Senin, 02 Juni 2014

Mereka "Yang Menertawakan" Rasul Allah dan Para Pengikutnya Menjadi Pihak "Yang Ditertawakan"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
 
 Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   228

Mereka yang “Mentertawakan” Rasul Allah dan Para Pengikutnya  Menjadi Pihak “Yang Ditertawakan”


Ki Langlang Buana Kusuma


D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   v penjelasan mengenai makna “kesturi    -- yakni ketakwaan kepada Allah Swt. -- sebagai meterai minuman surgawi yang campurannya tasnim, yang tanpa ketakwaan kepada Allah Swt. maka Al-Quran itu bagaikan “minuman” yang disegel (dimeterai), sehingga mustahil dapat membuka  khazanah-khazanah ruhani  tak terhingga yang terkandung di dalamnya, firman-Nya:
  اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ  وُجُوۡہِہِمۡ نَضۡرَۃَ  النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ  رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ  مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ  مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan  (abrār) benar-benar  dalam kenikmatan,    mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal  kesegaran nikmat itu pada wajah mereka.   Mereka akan diberi minum dari minuman  yang bermeterai,  meterainya kesturi. Dan  yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan  campurannya adalah tasnīm,   mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.  (Al-Muthaffifiin [83]:19-29).

Pentingnya peran Ketakwaan Kepada Allah Swt.

        Orang-orang yang  berusaha memahami Al-Quran tanpa didasari ketakwaan yang hakiki maka yang diperoleh bukannya petunjuk melainkan kesesatan  (QS.2:27; QS.3:8-9), karena itu peran wahyu Ilahi   -- yakni tasnim -- sangat besar sekali untuk memahami  serta memperoleh khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang tidak terbatas. Benarlah firman-Nya berikut ini:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ﴿ۙ﴾ فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan,  dan sesungguhnya itu benar-benar  kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui,  Sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia,   dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.  (Al-Wāqi’ah [56]:76-80).
      Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10) merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
     Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya. Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.   kepada dunia empat belas abad yang lalu, “telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun” (Sir Williams Muir).
   Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya (ayat 80).
   Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman, firman-Nya:
اَفَلَا یَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَ ؕ وَ لَوۡ  کَانَ مِنۡ عِنۡدِ غَیۡرِ اللّٰہِ لَوَجَدُوۡا فِیۡہِ اخۡتِلَافًا کَثِیۡرًا﴿﴾
Maka  tidakkah mereka ingin merenungkan Al-Quran? Dan seandainya  Al-Quran ini  berasal dari sisi yang bukan-Allah, niscaya mereka akan mendapati banyak pertentangan  di dalamnya. (An-Nisā [84]:83).
      Maksud  “bertentangan” dapat mengacu kepada pertentangan-pertentangan dalam teks Al-Quran dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya; atau kepada ketidakadaan persesuaian antara nubuatan-nubuatan yang tersebut dalam Al-Quran dengan hasil atau penggenapan nubuatan-nubuatan itu.

Orang yang Disucikan Allah Swt.” Bukan “Yang Menganggap Dirinya  Suci

     Kesempurnaan Al-Quran dalam segala seginya tersebut bagaikan sebuah “kitab catatan amal   yang di dalamnya  segala sesuatu telah “tercatat” secara lengkap dan terinci, firman-Nya:
 وَ وُضِعَ الۡکِتٰبُ فَتَرَی الۡمُجۡرِمِیۡنَ مُشۡفِقِیۡنَ  مِمَّا فِیۡہِ وَ یَقُوۡلُوۡنَ یٰوَیۡلَتَنَا مَالِ ہٰذَا الۡکِتٰبِ لَا یُغَادِرُ صَغِیۡرَۃً وَّ لَا کَبِیۡرَۃً  اِلَّاۤ  اَحۡصٰہَا ۚ وَ  وَجَدُوۡا مَا عَمِلُوۡا حَاضِرًا ؕ وَ لَا یَظۡلِمُ  رَبُّکَ  اَحَدًا ﴿٪ ﴾
Dan kitab amalannya akan diletakkan di hadapan mereka, maka engkau akan melihat orang-­orang yang berdosa itu ketakutan dari apa yang ada di dalamnya itu, dan mereka akan berkata: "Aduhai  celakalah kami! Kitab apakah ini? Ia tidak me-ninggalkan sesuatu, baik yang kecil maupun yang besar  melainkan telah mencatatnya."  Dan mereka menjumpai apa yang telah mereka kerjakan itu berada di hadapan mereka, dan  Rabb (Tuhan) engkau tidak menzalimi seorang pun. (Al-Kahf [18]:50).
   Atau,  ayat  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ  -- “Sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia, فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ  -- dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara” (Al-Wāqi’ah [56]:78-80) dapat diartikan,  bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
 Makna  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.”  Hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.
    Pendek kata itulah makna  atau hikmah  mengenai “minuman surgawi” yang campurannya “tasnim” dan disegel (dimeterai) dengan “kesturi” sebagai “minuman khusus” orang-orang yang “didekatkan kepada Allah Swt.”  yang terkandung dalam  firman-Nya: 
  اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ  وُجُوۡہِہِمۡ نَضۡرَۃَ  النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ  رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ  مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ  مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan  (abrār) benar-benar  dalam kenikmatan,    mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal  kesegaran nikmat itu pada wajah mereka.   Mereka akan diberi minum dari minuman  yang bermeterai,  meterainya kesturi. Dan  yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan  campurannya adalah tasnīm,   mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.  (Al-Muthaffifiin [83]:19-29).

Mereka yang Mentertawakan” Menjadi   Pihak yang Ditertawakan

    Bertolak belakang dengan keadaan  Al-Muqarrabūn  (orang-orang yang didekatkan) kepada Allah Swt.,  selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang mendustakan dan  memperolok-olok  para Rasul Allah dan para pengikutnya:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ اَجۡرَمُوۡا کَانُوۡا مِنَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا یَضۡحَکُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا  مَرُّوۡا بِہِمۡ یَتَغَامَزُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا  انۡقَلَبُوۡۤا  اِلٰۤی  اَہۡلِہِمُ  انۡقَلَبُوۡا فَکِہِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا رَاَوۡہُمۡ قَالُوۡۤا اِنَّ ہٰۤؤُلَآءِ لَضَآلُّوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ  مَاۤ  اُرۡسِلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  حٰفِظِیۡنَ ﴿ؕ﴾ فَالۡیَوۡمَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنَ الۡکُفَّارِ یَضۡحَکُوۡنَ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ ۙ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ہَلۡ  ثُوِّبَ الۡکُفَّارُ  مَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang berdosa biasa menertawakan    orang-orang yang beriman,  dan apabila mereka lewat di dekat mereka itu, mereka saling mengedipkan mata.   Dan apabila  mereka kembali kepada sanak-saudara mereka, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata, “Sesungguhnya  mereka itu pasti sesat!”   Dan mereka tidak diutus kepada mereka itu sebagai penjaga. Maka pada hari itu orang-orang mukmin terhadap orang-orang kafir akan menertawakan, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil  memandang. Bukankah orang-orang kafir  diganjar untuk apa yang senantiasa mereka kerjakan? (Al-Muthaffifīn [83]:30-37).
   Orang-orang kafir selalu  dengan diam-diam menertawakan nubuatan-nubuatan dalam Al-Quran mengenai penyebaran serta kemenangan Islam secara cepat, yang dikumandangkan Nabi Besar Muhammad saw.   pada saat ketika Islam sedang berjuang mati-matian mempertahankan wujudnya sendiri.
  Kata-kata  فَالۡیَوۡمَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنَ الۡکُفَّارِ یَضۡحَکُوۡنَ  -- “Maka pada hari itu orang-orang mukmin terhadap orang-orang kafir akan menertawakan, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil  memandang” ini berarti:
(1) sambil duduk di atas singgasana kemuliaan, orang-orang beriman akan menyaksikan nasib sedih yang akan menimpa orang-orang kafir sombong.
(2) sambil duduk di atas singgasana kekuasaan, mereka akan berlaku adil terhadap orang banyak,
(3) mereka akan menaruh perhatian layak terhadap keperluan orang lain, itu pula arti kata nazhara (Lexicon Lane).
    Nubuatan  (kabar gaib) atau Sunnatullah berkenaan “mereka yang mentertawakan” para Rasul Allah dan para pengikutnya  lalu  mereka  akan menjadi   pihak yang ditertawakan”, hal tersebut  dikemukakan pula oleh Nabi Nuh a.s. dalam firman-Nya berikut ini:
وَ اُوۡحِیَ  اِلٰی نُوۡحٍ اَنَّہٗ  لَنۡ یُّؤۡمِنَ مِنۡ قَوۡمِکَ اِلَّا مَنۡ قَدۡ اٰمَنَ فَلَا تَبۡتَئِسۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ﴿ۚۖ﴾ وَ اصۡنَعِ الۡفُلۡکَ بِاَعۡیُنِنَا وَ وَحۡیِنَا وَ لَا تُخَاطِبۡنِیۡ فِی الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ۚ اِنَّہُمۡ مُّغۡرَقُوۡنَ ﴿﴾ وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ  سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ  اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ  مِنۡکُمۡ کَمَا  تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ  وَ یَحِلُّ  عَلَیۡہِ  عَذَابٌ  مُّقِیۡمٌ﴿﴾
Dan telah diwahyukan kepada Nuh: “Tidak akan pernah beriman seorang pun dari kaum engkau  selain orang yang telah beriman sebelumnya maka janganlah engkau bersedih mengenai apa yang senantiasa mereka kerjakan.   Dan  buatlah bahtera itu di hadapan pengawasan mata   Kami dan  sesuai dengan wahyu Kami. Dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku mengenai orang yang zalim, se-sungguhnya mereka itu  akan ditenggelamkan.”    Dan ia mulai membuat bahtera itu, dan setiap kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia, Nuh, berkata:  Jika kini kamu mentertawakan kami maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu, seperti kamu mentertawakan kami. Maka segera kamu  akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd [11]:37-40).
       Doa Nabi Nuh a.s.  yang disinggung dalam QS.71:27-28 mengenai  kehancuran kaum beliau a.s. agaknya telah diucapkan sesudah ayat ini diwahyukan, firman-Nya:
وَ قَالَ نُوۡحٌ رَّبِّ لَا تَذَرۡ عَلَی الۡاَرۡضِ مِنَ  الۡکٰفِرِیۡنَ دَیَّارًا ﴿﴾  اِنَّکَ اِنۡ تَذَرۡہُمۡ یُضِلُّوۡا عِبَادَکَ وَ لَا یَلِدُوۡۤا  اِلَّا  فَاجِرًا کَفَّارًا ﴿﴾

Dan Nuh berkata, “Hai Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau membiarkan di atas bumi penghuni dari orang-orang kafir. sesungguhnya jika Engkau membiarkan juga mereka, mereka akan menyesatkan hamba-hamba Engkau dan mereka tidak akan melahirkan kecuali orang-orang berdosa lagi sangat kufur. (Nuh [72]:27-28).

Kasih-sayang Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.

  Nabi-nabi Allah sarat dengan nilai-nilai kebajikan manusiawi. Doa Nabi Nuh a.s..  menunjukkan bahwa perlawanan terhadap beliau tentu berlangsung sangat lama, gigih, dan tidak kunjung berkurang, dan bahwa segala usaha beliau membawa kaum beliau kepada jalan lurus telah kandas dan gagal (QS.71:1-21) serta tidak ada kemungkinan yang tinggal untuk penambahan lebih lanjut jumlah pengikut beliau yang   sedikit  itu, dan pula bahwa para penentang beliau telah melampaui batas-batas yang wajar dalam menentang dan menganiaya beliau dengan para pengikut beliau, dan dalam berkecimpung di dalam perbuatan-perbuatan jahat. Keadaan telah begitu jauh sehingga seorang yang begitu berpembawaan kasih sayang seperti Nabi Nuh a.s.   terpaksa mendoa buruk untuk kaum beliau.
   Dalam keadaan yang sama sikap Nabi Besar Muhammad saw.   terhadap para penentang beliau saw. yang jauh lebih zalim menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Dalam pertempuran Uhud, ketika dua buah gigi beliau saw. patah dan beliau saw. terluka parah serta darah beliau  saw. mengucur dengan derasnya, kata-kata yang keluar dari mulut beliau saw. hanyalah: “Betapa suatu kaum akan memperoleh keselamatan, sedang mereka telah melukai nabi mereka dan melumuri mukanya dengan darah, karena kesalahan yang tidak lain selain ia telah mengajak mereka kepada Tuhan. Ya, Tuhan-ku, ampunilah kiranya kaumku ini, sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat” (Zurqani dan Hisyam).
   Menurut ayat yang sedang dibahas mengenai perintah pembuatan bahtera (perahu), Nabi Nuh a.s.  telah diberi kabar tentang putusan Allah Swt.   bahwa selanjutnya tidak seorang pun dari antara kaumnya akan beriman kepada beliau. Jadi doa beliau (QS.71:27-28) itu tidak lain selain tunduk kepada kehendak dan putusan Allah Swt..   Apa yang dimaksud dengan doa  Nabi Nuha a.s. itu ialah  bahwa semoga Allah Swt.   melaksanakan apa yang diputuskan-Nya mengenai kehancuran kaum beliau.
     Makna kata a’yun itu jamak dari ‘ain yang berarti: mata: pandangan atau pemandangan; para penghuni sebuah rumah; perlindungan (Lexicon Lane), dengann demikian makna  firman-Nya:   وَ اصۡنَعِ الۡفُلۡکَ بِاَعۡیُنِنَا وَ وَحۡیِنَا   -- “Dan  buatlah bahtera itu di hadapan pengawasan mata   Kami dan  sesuai dengan wahyu Kami.” (QS.11:38), bahwa mulai dari pembuatannya, berlayarnya dan berlabuhnya bahtera (perahu) Nabi Nuh a.s. tersebut benar-benar berada dalam bimbingan dan  pengayoman Allah Swt. melalui wahyu-Nya.

Seakan-akan Saling Mewasiatkan (Mewariskan) Tuduhan-tuduhan Dusta

     Karena  Al-Quran bukanlah “kumpulan dongeng kaum-kaum purbakala  -- sebagaimana anggapan orang-orang jahiliyah  --  oleh sebab itu kisah para Rasul Allah serta kaum-kaum purbakala yang dikemukakan Al-Quran di dalamnya bukan saja berisi petunjuk serta hikmah,  tetapi juga merupakan nubuatan  yang akan  terjadi lagi,  baik di masa Nabi Besar Muhammad saw. maupun di Akhir Zaman ini, ketika Allah Swt. membangkitkan beliau saw. yang kedua kali di kalangan kaum ākhirīna dalam wujud Al-Masih Mau’ud a.s. (QS.62:3-4) atau Rasul Akhir Zaman (QS.61:10), dengan sebutan (nama) yang berbeda-beda (berlainan) di kalangan  para pengikut agama-agama yang ada,  firman-Nya:
کَذٰلِکَ مَاۤ  اَتَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ  مِّنۡ رَّسُوۡلٍ  اِلَّا  قَالُوۡا  سَاحِرٌ  اَوۡ مَجۡنُوۡنٌ ﴿ۚ﴾  اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ ﴿ۚ﴾  فَتَوَلَّ عَنۡہُمۡ  فَمَاۤ   اَنۡتَ بِمَلُوۡمٍ  ﴿﴾ وَّ  ذَکِّرۡ فَاِنَّ  الذِّکۡرٰی تَنۡفَعُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  ﴿﴾ وَ مَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَ الۡاِنۡسَ  اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾  مَاۤ  اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ  مِّنۡ  رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ  ذُو الۡقُوَّۃِ  الۡمَتِیۡنُ ﴿﴾ فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ  فَلَا یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ ﴿﴾  فَوَیۡلٌ  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ ﴿٪﴾
Demikianlah sekali-kali tidak pernah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul melainkan mereka berkata: “Dia tukang sihir, atau orang gila!”  Adakah mereka saling mewasiatkan  mengenai itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum pendurhaka.   Maka berpalinglah dari mereka dan engkau tidak akan tercela.   Dan berilah selalu nasihat karena sesungguhnya nasihat itu bermanfaat bagi  orang-orang  beriman. Dan Aku sekali-kali tidak menciptakan jin dan ins (manusia) melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.  Sesungguhnya  Allah Dia-lah Pemberi rezeki, Pemiliki  Kekuatan yang sangat kokoh.           Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang berbuat zalim ada balasan  seperti balasan teman-teman mereka, maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu.  Maka  celakalah bagi  orang-orang yang ingkar  kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt [51]:53-61). 
    Begitu menyoloknya persamaan tuduhan-tuduhan  dusta atau  fitnah-fitnah  yang dilancarkan terhadap  Nabi Besar Muhammad saw.  dan para Mushlih Rabbani  (rasul Allah)  lainnya oleh lawan-lawan mereka sepanjang masa   - termasuk di Akhir Zaman ini terhadap Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah --  sehingga nampaknya orang-orang kafir dari abad tertentu   mewasiatkan  atau mewariskan  tuduhan-tuduhan dusta  itu kepada keturunan mereka, supaya terus melancarkan lagi tuduhan-tuduhan dusta itu. Itulah makna ayat اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ  -- “Adakah mereka saling mewasiatkan  mengenai itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum pendurhaka.”

Kebenaran   Ucapan nabi Nuh a.s. di Akhir Zaman Ini

    Karena Al-Quran bukan "kumpulan dongeng kaum-kaum purbakala",  maka pasti  peringatan keras Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut  pasti terjadi lagi di Akhir Zaman ini:      فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ  فَلَا یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ  -- Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang berbuat zalim ada balasan  seperti balasan teman-teman mereka, maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu.   فَوَیۡلٌ  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ  -- Maka  celakalah bagi  orang-orang yang ingkar  kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt [51]:60-61).
  Dengan demikian    ucapan Nabi Nuh a.s. dalam firman Allah Swt. sebelum ini pun akan  berulang lagi di Akhir Zaman ini:
وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ  سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ  اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ  مِنۡکُمۡ کَمَا  تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ  وَ یَحِلُّ  عَلَیۡہِ  عَذَابٌ  مُّقِیۡمٌ﴿﴾
Dan ia mulai membuat bahtera itu, dan setiap kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia, Nuh, berkata:  Jika kini kamu mentertawakan kami  maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu, seperti kamu mentertawakan kami. Maka segera kamu  akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd [11]:39-40).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   3 Mei      2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar