Rabu, 11 Juni 2014

Pentingnya Memakai "Pakaian Takwa" yang Sempurna & Mewaspadai "Jebakan-jebakan Syaitan" dalam Melakukan "Suluk" (Pendakian Ruhani)



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   240

 Pentingnya  Memakai “Pakaian Takwa” yang Sempurna  &  Mewaspadai “Jebakan-jebakan Syaitan” dalam Melakukan  Suluk (Pendakian Ruhani)

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai keajaiban-keajaiban  atau karamah  yang dapat terjadi pada hamba-hamba Allah yang menempuh suluk,   dan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani  memperingatkan para salik agar jangan mempedulikan  berbagai bentuk  karamah (kekeramatan) atau khariqul ‘adat yang muncul tersebut   --  terlebih lagi kemudian  menjadi tujuan utama melakukan  suluk, sebab  hal itu berarti telah menyimpang dari tujuan hakiki  menempuh suluk seperti yang dilakukan oleh para wali Allah besar yang menduduki  derajat ‘abdal, quthub dan ghauts. Beliau bersabda:
          “....Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
        Penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrar tersebut adalah:
     “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
        Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
        Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
       Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

Karamah atau Khariqul ‘adat  Merupakan Aksesoris

        Perlu diketahui bahwa munculnya berbagai karamah atau khariqul ‘adat  pada diri para wali Allah  atau para penempuh   suluk    -- seperti  mengalami kasyf (terbuka hijab), berjalan di atas air atau dapat terbang dan lain-lain -- merupakan  semacam aksesoris  yang   menghiasi   penampilan orang-orang yang     memakai   pakaian-takwa.  Semakin sempurna ketakwaan  hamba-hamba Allah Swt.  maka  karamah-karamah” yang muncul pun   akan merupakan mukjizat,  yang akan merupakan furqān (pembeda), firman-Nya:  
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنۡ تَتَّقُوا اللّٰہَ یَجۡعَلۡ لَّکُمۡ فُرۡقَانًا وَّ یُکَفِّرۡ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ  الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  jika kamu bertakwa kepada Allah Dia akan menjadikan  bagimu   pembeda,  dan Dia akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu, dan Dia akan mengampuni kamu, dan Allah  Memiliki  karunia yang sangat besar. (Al-Anfāl [8]:30).
        Furqān berarti: (1) sesuatu yang membedakan antara yang benar dan yang salah; (2) bukti atau bahan bukti atau dalil; (3) bantuan atau kemenangan, dan (4) fajar (Lexicon Lane).  Firman-Nya lagi:
   ......   ۬ؕ وَ  مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ  یَجۡعَلۡ لَّہٗ  مَخۡرَجًا ۙ﴿﴾ وَّ یَرۡزُقۡہُ  مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُ ؕ وَ مَنۡ  یَّتَوَکَّلۡ عَلَی اللّٰہِ  فَہُوَ حَسۡبُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  بَالِغُ  اَمۡرِہٖ ؕ قَدۡ جَعَلَ اللّٰہُ  لِکُلِّ شَیۡءٍ  قَدۡرًا ﴿﴾
….Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberi rezeki kepadanya dari mana tidak pernah ia menyangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah maka Dia me-madai baginya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sungguh Allah telah menetapkan ketentuan bagi segala sesuatu. (Ath-Thalāq (65]:3-4).
      Selanjutnya dalam Surah yang sama Allah Swt. berfirman berkenaan dengan pentingnya memiliki ketakwaan:
و....  وَ مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ  یَجۡعَلۡ لَّہٗ  مِنۡ  اَمۡرِہٖ یُسۡرًا ﴿﴾   ذٰلِکَ  اَمۡرُ اللّٰہِ  اَنۡزَلَہٗۤ  اِلَیۡکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ یُکَفِّرۡ عَنۡہُ سَیِّاٰتِہٖ وَ یُعۡظِمۡ لَہٗۤ  اَجۡرًا ﴿﴾
……Dan barang-siapa bertakwa kepada Allah Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Demikianlah perintah Allah, yang diturunkan-Nya kepada kamu. Dan barangsiapa bertakwa  kepada  Allah Dia menghapuskan darinya keburukan-keburukannya dan memperbesar ganjaran baginya. (Ath-Thalāq (65]:5-6).
    Sehubungan dengan  akan dianugerahkan-Nya furqān (pembeda) kepada orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt. Dia berfirman sehubungan dengan kemenangan umat Islam dalam Perang Badar,  yang dalam segala seginya  kedua belah pihak sangat tidak seimbang:
فَلَمۡ تَقۡتُلُوۡہُمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  قَتَلَہُمۡ ۪ وَ مَا رَمَیۡتَ اِذۡ رَمَیۡتَ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ رَمٰی ۚ وَ لِیُبۡلِیَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  مِنۡہُ  بَلَآءً  حَسَنًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ  سَمِیۡعٌ  عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Maka bukan  kamu yang membunuh mereka melainkan Allah yang telah membunuh mereka, dan bukan engkau yang melemparkan pasir ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang telah melempar,  dan supaya Dia menganugerahi  orang-orang yang beriman  anugerah yang baik dari-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:18)
         Kemenangan dalam perang   Badar itu sebenarnya bukan disebabkan oleh suatu kecakapan atau kemahiran  berperang pihak orang-orang Islam. Mereka terlalu sedikit, terlalu lemah, dan terlalu buruk persenjataan mereka untuk memperoleh kemenangan terhadap satu lasykar musyrik Mekkah yang jauh lebih besar jumlahnya, jauh lebih baik persenjataannya, lagi pula jauh lebih terlatih.
      Perlemparan segenggam kerikil dan pasir oleh Nabi Besar  Muhammad saw. dalam Perang Badar    mempunyai kesamaan yang ajaib dengan pemukulan air laut dengan tongkat oleh Nabi Musa a.s.   (Al-Anfāl [8]:18). Sebagaimana dalam kejadian yang terakhir, perbuatan Nabi Musa a.s.   itu seolah-olah merupakan isyarat bagi angin untuk bertiup dan bagi air-pasang naik kembali sehingga membawa akibat tenggelamnya Fir’aun serta lasykarnya di laut.
     Demikian pula halnya pelemparan segenggam kerikil oleh  Nabi Besar Muhammad  saw.  merupakan satu isyarat untuk angin bertiup kencang dengan membawa akibat kebinasaan Abu Jahal (yang pernah disebut oleh beliau saw.   sebagai Fir’aun kaumnya) dan lasykarnya di padang pasir Badar  itu.
    Dalam kedua kejadian tersebut bekerjanya kekuatan-kekuatan alam itu, bertepatan benar dengan tindakan-tindakan kedua nabi  Allah itu, di bawah takdir khas Allah  Swt., yang pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk “sujudnya”  para malaikat kepada Adam (Khalifah Allah) ketika Allah  Swt. memerintahkan mereka (QS.2:35; QS.7:12; QS.15:30-31;  QS.17:62; QS.18:51; QS.20:117; QS.38:73-75).

Pentingnya Memiliki dan Memakai  Pakaian Takwa” yang Sempurna

      Allah Swt. dalam Al-Quran telah menyebut  takwa (ketakwaan)  dengan sebutan libās (pakaian)     yakni libāsut-taqwa, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  قَدۡ  اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ  لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  لَعَلَّہُمۡ  یَذَّکَّرُوۡنَ
Wahai Bani Adam,  sungguh  Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup auratmu dan sebagai  perhiasan, dan pakaian takwa  itulah yang terbaik, yang demikian itu adalah sebagian dari Tanda-tanda Allah, supaya  mereka mendapat nasihat. (Al-Arāf [7]:27).
       Pakaian menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang apa yg dipakai (baju, celana dan sebagainya). Istilah pakaian kemudian dipersamakan dengan busana. Istilah busana berasal dari bahasa sanskerta yaitu bhusana yang mempunyai konotasi pakaian yang bagus atau indah yaitu pakaian yang serasi, harmonis, selaras, enak di pandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai serta sesuai dengan kesempatan. Pakaian merupakan busana pokok yang digunakan untuk menutupi bagian-bagian tubuh terutama yang dianggap aurat.
       Paling tidak Al-Quran   menggunakan tiga istilah  untuk  pakaian yaitu,  libās (QS.2:27);  tsiyāb  (QS.11:6; QS.18:32; QS.22:20; QS.24:59 & 61; QS.71:8; QS.74:5; QS.76:22),  dan  sarabil (QS.15:51; QS.16:82).   Kata libas digunakan oleh Al Quran untuk  menunjukkan  pakaian lahir  maupun  batin. Libas  pada  mulanya  berarti  penutup yakni apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian  sebagai  penutup  amat  jelas, diantaranya sebagai  penutup tubuh.
        Pakaian   sebagai sarana  penutup tubuh  memiliki fungsi, bahan dan bentuk  (model) yang bermacam-macam, mulai dari  pakaian yang bentuk dan fungsinya  sangat   sederhana,  sampai dengan pakaian   sempurna dalam segala sesuatunya, termasuk bahan pakaiannya.
        Itulah sebabnya di dalam Al-Quran Allah Swt. telah menyebut beberapa bahan pakaian “ahli surga” antara lain kain sutra tipis (sundusin - QS.18:32; QS.22:24; QS.35:34; QS.44:54; QS.55:55; QS.76:13 & 22) dan  kain sutra tebal atau brokat  (istabraqin - QS.18:32; QS.44:54; QS.55:55; QS.76:22).  Allah Swt. telah melarang laki-laki Muslim memakai pakaian sutra dan perhiasan emas.
       Bagi  Muslimah (perempuan-perempuan  Muslim),  cara berpakaian yang paling sempurna selain mengenakan pakaian dalam dan   pakaian  yang menutup aurat  -- termasuk kain kudungan  kepala -- adalah juga mengenakan (memakai) pakaian luar  atau  pakaian kemas yang disebut  jilbab (pakaian selubung – QS.33:60). 
       Dengan demikian  pakaian (busana) Muslim yang sempurna bagi  Muslim dan Muslimah     ada tiga lapis pakaian, yakni (1) pakaian dalam, (2) pakaian luar, dan (3) pakaian selubung (jilbab atau jubah). Demikian pula halnya dengan libāsut-taqwa (pakaian takwa), yang dengan  pakaian  takwa” itulah Adam a.s.   menutupi “aurat” dalam “jannah/kebun” setelah terpedaya oleh tipu-daya syaitan yang sangat menggiurkan hawa-nafsu  yakni mengiming-imingi   menjadi malaikat” dan ”hidup kekal” (QS.7:20-24).

Pentingnya Menyempurnakan  Pakaian Takwa 

       Selain  memakai pakaian, apabila seseorang atau suatu bangsa semakin  beradab  dan berbudaya   maka  -- sesuai dengan fitrat   manusia  yaitu  menyukai  keindahan  dan kesempurnaan selain berpakaian ia pun  akan melengkapi  penampilannya dengan berbagai macam aksesoris.
        Seperti halnya pakaian  yang  dikenakan oleh berbagai bangsa  dan suku bangsa  di dunia ini  memiliki berbagai macam  bentuk dan model serta   bentuk serta bahan  yang bermacam-macam,   demikian juga halnya dengan aksesoris yang dipakai  manusia  pun  bermacam-macam pula, mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan  aksesoris yang memiliki nilai-nilai seni  dan falsafah yang sangat tinggi, seperti memodifikasi   singgasana hadiah Ratu Saba dan istana khusus yang dirancang  oleh Nabi Sulaiman a.s.  sebagai sarana da’wat ilallāh (QS.27:33-45; QS.34:13-14),   firman-Nya:
قَالَ نَکِّرُوۡا  لَہَا عَرۡشَہَا نَنۡظُرۡ اَتَہۡتَدِیۡۤ  اَمۡ تَکُوۡنُ مِنَ الَّذِیۡنَ لَا یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّا جَآءَتۡ قِیۡلَ  اَہٰکَذَا عَرۡشُکِ ؕ قَالَتۡ کَاَنَّہٗ ہُوَ ۚ وَ اُوۡتِیۡنَا الۡعِلۡمَ  مِنۡ قَبۡلِہَا  وَ کُنَّا مُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Ia, Sulaiman,  berkata: “Buatlah singgasana hadiahnya  itu tidak berharga untuk dia,  kita lihat apakah ia mendapat petunjuk ataukah ia termasuk orang-orang yang tidak mendapat petunjuk.”    Maka tatkala ia (Ratu Saba)  datang dikatakan kepadanya: “Serupa inikah keindahan singgasana engkau?” Ia menjawab, “Singgasana ini seolah-olah sama seperti singgasana itu, dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.”   Dan apa yang senantiasa disembahnya  selain Allah  telah menghalanginya beriman,  sesungguhnya ia termasuk  kaum kafir.   Dikatakan kepada dia: “Masuklah ke istana.” Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.  Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang berlantaikan  ubin dari kaca.” Ia (Ratu Saba) berkata: “Ya  Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya selama ini aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah   Rabb (Tuhan) seluruh alam.” (An-Naml [27]:42-45).
        Jadi, seperti halnya dalam  kehidupan duniawi, begitu pula  orang-orang yang  bertakwa kepada Allah Swt. dan patuh-taat kepada Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71),   dalam melakukan suluk perjalanan/perdakian ruhani) menuju “perjumpaan” dengan Allah Swt. (liqalLāh  - QS.29:70; QS.84:7) --  melalui berbagai tingkatan  pendakian ruhani  yang disebut oleh Syekh ‘Abdul-Qadir al-Jailani sebagai alam    nāsut, malakut, jabbarut,  dan lahut   --  para sālik  akan mengalami atau memperoleh   berbagai macam “aksesoris  berupa bermacam-macam karamah  atau khariqul ‘adat,  yang dapat membuat  suluk (perjalanan ruhani)  mereka menjadi berhenti atau berbelok arah,  karena mereka menyangka telah sampai kepada “tujuan utama” suluk yang mereka lakukan, padahal mereka telah tersesat karena terjebak dalam keasyikan  mengalami berbagai macam “karamah”, sebagaimana dikemukakan firman-Nya berikut ini:
وَ اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ  نَبَاَ الَّذِیۡۤ  اٰتَیۡنٰہُ  اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ  الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ  کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ  تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾  سَآءَ مَثَلَاۨ الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ مَنۡ یَّہۡدِ اللّٰہُ فَہُوَ الۡمُہۡتَدِیۡ ۚ وَ مَنۡ یُّضۡلِلۡ  فَاُولٰٓئِکَ  ہُمُ  الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka  berita orang-orang yang telah Kami berikan Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia melepaskan diri darinya maka syaitan mengikutinya dan jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat.  Dan seandainya Kami menghendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya dengan itu, akan tetapi ia cenderung ke bumi  dan mengikuti hawa nafsunya, maka keadaannya seperti seekor anjing yang kehausan, jika engkau menghalaunya ia menju-lurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan   lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah kisah ini supaya mereka merenungkannyaSangat buruk misal  orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada diri mereka sen-dirilah mereka berbuat zalim.   Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah   maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang Dia sesatkan  maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-A’rāf [7]:176-179).
   Yang dimaksudkan di sini bukanlah seseorang tertentu melainkan semua orang yang kepada mereka Allah Swt.     memperlihatkan Tanda-tanda melalui seorang nabi Allah tetapi mereka menolaknya. Ungkapan semacam itu terdapat di tempat lain dalam Al-Quran (seperti QS.2:18).
    Ayat itu telah dikenakan secara khusus kepada seorang yang bernama Bal’am bin Ba’ura yang menurut kisah pernah hidup di zaman Nabi Musa a.s.    dan konon dahulunya ia seorang wali, tetapi  kesombongan merusak pikirannya dan ia mengakhiri hidupnya dalam kenistaan.
    Ayat itu dapat juga dikenakan kepada Abu Jahal atau Abdullah bin Ubbay bin Salul. atau dapat pula kepada tiap-tiap pemimpin kekafiran, termasuk  para penempuh suluk  atau thariqah sufi  orang yang tergoda atau terperdaya oleh    berbagai “karamah” atau khariqul ‘adat  yang dialami  sehingga menganggap dirinya  telah menjadi  wali Allah” besar, padahal ia (mereka) telah terpedaya oleh  berbagai jebakan syaitan, sebagaimana diceritakan oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani mengenai pengalaman ruhani  menghadapi “tipu-daya syaitan” yang  beliau alaminya.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   24 Mei    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar