بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 229
“Kekeramatan”
dalam Suluk (Jalan Ruhani) yang Dapat Menggelincirkan Salik (Penempuh Suluk) yang “Berhati Bengkok” dari Tauhid Ilahi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
persamaan tuduhan-tuduhan dusta
atau
fitnah-fitnah yang
dilancarkan terhadap Nabi Besar Muhammad
saw. dan para Mushlih Rabbani (rasul
Allah) lainnya oleh lawan-lawan mereka
sepanjang masa - termasuk di Akhir Zaman ini terhadap Pendiri
Jemaat Muslim Ahmadiyah --
sehingga nampaknya orang-orang
kafir dari abad tertentu mewasiatkan atau mewariskan tuduhan-tuduhan
dusta itu kepada keturunan mereka, supaya terus
melancarkan lagi tuduhan-tuduhan dusta itu. Itulah makna ayat اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ -- “Adakah mereka saling mewasiatkan mengenai
itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum
pendurhaka,” firman-Nya:
کَذٰلِکَ مَاۤ
اَتَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ
مِّنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا قَالُوۡا
سَاحِرٌ اَوۡ مَجۡنُوۡنٌ ﴿ۚ﴾ اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ ﴿ۚ﴾ فَتَوَلَّ عَنۡہُمۡ
فَمَاۤ اَنۡتَ بِمَلُوۡمٍ ﴿﴾ وَّ ذَکِّرۡ فَاِنَّ الذِّکۡرٰی تَنۡفَعُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَ الۡاِنۡسَ اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾ مَاۤ
اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ مِّنۡ رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ
ذُو الۡقُوَّۃِ الۡمَتِیۡنُ ﴿﴾ فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ
ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ فَلَا
یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ ﴿﴾ فَوَیۡلٌ لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ
یُوۡعَدُوۡنَ ﴿٪﴾
Demikianlah sekali-kali tidak pernah datang kepada orang-orang
sebelum mereka seorang rasul melainkan mereka berkata: “Dia tukang sihir, atau orang gila!” Adakah
mereka saling mewasiatkan mengenai
itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum
pendurhaka. Maka berpalinglah dari mereka dan engkau tidak akan tercela. Dan berilah
selalu nasihat karena sesungguhnya
nasihat itu bermanfaat bagi
orang-orang beriman. Dan Aku sekali-kali tidak menciptakan jin dan
ins (manusia) melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki dari mereka,
dan tidak pula Aku menghendaki
supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya
Allah Dia-lah Pemberi rezeki,
Pemiliki
Kekuatan yang sangat kokoh. Maka
sesungguhnya bagi orang-orang yang
berbuat zalim ada balasan seperti balasan
teman-teman mereka, maka janganlah
mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu. Maka celakalah
bagi orang-orang yang ingkar kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt
[51]:53-61).
Pengulangan Kebenaran Ucapan
Nabi Nuh a.s. di Akhir Zaman Ini
Karena Al-Quran bukan "kumpulan dongeng
kaum-kaum purbakala", maka pasti peringatan keras Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut pasti terjadi lagi di Akhir Zaman ini: فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ
ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ فَلَا
یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ --
Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang
berbuat zalim ada balasan seperti balasan
teman-teman mereka, maka janganlah
mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu. فَوَیۡلٌ لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ
یُوۡعَدُوۡنَ --
Maka celakalah bagi orang-orang yang ingkar kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt
[51]:60-61).
Dengan demikian
ucapan Nabi Nuh a.s.
dalam firman Allah Swt. sebelum ini pun akan berulang lagi di Akhir
Zaman ini:
وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ
عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ سَخِرُوۡا
مِنۡہُ ؕ قَالَ اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا
فَاِنَّا نَسۡخَرُ مِنۡکُمۡ کَمَا تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ وَ یَحِلُّ
عَلَیۡہِ عَذَابٌ مُّقِیۡمٌ﴿﴾
Dan ia mulai membuat bahtera itu, dan setiap kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia, Nuh,
berkata: “Jika kini kamu
mentertawakan kami maka saat itu
akan datang ketika kami pun akan
mentertawakan kamu, seperti kamu
mentertawakan kami. Maka segera
kamu akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa
akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd
[11]:39-40).
Jadi, betapa pernyataan Allah Swt. dalam Surah Al-Muthaffifīn mengenai kemuliaan
yang akan diperoleh para pengikut Rasul
Allah yang sebelumnya menjadi sasaran perolok-olokan dan berbagai bentuk
fitnah serta kezaliman pada akhirnya adalah benar adanya, firman-Nya:
اِنَّ
الَّذِیۡنَ اَجۡرَمُوۡا کَانُوۡا مِنَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا یَضۡحَکُوۡنَ
﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا مَرُّوۡا
بِہِمۡ یَتَغَامَزُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا
انۡقَلَبُوۡۤا اِلٰۤی اَہۡلِہِمُ
انۡقَلَبُوۡا فَکِہِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا رَاَوۡہُمۡ قَالُوۡۤا اِنَّ ہٰۤؤُلَآءِ
لَضَآلُّوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَاۤ
اُرۡسِلُوۡا عَلَیۡہِمۡ حٰفِظِیۡنَ
﴿ؕ﴾ فَالۡیَوۡمَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنَ الۡکُفَّارِ
یَضۡحَکُوۡنَ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ ۙ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ہَلۡ ثُوِّبَ
الۡکُفَّارُ مَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ
﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang berdosa biasa menertawakan orang-orang yang beriman, dan apabila mereka lewat di dekat mereka itu, mereka saling mengedipkan mata. Dan apabila mereka
kembali kepada sanak-saudara mereka, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata, “Sesungguhnya mereka
itu pasti sesat!” Dan mereka tidak diutus kepada mereka itu
sebagai penjaga. Maka pada hari itu orang-orang mukmin
terhadap orang-orang kafir akan
menertawakan, mereka duduk di
atas dipan-dipan sambil memandang. Bukankah orang-orang kafir diganjar untuk apa yang senantiasa mereka kerjakan? (Al-Muthaffifīn
[83]:30-37).
Pendek kata itulah makna atau hikmah
mengenai “minuman surgawi”
yang campurannya “tasnim” dan disegel (dimeterai) dengan “kesturi” sebagai “minuman khusus” orang-orang yang “didekatkan kepada Allah Swt.”
yang terkandung dalam firman-Nya:
اِنَّ الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾
عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾
تَعۡرِفُ فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ نَضۡرَۃَ النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ
رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ
مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾
وَ مِزَاجُہٗ مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan (abrār) benar-benar dalam kenikmatan,
mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal
kesegaran nikmat itu pada wajah mereka. Mereka
akan diberi minum dari minuman yang
bermeterai, meterainya kesturi.
Dan yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan campurannya
adalah tasnīm, mata
air yang minum darinya orang-orang
yang didekatkan kepada Allah.
(Al-Muthaffifiin [83]:19-29).
Jenis “minuman surgawi”
orang-orang “yang didekatkan” kepada
Allah Swt. – al-muqarrabūn -- tersebut
melengkapi jenis-jenis “minuman surgawi”
yang dikemukakan dalam Bab-bab sebelumnya, yaitu berupa “minuman
surgawi” yang campurannya “kafur”
dan “zanjabil“ dari “mata air surgawi” yang namanya “salsabil” (QS.76:6-23) -- yang melambangkan perkembangan kekuatan
ruhani para salik dalam menempuh suluk
(perjalanan ruhani) yang dilakukan oleh hamba-hamba
Allah dalam mendaki
tingkatan-tingkatan ketinggian maqam ruhani yang tiada terhingga guna meraih “kerinduan ruhani ” atau “kemabukan ruhani” untuk mencapi liqa-illāh
(perjumpaan dengan Allah Swt. – QS.84:7; QS.2:224; QS.11:20; QS.18:111); serta “sungai-sungai surgawi” berisi “air tawar”, “susu”, “khamar”, dan “madu” (QS.47:16) -- yang
melambangkan pertumbuhan atau perkembangan akhlak dan ruhani hamba-hamba Allah Swt..
Dua
Golongan “Penghuni Surga”
Sehubungan dengan perubahan posisi “orang-orang yang menertawakan” para Rasul Allah dan para pengikutnya menjadi pihak “orang-orang yang ditertawakan”,
berikut adalah firman Allah Swt. dalam
Surah Shad mengenai “pertengkaran”
di antara sesama mereka di akhirat:
ہٰذَا ذِکۡرٌ
ؕ وَ اِنَّ لِلۡمُتَّقِیۡنَ لَحُسۡنَ مَاٰبٍ ﴿ۙ﴾ جَنّٰتِ
عَدۡنٍ مُّفَتَّحَۃً لَّہُمُ الۡاَبۡوَابُ ﴿ۚ﴾ مُتَّکِـِٕیۡنَ فِیۡہَا یَدۡعُوۡنَ فِیۡہَا بِفَاکِہَۃٍ کَثِیۡرَۃٍ
وَّ شَرَابٍ ﴿﴾ وَ
عِنۡدَہُمۡ قٰصِرٰتُ الطَّرۡفِ اَتۡرَابٌ ﴿﴾ ہٰذَا
مَا تُوۡعَدُوۡنَ لِیَوۡمِ الۡحِسَابِ ﴿ؓ﴾
اِنَّ ہٰذَا
لَرِزۡقُنَا مَا لَہٗ مِنۡ
نَّفَادٍ ﴿ۚۖ﴾ ہٰذَا ؕ وَ اِنَّ
لِلطّٰغِیۡنَ لَشَرَّ مَاٰبٍ ﴿ۙ﴾ جَہَنَّمَ
ۚ یَصۡلَوۡنَہَا ۚ فَبِئۡسَ الۡمِہَادُ ﴿﴾ ہٰذَا
ۙ فَلۡیَذُوۡقُوۡہُ حَمِیۡمٌ وَّ غَسَّاقٌ
﴿ۙ﴾ وَّ اٰخَرُ
مِنۡ شَکۡلِہٖۤ اَزۡوَاجٌ ﴿ؕ﴾
Inilah
suatu peringatan, dan sesungguhnya bagi orang-orang bertakwa benar-benar sebaik-baik tempat kembali. Kebun-kebun
abadi yang pintu-pintunya selalu terbuka untuk mereka. Di
dalamnya mereka duduk bersandar, mereka di dalamnya me-minta berbagai buah-buahan yang
banyak dan minuman Dan di sisi
mereka ada jodoh-jodoh dengan
pandangan mereka tunduk, yang sebaya
umurnya. Inilah apa yang telah dijanjikan kepada kamu untuk Hari
Perhitung-an. Sesungguhnya ini benar-benar rezeki Kami yang tidak ada habis-habisnya. Inilah untuk orang-orang beriman.
Dan sesungguhnya untuk orang-orang
durhaka benar-benar seburuk-buruk
tempat-kembali, yaitu neraka Jahannam, mereka akan masuk ke dalamnya, maka alangkah buruknya tempat tinggal itu! Inilah balasan
mereka, maka mereka merasakannya, cairan mendidih dan minuman sangat dingin yang berbau
busuk, dan berbagai macam lainnya
yang serupa dengannya. (Shād
[38]:50-59).
Yang
dimaksud dengan “orang-orang bertakwa”
dalam ayat 51-54 adalah golongan “ahli
surga” yang
disebut as-sābiqūna sābiqūn (yang
benar-benar terdahulu) dalam melakukan jihad di jalan Allah Swt.
atau dalam mengarungi suluk
(perjalanan ruhani menuju Allah
Swt.), firman-Nya:
وَّ کُنۡتُمۡ
اَزۡوَاجًا ثَلٰثَۃً ؕ﴿﴾ فَاَصۡحٰبُ
الۡمَیۡمَنَۃِ ۬ۙ مَاۤ اَصۡحٰبُ
الۡمَیۡمَنَۃِ ؕ﴿﴾ وَ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ۬ۙ مَاۤ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ؕ﴿ ﴾ وَ
السّٰبِقُوۡنَ السّٰبِقُوۡنَ ﴿ۚۙ﴾ اُولٰٓئِکَ الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ۚ﴾ فِیۡ جَنّٰتِ النَّعِیۡمِ ﴿﴾ ثُلَّۃٌ مِّنَ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ
قَلِیۡلٌ مِّنَ الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿ؕ﴾ عَلٰی
سُرُرٍ مَّوۡضُوۡنَۃٍ ﴿ۙ﴾ مُّتَّکِـِٕیۡنَ عَلَیۡہَا مُتَقٰبِلِیۡنَ ﴿﴾ یَطُوۡفُ
عَلَیۡہِمۡ وِلۡدَانٌ مُّخَلَّدُوۡنَ ﴿ۙ﴾ بِاَکۡوَابٍ
وَّ اَبَارِیۡقَ ۬ۙ وَ کَاۡسٍ مِّنۡ مَّعِیۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا یُصَدَّعُوۡنَ عَنۡہَا وَ لَا یُنۡزِفُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ
فَاکِہَۃٍ مِّمَّا یَتَخَیَّرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَحۡمِ
طَیۡرٍ مِّمَّا یَشۡتَہُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ
حُوۡرٌ عِیۡنٌ ﴿ۙ﴾ کَاَمۡثَالِ اللُّؤۡلُؤَ الۡمَکۡنُوۡنِ ﴿ۚ﴾ جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ لَا
یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا وَّ
لَا تَاۡثِیۡمًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا ﴿﴾
Dan kamu menjadi tiga golongan.
Maka mereka yang di sebelah kanan, alangkah bahagianya mereka
yang di sebelah kanan itu! Dan mereka yang di sebelah kiri, alangkah celakanya mereka yang di sebelah kiri itu! Dan yang paling
dahulu, mereka benar-benar paling dahulu, Mereka
itulah orang-orang yang didekatkan kepada Tuhan. Mereka berada di dalam surga-surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang
terdahulu, dan segolongan
kecil dari orang-orang kemudian,
mereka di atas dipan bertatahkan emas
dan permata, bersandar
padanya sambil berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi
pemuda-pemuda yang dikekalkan dalam kebaikan, dengan membawa gelas,
cerek dan cangkir yang diisi dari mata
air. Mereka tidak akan
pening karenanya dan tidak pula mereka akan mabuk. Dan membawa buah-buahan yang mereka pilih, dan daging burung-burung yang mereka
inginkan, dan pasangan-pasangan yang bermata jeli, laksana
mutiara yang tersimpan baik.
Sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka kerjakan. Di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera.” (Al-Wāqi’ah
[56]:8-27).
Mengenai makna ayat فَاَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ۬ۙ مَاۤ اَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ -- “Maka mereka yang di sebelah kanan, alangkah bahagianya mereka yang di sebelah kanan itu!” Di tempat lain (QS.75:3) Al-Quran mengenakan
istilah “jiwa yang menyesali diri sendiri”
atau nafs-al-Lawwāmah kepada golongan orang-orang beriman golongan
kanan ini.
Sedangkan makna ayat وَ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ۬ۙ مَاۤ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ -- “dan mereka yang di sebelah kiri, alangkah celakanya mereka yang di sebelah kiri itu!” mengisyaratkan kepada tingkat nafs al-Ammārah – “Jiwa yang senantiasa menyuruh kepada kejahatan”(QS.12:54).
Mereka yang “Mabuk
Ruhaninya” Tidak benar
Makna ayat selanjutnya ؕ وَ السّٰبِقُوۡنَ
السّٰبِقُوۡنَ --
“Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu”
mengisyaratkan kepada keadaan ruhani yang disebut nafs-al-Muthmainnah
( Jiwa yang tenteram - QS.89:28). Sedangkan makna ayat
عَلٰی
سُرُرٍ مَّوۡضُوۡنَۃٍ --
“mereka di atas dipan bertatahkan emas
dan permata” یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ وِلۡدَانٌ
مُّخَلَّدُوۡنَ
-- Mereka dikelilingi
pemuda-pemuda yang
dikekalkan dalam kebaikan, بِاَکۡوَابٍ وَّ
اَبَارِیۡقَ ۬ۙ وَ کَاۡسٍ مِّنۡ مَّعِیۡنٍ -- dengan membawa gelas,
cerek dan cangkir yang diisi dari mata air.”
Ayat-ayat tersebut menggambarkan kemuliaan martabat para
ahli surga golongan وَ السّٰبِقُوۡنَ
السّٰبِقُوۡنَ --
“Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu”, sebab mereka itu bukan saja duduk di atas “dipan-dipan kemuliaan”, tetapi juga mereka pun mendapat pelayanan khusus dari “para pemuda” yang mengkhidmati mereka dengan membawa “minuman-minuman surgawi”
dari “sungai-sungai khamr (arak – QS.47:16)”, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut لَّا
یُصَدَّعُوۡنَ عَنۡہَا وَ لَا
یُنۡزِفُوۡنَ --
“mereka tidak akan pening karenanya,
dan tidak pula mereka
akan mabuk.”
Mengenai perlakuan khusus dari Allah Swt.
terhadap golongan ahli surga وَ السّٰبِقُوۡنَ
السّٰبِقُوۡنَ --
“Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu”, selanjutnya diterangkan
mengenai hidangan “makanan khusus dan
terpilih” bagi mereka,
firman-Nya:
وَ فَاکِہَۃٍ
مِّمَّا یَتَخَیَّرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَحۡمِ
طَیۡرٍ مِّمَّا یَشۡتَہُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ
حُوۡرٌ عِیۡنٌ ﴿ۙ﴾ کَاَمۡثَالِ اللُّؤۡلُؤَ الۡمَکۡنُوۡنِ ﴿ۚ﴾ جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ لَا
یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا وَّ
لَا تَاۡثِیۡمًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا قِیۡلًا
سَلٰمًا سَلٰمًا ﴿﴾
Dan membawa buah-buahan yang mereka pilih, dan daging burung-burung yang mereka
inginkan, dan pasangan-pasangan yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai ganjaran
atas apa yang telah mereka kerjakan. Di dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
melainkan hanya ucapan: “Selamat
sejahtera, selamat sejahtera.” (Al-Wāqi’ah
[56]:21-27).
Jadi, tanda hamba-hamba Allah
Swt. “ahli surga” yang mengalami keadaan “mabuk ruhani” atau “rindu ruhani”
atau keadaan mahzub yang hakiki
digambarkan dalam ayat tersebut لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا وَّ لَا
تَاۡثِیۡمًا -- “di
dalamnya mereka tidak mendengar ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa,
﴿ اِلَّا
قِیۡلًا سَلٰمًا سَلٰمًا -- melainkan hanya ucapan: “Selamat sejahtera, selamat sejahtera,” bukan pernyataan-pernyataan “nyleneh” yang tidak benar seperti para
penganut faham Wihdatul Wujud, yang karena
menganggap diri mereka telah “menjadi Tuhan” sehingga menurut mereka tidak perlu lagi mengamalkan ketentuan-ketentuan syariat.
“Kekeramatan” yang Menggelincirkan
Bagi para penganut aliran thariqah atau suluk
para Sufi yang biasa melakukan wirid-wirid tertentu, menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
r.a., pada satu tahapan suluk
tertentu orang-orang yang melaksanakannya akan mengalami suatu keadaan yang dapat menggelincirkannya
dari suluk (jalan ruhani) yang
dijalaninya, yaitu munculnya semacam “kekeramatan”
pada diri mereka, berupa terjadinya hal-hal yang di luar kebiasaan (hariqul- ‘adat), misalnya mampu berjalan di atas air, bahkan dapat terbang,
atau mengalami kasyf (terbuka
hijab).
Berdasarkan penelitian para pakar mengenai “dunia Sufi”, dijelaskan
bahwa dalam dunia sufi,
terdapat lima jenis kasyf (penyingkapan) yang sering terjadi pada para sufi:
- Kasyf ‘aqli – “penyingkapan melalui akal”. Kasyaf jenis Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah Swt. tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal (al-‘aql), karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap akhir kenaikan menuju Allah Swt..
Akal mempunyai dimensi rendah
karena itu tentu saja tidak akan bisa menjangkau Zat Yang Tidak Terhingga yang
mempunyai dimensi sangat tinggi.
Siapapun yang mencari Allah Swt. lewat akal tidak akan bisa menemukan Hakikat Allah yang sebenarnya: “Bumi
dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hati hamba-Ku yang lembut lagi
tenang yang sanggup memuat-Ku”, demikian pernyataan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam sebuah
hadits Qudsi.
- Kasyf-i arwah. Adalah bentuk penyingkapan ruh-ruh. Diawali tentang pengetahuan atas ruh diri sendiri, kemudian tentang ruh-ruh manusia dan makhluk lain, lalu meningkat ke ruh dalam seluruh dimensi “alam al-ghaib”. Puncak pada pengetahuan langsung ruh al-idhafi, dan diarahkan kepada al-Ruh al-Haqq.
- Kasyf Bashari atau juga kasyf kauni. Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk. Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan Allah. Dalam suatu peristiwa (tempat, tindakan, atau ucapan manusia) seorang yang suci bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini.
Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (Jamal) dan Keagungan (Jalal). Melalui makhlukNya,
Allah SWt. bisa mengungkapkan diri-Nya pada hamba-Nya
lewat salah satu Nama Keindahan-Nya
yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah peranan al-Asma’ al-husna atau al-asma’
al-nabi sangat strategis untuk mengantarkan dan membawa seorang sufi ke
dalam samudera penghayatan ruhaniah.
- Kasyf Imani yakni penyingkapan melalui keimanan. Penyingkapan ini terjadi melaui ketulusan iman seorang mukmin. Kadar intensitas penyingkapan ini bisa berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang mukmin untuk lebih banyak lagi mencari pengetahuan spritual.
- Al-kasyf al-Ilahi atau Penyingkapan Ilahi. Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan menghiasi hati dengan mengingat Allah (Dzikurullah). Prosesnya bisa melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya.
Penyingkapan Ilahi ini bisa terjadi secara
langsung dalam hati, tanpa bantuan visual apapun, yakni ketika keindahan Allah Swt. masuk ke dalam hati
seorang sufi dan pecinta-Nya. Ini juga bisa terjadi dengan bantuan visual berupa lokus tertentu bagi
Cahaya Ilahi, seperti dengan sarana wushuliyah
seorang suci (Mursyid), benda atau tempat suci.
Menghadirkan mursyid terus menerus dalam
hati ibarat menyambungkan listrik ke pusat sumber listrik sehingga listrik
mengalir dengan sempurna dan bisa dipergunakan untuk apa saja. Atau ibarat
menyambungkan sebuah pipa agar air bisa mengalir dari sumbernya dan
bisa dipergunakan menurut kebutuhan. Seseorang yang memperoleh penyingkapan ini akan Melihat Wajah Allah yang tercermin
melalui sarana hantaran yang ada, dan
terpantul ke dalam lubuk hati.
Dari semua tingkatan itu maka Al-kasyf
al-Ilahi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena pada tahap ini
seorang hamba bisa melihat dengan
jelas Tuhan-nya lewat hati yang bening dan tenang. Melihat Tuhan adalah puncak dari terbukanya hijab sedangkan kemampuan melihat hal-hal gaib lain
seperti malaikat, jin dan lain-lain adalah tingkatan dibawahnya begitu juga kemampuan membaca isi hati orang lain
adalah salah satu kemampuan yang di
dapat oleh orang yang sudah terbuka
hijabnya.
Ilmu Kasyf, Ilmu Laduni
dan kemampuan gaib adalah ilmu yang dimiliki oleh orang yang dekat dengan Allah Swt..
Kalau kita membuka cacatan sejarah akan kita jumpai banyak sekali kekeramatan yang dimiliki oleh para Wali Allah dan juga Ulama yang dekat
dengan-Nya. Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Yazid Al Bisthami, Rabi’ah Al
Adawiyah, Junaidi Al-Baghdadi, Abu Said Al-Kharaj, Imam AL-Ghazali adalah
orang-orang yang mempunyai kekeramatan
dan dicatat dalam sejarah Islam.
Kemampuan mereka bukan untuk ditampilkan
dengan penuh kesombongan akan tetapi
semata-mata sebagai sarana dakwah
untuk menambah keimanan orang. Bagi kaum Sufi,
terkadang mereka tidak pernah tahu tentang definisi
dan tingkatan kasyf akan tetapi
mereka sudah berada di alam kasyf dan
itu jauh lebih baik dari pada menghapal
definisi dan pembagian kasyf namun
tidak pernah sampai kepada alam-Nya.
Demikian
penjelasan salah seorang peneliti dunia
Sufi berkenaan berbagai pengalaman yang umumnya dialami oleh para penempuh suluk.
Penjelasan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam
Buku “Sirrul Asrār”
Berikut ini adalah keterangan
dari salah seorang pelaku suluk
yang thariqah (jalan tempuhan) yang dilakukannya sangat terkenal, yaitu Syeikh
Abdul Qadir Jailani ,dalam buku Sirrul-Asrār
(Hakikat Segala Rahasia Kehidupan), yang dari penjelasan dan pengalaman
beliau diketahui betapa “rumit dan peliknya” berbagai hal (keadaan ruhani) yang akan dialami oleh para penempuh suluk, sehingga dapat menyebabkan kesesatan bagi orang-orang yang berhati bengkok:
“Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan
meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati.
Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu
yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal. Orang yang
sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian roh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhamamd
saw. Dia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan yang dikasihi.
Allah
menggambarkan suasana ini: "Karena
Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang
yang diberi nikmat daripada nabi-nabi, siddiqin, syuhada dan salihin dan
Alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat rapat". (Surah Nisaa'
,ayat 69).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak
akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang
bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu
dhohir ialah surga; di sana semua
yang dapat dilihat adalah kenyataan sifat-sifat Ilahi dalam bentuk
cahaya. Tidak terkira bagaimana
sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian
dan mulia, yaitu kehampiran dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu kepada dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang
ke sana dengan menggunakan dua sayap,
yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang
ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya: "Hamba-Ku, jika kamu ingin masuk kepada
kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi
para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima
sifat-sifat-Ku yang suci".
Dunia kebendaan ini menjadi godaan
dan tipu daya syaitan kepada orang
yang berilmu. Alam malaikat menjadi rangsangan kepada orang yang bermakrifat, dan
suasana Sifat-sifat Ilahi menjadi godaan kepada orang yang memiliki kesadaran terhadap hakikat. Siapa yang berpuas hati dengan salah satu dari yang demikian akan
terhalang dari kurnia Allah yang
membawanya hampir dengan Zat-Nya.
Jika mereka tertarik dengan godaan dan rangsangan tersebut mereka akan berhenti,
mereka tidak bisa maju ke depan,
mereka tidak bisa terbang lebih
tinggi. Walaupun matlamat (tujuan)
mmereka adalah kehampiran dengan Pencipta, mereka tidak lagi bisa sampai ke sana. Mereka
telah terpedaya, mereka hanya memiliki
satu sayap.
Orang yang mencapai kesadaran tentang hakikat yang sebenarnya, menerima rahmat dan kurnia dari Allah yang tidak pernah mata melihatnya dan tidak
pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah hati mengetahui namanya.
Inilah surga kehampiran dan keakraban dengan Allah. Di sana tidak ada mahligai
permata juga tidak ada bidadari yang
cantik sebagai pasangan.
Semoga manusia mengetahui nilai dirinya dan tidak berkehendak, tidak menuntut apa yang tidak layak
baginya. Sayyidina Ali r.a berkata, "Semoga
Allah merahmati orang yang mengetahui harga dirinya, yang tahu menjaga diri
agar berada di dalam sempadannya, yang memelihara lidahnya, yang tidak
menghabiskan masanya dan umurnya di dalam sia-sia".
Orang yang berilmu mestilah menyedari bahwa bayi ruh yang lahir dalam hatinya
adalah pengenalan mengenai kemanusiaan yang sebenarnya, yaitu insan yang sejati. Dia patut mendidik bayi hati, mengajarkan Keesaan melalui berkesinambungan
(terus-menerus) menyadari tentang Keesaan - tinggalkan keduniaan kebendaan ini yang
berbilang-bilang, cari alam keruhanian,
alam rahasia di mana tidak yang lain kecuali Zat Allah.
Dalam kenyataannya di sana bukan tempat, ia tidak ada permulaan dan tidak ada penghujung. Bayi hati terbang mengaruhi padang yang tidak berkesudahan itu, menyaksikan
perkara-perkara yang tidak pernah
dilihat mata sebelumnya, tidak seorang pun yang bercerita
mengenainya, dan siapa pun tidak bisa menggambarkannya.
Tempat
(maqam) yang menjadi rumah kediaman
bagi mereka yang meninggalkan diri mereka
dan menemui Keesaan dengan Tuhan mereka, mereka yang memandang dengan pandangan yang sama dengan Tuhan
mereka, pandangan Keesaan. Bila
mereka menyaksikan keindahan dan kemuliaan Tuhan mereka, tidak ada apa
(sesuatu) lagi yang tinggal dengan mereka. Bila dia melihat matahari dia tidak dapat melihat yang
lain, dia juga tidak dapat melihat
dirinya sendiri.
Bila keindahan
dan kemurahan Allah menjadi nyata, apa lagi yang tinggal dengan seseorang?
Tidak ada apa-apa! Nabi saw bersabda, "Seseorang
perlu dilahirkan dua kali untuk sampai kepada alam malaikat". Ia
adalah kelahiran maksud dari perbuatan
dan kelahiran ruhani dari jasad.
Kemungkinan yang demikian ada dengan
manusia. Ini adalah keanehan (keajaiban)
rahasia manusia. Ia lahir
dari percampuran pengetahuan tentang agama
dan kesadaran terhadap hakikat, sebagaimana bayi lahir hasil dari percampuran dua tetes air: "Sesungguhnya Kami telah jadikan manusia
daripada setitik (mani) yang bercampur, yang Kami berikan cobaan kepada mereka,
yaitu Kami jadikan dia mendengar dan melihat". (Surah Insaan, ayat 2).
Bila maksud
menjadi nyata dalam kewujudan ia
menjadi mudah untuk melepaskan bagian
yang dangkal dan masuk ke dalam samudra penciptaan dan membenamkan dirinya ke dasar hukum-hukum peraturan Allah. Sekalian alam kebendaan ini hanyalah satu titik jika dibandingkan dengan alam kerahanian. Hanya bila semua ini difahami maka kuasa
keruhanian dan cahaya keajaiban
yang bersifat Ketuhanan, hakikat yang sebenar-benarnya, memancar ke dalam dunia tanpa perkataan tanpa suara.
Demikian peliknya berbagai keadaan ruhani yang digambarkan oleh Syeikh Abdul Qadir
Jailani dalam buku Sirrul Asrar tersebut,
sehingga bagi orang-orang yang “tidak
memiliki bakat keruhanian” dan “buta mata ruhaninya”, berbagai ungkapan
ruhani tingkat tinggi seperti itu
benar-benar akan merupakan “batu
sandungan” yang sangat mengelincirkan,
termasuk mereka yang mengaku penganut
berbagai “thariqah” para Sufi
besar, yang di antaranya munculnya golongan Wihdatul Wujud yang
karena kejahiliyahannya beranggapan bahwa diri mereka telah “menjadi Tuhan”.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 5
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar