Rabu, 04 Juni 2014

"Kekeramatan" dalam Suluk (Jalan Ruhani) yang Dapat Menggelincirkan Para Salik (Penempun Suluk) yang "Berhati Bengkok" dari "Tauhid Ilahi"




 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   229

“Kekeramatan” dalam   Suluk (Jalan Ruhani) yang Dapat Menggelincirkan  Salik  (Penempuh Suluk) yang “Berhati Bengkok” dari Tauhid Ilahi

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai  persamaan tuduhan-tuduhan  dusta atau  fitnah-fitnah  yang dilancarkan terhadap  Nabi Besar Muhammad saw.  dan para Mushlih Rabbani  (rasul Allah)  lainnya oleh lawan-lawan mereka sepanjang masa   - termasuk di Akhir Zaman ini terhadap Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah --  sehingga nampaknya orang-orang kafir dari abad tertentu   mewasiatkan  atau mewariskan  tuduhan-tuduhan dusta  itu kepada keturunan mereka, supaya terus melancarkan lagi tuduhan-tuduhan dusta itu. Itulah makna ayat اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ  -- “Adakah mereka saling mewasiatkan  mengenai itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum pendurhaka,” firman-Nya:
کَذٰلِکَ مَاۤ  اَتَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ  مِّنۡ رَّسُوۡلٍ  اِلَّا  قَالُوۡا  سَاحِرٌ  اَوۡ مَجۡنُوۡنٌ ﴿ۚ﴾  اَتَوَاصَوۡا بِہٖ ۚ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ ﴿ۚ﴾  فَتَوَلَّ عَنۡہُمۡ  فَمَاۤ   اَنۡتَ بِمَلُوۡمٍ  ﴿﴾ وَّ  ذَکِّرۡ فَاِنَّ  الذِّکۡرٰی تَنۡفَعُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  ﴿﴾ وَ مَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَ الۡاِنۡسَ  اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾  مَاۤ  اُرِیۡدُ مِنۡہُمۡ  مِّنۡ  رِّزۡقٍ وَّ مَاۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ یُّطۡعِمُوۡنِ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الرَّزَّاقُ  ذُو الۡقُوَّۃِ  الۡمَتِیۡنُ ﴿﴾ فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ  فَلَا یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ ﴿﴾  فَوَیۡلٌ  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ ﴿٪﴾
Demikianlah sekali-kali tidak pernah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul melainkan mereka berkata: “Dia tukang sihir, atau orang gila!”  Adakah mereka saling mewasiatkan  mengenai itu? Tidak, bahkan mereka itu semua kaum pendurhaka.   Maka berpalinglah dari mereka dan engkau tidak akan tercela.   Dan berilah selalu nasihat karena sesungguhnya nasihat itu bermanfaat bagi  orang-orang  beriman. Dan Aku sekali-kali tidak menciptakan jin dan ins (manusia) melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.  Sesungguhnya  Allah Dia-lah Pemberi rezeki, Pemiliki  Kekuatan yang sangat kokoh. Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang berbuat zalim ada balasan  seperti balasan teman-teman mereka, maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu.  Maka  celakalah bagi  orang-orang yang ingkar  kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt [51]:53-61). 

Pengulangan Kebenaran   Ucapan Nabi Nuh a.s. di Akhir Zaman Ini

    Karena Al-Quran bukan "kumpulan dongeng kaum-kaum purbakala",  maka pasti  peringatan keras Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut  pasti terjadi lagi di Akhir Zaman ini:      فَاِنَّ لِلَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ذَنُوۡبًا مِّثۡلَ ذَنُوۡبِ اَصۡحٰبِہِمۡ  فَلَا یَسۡتَعۡجِلُوۡنِ  -- Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang berbuat zalim ada balasan  seperti balasan teman-teman mereka, maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakan azab itu.   فَوَیۡلٌ  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا مِنۡ یَّوۡمِہِمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ  -- Maka  celakalah bagi  orang-orang yang ingkar  kepada Hari mereka yang dijanjikan. (Adz-Dzāriyāt [51]:60-61).
  Dengan demikian    ucapan Nabi Nuh a.s. dalam firman Allah Swt. sebelum ini pun akan  berulang lagi di Akhir Zaman ini:
وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ  سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ  اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ  مِنۡکُمۡ کَمَا  تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ  وَ یَحِلُّ  عَلَیۡہِ  عَذَابٌ  مُّقِیۡمٌ﴿﴾
Dan ia mulai membuat bahtera itu, dan setiap kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia, Nuh, berkata:  Jika kini kamu mentertawakan kami  maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu, seperti kamu mentertawakan kami. Maka segera kamu  akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd [11]:39-40).
       Jadi, betapa pernyataan Allah Swt. dalam   Surah Al-Muthaffifīn  mengenai kemuliaan yang akan diperoleh para pengikut Rasul Allah  yang sebelumnya  menjadi sasaran perolok-olokan dan berbagai bentuk  fitnah serta kezaliman pada akhirnya  adalah benar adanya, firman-Nya:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ اَجۡرَمُوۡا کَانُوۡا مِنَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا یَضۡحَکُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا  مَرُّوۡا بِہِمۡ یَتَغَامَزُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا  انۡقَلَبُوۡۤا  اِلٰۤی  اَہۡلِہِمُ  انۡقَلَبُوۡا فَکِہِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اِذَا رَاَوۡہُمۡ قَالُوۡۤا اِنَّ ہٰۤؤُلَآءِ لَضَآلُّوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ  مَاۤ  اُرۡسِلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  حٰفِظِیۡنَ ﴿ؕ﴾ فَالۡیَوۡمَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنَ الۡکُفَّارِ یَضۡحَکُوۡنَ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ ۙ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ہَلۡ  ثُوِّبَ الۡکُفَّارُ  مَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang berdosa biasa menertawakan    orang-orang yang beriman,  dan apabila mereka lewat di dekat mereka itu, mereka saling mengedipkan mata.   Dan apabila  mereka kembali kepada sanak-saudara mereka, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata, “Sesungguhnya  mereka itu pasti sesat!”   Dan mereka tidak diutus kepada mereka itu sebagai penjaga. Maka pada hari itu orang-orang mukmin terhadap orang-orang kafir akan menertawakan, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil  memandang. Bukankah orang-orang kafir  diganjar untuk apa yang senantiasa mereka kerjakan? (Al-Muthaffifīn [83]:30-37).
    Pendek kata itulah makna  atau hikmah  mengenai “minuman surgawi” yang campurannya “tasnim” dan disegel (dimeterai) dengan “kesturi” sebagai “minuman khusus” orang-orang yang “didekatkan kepada Allah Swt.”  yang terkandung dalam  firman-Nya: 
  اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ لَفِیۡ نَعِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَلَی الۡاَرَآئِکِ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ تَعۡرِفُ فِیۡ  وُجُوۡہِہِمۡ نَضۡرَۃَ  النَّعِیۡمِ ﴿ۚ﴾ یُسۡقَوۡنَ مِنۡ  رَّحِیۡقٍ مَّخۡتُوۡمٍ ﴿ۙ﴾ خِتٰمُہٗ  مِسۡکٌ ؕ وَ فِیۡ ذٰلِکَ فَلۡیَتَنَافَسِ الۡمُتَنَافِسُوۡنَ ﴿ؕ﴾ وَ مِزَاجُہٗ  مِنۡ تَسۡنِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا الۡمُقَرَّبُوۡنَ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan  (abrār) benar-benar  dalam kenikmatan,  mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat mengenal  kesegaran nikmat itu pada wajah mereka.   Mereka akan diberi minum dari minuman  yang bermeterai,  meterainya kesturi. Dan  yang demikian itu mereka yang menginginkan hendaknya menginginkannya. Dan  campurannya adalah tasnīm,   mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.  (Al-Muthaffifiin [83]:19-29).
        Jenis “minuman surgawi” orang-orang “yang didekatkan” kepada Allah Swt.    al-muqarrabūn  -- tersebut melengkapi jenis-jenis “minuman surgawi” yang dikemukakan dalam Bab-bab sebelumnya, yaitu berupa   minuman surgawi” yang campurannya “kafur” dan “zanjabil“ dari “mata air surgawi” yang namanya “salsabil” (QS.76:6-23)    -- yang melambangkan perkembangan  kekuatan ruhani  para salik dalam menempuh suluk (perjalanan ruhani) yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah dalam mendaki tingkatan-tingkatan ketinggian maqam  ruhani yang tiada terhingga guna meraih “kerinduan ruhani ” atau “kemabukan ruhani” untuk  mencapi liqa-illāh (perjumpaan dengan Allah Swt. – QS.84:7; QS.2:224; QS.11:20; QS.18:111);  serta “sungai-sungai  surgawi” berisi “air tawar”, “susu”, “khamar”, dan “madu” (QS.47:16)  -- yang melambangkan pertumbuhan  atau perkembangan akhlak dan ruhani hamba-hamba Allah Swt..

Dua  Golongan “Penghuni Surga” 

       Sehubungan dengan  perubahan posisi “orang-orang yang menertawakan” para Rasul Allah  dan para pengikutnya menjadi pihak “orang-orang yang ditertawakan”, berikut  adalah firman Allah Swt. dalam Surah Shad  mengenai “pertengkaran” di antara sesama mereka di akhirat:
ہٰذَا  ذِکۡرٌ ؕ وَ  اِنَّ  لِلۡمُتَّقِیۡنَ لَحُسۡنَ مَاٰبٍ ﴿ۙ﴾  جَنّٰتِ عَدۡنٍ مُّفَتَّحَۃً  لَّہُمُ  الۡاَبۡوَابُ ﴿ۚ﴾  مُتَّکِـِٕیۡنَ  فِیۡہَا یَدۡعُوۡنَ فِیۡہَا بِفَاکِہَۃٍ  کَثِیۡرَۃٍ   وَّ  شَرَابٍ ﴿﴾  وَ عِنۡدَہُمۡ  قٰصِرٰتُ الطَّرۡفِ  اَتۡرَابٌ ﴿﴾  ہٰذَا مَا تُوۡعَدُوۡنَ  لِیَوۡمِ الۡحِسَابِ ﴿ؓ﴾   اِنَّ  ہٰذَا  لَرِزۡقُنَا مَا  لَہٗ  مِنۡ  نَّفَادٍ  ﴿ۚۖ﴾ ہٰذَا ؕ وَ  اِنَّ  لِلطّٰغِیۡنَ  لَشَرَّ  مَاٰبٍ ﴿ۙ﴾  جَہَنَّمَ ۚ یَصۡلَوۡنَہَا ۚ فَبِئۡسَ الۡمِہَادُ ﴿﴾  ہٰذَا ۙ فَلۡیَذُوۡقُوۡہُ حَمِیۡمٌ  وَّ غَسَّاقٌ ﴿ۙ﴾  وَّ اٰخَرُ  مِنۡ شَکۡلِہٖۤ  اَزۡوَاجٌ ﴿ؕ﴾
Inilah suatu peringatan,  dan sesungguhnya bagi orang-orang bertakwa benar-benar sebaik-baik tempat kembali.   Kebun-kebun abadi yang   pintu-pintunya selalu terbuka untuk mereka.    Di dalamnya mereka duduk  bersandar, mereka di dalamnya me-minta berbagai buah-buahan yang banyak dan minuman Dan di sisi mereka  ada  jodoh-jodoh dengan pandangan mereka tunduk, yang sebaya umurnya.   Inilah apa yang telah dijanjikan kepada kamu untuk  Hari Perhitung-an.  Sesungguhnya ini benar-benar rezeki Kami yang tidak ada habis-habisnya. Inilah untuk orang-orang beriman. Dan sesungguhnya untuk orang-orang durhaka benar-benar seburuk-buruk tempat-kembali,   yaitu neraka Jahannam, mereka akan masuk ke dalamnya, maka alangkah buruknya tempat tinggal itu!  Inilah balasan mereka, maka   mereka merasakannya, cairan mendidih dan minuman sangat dingin yang berbau busuk, dan berbagai macam lainnya yang  serupa   dengannya. (Shād [38]:50-59).
       Yang dimaksud dengan “orang-orang bertakwa” dalam ayat 51-54 adalah golongan “ahli surga   yang disebut as-sābiqūna sābiqūn (yang  benar-benar terdahulu) dalam melakukan jihad di jalan Allah Swt. atau dalam mengarungi suluk  (perjalanan  ruhani menuju Allah Swt.), firman-Nya:
وَّ کُنۡتُمۡ  اَزۡوَاجًا  ثَلٰثَۃً ؕ﴿﴾  فَاَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ۬ۙ مَاۤ  اَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ؕ﴿﴾  وَ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ۬ۙ مَاۤ  اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ؕ﴿ ﴾  وَ السّٰبِقُوۡنَ  السّٰبِقُوۡنَ ﴿ۚۙ﴾  اُولٰٓئِکَ  الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ۚ﴾  فِیۡ  جَنّٰتِ النَّعِیۡمِ ﴿﴾  ثُلَّۃٌ  مِّنَ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ قَلِیۡلٌ  مِّنَ الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿ؕ﴾  عَلٰی سُرُرٍ مَّوۡضُوۡنَۃٍ ﴿ۙ﴾  مُّتَّکِـِٕیۡنَ عَلَیۡہَا مُتَقٰبِلِیۡنَ ﴿﴾  یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ  وِلۡدَانٌ   مُّخَلَّدُوۡنَ ﴿ۙ﴾  بِاَکۡوَابٍ وَّ اَبَارِیۡقَ ۬ۙ وَ کَاۡسٍ مِّنۡ مَّعِیۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یُصَدَّعُوۡنَ عَنۡہَا وَ لَا  یُنۡزِفُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ فَاکِہَۃٍ   مِّمَّا یَتَخَیَّرُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ  لَحۡمِ  طَیۡرٍ  مِّمَّا یَشۡتَہُوۡنَ ﴿ؕ﴾  وَ حُوۡرٌ عِیۡنٌ ﴿ۙ﴾  کَاَمۡثَالِ اللُّؤۡلُؤَ  الۡمَکۡنُوۡنِ ﴿ۚ﴾  جَزَآءًۢ  بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾  لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا  وَّ لَا  تَاۡثِیۡمًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا  قِیۡلًا  سَلٰمًا سَلٰمًا ﴿﴾
Dan kamu menjadi tiga golongan.   Maka mereka yang di sebelah kanan, alangkah bahagianya mereka yang di sebelah kanan itu!  Dan mereka yang di sebelah kiri, alangkah celakanya mereka yang di sebelah kiri itu!  Dan yang paling dahulu, mereka benar-benar paling dahulu,   Mereka itulah orang-orang yang didekatkan  kepada Tuhan.  Mereka berada di dalam surga-surga kenikmatan. Segolongan besar dari  orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang kemudian, mereka di atas dipan bertatahkan emas dan permata,    bersandar padanya  sambil berhadap-hadapan.   Mereka  dikelilingi pemuda-pemuda yang dikekalkan dalam kebaikan,   dengan membawa  gelas, cerek dan cangkir yang diisi dari mata air.  Mereka tidak akan pening karenanya   dan tidak pula mereka akan mabuk.  Dan membawa buah-buahan yang mereka pilih, dan daging burung-burung yang  mereka  inginkan, dan pasangan-pasangan   yang bermata jeli,  laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai  ganjaran atas apa yang telah mereka kerjakan.  Di dalamnya mereka tidak   mendengar  ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa, melainkan hanya ucapan: “Selamat sejahtera, selamat sejahtera.” (Al-Wāqi’ah [56]:8-27).
   Mengenai makna ayat   فَاَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ ۬ۙ مَاۤ  اَصۡحٰبُ الۡمَیۡمَنَۃِ -- “Maka mereka yang di sebelah kanan, alangkah bahagianya mereka yang di sebelah kanan itu!”  Di tempat lain (QS.75:3) Al-Quran mengenakan istilah “jiwa yang menyesali diri sendiri” atau nafs-al-Lawwāmah  kepada golongan orang-orang beriman  golongan kanan ini.
 Sedangkan  makna ayat وَ اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ ۬ۙ مَاۤ  اَصۡحٰبُ الۡمَشۡـَٔمَۃِ  -- “dan mereka yang di sebelah kiri, alangkah celakanya mereka yang di sebelah kiri itu!”   mengisyaratkan kepada tingkat nafs al-Ammārah – “Jiwa yang senantiasa menyuruh kepada kejahatan”(QS.12:54).

Mereka yang “Mabuk Ruhaninya” Tidak benar

 Makna ayat selanjutnya  ؕ وَ السّٰبِقُوۡنَ  السّٰبِقُوۡنَ --  “Dan yang paling dahulu,  mereka benar-benar paling dahulu” mengisyaratkan kepada  keadaan ruhani yang disebut  nafs-al-Muthmainnah ( Jiwa yang tenteram  -  QS.89:28). Sedangkan  makna ayat    عَلٰی سُرُرٍ مَّوۡضُوۡنَۃٍ   -- “mereka di atas dipan bertatahkan emas dan permata”   یَطُوۡفُ عَلَیۡہِمۡ  وِلۡدَانٌ   مُّخَلَّدُوۡنَ  --  Mereka  dikelilingi pemuda-pemuda yang dikekalkan dalam kebaikan,   بِاَکۡوَابٍ وَّ اَبَارِیۡقَ ۬ۙ وَ کَاۡسٍ مِّنۡ مَّعِیۡنٍ  -- dengan membawa  gelas, cerek dan cangkir yang diisi dari mata air.”          
  Ayat-ayat tersebut menggambarkan kemuliaan martabat para ahli surga golongan    وَ السّٰبِقُوۡنَ  السّٰبِقُوۡنَ --  “Dan yang paling dahulu,  mereka benar-benar paling dahulu”, sebab   mereka itu bukan saja duduk di atas “dipan-dipan kemuliaan”, tetapi juga mereka pun mendapat pelayanan khusus  dari “para pemuda” yang mengkhidmati mereka dengan membawa “minuman-minuman surgawi  dari “sungai-sungai khamr (arak – QS.47:16)”,  sebagaimana dijelaskan lebih lanjut   لَّا  یُصَدَّعُوۡنَ عَنۡہَا وَ لَا  یُنۡزِفُوۡنَ  -- “mereka tidak akan pening karenanya,  dan tidak pula mereka akan mabuk.”
   Mengenai perlakuan khusus dari Allah Swt. terhadap golongan ahli surga  وَ السّٰبِقُوۡنَ  السّٰبِقُوۡنَ --  “Dan yang paling dahulu,  mereka benar-benar paling dahulu”, selanjutnya diterangkan mengenai hidangan “makanan khusus dan terpilih” bagi mereka, firman-Nya:   
وَ فَاکِہَۃٍ   مِّمَّا یَتَخَیَّرُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ  لَحۡمِ  طَیۡرٍ  مِّمَّا یَشۡتَہُوۡنَ ﴿ؕ﴾  وَ حُوۡرٌ عِیۡنٌ ﴿ۙ﴾  کَاَمۡثَالِ اللُّؤۡلُؤَ  الۡمَکۡنُوۡنِ ﴿ۚ﴾  جَزَآءًۢ  بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾  لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا  وَّ لَا  تَاۡثِیۡمًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا  قِیۡلًا  سَلٰمًا سَلٰمًا ﴿﴾
Dan membawa buah-buahan yang mereka pilih, dan daging burung-burung yang  mereka  inginkan, dan pasangan-pasangan   yang bermata jeli,    laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai  ganjaran atas apa yang telah mereka kerjakan.    Di dalamnya mereka tidak   mendengar  ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa, melainkan hanya ucapan: “Selamat sejahtera, selamat sejahtera.” (Al-Wāqi’ah [56]:21-27).
      Jadi, tanda hamba-hamba Allah Swt.  ahli surga” yang mengalami keadaan “mabuk ruhani” atau “rindu ruhani” atau  keadaan mahzub  yang hakiki digambarkan dalam ayat tersebut   لَا یَسۡمَعُوۡنَ فِیۡہَا لَغۡوًا  وَّ لَا  تَاۡثِیۡمًا  -- “di dalamnya mereka tidak   mendengar  ucapan sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa, ﴿   اِلَّا  قِیۡلًا  سَلٰمًا سَلٰمًا  -- melainkan hanya ucapan: “Selamat sejahtera, selamat sejahtera,” bukan pernyataan-pernyataan “nyleneh” yang tidak benar seperti para penganut faham Wihdatul Wujud,  yang karena  menganggap diri mereka telah “menjadi Tuhan” sehingga  menurut mereka tidak perlu lagi mengamalkan  ketentuan-ketentuan  syariat.

“Kekeramatan” yang Menggelincirkan

       Bagi para penganut aliran thariqah atau suluk para Sufi  yang biasa melakukan wirid-wirid  tertentu, menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a., pada satu tahapan suluk tertentu orang-orang yang melaksanakannya akan mengalami suatu   keadaan yang dapat menggelincirkannya   dari   suluk  (jalan ruhani) yang dijalaninya, yaitu munculnya semacam “kekeramatan” pada diri mereka, berupa terjadinya hal-hal yang di luar kebiasaan (hariqul- ‘adat), misalnya mampu berjalan di atas air, bahkan dapat terbang,  atau mengalami kasyf (terbuka hijab).   
        Berdasarkan penelitian para pakar  mengenai “dunia Sufi”,  dijelaskan  bahwa dalam dunia sufi, terdapat lima jenis  kasyf (penyingkapan) yang sering terjadi pada para sufi:
  1. Kasyf ‘aqli – “penyingkapan melalui akal”. Kasyaf jenis Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah Swt. tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal (al-‘aql), karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap akhir kenaikan menuju Allah Swt..
Akal mempunyai dimensi rendah karena itu tentu saja tidak akan bisa menjangkau Zat Yang Tidak Terhingga yang mempunyai dimensi sangat tinggi. Siapapun yang mencari Allah  Swt. lewat akal tidak akan bisa menemukan Hakikat Allah yang sebenarnya: “Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hati hamba-Ku yang lembut lagi tenang yang sanggup memuat-Ku”, demikian pernyataan Allah Swt.  kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam sebuah hadits Qudsi.
  1. Kasyf-i arwah. Adalah bentuk penyingkapan ruh-ruh. Diawali tentang pengetahuan atas ruh diri sendiri, kemudian tentang ruh-ruh manusia dan makhluk lain, lalu meningkat ke ruh dalam seluruh dimensi “alam al-ghaib”. Puncak pada pengetahuan langsung ruh al-idhafi, dan diarahkan kepada al-Ruh al-Haqq.
  2. Kasyf Bashari atau  juga kasyf kauni. Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk. Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan Allah. Dalam suatu peristiwa (tempat, tindakan, atau ucapan manusia) seorang yang suci bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini.
Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (Jamal) dan Keagungan (Jalal). Melalui makhlukNya, Allah  SWt. bisa mengungkapkan diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah peranan al-Asma’ al-husna atau al-asma’ al-nabi sangat strategis untuk mengantarkan dan membawa seorang sufi ke dalam samudera penghayatan ruhaniah.
  1. Kasyf Imani yakni penyingkapan melalui keimanan. Penyingkapan ini terjadi melaui ketulusan iman seorang mukmin. Kadar intensitas penyingkapan ini bisa berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang mukmin untuk lebih banyak lagi mencari  pengetahuan spritual.
  2. Al-kasyf al-Ilahi atau Penyingkapan Ilahi. Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan menghiasi hati dengan mengingat Allah (Dzikurullah). Prosesnya bisa melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya.
         Penyingkapan Ilahi ini bisa terjadi secara langsung dalam hati, tanpa bantuan visual apapun, yakni ketika keindahan Allah Swt. masuk ke dalam hati seorang sufi dan pecinta-Nya. Ini juga bisa terjadi dengan bantuan visual berupa lokus tertentu bagi Cahaya Ilahi, seperti dengan sarana wushuliyah seorang suci (Mursyid), benda atau tempat suci. 
         Menghadirkan mursyid terus menerus dalam hati ibarat menyambungkan listrik ke pusat sumber listrik sehingga listrik mengalir dengan sempurna dan bisa dipergunakan untuk apa saja. Atau ibarat menyambungkan sebuah pipa agar air bisa mengalir dari sumbernya dan bisa dipergunakan menurut kebutuhan. Seseorang yang memperoleh penyingkapan ini akan Melihat Wajah Allah yang tercermin melalui sarana hantaran yang ada, dan terpantul ke dalam lubuk hati.
          Dari semua tingkatan itu maka Al-kasyf al-Ilahi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena pada tahap ini seorang hamba bisa melihat dengan jelas Tuhan-nya lewat hati yang bening dan tenang. Melihat Tuhan adalah puncak dari terbukanya hijab sedangkan kemampuan melihat hal-hal gaib lain seperti malaikat, jin dan lain-lain adalah tingkatan dibawahnya begitu juga kemampuan membaca isi hati orang lain adalah salah satu kemampuan yang di dapat oleh orang yang sudah terbuka hijabnya.
        Ilmu Kasyf, Ilmu Laduni dan kemampuan gaib adalah ilmu yang dimiliki oleh orang yang dekat dengan Allah Swt.. Kalau kita membuka cacatan sejarah akan kita jumpai banyak sekali kekeramatan yang dimiliki oleh para Wali Allah dan juga Ulama yang dekat dengan-Nya. Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Yazid Al Bisthami, Rabi’ah Al Adawiyah, Junaidi Al-Baghdadi, Abu Said Al-Kharaj, Imam AL-Ghazali  adalah orang-orang yang mempunyai kekeramatan dan dicatat dalam sejarah Islam.
       Kemampuan mereka bukan untuk ditampilkan dengan penuh kesombongan akan tetapi semata-mata sebagai sarana dakwah untuk menambah keimanan orang.  Bagi kaum Sufi, terkadang mereka tidak pernah tahu tentang definisi dan tingkatan kasyf akan tetapi mereka sudah berada di alam kasyf dan itu jauh lebih baik dari pada menghapal definisi dan pembagian kasyf namun tidak pernah sampai kepada alam-Nya.
      Demikian  penjelasan salah seorang peneliti dunia Sufi berkenaan  berbagai pengalaman  yang umumnya dialami oleh para penempuh suluk.

Penjelasan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani  dalam  Buku “Sirrul Asrār

        Berikut ini adalah keterangan  dari salah seorang pelaku suluk   yang thariqah  (jalan tempuhan) yang dilakukannya  sangat terkenal,   yaitu Syeikh Abdul Qadir Jailani ,dalam buku Sirrul-Asrār (Hakikat Segala Rahasia Kehidupan), yang dari penjelasan dan pengalaman beliau  diketahui betapa “rumit dan peliknya” berbagai hal  (keadaan ruhani) yang akan dialami oleh para penempuh suluk, sehingga dapat menyebabkan kesesatan bagi  orang-orang yang berhati bengkok:
        “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
        Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal. Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian roh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhamamd saw. Dia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan yang dikasihi.
Allah menggambarkan suasana ini: "Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat daripada nabi-nabi, siddiqin, syuhada dan salihin dan Alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat rapat". (Surah Nisaa' ,ayat 69).    
       Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya. Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu kepada dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa sahaja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya: "Hamba-Ku, jika kamu ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima sifat-sifat-Ku yang suci".
       Dunia kebendaan ini menjadi godaan dan tipu daya syaitan kepada orang yang berilmu. Alam malaikat menjadi rangsangan kepada orang yang bermakrifat,  dan suasana Sifat-sifat Ilahi menjadi godaan kepada orang yang memiliki kesadaran terhadap hakikat. Siapa yang berpuas hati dengan salah satu dari yang demikian akan terhalang dari  kurnia   Allah yang membawanya hampir dengan Zat-Nya.
       Jika mereka tertarik dengan godaan dan rangsangan tersebut mereka akan berhenti, mereka tidak bisa maju ke depan, mereka tidak bisa terbang lebih tinggi. Walaupun matlamat  (tujuan) mmereka adalah kehampiran dengan Pencipta,  mereka tidak lagi bisa sampai ke sana. Mereka telah terpedaya, mereka hanya memiliki satu sayap.
        Orang yang mencapai kesadaran tentang hakikat yang sebenarnya, menerima rahmat dan kurnia  dari Allah yang tidak pernah mata melihatnya dan tidak pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah hati mengetahui namanya. Inilah surga kehampiran dan keakraban dengan Allah. Di sana tidak ada mahligai permata juga tidak ada bidadari yang cantik sebagai pasangan.
      Semoga manusia mengetahui nilai dirinya dan tidak berkehendak, tidak menuntut apa yang tidak layak baginya. Sayyidina Ali r.a berkata, "Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui harga dirinya, yang tahu menjaga diri agar berada di dalam sempadannya, yang memelihara lidahnya, yang tidak menghabiskan masanya dan umurnya di dalam sia-sia".
      Orang yang berilmu mestilah menyedari bahwa bayi ruh yang lahir dalam hatinya adalah pengenalan mengenai kemanusiaan yang sebenarnya, yaitu insan yang sejati. Dia patut mendidik bayi hati, mengajarkan Keesaan melalui berkesinambungan (terus-menerus) menyadari tentang Keesaan - tinggalkan keduniaan kebendaan ini yang berbilang-bilang, cari alam keruhanian, alam rahasia di mana tidak yang lain kecuali Zat Allah.
       Dalam kenyataannya di sana bukan tempat, ia tidak ada permulaan dan tidak ada penghujung. Bayi hati terbang mengaruhi padang yang tidak berkesudahan itu, menyaksikan perkara-perkara yang tidak pernah dilihat mata sebelumnya, tidak seorang pun yang  bercerita mengenainya, dan siapa pun  tidak bisa menggambarkannya.
        Tempat (maqam) yang menjadi rumah kediaman bagi mereka yang meninggalkan diri mereka dan menemui Keesaan dengan Tuhan mereka, mereka yang memandang dengan pandangan yang sama dengan Tuhan mereka, pandangan Keesaan. Bila mereka menyaksikan keindahan dan kemuliaan Tuhan mereka,  tidak ada apa (sesuatu) lagi yang tinggal dengan mereka. Bila dia melihat matahari dia tidak dapat melihat yang lain, dia juga tidak dapat melihat dirinya sendiri.
       Bila keindahan dan kemurahan Allah menjadi nyata, apa lagi yang tinggal dengan seseorang? Tidak ada apa-apa! Nabi saw bersabda, "Seseorang perlu dilahirkan dua kali untuk sampai kepada alam malaikat". Ia adalah kelahiran maksud dari  perbuatan dan kelahiran ruhani dari  jasad.
       Kemungkinan yang demikian ada dengan manusia. Ini adalah keanehan (keajaiban) rahasia manusia. Ia lahir dari  percampuran pengetahuan tentang agama dan kesadaran terhadap hakikat, sebagaimana bayi lahir hasil dari  percampuran dua tetes air:  "Sesungguhnya Kami telah jadikan manusia daripada setitik (mani) yang bercampur, yang Kami berikan cobaan kepada mereka, yaitu Kami jadikan dia mendengar dan melihat". (Surah Insaan, ayat 2).
       Bila maksud menjadi nyata dalam kewujudan ia menjadi mudah untuk melepaskan bagian yang dangkal  dan masuk ke dalam samudra penciptaan dan membenamkan dirinya ke dasar hukum-hukum peraturan Allah. Sekalian alam kebendaan ini hanyalah satu titik jika dibandingkan dengan alam kerahanian. Hanya bila semua ini difahami  maka kuasa keruhanian dan cahaya keajaiban yang bersifat Ketuhanan, hakikat yang sebenar-benarnya, memancar ke dalam dunia tanpa perkataan tanpa suara.
      Demikian peliknya berbagai  keadaan ruhani  yang digambarkan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku Sirrul Asrar tersebut, sehingga bagi orang-orang yang “tidak memiliki bakat keruhanian  dan “buta mata ruhaninya”,   berbagai ungkapan ruhani  tingkat tinggi seperti itu benar-benar akan merupakan “batu sandungan” yang sangat mengelincirkan, termasuk  mereka yang mengaku  penganut berbagai “thariqah” para  Sufi besar, yang di antaranya munculnya golongan Wihdatul Wujud  yang  karena kejahiliyahannya   beranggapan bahwa  diri mereka  telah “menjadi Tuhan”.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   5 Mei      2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar