بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 240
Pentingnya Memakai “Pakaian
Takwa” yang Sempurna &
Mewaspadai “Jebakan-jebakan
Syaitan” dalam Melakukan Suluk (Pendakian Ruhani)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai keajaiban-keajaiban atau karamah yang dapat terjadi
pada hamba-hamba Allah yang menempuh suluk,
dan Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani memperingatkan para salik
agar jangan mempedulikan berbagai bentuk karamah
(kekeramatan) atau khariqul ‘adat
yang muncul tersebut -- terlebih lagi kemudian menjadi tujuan
utama melakukan suluk, sebab hal itu berarti
telah menyimpang dari tujuan hakiki menempuh suluk
seperti yang dilakukan oleh para wali Allah
besar yang menduduki derajat ‘abdal, quthub dan ghauts. Beliau
bersabda:
“....Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang
ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir
dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak
tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman
melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau
ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan
pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak
juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang
suci".
Penjelasan Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrar tersebut adalah:
“Manusia tidak dapat mencapai hakikat
kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya
bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat
dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa
mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi
sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana
Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia
mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana
ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah,
Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw.
mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua
nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan
dengan Yang dikasihi. Allah
menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah
jalan, tidak tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam
perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau
ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan
pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak
juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang
suci".
Karamah
atau Khariqul ‘adat Merupakan Aksesoris
Perlu diketahui bahwa munculnya berbagai karamah atau khariqul ‘adat pada diri
para wali Allah atau para penempuh suluk -- seperti
mengalami kasyf (terbuka
hijab), berjalan di atas air atau dapat terbang dan lain-lain -- merupakan semacam aksesoris
yang menghiasi penampilan
orang-orang yang memakai pakaian-takwa. Semakin sempurna ketakwaan hamba-hamba Allah
Swt. maka “karamah-karamah”
yang muncul pun akan merupakan mukjizat, yang akan
merupakan furqān (pembeda), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنۡ تَتَّقُوا
اللّٰہَ یَجۡعَلۡ لَّکُمۡ فُرۡقَانًا وَّ یُکَفِّرۡ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ
لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu bertakwa kepada Allah Dia akan menjadikan
bagimu pembeda, dan Dia
akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu, dan Dia akan mengampuni kamu, dan Allah Memiliki
karunia yang sangat besar. (Al-Anfāl [8]:30).
Furqān berarti: (1) sesuatu yang membedakan antara yang benar dan yang
salah; (2) bukti atau bahan bukti atau dalil; (3) bantuan atau kemenangan, dan
(4) fajar (Lexicon Lane). Firman-Nya
lagi:
...... ۬ؕ وَ مَنۡ
یَّتَّقِ اللّٰہَ یَجۡعَلۡ لَّہٗ مَخۡرَجًا ۙ﴿﴾ وَّ یَرۡزُقۡہُ مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُ ؕ وَ مَنۡ یَّتَوَکَّلۡ عَلَی اللّٰہِ فَہُوَ حَسۡبُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بَالِغُ
اَمۡرِہٖ ؕ قَدۡ جَعَلَ اللّٰہُ
لِکُلِّ شَیۡءٍ قَدۡرًا ﴿﴾
….Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah
Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberi rezeki kepadanya dari mana
tidak pernah ia menyangka. Dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah
maka Dia me-madai baginya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sungguh Allah telah menetapkan ketentuan
bagi segala sesuatu. (Ath-Thalāq
(65]:3-4).
Selanjutnya dalam Surah yang sama
Allah Swt. berfirman berkenaan dengan pentingnya memiliki ketakwaan:
و.... وَ مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ یَجۡعَلۡ لَّہٗ مِنۡ
اَمۡرِہٖ یُسۡرًا ﴿﴾ ذٰلِکَ اَمۡرُ
اللّٰہِ اَنۡزَلَہٗۤ اِلَیۡکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ
یُکَفِّرۡ عَنۡہُ سَیِّاٰتِہٖ وَ یُعۡظِمۡ لَہٗۤ
اَجۡرًا ﴿﴾
……Dan barang-siapa bertakwa kepada Allah
Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Demikianlah perintah Allah, yang diturunkan-Nya kepada kamu. Dan barangsiapa bertakwa kepada
Allah Dia
menghapuskan darinya keburukan-keburukannya dan memperbesar ganjaran baginya. (Ath-Thalāq (65]:5-6).
Sehubungan dengan akan dianugerahkan-Nya furqān (pembeda) kepada orang-orang
yang bertakwa kepada Allah Swt. Dia berfirman sehubungan dengan kemenangan umat Islam dalam Perang Badar,
yang dalam segala seginya kedua belah pihak sangat tidak seimbang:
فَلَمۡ
تَقۡتُلُوۡہُمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ قَتَلَہُمۡ
۪ وَ مَا رَمَیۡتَ اِذۡ رَمَیۡتَ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ رَمٰی ۚ وَ لِیُبۡلِیَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡہُ
بَلَآءً حَسَنًا ؕ اِنَّ
اللّٰہَ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Maka bukan
kamu yang membunuh mereka melainkan Allah yang telah membunuh mereka, dan bukan engkau yang melemparkan pasir ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang telah melempar, dan supaya
Dia menganugerahi orang-orang yang beriman anugerah yang baik dari-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:18)
Kemenangan dalam perang Badar itu sebenarnya bukan disebabkan
oleh suatu kecakapan atau kemahiran berperang pihak orang-orang Islam. Mereka terlalu sedikit, terlalu lemah,
dan terlalu buruk persenjataan mereka
untuk memperoleh kemenangan terhadap
satu lasykar musyrik Mekkah yang jauh
lebih besar jumlahnya, jauh lebih baik
persenjataannya, lagi pula jauh lebih terlatih.
Perlemparan segenggam kerikil dan pasir oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam Perang Badar mempunyai
kesamaan yang ajaib dengan pemukulan air
laut dengan tongkat oleh Nabi Musa a.s. (Al-Anfāl
[8]:18). Sebagaimana dalam kejadian yang terakhir, perbuatan Nabi Musa a.s.
itu seolah-olah merupakan isyarat bagi angin untuk bertiup dan
bagi air-pasang naik kembali sehingga
membawa akibat tenggelamnya Fir’aun
serta lasykarnya di laut.
Demikian pula halnya pelemparan segenggam kerikil oleh Nabi Besar Muhammad saw. merupakan satu isyarat untuk angin
bertiup kencang dengan membawa akibat kebinasaan
Abu Jahal (yang pernah disebut oleh beliau saw. sebagai Fir’aun kaumnya) dan lasykarnya
di padang pasir Badar itu.
Dalam kedua kejadian tersebut bekerjanya
kekuatan-kekuatan alam itu,
bertepatan benar dengan tindakan-tindakan
kedua nabi Allah itu, di bawah takdir khas Allah Swt., yang
pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk “sujudnya” para malaikat
kepada Adam (Khalifah Allah)
ketika Allah Swt. memerintahkan mereka (QS.2:35; QS.7:12; QS.15:30-31; QS.17:62; QS.18:51; QS.20:117; QS.38:73-75).
Pentingnya Memiliki dan Memakai
“Pakaian Takwa” yang Sempurna
Allah Swt. dalam Al-Quran
telah menyebut takwa (ketakwaan) dengan
sebutan libās (pakaian) yakni libāsut-taqwa,
firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ
وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ لَعَلَّہُمۡ
یَذَّکَّرُوۡنَ
Wahai Bani Adam, sungguh Kami
telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup auratmu dan sebagai perhiasan,
dan pakaian takwa itulah yang terbaik, yang demikian
itu adalah sebagian dari Tanda-tanda Allah,
supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Arāf [7]:27).
Pakaian menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang apa yg dipakai (baju,
celana dan sebagainya). Istilah pakaian
kemudian dipersamakan dengan busana.
Istilah busana berasal dari bahasa
sanskerta yaitu bhusana yang
mempunyai konotasi pakaian yang bagus atau indah yaitu pakaian yang serasi, harmonis, selaras, enak
di pandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai serta sesuai dengan
kesempatan. Pakaian merupakan busana
pokok yang digunakan untuk menutupi bagian-bagian tubuh terutama yang
dianggap aurat.
Paling
tidak Al-Quran menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libās (QS.2:27); tsiyāb (QS.11:6; QS.18:32; QS.22:20; QS.24:59 &
61; QS.71:8; QS.74:5; QS.76:22),
dan sarabil (QS.15:51;
QS.16:82). Kata
libas digunakan oleh Al Quran
untuk menunjukkan pakaian
lahir maupun batin. Libas pada
mulanya berarti penutup
yakni apa pun yang ditutup. Fungsi
pakaian sebagai penutup
amat jelas, diantaranya sebagai penutup
tubuh.
Pakaian sebagai sarana penutup
tubuh memiliki fungsi, bahan dan bentuk (model) yang bermacam-macam, mulai dari pakaian
yang bentuk dan fungsinya sangat sederhana,
sampai dengan pakaian sempurna
dalam segala sesuatunya, termasuk bahan
pakaiannya.
Itulah sebabnya di dalam Al-Quran Allah Swt.
telah menyebut beberapa bahan pakaian “ahli
surga” antara lain kain sutra tipis
(sundusin - QS.18:32; QS.22:24; QS.35:34; QS.44:54; QS.55:55; QS.76:13 &
22) dan kain sutra tebal atau brokat (istabraqin
- QS.18:32; QS.44:54; QS.55:55; QS.76:22). Allah Swt. telah melarang laki-laki Muslim memakai pakaian sutra dan perhiasan emas.
Bagi
Muslimah
(perempuan-perempuan Muslim), cara berpakaian
yang paling sempurna selain
mengenakan pakaian dalam dan pakaian yang menutup
aurat -- termasuk kain kudungan
kepala -- adalah juga mengenakan (memakai) pakaian luar atau pakaian
kemas yang disebut jilbab (pakaian selubung – QS.33:60).
Dengan demikian pakaian
(busana) Muslim yang sempurna
bagi Muslim
dan Muslimah ada tiga lapis pakaian, yakni (1) pakaian dalam, (2) pakaian luar, dan (3) pakaian
selubung (jilbab atau jubah). Demikian pula halnya dengan libāsut-taqwa (pakaian takwa), yang dengan
“pakaian
takwa” itulah Adam a.s. menutupi “aurat” dalam “jannah/kebun” setelah terpedaya oleh tipu-daya syaitan yang sangat menggiurkan hawa-nafsu yakni mengiming-imingi “menjadi
malaikat” dan ”hidup kekal” (QS.7:20-24).
Pentingnya Menyempurnakan “Pakaian Takwa”
Selain memakai pakaian,
apabila seseorang atau suatu bangsa semakin beradab dan berbudaya
maka --
sesuai dengan fitrat manusia
yaitu menyukai keindahan dan kesempurnaan
– selain berpakaian ia pun akan
melengkapi penampilannya dengan berbagai macam aksesoris.
Seperti halnya pakaian yang dikenakan oleh berbagai bangsa dan suku bangsa di dunia ini
memiliki berbagai macam bentuk dan model serta bentuk serta bahan yang bermacam-macam, demikian juga halnya dengan aksesoris yang dipakai manusia
pun bermacam-macam pula, mulai
dari yang sangat sederhana sampai
dengan aksesoris yang memiliki nilai-nilai
seni dan falsafah yang sangat tinggi, seperti memodifikasi singgasana hadiah Ratu Saba dan istana khusus yang dirancang oleh Nabi Sulaiman
a.s. sebagai sarana da’wat ilallāh (QS.27:33-45; QS.34:13-14), firman-Nya:
قَالَ
نَکِّرُوۡا لَہَا عَرۡشَہَا نَنۡظُرۡ
اَتَہۡتَدِیۡۤ اَمۡ تَکُوۡنُ مِنَ
الَّذِیۡنَ لَا یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّا جَآءَتۡ قِیۡلَ اَہٰکَذَا عَرۡشُکِ ؕ قَالَتۡ کَاَنَّہٗ ہُوَ ۚ
وَ اُوۡتِیۡنَا الۡعِلۡمَ مِنۡ قَبۡلِہَا وَ کُنَّا مُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Ia, Sulaiman, berkata: “Buatlah singgasana hadiahnya itu tidak
berharga untuk dia, kita
lihat apakah ia mendapat petunjuk
ataukah ia termasuk orang-orang yang
tidak mendapat petunjuk.” Maka tatkala ia (Ratu Saba) datang
dikatakan kepadanya: “Serupa inikah keindahan singgasana
engkau?” Ia menjawab, “Singgasana ini
seolah-olah sama seperti singgasana itu, dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.” Dan apa yang senantiasa disembahnya selain Allah
telah menghalanginya beriman, sesungguhnya ia termasuk kaum
kafir. Dikatakan kepada dia: “Masuklah ke istana.” Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.
Ia, Sulaiman, berkata:
“Sesungguhnya ini istana yang berlantaikan ubin dari kaca.” Ia (Ratu Saba) berkata:
“Ya Rabb-ku
(Tuhan-ku), sesungguhnya selama ini aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah
Rabb (Tuhan) seluruh alam.” (An-Naml
[27]:42-45).
Jadi, seperti halnya dalam kehidupan
duniawi, begitu pula orang-orang
yang bertakwa
kepada Allah Swt. dan patuh-taat
kepada Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71), dalam melakukan suluk perjalanan/perdakian ruhani) menuju “perjumpaan” dengan Allah Swt. (liqalLāh
- QS.29:70; QS.84:7) -- melalui berbagai tingkatan pendakian
ruhani yang disebut oleh Syekh
‘Abdul-Qadir al-Jailani sebagai alam nāsut,
malakut, jabbarut, dan
lahut -- para sālik
akan mengalami
atau memperoleh berbagai macam “aksesoris” berupa
bermacam-macam karamah atau khariqul ‘adat, yang dapat membuat suluk
(perjalanan ruhani) mereka menjadi berhenti atau berbelok arah, karena mereka
menyangka telah sampai kepada “tujuan
utama” suluk yang mereka lakukan,
padahal mereka telah tersesat karena terjebak
dalam keasyikan mengalami berbagai macam “karamah”, sebagaimana dikemukakan
firman-Nya berikut ini:
وَ اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ
اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾
وَ لَوۡ
شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ
ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ
ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ
تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا
ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
سَآءَ
مَثَلَاۨ الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا
یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ مَنۡ یَّہۡدِ
اللّٰہُ فَہُوَ الۡمُہۡتَدِیۡ ۚ وَ مَنۡ یُّضۡلِلۡ فَاُولٰٓئِکَ
ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾
Dan
ceritakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan
Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia
melepaskan diri darinya maka syaitan
mengikutinya dan jadilah ia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan seandainya Kami menghendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya dengan
itu, akan tetapi ia cenderung ke
bumi dan mengikuti hawa nafsunya, maka keadaannya seperti seekor anjing yang
kehausan, jika engkau menghalaunya
ia menju-lurkan lidahnya dan jika
engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang mendustakan
Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah kisah
ini supaya mereka merenungkannya. Sangat buruk misal orang-orang
yang mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada
diri mereka sen-dirilah mereka berbuat zalim. Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah
yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa
yang Dia sesatkan maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-A’rāf
[7]:176-179).
Yang
dimaksudkan di sini bukanlah seseorang tertentu melainkan semua orang yang
kepada mereka Allah Swt. memperlihatkan Tanda-tanda melalui seorang nabi
Allah tetapi mereka menolaknya.
Ungkapan semacam itu terdapat di tempat lain dalam Al-Quran (seperti QS.2:18).
Ayat itu
telah dikenakan secara khusus kepada seorang yang bernama Bal’am bin Ba’ura yang menurut kisah pernah hidup di zaman Nabi
Musa a.s. dan konon
dahulunya ia seorang wali, tetapi kesombongan
merusak pikirannya dan ia mengakhiri hidupnya dalam kenistaan.
Ayat itu
dapat juga dikenakan kepada Abu Jahal atau Abdullah bin Ubbay bin Salul. atau
dapat pula kepada tiap-tiap pemimpin kekafiran, termasuk para penempuh suluk atau thariqah sufi orang yang tergoda atau terperdaya
oleh berbagai “karamah” atau khariqul ‘adat yang dialami
sehingga menganggap dirinya telah
menjadi “wali Allah” besar, padahal ia (mereka) telah terpedaya oleh berbagai
jebakan syaitan, sebagaimana
diceritakan oleh Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani mengenai pengalaman ruhani menghadapi “tipu-daya syaitan” yang
beliau alaminya.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 24 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar