بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 228
Mereka yang
“Mentertawakan” Rasul Allah dan Para Pengikutnya Menjadi Pihak “Yang Ditertawakan”
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan v penjelasan mengenai makna “kesturi” -- yakni ketakwaan kepada Allah Swt. -- sebagai meterai minuman surgawi yang campurannya tasnim, yang tanpa ketakwaan
kepada Allah Swt. maka Al-Quran itu bagaikan “minuman” yang disegel
(dimeterai), sehingga mustahil dapat
membuka khazanah-khazanah ruhani tak
terhingga yang terkandung di dalamnya, firman-Nya:
اِنَّ
الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ
یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ
نَضۡرَۃَ النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ
الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا
الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang
yang berbuat kebajikan (abrār)
benar-benar dalam kenikmatan, mereka
duduk di atas dipan-dipan sambil
memandang. Engkau dapat
mengenal kesegaran nikmat itu pada
wajah mereka. Mereka akan diberi minum dari minuman yang bermeterai, meterainya kesturi. Dan yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan campurannya adalah tasnīm, mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada
Allah. (Al-Muthaffifiin
[83]:19-29).
Pentingnya peran Ketakwaan Kepada Allah Swt.
Orang-orang
yang berusaha memahami Al-Quran tanpa didasari ketakwaan yang hakiki maka yang
diperoleh bukannya petunjuk melainkan
kesesatan (QS.2:27; QS.3:8-9), karena itu peran wahyu Ilahi -- yakni tasnim
-- sangat besar sekali untuk memahami serta memperoleh khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang tidak terbatas. Benarlah
firman-Nya berikut ini:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِمَوٰقِعِ النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ
اِنَّہٗ لَقَسَمٌ لَّوۡ
تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ
لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ
﴿ؕ﴾
Maka Aku
benar-benar bersumpah demi bintang-bintang
berjatuhan, dan
sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung, seandainya kamu
mengetahui, Sesungguhnya itu benar-benar
Al-Quran yang
mulia, dalam suatu kitab
yang sangat terpelihara, yang tidak dapat menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah
[56]:76-80).
Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10) merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak
mendapat sambutan.
Tidak ada upaya yang
telah disia-siakan para pengecam yang
tidak bersahabat untuk mencela kemurnian
teksnya. Tetapi semua daya upaya
ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh
musuh-musuh – bahwa kitab yang
disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia empat belas abad yang
lalu, “telah sampai kepada kita tanpa
perubahan barang satu huruf pun” (Sir Williams Muir).
Al-Quran adalah sebuah Kitab yang
sangat terpelihara dalam pengertian
bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya (ayat 80).
Ayat
ini pun dapat berarti bahwa cita-cita
dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas
itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah
serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman, firman-Nya:
اَفَلَا یَتَدَبَّرُوۡنَ
الۡقُرۡاٰنَ ؕ وَ لَوۡ کَانَ مِنۡ عِنۡدِ
غَیۡرِ اللّٰہِ لَوَجَدُوۡا فِیۡہِ اخۡتِلَافًا کَثِیۡرًا﴿﴾
Maka tidakkah mereka ingin merenungkan Al-Quran?
Dan seandainya Al-Quran ini berasal dari sisi yang bukan-Allah, niscaya mereka akan mendapati banyak pertentangan
di dalamnya. (An-Nisā [84]:83).
Maksud “bertentangan” dapat mengacu kepada pertentangan-pertentangan dalam teks Al-Quran dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya; atau kepada ketidakadaan persesuaian antara nubuatan-nubuatan yang tersebut dalam Al-Quran dengan hasil atau penggenapan
nubuatan-nubuatan itu.
“Orang yang Disucikan Allah Swt.” Bukan “Yang Menganggap Dirinya Suci”
Kesempurnaan Al-Quran dalam segala seginya tersebut bagaikan sebuah “kitab catatan amal” yang di dalamnya segala sesuatu telah “tercatat” secara
lengkap dan terinci, firman-Nya:
وَ وُضِعَ الۡکِتٰبُ فَتَرَی الۡمُجۡرِمِیۡنَ مُشۡفِقِیۡنَ مِمَّا فِیۡہِ وَ یَقُوۡلُوۡنَ یٰوَیۡلَتَنَا مَالِ ہٰذَا الۡکِتٰبِ لَا یُغَادِرُ صَغِیۡرَۃً وَّ لَا کَبِیۡرَۃً اِلَّاۤ اَحۡصٰہَا ۚ وَ وَجَدُوۡا مَا عَمِلُوۡا حَاضِرًا ؕ وَ لَا یَظۡلِمُ رَبُّکَ
اَحَدًا ﴿٪ ﴾
Dan kitab amalannya
akan diletakkan di hadapan mereka, maka engkau akan melihat orang-orang yang berdosa itu ketakutan dari
apa yang ada di dalamnya itu, dan
mereka akan berkata: "Aduhai celakalah kami! Kitab apakah ini? Ia tidak
me-ninggalkan sesuatu, baik yang kecil maupun yang besar melainkan telah mencatatnya." Dan mereka menjumpai apa yang telah mereka kerjakan itu berada di hadapan mereka,
dan Rabb
(Tuhan) engkau tidak menzalimi seorang
pun. (Al-Kahf [18]:50).
Atau, ayat اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ
کَرِیۡمٌ -- “Sesungguhnya
itu
benar-benar Al-Quran
yang mulia, فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara” (Al-Wāqi’ah [56]:78-80) dapat
diartikan, bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat
yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah
dilimpahi kemampuan untuk sampai
kepada keputusan yang benar. Orang
yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
Makna لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan.” Hanya orang yang bernasib baik sajalah yang
diberi pengertian mengenai dan dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran
yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam
alam rahasia ruhani makrifat Ilahi,
yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih. Secara sambil lalu
dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh
atau membaca Al-Quran sementara
keadaan fisik kita tidak bersih.
Pendek kata itulah makna
atau hikmah mengenai “minuman
surgawi” yang campurannya “tasnim”
dan disegel (dimeterai) dengan “kesturi” sebagai “minuman khusus” orang-orang yang “didekatkan kepada Allah Swt.”
yang terkandung dalam
firman-Nya:
اِنَّ
الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ
یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ
نَضۡرَۃَ النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ
الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا
الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang
yang berbuat kebajikan (abrār)
benar-benar dalam kenikmatan, mereka
duduk di atas dipan-dipan sambil
memandang. Engkau dapat
mengenal kesegaran nikmat itu pada
wajah mereka. Mereka akan diberi minum dari minuman yang bermeterai, meterainya kesturi. Dan yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan campurannya adalah tasnīm, mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada
Allah. (Al-Muthaffifiin
[83]:19-29).
“Mereka yang Mentertawakan” Menjadi
“Pihak yang Ditertawakan”
Bertolak
belakang dengan keadaan Al-Muqarrabūn (orang-orang yang didekatkan) kepada Allah
Swt., selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai orang-orang yang mendustakan
dan memperolok-olok para Rasul
Allah dan para pengikutnya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ اَجۡرَمُوۡا کَانُوۡا مِنَ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا یَضۡحَکُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا مَرُّوۡا بِہِمۡ یَتَغَامَزُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا انۡقَلَبُوۡۤا
اِلٰۤی اَہۡلِہِمُ انۡقَلَبُوۡا فَکِہِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا رَاَوۡہُمۡ قَالُوۡۤا
اِنَّ ہٰۤؤُلَآءِ لَضَآلُّوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَاۤ اُرۡسِلُوۡا عَلَیۡہِمۡ حٰفِظِیۡنَ ﴿ؕ﴾ فَالۡیَوۡمَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا مِنَ الۡکُفَّارِ یَضۡحَکُوۡنَ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ ۙ یَنۡظُرُوۡنَ
﴿ؕ﴾
ہَلۡ ثُوِّبَ الۡکُفَّارُ مَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang
berdosa biasa menertawakan orang-orang yang beriman, dan apabila mereka lewat di dekat mereka itu, mereka saling mengedipkan mata. Dan apabila mereka
kembali kepada sanak-saudara mereka, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata, “Sesungguhnya mereka
itu pasti sesat!” Dan mereka tidak
diutus kepada mereka itu sebagai penjaga.
Maka pada hari itu orang-orang mukmin
terhadap orang-orang kafir akan
menertawakan, mereka duduk di
atas dipan-dipan sambil memandang. Bukankah orang-orang kafir diganjar untuk apa yang senantiasa mereka kerjakan? (Al-Muthaffifīn
[83]:30-37).
Orang-orang kafir selalu dengan diam-diam menertawakan nubuatan-nubuatan dalam Al-Quran
mengenai penyebaran serta kemenangan Islam secara cepat, yang
dikumandangkan Nabi Besar Muhammad saw.
pada saat ketika Islam sedang
berjuang mati-matian mempertahankan
wujudnya sendiri.
Kata-kata فَالۡیَوۡمَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا مِنَ الۡکُفَّارِ یَضۡحَکُوۡنَ -- “Maka pada
hari itu orang-orang mukmin terhadap orang-orang
kafir akan menertawakan, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang” ini berarti:
(1) sambil duduk di atas singgasana kemuliaan, orang-orang beriman akan menyaksikan nasib
sedih yang akan menimpa orang-orang
kafir sombong.
(2) sambil duduk di atas singgasana kekuasaan, mereka akan berlaku adil terhadap orang banyak,
(3) mereka akan menaruh perhatian layak terhadap keperluan
orang lain, itu pula arti kata nazhara (Lexicon Lane).
Nubuatan
(kabar gaib) atau Sunnatullah
berkenaan “mereka yang mentertawakan”
para Rasul Allah dan para pengikutnya lalu
mereka akan menjadi “pihak
yang ditertawakan”, hal tersebut
dikemukakan pula oleh Nabi Nuh
a.s. dalam firman-Nya berikut ini:
وَ اُوۡحِیَ اِلٰی نُوۡحٍ اَنَّہٗ لَنۡ یُّؤۡمِنَ مِنۡ قَوۡمِکَ اِلَّا مَنۡ قَدۡ
اٰمَنَ فَلَا تَبۡتَئِسۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ﴿ۚۖ﴾ وَ اصۡنَعِ الۡفُلۡکَ
بِاَعۡیُنِنَا وَ وَحۡیِنَا وَ لَا تُخَاطِبۡنِیۡ فِی الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ۚ
اِنَّہُمۡ مُّغۡرَقُوۡنَ ﴿﴾ وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ
قَوۡمِہٖ سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا
نَسۡخَرُ مِنۡکُمۡ کَمَا تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ
یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ وَ
یَحِلُّ عَلَیۡہِ عَذَابٌ
مُّقِیۡمٌ﴿﴾
Dan telah diwahyukan
kepada Nuh: “Tidak akan pernah beriman seorang pun dari kaum engkau selain orang
yang telah beriman sebelumnya maka janganlah engkau bersedih mengenai apa yang senantiasa mereka kerjakan. Dan buatlah
bahtera itu di hadapan pengawasan mata Kami
dan sesuai dengan wahyu Kami. Dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku mengenai orang yang zalim,
se-sungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” Dan ia
mulai membuat bahtera itu, dan setiap
kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia, Nuh,
berkata: “Jika kini kamu
mentertawakan kami maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu,
seperti kamu mentertawakan kami.
Maka segera kamu akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa
akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd
[11]:37-40).
Doa Nabi Nuh
a.s. yang disinggung dalam QS.71:27-28
mengenai kehancuran kaum beliau a.s. agaknya telah diucapkan sesudah ayat
ini diwahyukan, firman-Nya:
وَ قَالَ نُوۡحٌ رَّبِّ لَا تَذَرۡ عَلَی
الۡاَرۡضِ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ دَیَّارًا
﴿﴾ اِنَّکَ اِنۡ تَذَرۡہُمۡ یُضِلُّوۡا عِبَادَکَ وَ لَا
یَلِدُوۡۤا اِلَّا فَاجِرًا کَفَّارًا ﴿﴾
Dan Nuh berkata, “Hai Rabb (Tuhan) kami, janganlah
Engkau membiarkan di atas bumi penghuni dari orang-orang kafir.
sesungguhnya jika Engkau membiarkan juga
mereka, mereka akan menyesatkan
hamba-hamba Engkau dan mereka tidak
akan melahirkan kecuali orang-orang
berdosa lagi sangat kufur. (Nuh [72]:27-28).
Kasih-sayang Sempurna Nabi
Besar Muhammad Saw.
Nabi-nabi Allah sarat dengan nilai-nilai kebajikan manusiawi. Doa Nabi Nuh a.s.. menunjukkan bahwa perlawanan terhadap beliau tentu berlangsung sangat lama, gigih,
dan tidak kunjung berkurang, dan bahwa segala usaha beliau membawa kaum beliau kepada jalan lurus telah kandas dan gagal (QS.71:1-21) serta tidak ada
kemungkinan yang tinggal untuk penambahan
lebih lanjut jumlah pengikut beliau
yang sedikit
itu, dan pula bahwa para penentang
beliau telah melampaui batas-batas
yang wajar dalam menentang dan menganiaya beliau dengan para pengikut beliau, dan dalam berkecimpung
di dalam perbuatan-perbuatan jahat.
Keadaan telah begitu jauh sehingga seorang yang begitu berpembawaan kasih sayang seperti Nabi Nuh a.s. terpaksa mendoa buruk untuk kaum beliau.
Dalam keadaan yang sama sikap
Nabi Besar Muhammad saw. terhadap
para penentang beliau saw. yang jauh lebih zalim menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Dalam
pertempuran Uhud, ketika dua buah gigi beliau saw. patah dan beliau saw. terluka parah serta darah beliau saw. mengucur dengan derasnya, kata-kata yang
keluar dari mulut beliau saw. hanyalah: “Betapa
suatu kaum akan memperoleh keselamatan, sedang mereka telah melukai nabi mereka
dan melumuri mukanya dengan darah, karena kesalahan yang tidak lain selain ia
telah mengajak mereka kepada Tuhan. Ya, Tuhan-ku, ampunilah kiranya kaumku ini,
sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat” (Zurqani dan Hisyam).
Menurut ayat
yang sedang dibahas mengenai perintah pembuatan bahtera (perahu), Nabi Nuh a.s. telah diberi kabar tentang putusan Allah Swt. bahwa selanjutnya tidak seorang pun dari antara kaumnya akan beriman kepada beliau. Jadi doa beliau (QS.71:27-28) itu tidak lain selain tunduk kepada kehendak dan putusan
Allah Swt.. Apa yang
dimaksud dengan doa Nabi Nuha a.s. itu ialah bahwa semoga Allah Swt. melaksanakan apa yang diputuskan-Nya mengenai kehancuran kaum beliau.
Makna kata a’yun itu jamak dari ‘ain yang berarti: mata:
pandangan atau pemandangan; para penghuni sebuah rumah; perlindungan (Lexicon Lane), dengann demikian
makna firman-Nya: وَ اصۡنَعِ الۡفُلۡکَ
بِاَعۡیُنِنَا وَ وَحۡیِنَا -- “Dan buatlah
bahtera itu di hadapan pengawasan mata Kami
dan sesuai dengan wahyu Kami.” (QS.11:38), bahwa mulai
dari pembuatannya, berlayarnya dan berlabuhnya bahtera (perahu) Nabi Nuh a.s. tersebut benar-benar berada dalam bimbingan dan pengayoman
Allah Swt. melalui wahyu-Nya.
Seakan-akan Saling Mewasiatkan (Mewariskan) Tuduhan-tuduhan
Dusta
Karena Al-Quran bukanlah “kumpulan
dongeng kaum-kaum purbakala” --
sebagaimana anggapan orang-orang
jahiliyah -- oleh sebab itu kisah para Rasul Allah
serta kaum-kaum purbakala yang
dikemukakan Al-Quran di dalamnya bukan saja berisi petunjuk serta hikmah, tetapi juga merupakan nubuatan yang
akan terjadi lagi, baik di masa Nabi Besar Muhammad saw. maupun di Akhir Zaman ini, ketika Allah Swt. membangkitkan beliau saw. yang
kedua kali di kalangan kaum ākhirīna dalam
wujud Al-Masih Mau’ud a.s.
(QS.62:3-4) atau Rasul Akhir Zaman
(QS.61:10), dengan sebutan (nama)
yang berbeda-beda (berlainan) di
kalangan para pengikut agama-agama yang ada, firman-Nya:
کَذٰلِکَ مَاۤ اَتَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ مِّنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا
قَالُوۡا سَاحِرٌ اَوۡ مَجۡنُوۡنٌ ﴿ۚ﴾ اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ ﴿ۚ﴾ فَتَوَلَّ عَنۡہُمۡ
فَمَاۤ اَنۡتَ بِمَلُوۡمٍ ﴿﴾ وَّ ذَکِّرۡ فَاِنَّ الذِّکۡرٰی تَنۡفَعُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَ الۡاِنۡسَ اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾ مَاۤ اُرِیۡدُ
مِنۡہُمۡ مِّنۡ رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الۡقُوَّۃِ الۡمَتِیۡنُ ﴿﴾ فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا
ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ
فَلَا یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ ﴿﴾ فَوَیۡلٌ
لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ
یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ ﴿٪﴾
Demikianlah sekali-kali tidak pernah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul
melainkan mereka berkata: “Dia tukang
sihir, atau orang gila!” Adakah mereka saling mewasiatkan mengenai
itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum
pendurhaka. Maka berpalinglah dari mereka dan engkau tidak akan tercela. Dan berilah
selalu nasihat karena sesungguhnya
nasihat itu bermanfaat bagi
orang-orang beriman. Dan Aku sekali-kali tidak menciptakan jin dan
ins (manusia) melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki dari mereka,
dan tidak pula Aku menghendaki
supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya
Allah Dia-lah Pemberi rezeki,
Pemiliki
Kekuatan yang sangat kokoh. Maka
sesungguhnya bagi orang-orang yang
berbuat zalim ada balasan seperti balasan
teman-teman mereka, maka janganlah
mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu. Maka celakalah
bagi orang-orang yang ingkar kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt
[51]:53-61).
Begitu menyoloknya persamaan
tuduhan-tuduhan dusta atau fitnah-fitnah yang dilancarkan terhadap Nabi Besar Muhammad saw. dan para Mushlih
Rabbani (rasul Allah) lainnya oleh lawan-lawan mereka sepanjang
masa - termasuk di Akhir Zaman ini terhadap Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah
-- sehingga nampaknya orang-orang kafir dari abad
tertentu mewasiatkan atau mewariskan tuduhan-tuduhan
dusta itu kepada keturunan mereka, supaya terus
melancarkan lagi tuduhan-tuduhan dusta itu. Itulah makna ayat اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ
قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ -- “Adakah mereka saling mewasiatkan mengenai
itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum
pendurhaka.”
Kebenaran Ucapan
nabi Nuh a.s. di Akhir Zaman Ini
Karena Al-Quran bukan
"kumpulan dongeng kaum-kaum purbakala", maka pasti
peringatan keras Allah Swt. dalam
firman-Nya tersebut pasti terjadi lagi
di Akhir Zaman ini: فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا
ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ
فَلَا یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ -- Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang berbuat zalim ada balasan seperti balasan
teman-teman mereka, maka janganlah
mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu. فَوَیۡلٌ لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ -- Maka celakalah
bagi orang-orang yang ingkar kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt
[51]:60-61).
Dengan demikian ucapan
Nabi Nuh a.s. dalam firman Allah Swt. sebelum ini pun akan berulang lagi
di Akhir Zaman ini:
وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ
کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ
سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ اِنۡ
تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ
مِنۡکُمۡ کَمَا تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ
یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ وَ
یَحِلُّ عَلَیۡہِ عَذَابٌ
مُّقِیۡمٌ﴿﴾
Dan ia mulai
membuat bahtera itu, dan setiap kali
pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia, Nuh, berkata: “Jika
kini kamu mentertawakan kami maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu,
seperti kamu mentertawakan kami.
Maka segera kamu akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa
akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd
[11]:39-40).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 3 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar