan
kecil dari orang-orang kemudian,
mereka di atas dipan bertatahkan emas
dan permata, bersandar
padanya sambil berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi
pemuda-pemuda yang dikekalkan dalam kebaikan, dengan membawa gelas,
cerek dan cangkir yang diisi dari mata
air. Mereka tidak akan
pening karenanya dan tidak pula mereka akan mabuk. Dan membawa buah-buahan yang mereka pilih, dan daging burung-burung yang mereka
inginkan, dan pasangan-pasangan yang bermata jeli, laksana
mutiara yang tersimpan baik.
Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka kerjakan. Di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera.” (Al-Wāqi’ah
[56]:8-27).
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab
sebelumnya mengenai makna ayat فَاَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ۬ۙ
مَاۤ اَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ -- “Maka mereka yang
di sebelah kanan, alangkah bahagianya
mereka yang di sebelah kanan
itu!,” di tempat lain (QS.75:3) Al-Quran
mengenakan istilah “jiwa yang menyesali
diri sendiri” atau nafs-al-Lawwāmah kepada golongan orang-orang beriman golongan
kanan ini.
Sedangkan
makna ayat وَ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ۬ۙ مَاۤ
اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ -- “dan mereka yang di sebelah kiri, alangkah celakanya mereka yang di sebelah kiri itu!” mengisyaratkan kepada tingkat nafs al-Ammārah – “Jiwa yang senantiasa menyuruh kepada kejahatan”(QS.12:54).
“Wildān”
(Para Pemuda) Pengkhidmat dalam Surga
& Perlakuan Khusus Allah Swt.
Makna
ayat selanjutnya ؕ وَ السّٰبِقُوۡنَ السّٰبِقُوۡنَ
-- “Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu”
mengisyaratkan kepada keadaan ruhani yang disebut nafs-al-Muthmainnah
( Jiwa yang tenteram - QS.89:28). Sedangkan makna ayat
عَلٰی سُرُرٍ مَّوۡضُوۡنَۃٍ -- “mereka di atas dipan bertatahkan emas dan permata” یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ وِلۡدَانٌ
مُّخَلَّدُوۡنَ --
Mereka dikelilingi
pemuda-pemuda yang
dikekalkan dalam kebaikan, بِاَکۡوَابٍ وَّ اَبَارِیۡقَ ۬ۙ
وَ کَاۡسٍ مِّنۡ مَّعِیۡنٍ -- dengan membawa
gelas, cerek dan cangkir yang diisi dari mata
air.” Ayat-ayat tersebut
menggambarkan kemuliaan martabat para ahli surga golongan وَ السّٰبِقُوۡنَ السّٰبِقُوۡنَ
-- “Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu”, sebab
mereka itu bukan saja duduk di
atas “dipan-dipan kemuliaan”,
tetapi juga mereka pun mendapat pelayanan
khusus dari “para pemuda” yang mengkhidmati
mereka dengan membawa “minuman-minuman
surgawi” dari “sungai-sungai khamr (arak – QS.47:16)”, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut لَّا یُصَدَّعُوۡنَ عَنۡہَا وَ لَا یُنۡزِفُوۡنَ -- “mereka tidak akan pening karenanya, dan tidak pula mereka akan mabuk.”
Mengenai perlakuan khusus dari
Allah Swt. terhadap golongan ahli surga وَ السّٰبِقُوۡنَ السّٰبِقُوۡنَ
-- “Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu”, selanjutnya diterangkan mengenai hidangan “makanan khusus dan terpilih” bagi mereka, firman-Nya:
وَ فَاکِہَۃٍ مِّمَّا یَتَخَیَّرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ
لَحۡمِ طَیۡرٍ مِّمَّا یَشۡتَہُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ حُوۡرٌ عِیۡنٌ ﴿ۙ﴾ کَاَمۡثَالِ اللُّؤۡلُؤَ الۡمَکۡنُوۡنِ ﴿ۚ﴾ جَزَآءًۢ
بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا وَّ لَا
تَاۡثِیۡمًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا
قِیۡلًا سَلٰمًا سَلٰمًا ﴿﴾
Dan membawa buah-buahan
yang mereka pilih, dan daging
burung-burung yang mereka inginkan, dan pasangan-pasangan yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai ganjaran
atas apa yang telah mereka kerjakan. Di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera.” (Al-Wāqi’ah
[56]:21-27).
Jadi, tanda hamba-hamba Allah Swt. “ahli surga” yang mengalami keadaan “mabuk ruhani” atau “rindu ruhani” atau keadaan mahzub
yang hakiki digambarkan dalam ayat
tersebut لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا
لَغۡوًا وَّ لَا تَاۡثِیۡمًا -- “di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
﴿ اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا -- melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera,” bukan pernyataan-pernyataan “nyleneh” yang tidak benar seperti para
penganut faham Wihdatul Wujud, yang karena
menganggap diri mereka telah “menjadi Tuhan” sehingga menurut mereka tidak perlu lagi mengamalkan ketentuan-ketentuan syariat.
Gambaran Ringkas “Nikmat-nikmat Surgawi” yang Dialami Para Penghuni Surga
Jadi, tanda hamba-hamba Allah
Swt. “ahli surga” yang mengalami keadaan “mabuk ruhani” atau “rindu
ruhani” yang hakiki digambarkan dalam ayat
tersebut لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا
لَغۡوًا وَّ لَا تَاۡثِیۡمًا -- “di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا -- melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera,”
bukan mengucapkan pernyataan-pernyataan
“nyleneh” yang tidak benar seperti
para penganut faham Wihdatul Wujud, yang karena
menganggap diri mereka telah “menjadi Tuhan” sehingga menurut mereka tidak perlu lagi mengamalkan ketentuan-ketentuan syariat.
Ayat-ayat لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا وَّ
لَا تَاۡثِیۡمًا -- “di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
﴿ اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا -- melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera,” ini -- seperti
banyak lagi ayat-ayat Al-Quran lainnya -- dengan sangat ampuh menyangkal semua anggapan bodoh para pengorek kesalahan
dan pengecam Islam yang berdalih
menemukan dalam Al-Quran sebutan
mengenai surga yang mesum. Ayat ini
pun memberi pengertian untuk menyelami sifat
inti, dan hakikat sebenarnya
mengenai surga.
Surga, sebagaimana dibayangkan
dan dijanjikan Allah Swt. kepada orang-orang Muslim oleh Al-Quran, akan
merupakan tempat kenikmatan ruhani,
di dalam tempat itu percakapan yang berbau dosa, sia-sia atau kosong atau dusta (QS.78:36) tidak akan terdengar.
Semua rahmat-Nya
akan mencapai puncaknya serta kesempurnaannya dalam kedamaian – yaitu kedamaian paripurna pada alam pikiran dan jiwa, yang tidak akan ada rahmat
lebih besar lagi daripada itu. Surga
yang dijanjikan kepada seorang Muslim
telah ditetapkan sebagai “rumah keselamatan” dalam Al-Quran (QS.6:128);
martabat tertinggi dalam perkembangan
ruhani yang dapat dicapai orang-orang beriman ialah “jiwa yang tenteram” (QS.89:28);
dan karunia terbesar yang akan
diterima oleh para penghuni surga
dari Allah Swt. adalah “salām -- damai”
(QS.36:59), karena Allah Sendiri adalah Pencipta
kedamaian (QS.59:24). Demikianlah tanggapan luhur Al-Quran mengenai surga.
Berbagai rincian gambaran mengenai nikmat-nikmat surgawi yang dinikmati
oleh para penghuni surga di akhirat dalam berbagai Surah Al-Quran, secara ringkas tercakup dalam firman-Nya
berikut ini:
اِنَّ
الَّذِیۡنَ لَا یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا وَ رَضُوۡا بِالۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ
اطۡمَاَنُّوۡا بِہَا وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
عَنۡ اٰیٰتِنَا غٰفِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ مَاۡوٰىہُمُ النَّارُ بِمَا کَانُوۡا
یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ یَہۡدِیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ بِاِیۡمَانِہِمۡ ۚ
تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہِمُ الۡاَنۡہٰرُ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿﴾ دَعۡوٰىہُمۡ فِیۡہَا
سُبۡحٰنَکَ اللّٰہُمَّ وَ تَحِیَّتُہُمۡ فِیۡہَا سَلٰمٌ ۚ وَ اٰخِرُ دَعۡوٰىہُمۡ اَنِ الۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami dan telah merasa senang dengan kehidupan dunia
ini serta merasa puas dengannya, dan
orang-orang yang lalai terhadap Tanda-tanda Kami, mereka
itulah yang tempat tinggalnya Api,
disebabkan apa yang senantiasa mereka
usahakan. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh,
mereka akan diberi petunjuk oleh Rabb (Tuhan)
mereka karena keimanan
mereka. Di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam kebun-kebun kenikmatan. Seruan
mereka di dalamnya: “Mahasuci Engkau,
ya Allah!” Dan ucapan salam mereka satu
sama lain di dalamnya: “Selamat
sejahtera”, sedangkan akhir seruan mereka: “Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan) seluruh
alam.” (Yunus [10]:8-11).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar