بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 242
Pentingnya Beriman dan Baiat
kepada Rasul Allah yang kedatangannya Dijanjikan
Allah Swt.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengenai
“curhat” seorang Hindu yang --
sampai batas tertentu -- pernah
mengalami suatu “pemandangan ruhani”
atau “pengalaman ruhani” berupa rukya
atau kasyaf (terbuka
hijab), antara lain beliau menjelaskan:
“….Aku ingat, seseorang datang kepada
saya mengatakan bahwa orang-orang suci terdahulu dapat menyampaikan [manusia] sampai ke langit dengan cara menjampinya. Saya katakan,
“Anda keliru, tidak demikian hukum
(ketentuan) Allah Ta’ala. Jika Anda mau membuat lantai di sebuah rumah maka
pertama-tama adalah penting melakukan perbaikan terlebih dulu pada
bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Dan dimana saja terdapat kotoran serta ketidakbersihan akan dibersihkan dengan dengan menggunakan
alat tertentu.”
Ringkasnya, setelah melalui banyak upaya dan proses barulah akan layak untuk
dibuat di atasnya lantai. Seperti
itu pula, sebelum hati manusia layak untuk dihuni
oleh Allah Ta’ala, [hati] itu
merupakan singgasana setan dan berada di dalam kerajaan setan.
Kini, untuk kerajaan yang berikutnya (Kerajaan Ilahi – pent.) adalah mutlak untuk menghancur-leburkan kerajaan
setan.
Sangat malanglah nasib orang-orang yang
berangkat untuk mencari kebenaran dan kemudian mereka
tidak menerapkan sikap berpraduga
baik. Lihatlah perajin keramik, apa saja yang harus
dilakukan untuk membuat mangkuk keramik. Lihatlah tukang cuci ketika dia mulai membasuh pakaian yang penuh daki dan kotoran, betapa berat pekerjaan
yang harus dia lakukan. Kadang-kadang pakaian
itu direbus, kadang-kadang disabuni,
lalu dengan berbagai cara dia
mengeluarkan kotoran dan daki pakaian tersebut. Akhirnya kain itu bersih dan tampil putih.
Sekian banyak daki (kotoran) yang ada di dalamnya semua telah keluar. Tatkala untuk hal-hal kecil seperti itu saja terpaksa harus
menerapkan sikap sabar, maka betapa bodohnya orang yang untuk
memperbaiki hidupnya dan untuk perbaikan hidupnya serta untuk membersihkan kotoran-kotoran serta
sampah kalbunya dia berkeinginan
supaya semua itu keluar melalui penyemburan (jampi-jainpian) sehingga
bersihlah kalbunya.
Ingatlah, sabar merupakan syarat untuk melakukan ishlah (perbaikan).
Kemudian yang kedua, tidak akan
berlangsung pensucian akhlak dan jiwa selama tidak hidup bergaul
dengan insan yang berjiwa suci.
Pintu pertama yang terbuka
adalah hapusnya kekotoran
tadi, sedangkan kotoran-kotoran yang memperoleh kesesuaian [di dalam diri
manusia] akan tetap bertahan di
dalam. Akan tetapi ketika dia memperoleh tariyaaqi shuhbat (pergaulan yang mengobati), maka kotoran-kotoran intern itu
lambat-laun akan mulai lenyap, sebab Ruh Suci – yang
dalam istilah Al-Quran Karim dinamakan Ruhul Qudus –
tidak akan dapat terjalin
hubungan dengannya selama tidak ada kesesuaian dengannya.
Saya tidak dapat mengatakan kapan hubungan itu terbentuk. Ya, hendaknya manusia menerapkan sikap fana
(meleburkan diri) sebagai debu di
jalan ini, dan tempuhlah jalan ini
dengan penuh sabar dan teguh, akhirnya Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan upaya gigih sejati orang itu, dan
Dia akan menganugerahkan nur serta cahaya kepada orang itu, yaitu [nur dan cahaya) yang memang dia cari-cari.
Saya menjadi heran dan tidak mengerti
sedikit pun, mengapa manusia berani-beranian,
padahal dia tahu bahwa Tuhan itu ada.” (Malfuzat,
jld. II, hlm. 226-227).
Keterkecohan Para Salik (Penempuh Jalan Ruhani) Pencari “Aksesoris Ruhani”
Kemudian
sehubungan dengan rukya, kasyaf (terbuka hijab) dan ilham yang tidak sempurna, yang sampai
batas tertentu dialami orang-orang yang mencari
berbagai “aksesoris” yang terdapat dalam suluk atau pengamalan thariqah
sufi, pada bulan April 1901 tengah
diperbincangkan tentang keterkecohan
kondisi Munshi Ilahi Bakhs Sahib dan
kelompoknya, Al-Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Pada umumnya kondisi awal, rukya,
kasyaf, dan ilham terjadi pada setiap orang. Namun manusia hendaknya jangan
terkecoh oleh itu sehingga beranggapan
bahwa dia telah mencapai tujuan yang dimaksud, sebab
sebenarnya di dalam fitrat manusia telah ditanamkan potensi ini, yakni setiap
orang dapat menerima mimpi
atau kasyaf mau pun ilham.
Demikianlah, telah disaksikan bahwa
kadang-kadang orang-orang kafir, orang-orang Hindu, dan kadang-kadang orang fasiq (durhaka) dan
jahat pun mendapat mimpi-mimpi,
dan kadang-kadang mimpi-mimpi
mereka itu juga terbukti benar. Sebabnya adalah Allah Ta’ala Sendiri telah menanamkan sedikit contoh demikian di kalangan mereka, dan hal itu ditanamkan dalam bentuk yang sempurna di kalangan para wali Allah dan para nabi Allah, supaya orang-orang
itu tidak dapat mengingkari para nabi dengan alasan bahwa mereka tidak tahu menahu
tentang ilmu tersebut.
Hal-hal itu diberikan kepada mereka
sebagai dalil yang mematikan, sehingga
dengan mendengar pengakuan-pengakuan para nabi, mereka pun bersumpah menyatakan
bahwa hal itu memang demikian dan dapat terjadi seperti itu, sebab suatu perkara yang tidak diketahui oleh manusia sangat cepat dia ingkari.
Di dalam kitab “Matsnawi
Rumi” terdapat uraian tentang seorang
buta yang menyebut-nyebut bahwa, “Matahari
sebenarnya tidak ada, dan orang-orang berkata dusta. Jika matahari ada tentu
aku pun dapat melihatnya!” Matahari pun berkata, “Hai orang buta! Engkau meminta bukti keberadaanku? Pertama-tama
panjatkanlah kepada Tuhan supaya Dia menganugerahkan mata kepada engkau.”
Allah Ta’ala Maha Pemurah dan Maha
Penyayang. Jika hal itu tidak
Dia tanamkan dalam fitrat
manusia maka bagaimana mungkin masalah kenabian dapat dipahami oleh orang-orang. Melalui rukya atau ilham tahap awal, Allah Ta’ala memanggil
hamba (manusia), akan tetapi itu bukanlah
suatu kondisi yang memberikan ketenteraman (kepuasan).
Dahulu ada ilham-ilham yang turun kepada Bal’am,
namun dari firman Allah Ta’ala berikut ini terbukti bahwa ia tidak mengalami rafa’
(kenaikan ruhani):
وَ
لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا
(dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan
dengan Ayat-ayat itu” – Al-‘Araf, 177).
Yakni dia hingga saat itu belum menjadi hamba
yang benar dan disukai di sisi Allah
Taala, sampai-sampai ia pun jatuh.
Ilham-ilham
dan sebagainya dapat membuat manusia menjadi sesuatu, tetapi manusia tidak dapat menjadi milik Tuhan
selama dia belum mengalami ribuan kematian dan tidak melepaskan diri dari gejolak kemanusiaan. Ada tiga macam manusia yang menempuh jalan ini:
Pertama,
mereka yang memegang dīnul ‘ajāiz, yakni mazhab perempuan-perempuan tua. Mereka
mendirikan salat, mengerjkan puasa, membaca Al-Quran Syarif dan melakukan
taubat, istighfar. Mereka memegang teguh
perkara-perkara secara taqlid dan
berdiri kokoh di atasnya.
Kedua,
adalah orang-orang yang lebih maju
daripada yang pertama dan menginginkan makrifat, dan dengan berbacai cara mereka berusaha serta memperlihatkan
kesetiaan dan keteguhan
langkah, dan dalam makrifatnya mereka mencapai derajat
yang puncak. Mereka berhasil
dan mencapai cita-cita mereka.
Ketiga,
adalah orang-orang yang tidak suka
menetap dalam kondisi dīnul ‘ajāiz
dan telah melampaui tahap itu serta telah
melangkahkan kaki di kawasan makrifat, namun mereka
tidak dapat mempertahankan derajat
(kondisi) tersebut dan mereka tersandung
dari jalan itu lalu jatuh. Inilah orang-orang
yang tidak bertahan ke sana dan tidak
pula bertahan ke sini.
Tamsil
(perumpamaan) orang yang demikian itu adalah bagaikan seorang yang kehausan dan padanya
terdapat sedikit air, tetapi air
yang ada pun kotor, supaya terhindar dari maut (kematian) maka air
tersebut diminum. Kemudian seseorang mengabarkan
kepadanya bahwa dalam jarak lima atau tujuh kos (km) lagi terdapat sebuah mata
air bening, maka air yang
ada padanya tadi itu pun dibuangnya,
dan dia maju untuk menuju mata air bening itu. Dikarenakan ketidaksabarannya
dan kesialan serta kesesatannya
dia tidak sampai ke sana. Lihatlah, bagaimana nasibnya. Dia mati,
dan kematiannya
sangat tragis sekali.
Atau, tamsil
keadaan-keadaan demikian adalah seperti sebuah sumur sedang digali. Pertama-tama ia hanya berupa sebuah lubang yang tidak ada gunanya, bahkan menimbulkan bahaya jatuhnya orang yang lalu-lalang di situ. Kemudian sumur itu digali lebih dalam lagi, sampai timbul (keluar) lumpur
dan air yang kotor. Keadaan tahap
seperti itu pun tidak bermanfaat. Ketika sumur
tersebut sudah sempurna digali dan airnya keluar dengan bersih
(bening) maka ia dapat menimbulkan kehidupan bagi ribuan orang.
Orang-orang yang menjadikan diri mereka
sebagai faqir dan petapa, mereka
semua berada dalam kondisi yang tidak
sempurna, sedangkan para nabi datang sebagai pemilik air yang bersih. Selama seseorang tidak datang membawa sesuatu dari Tuhan, selama itu
pula ia tidak berguna.
Ilahi
Bakhs Sahib, jika [benar pengakuannya bahwa] dia menjadi Musa, hendaknya ditanyakan
kepadanya, apa tujuan dia menjadi Musa?
Orang-orang yang datang dari Tuhan,
mereka bagaikan buruh (pekerja), dan mereka
melangkah maju untuk memberikan manfaat
kepada manusia, dan mereka
menyebarkan ilmu pengetahuan
serta tidak pernah menimbulkan kesulitan.
Mereka tidak malas serta duduk berpangku-tangan.” (Malfuzat,
jld. II, hlm. 266-268).
Pentingnya Beriman dan Baiat kepada Rasul Allah
Penjelasan Pendiri Jemaat
Ahmadiyah -- Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- tersebut sesuai dengan
firman Allah Swt. berikut ini”
وَ اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ
نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ
الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾ وَ
لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ
اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ
الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ
یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ
کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ سَآءَ
مَثَلَاۨ الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا
یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ مَنۡ یَّہۡدِ
اللّٰہُ فَہُوَ الۡمُہۡتَدِیۡ ۚ وَ مَنۡ یُّضۡلِلۡ فَاُولٰٓئِکَ
ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka berita orang-orang
yang telah Kami berikan Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia melepaskan diri darinya maka syaitan mengikutinya dan jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan seandainya Kami
meng-hendaki niscaya Kami
meninggikan derajatnya dengan itu, akan tetapi ia cenderung ke bumi dan mengikuti
hawa nafsunya, maka keadaannya
seperti seekor anjing yang kehausan, jika engkau menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan
lidahnya. Demikianlah misal
orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah kisah ini supaya mereka merenungkannya. Sangat buruk misal orang-orang
yang mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada
diri mereka sen-dirilah mereka berbuat zalim. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah
yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa
yang Dia sesatkan maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-A’rāf
[7]:176-179).
Kemudian sehubungan dengan pernyataan Al-Masih Mau’ud a.s. mengenai pentingnya kedatangan seseorang yang datang
dari Allah Swt.-- yakni para Rasul
Allah (QS.7:35-37) -- serta
pentingnya beriman dan melakukan bai’at
kepadanya, Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُبَایِعُوۡنَکَ اِنَّمَا یُبَایِعُوۡنَ اللّٰہَ ؕ یَدُ
اللّٰہِ فَوۡقَ اَیۡدِیۡہِمۡ ۚ فَمَنۡ نَّکَثَ فَاِنَّمَا یَنۡکُثُ عَلٰی نَفۡسِہٖ ۚ
وَ مَنۡ اَوۡفٰی بِمَا عٰہَدَ عَلَیۡہُ
اللّٰہَ فَسَیُؤۡتِیۡہِ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang
yang baiat kepada engkau sebenarnya mereka baiat kepada Allah. Tangan Allah ada di atas tangan mereka,
maka barangsiapa melanggar janjinya
maka ia melanggar janji atas
dirinya sendiri, dan barangsiapa
memenuhi apa yang telah dia janjikan kepada Allah maka Dia segera akan memberinya ganjaran yang
besar. (Al-Fath [48]:11).
Isyarat
mengenai baiat tersebut
ditujukan kepada sumpah setia
orang-orang beriman di tangan Nabi Besar Muhammad saw. di bawah sebatang pohon di Hudaibiyah (Bukhari), firman-Nya:
لَقَدۡ رَضِیَ اللّٰہُ عَنِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ اِذۡ یُبَایِعُوۡنَکَ تَحۡتَ الشَّجَرَۃِ فَعَلِمَ
مَا فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ فَاَنۡزَلَ
السَّکِیۡنَۃَ عَلَیۡہِمۡ وَ اَثَابَہُمۡ فَتۡحًا
قَرِیۡبًا ﴿ۙ﴾
Sungguh Allah
benar-benar telah ridha terhadap orang-orang
beriman ketika mereka baiat kepada
engkau di bawah pohon itu, maka Dia
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menurunkan ketenteraman kepada mereka,
dan Dia mengganjar mereka dengan
kemenangan yang dekat, (Al-Fath [48]:19).
“Bai’at-ur-Ridwan” (Baiat
yang Diridhai)
Peristiwa baiat
itu terjadi di Hudaibiyah di bawah
sebuah pohon Akasia, setelah kabar sampai kepada Nabi Besar Muhammad saw. bahwa karena suatu pelanggaran atas kebiasaan dan sopan santun diplomatik, yakni
duta beliau saw., Sayyidina
Utsman bin ‘Affan r.a. telah dibunuh
orang-orang Mekkah.
Berita terbunuhnya Utsman r.a. barangkali tidak kurang
mengejutkannya daripada pelanggaran
terhadap suatu adat kebiasaan suci
dan antik, sehingga menyebabkan Nabi Besar Muhammad saw. tidak dapat bersabar lagi. Baiat itu
kemudian dikenal sebagai “baiat-ur-ridwan”, yang berarti bahwa orang-orang yang berbahagia berkat baiat itu sudah mendapat keridhaan
llahi.
Bukti apa lagi yang lebih besar bagi
kenyataan فَاَنۡزَلَ السَّکِیۡنَۃَ عَلَیۡہِمۡ -- “maka Tuhan telah menurunkan ketenteraman hati atas orang-orang
Muslim” daripada fakta bahwa
kendatipun jumlah mereka hanya kira-kira 1500 orang dan karena jauh dari
kampung halaman dan kendati pun tidak berkawan, lagi pula di kelilingi oleh suku-suku bangsa yang tidak bersahabat
pula dihadapi oleh musuh yang sangat kuat lagi terlindung di dalam
kubu-kubu, namun para sahabah Nabi Besar
Muhammad saw. tersebut lebih bersedia berkelahi (perang) daripada menyetujui syarat-syarat yang digariskan
di dalam Perjanjian Hidaybiyah itu,
yang dari satu segi nampak sangat merugikan
pihak Muslim.
Kata-kata
وَ اَثَابَہُمۡ فَتۡحًا قَرِیۡبًا – dan
akan mengganjar mereka dengan kemenangan yang dekat” menunjukkan kepada kemenangan di Khaibar. Waktu kembali
dari Hudaibiyah Nabi Bear Muhammad saw. -- bersama orang-orang Muslim yang menyertai beliau saw. di Hudaibiyah --
beliau saw. memimpin suatu gerakan
pasukan melawan orang-orang Yahudi
di Khaibar, yang merupakan peti eraman besar atau markas
tipu muslihat dan rencana jahat orang-orang Yahudi, yang
sebelumnya mereka itu telah diusir dari Madinah karena seringkali melakukan pengkhianatan, termasuk ketika terjadi Perang Ahzab (QS.59:3-7).
Kemajuan akhlak
dan Ruhani yang Dihasilkan Baiat kepada Rasul Allah
Kembali kepada pentingnya beriman
dan melakukan baiat kepada Rasul
Allah (QS.48:11), dalam Surah berikut ini Allah Swt. berfirman mengenai
berbagai kemajuan dalam berbagai hal
-- termasuk kemajuan dalam bidang akhlak
dan ruhani -- yang dihasilkan baiat
kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ اشۡتَرٰی مِنَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ اَنۡفُسَہُمۡ وَ اَمۡوَالَہُمۡ بِاَنَّ لَہُمُ الۡجَنَّۃَ ؕ
یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ فَیَقۡتُلُوۡنَ وَ یُقۡتَلُوۡنَ ۟ وَعۡدًا
عَلَیۡہِ حَقًّا فِی التَّوۡرٰىۃِ وَ الۡاِنۡجِیۡلِ وَ الۡقُرۡاٰنِ ؕ وَ مَنۡ
اَوۡفٰی بِعَہۡدِہٖ مِنَ اللّٰہِ فَاسۡتَبۡشِرُوۡا بِبَیۡعِکُمُ الَّذِیۡ
بَایَعۡتُمۡ بِہٖ ؕ وَ ذٰلِکَ ہُوَ
الۡفَوۡزُ الۡعَظِیۡمُ﴿﴾ اَلتَّآئِبُوۡنَ الۡعٰبِدُوۡنَ الۡحٰمِدُوۡنَ
السَّآئِحُوۡنَ الرّٰکِعُوۡنَ السّٰجِدُوۡنَ الۡاٰمِرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ
النَّاہُوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡحٰفِظُوۡنَ لِحُدُوۡدِ اللّٰہِ ؕ وَ
بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah
telah membeli dari orang-orang
beriman jiwa mereka dan harta mereka bahwa sesungguhya mereka akan memperoleh ganjaran surga. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh, janji yang haq (benar) atas-Nya dalam Taurat, Injil
dan Al-Quran. Dan siapakah yang
lebih menepati janji-nya daripada Allah? فَاسۡتَبۡشِرُوۡا بِبَیۡعِکُمُ
الَّذِیۡ بَایَعۡتُمۡ بِہٖ ؕ وَ ذٰلِکَ
ہُوَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیۡمُ -- maka bergembiralah kamu dengan jual-beli yang
telah kamu lakukan dengan-Nya, dan itulah kemenangan yang besar. اَلتَّآئِبُوۡنَ الۡعٰبِدُوۡنَ
الۡحٰمِدُوۡنَ السَّآئِحُوۡنَ الرّٰکِعُوۡنَ السّٰجِدُوۡنَ الۡاٰمِرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ النَّاہُوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡحٰفِظُوۡنَ لِحُدُوۡدِ
اللّٰہِ ؕ وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- Yaitu orang-orang
yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah,
yang bepergian pada jalan Allah,
yang ruku', yang sujud, yang menyuruh terhadap kebaikan, melarang
keburukan dan yang menjaga
batas-batas yang ditetapkan Allah.
Dan sampaikanlah kabar gembira
kepada orang-orang yang beriman. (At-Taubah
[9]:111-112).
Mengenai ayat وَعۡدًا عَلَیۡہِ حَقًّا فِی
التَّوۡرٰىۃِ وَ الۡاِنۡجِیۡلِ وَ الۡقُرۡاٰنِ -- “janji yang haq (benar) atas-Nya dalam Taurat, Injil
dan Al-Quran”, lihat Taurat (Ulangan 6:3-5) dan Injil (Matius 19:21 dan 27-29).
Jadi, jelaslah
bahwa orang-orang yang beriman dan baiat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya,
mereka itu akan mengalami berbagai
kemajuan -- baik dalam hal
pelaksanaan haququllāh (habun-minallāh)
mau pun dalam haququl ‘ibād (hablun –minan-nās)
-- mereka itu bukan para pencari
berbagai “aksesoris ruhani” berupakan
“karamah” (kekeramatan) bagi
dirinya, sebagaimana yang dilakukan para salik
penempuh suluk atau para penganut
berbagai thariqah para wali
Allah terkenal yang telah disalah-tafsirkan.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar