Rabu, 11 Juni 2014

Keadaan "Nafs-al-Ammarah"" Seperti "Banjir Dahsyrat" di ZamanNabi Nuh as. & Hakikat Misal "Maryam binti 'Imran" dan Munculnya "Karamah"




 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   239

 Keadaan Nafs-al-Ammarah Seperti “Banjir Dahsyat” di Zaman Nabi Nuh a.s.  & Hakikat Misal Maryam binti ‘Imran dan Munculnya “Karamah 

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai tingkat pertama dalam perkembangan ruhani yang menghendaki kerja keras dan tidak putus-putus pada pihak orang-orang beriman pada keadaan nafs al-Ammarah (jiwa yang menyuruh kepada keburukan -QS.12:54),  sebab selama manusia belum dapat mengendalikan serta menekan hawa nafsu jahatnya, selama itu ia tidak dapat membuat suatu kemajuan ruhani memasuki keadaan ruhani selanjutnya yakni nafs-al-Lawwāmah (jiwa yang mencela diri -- QS.75:3).
      Sehubungan dengan keadaan  nafs-al-Lawwāmah tersebut, Mirza Ghulam Ahmad a.s. – Al-Masih Mau’ud a.s.  – dalam buku Falsafah Ajaran Islam menjelaskan:
     Keadaan manusia pada derajat nafs Lawwāmah adalah ia berulang kali bertaubat dan berulang kali tergelincir. Bahkan acapkali ia berputus asa  terhadap kemampuan dirinya dan menganggap penyakitnya tidak dapat disembuhkan lagi. Hingga  satu jangka waktu tertentu keadaannya demikian. Kemudian ketika waktu yang ditetapkan telah sempurna, maka pada malam hari atau pada siang hari turunlah suatu nur (cahaya) kepadanya,  dan di dalam nur (cahaya) itu terkandung kekuatan Ilahi.
       Bersamaan dengan turunnya nur (cahaya) itu timbul suatu perubahan menakjubkan di dalam dirinya dan terasa adanya suatu kekuatan Tangan Gaib, lalu nampaklah di hadapannya suatu alam yang menakjubkan. Pada saat itu manusia menyadari bahwa Tuhan benar-benar ada, dan pada matanya muncul cahaya yang tidak ada sebelumnya.
     Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat menemui jalan itu, dan bagaimana kita dapat memperoleh  nur (cahaya) itu?  Jadi, hendaknya diketahui bahwa di dunia ini -- yang merupakan tempat berlakunya faktor-faktor sebab --  bagi setiap akibat ada satu penyebabnya, dan bagi setiap gerak ada satu penggeraknya. Dan untuk meraih setiap ilmu ada satu jalan yang dinamakan shirāthal mustaqim (jalan lurus). Tiada suatu pun di dunia ini yang dapat diperoleh tanpa mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh kudrat (kekuasaan Tuhan) baginya sejak awal.
       Hukum kudrat menunjukkan, bahwa untuk memperoleh sesuatu ada shirāthal mustaqim, yang secara kudrati dengan bertumpu kepadanyalah  hal itu  baru dapat diperoleh. Umpamanya, jika kita duduk di dalam sebuah kamar yang gelap dan memerlukan cahaya matahari maka shirātal mustaqim bagi kita  ialah kita harus membuka jendela yang menghadap ke arah matahari. Dengan demikian barulah cahaya matahari akan masuk ke dalam lalu menyinari kita.
     Jadi,   jelaslah untuk memperoleh karunia Tuhan yang sejati dan hakiki pasti ada suatu jendela tertentu, dan untuk mencapai keruhanian yang suci  pasti ada suatu cara tersendiri. Dan caranya, carilah shirāthal mustaqim bagi hal-hal ruhaniah sebagaimana kita mencari shirāthal mustaqim bagi keberhasilan-keberhasilan dalam segala urusan kehidupan kita.
     Akan tetapi apakah memang demikian caranya  --  yaitu kita mencari perjumpaan dengan Tuhan hanya bertumpu pada kemampuan akal kita dan melalui hal-hal yang kita rancang sendiri saja? Apakah hanya melalui logika dan falsafah kita saja maka pintu-pintu itu akan terbuka bagi kita – padahal terbukanya pintu-pintu tersebut  sangat tergantung pada Tangan-Nya yang perkasa?
    Fahamilah dengan seyakin-yakinnya, bahwa hal demikian sama sekali tidak benar. Kita sama sekali tidak dapat  meraih Sang Hayyul Qayyum (Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri) dengan hanya melalui upaya-upaya kita sendiri. Justru pada jalan ini satu-satunya shirāthal mustaqim ialah, pertama-tama kita harus mewakafkan kehidupan kita beserta kemampuan kita pada jalan Allah, kemudian tetap tekun memanjatkan doa untuk meraih perjumpaan dengan Allah, supaya kita bisa mendapatkan Tuhan dengan perantaraan Tuhan sendiri.”

Keadaan Nafs-al-Ammarah & “Banjir Dahsyat” di Zaman Nabi Nuh a.s.

         Jadi, semata-maka dengan  rahmat  dan karunia Allah Swt.  akhirnya para salik (penempuh jalan ruhani) yang  hakiki  tersebut   akan memasuki keadaan nafs-al-Muthmainnah, firman-Nya:  
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]:27-29).   
   Ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga
     Dalam keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:54) kecenderungan manusia sepenuhnya adalah mengejar-ngejar kesenangan hawa-nafsu  guna memperoleh nikmat-nikmat duniawi (QS.103:1-9), seperti halnya kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.  yang memilih mengikuti kedurhakaan  yang dilakukan oleh kaum kedua  Rasul Allah tersebut dengan  cara-cara yang melampaui batas, berikut firman-Nya mengenai Nabi Yusuf a.s. mengenai berbahayanya keadaan nafs-al-Ammarah:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Rabb-ku (Tuhan-ku),  sesungguhnya Rabb-ku (Tu-han-ku) Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
         Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan:
      (a)  “Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku  berkasih-sayang,” huruf  di sini menggantikan kata nafs.
     (b)  “Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang,”   di sini berarti man (siapa).
    (c) “Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.” Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
       Arti pertama, menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs Muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28-31).
        Arti kedua, dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs Lawwāmah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya.
   Arti ketiga, dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs-al Ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan).
     Karena itu tidak berlebihan jika menggambarkan keadaan nafs-al-Ammarah  seperti dahsyatnya banjir  di masa Nabi Nuh a.s. yang menenggelamkan kaumnya yang durhaka  --  termasuk istri dan anak lelaki beliau   -- karena hanya   مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ   -- “orang yang dikasihani oleh Rabb-ku (Tuhan-ku)”  sajalah yang selamat dari kedahsyatannya, sebagaimana diucapkan juga oleh Nabi Nuh a.s. ketika menjawab  perkataan  anak durhaka   beliau yang menolak ajakan  untuk menaiki bahtera (perahu) bersama-sama dengan beliau dan  orang-orang yang beriman kepada   beliau,  firman-Nya:
وَ ہِیَ تَجۡرِیۡ بِہِمۡ فِیۡ مَوۡجٍ کَالۡجِبَالِ ۟  وَ نَادٰی نُوۡحُۨ  ابۡنَہٗ وَ کَانَ فِیۡ  مَعۡزِلٍ یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ لَا تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ سَاٰوِیۡۤ  اِلٰی جَبَلٍ یَّعۡصِمُنِیۡ  مِنَ الۡمَآءِ ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ  الۡیَوۡمَ  مِنۡ  اَمۡرِ اللّٰہِ  اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ ۚ وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ  فَکَانَ  مِنَ  الۡمُغۡرَقِیۡنَ  ﴿﴾
Dan bahtera itu melaju dengan  membawa mereka di tengah gelombang  seperti gunung, dan Nuh berseru kepada anaknya  yang senantiasa berada di tempat terpisah: “Hai anakku, naiklah beserta kami dan janganlah engkau termasuk orang-orang kafir.” Ia menjawab: “Aku segera akan mencari sendiri perlindungan ke sebuah gunung  yang akan melindungiku dari air itu.” Ia, Nuh berkata: “Tidak ada tempat berlindung pada hari ini bagi seorang pun dari perintah Allah,  اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ -- kecuali bagi orang yang Dia kasihani.” Lalu gelombang menjadi penghalang di antara keduanya  maka jadilah ia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hūd [11]:43-44).

Hakikat Misal  “Maryam Binti ‘Imran” &  Munculnya “Karamah 

    Apabila orang-orang beriman yang berhasil memasuki  tngkatan nafs-al-Lawwamah  tersebut terus berjuang keras -- sekali pun harus berulang kali jatuh bangun dalam  mengarungi suluk  yang dijalaninya -- maka dengan karunia Allah Swt. akan memasuki tingkat keruhanian yang disebut    Maryam binti  ‘Imran, seorang gadis yang  memelihara kesuciannya   secara ketat, firman-Nya:
وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ﴿٪﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang  memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm [66]:11). 
  Maryam binti Maryam, ibunda Nabi Isa ibnu Maryam a.s.  melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt., mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi (lihat ayat 13, Pent.) menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
  Tingkatan suluk (perjalanan ruhani atau pendakian ruhani) pada keadaan ruhani Maryam binti ‘Imran  yang dikemukakan Al-Quran disebut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai   tingkatan  alam malakut (alam malaikat) atau alam jabarut,   yang di dalamnya para  salik (para penempuh jalan ruhani) akan mengalami berbagai pengalaman yang ajaib  yang keadaannya di luar nalar, yang disebut “karamah” (kekeramatan) atau khariqul ‘adat (hal yang luar biasa).
   Sehubungan dengan hal tersebut, berikut  firman-Nya berkenaan  Maryam binti ‘Imran ketika masih dibawah  asuhan Nabi Zakaria  a.s., firman-Nya:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾ فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾ ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya  Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan;  dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya  itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam,  dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya  dari syaitan yang terkutuk.”  Maka Rabb-nya (Tuhan-nya) telah menerimanya dengan penerimaan yang sa-ngat baik, dan menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sangat baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria.  Setiap kali Zakaria da-tang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,  dari manakah eng-kau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab.   Di sanalah Zakaria berdoa  kepada Rabb-nya (Tuhan-nya), dia berkata:  ”Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), anugerahilah aku juga  dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali ‘Imran [3]:37-39).
         Salah satu jenis “karamah” yang dianugerahkan Allah Swt. kepada gadis Maryam binti ‘Imran  dalam  firman Allah Swt. adalah  rezeki” yang diterinya dari Allah Swt.:   کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ  -- “Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,  dari manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah.  Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab.

Kisah Sahabah  Khubaib bin Adi r.a.  & “Buah Anggur” dalam Penjara

      Makna “rezeki” tersebut sangat luas, bisa berupa rezeki jasmani mau pun rezeki ruhani. Salah satu contoh rezeki jasmani  adalah ketika ada salah seorang sahabat Nabi Besar Muhammad a.s. yang bernama  Hubaib bin Adi r.a.  ditangkap dan dipenjara oleh kaum kafir Mekkah untuk kemudian dihukum  mati  dengan cara dipenggal kepalanya, diceritakan bahwa selama berada dalam penjara selalu     ada  buah anggur. Berikut ini kisahnya:
       Khubaib bin Adi adalah seorang sahabat Anshar dari Suku Aus. Pada hari pertama ketika Nabi saw. datang di Madinah, Khubaib datang menghadap beliau dan menyatakan dirinya memeluk Islam. Kebanyakan kaum kerabatnya telah memeluk Islam ketika masih didakwahkan sahabat Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah, ia sendiri belum tergerak hatinya. Tetapi ketika ia memandang langsung wajah Nabi saw., hatinya seolah tertarik oleh ‘pesona’ yang membawanya untuk memeluk Islam.
Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, beberapa waktu setelah terjadinya Perang Uhud, Nabi saw.  mengirim utusan dakwah yang terdiri sekelompok sahabat yang dipimpin Ashim bin Tsabit, Khubaib termasuk di dalamnya. Rombongan yang dikirim atas permintaan Bani Adhal dan Qarah ini ternyata dikhianati. Mereka diserang oleh Bani Hudzail dan berakhir dengan tragedi Raji'. Khubaib ditawan dalam keadaan hidup bersama Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq, sedang lainnya syahid. Sedianya, ketiganya akan  dibawa ke Makkah untuk dijual, tetapi Abdullah  bin Thariq berhasil lepas dan melawan, tetapi ia akhirnya terbunuh  di daerah Zhahran.
Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abu ihab at Tamimi dari Bani Harits bin Amir bin Naufal dengan harga seratus ekor unta. Khubaib adalah pembunuh Harits bin Amir pada Perang Badar, mereka mengurungnya sementara waktu sampai saat yang disepakati oleh keluarga Harits untuk membunuhnya. Suatu ketika Khubaib meminjam pisau cukur untuk memotong  rambutnya, salah seorang putri al Harits meminjaminya. Tidak berapa lama, putri al Harits tersentak dan berlari menuju tempat Khubaib ditawan, sambil berkata, "Aku telah lalai meninggalkan anakku di dekat Khubaib….!"
Sesampainya di sana, ia melihat anaknya duduk di pangkuan paha Khubaib, seketika wajahnya pucat dalam ketakutan. Apalagi pisau cukur itu masih ada di tangan Khubaib. Melihat ekspresi putri al Harits tersebut, Khubaib  berkata, "Apakah engkau takut aku akan membunuhnya? Sekali-kali aku tidak akan melakukannya, insyaallah!!"
Ia kembali ke keluarganya dan berkata, "Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Khubaib, dan yang mengherankan, ia sedang memakan setandan buah anggur, padahal tidak sedang musim buah-buahan di Makkah, tangan dan kakinya-pun tetap terikat dengan rantai besi. Tentulah buah-buahan tersebut rezeki dari Allah  Swt.!"
Pada saat yang ditentukan untuk dieksekusi, Khubaib dibawa keluar dari tanah haram. Sebelum pelaksanaan pembunuhan, Khubaib meminta waktu untuk shalat dua rakaat, dan ia diijinkan. Inilah pertama kalinya shalat sunnah sebelum eksekusi kematian dijalankan. Usai shalat, Khubaib berkata, "Kalau tidak khawatir kalian mengira aku takut mati, pastilah aku akan memanjangkan dan menambah shalatku…"
Putra al Harits, Uqbah bin Harits bangkit untuk membunuh Khubaib, yang tubuhnya telah disalib pada sebatang kayu. Mayatnya dibiarkan tetap tersalib, dan menyuruh beberapa orang untuk menjaganya. Tetapi pada malam harinya, muncul sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, ia berhasil menyiasati (mengakali) para penjaga dan menurunkan mayat Khubaib, kemudian membawanya pergi dan menguburkan pada tempat tersembunyi.
Khubaib dan Zaid bin Datsinah dibunuh pada waktu yang hampir bersamaan, dan Nabi saw. di Madinah bisa mendengar perkataan terakhir mereka sebelum dieksekusi, beliau berkata, "Salam dan keselamatan untuk kalian berdua…"
Kemudian beliau saw. berpaling kepada para sahabat, "Khubaib dan Zaid telah dibunuh orang-orang Quraisy…"
Dalam suatu riwayat disebutkan, sebelum eksekusi dijalankan, Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"
Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Khubaib berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."
Tetapi riwayat lain menyebutkan, percakapan tersebut terjadi pada eksekusi Zaid bin Datsinah. Atau mungkin juga terjadi pada eksekusi kedua sahabat tersebut, karena mereka berdua ditangkap dan dijual ke kaum Quraisy bersama-sama, dan dieksekusi mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dan sama-sama disaksikan oleh tokoh- tokoh kafir Quraisy.

Peringatan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani   kepada Para Sālik

   Banyak keajaiban-keajaiban lainnya yang dapat terjadi pada hamba-hamba Allah yang menempuh suluk tersebut, dan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani  memperingatkan para salik agar jangan mempedulikan  berbagai bentuk  karamah (kekeramatan) atau khariqul ‘adat yang muncul tersebut   --  terlebih lagi kemudian  menjadi tujuan utama melakukan  suluk, sebab  hal itu berarti telah menyimpang dari tujuan hakiki  menempuh suluk seperti yang dilakukan oleh para wali Allah besar yang menduduki  derajat ‘abdal, quthub dan ghauts. Beliau bersabda:
          “....Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
        Penjelasan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrar tersebut adalah:
    “Manusia tidak dapat mencapai hakikat kecuali dia suci murni,  karena sifat-sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga  hakikat menyata dalam dirinya. Ini adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa mengajarnya.
       Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
     Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang dikasihi.  Allah menggambarkan suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat  yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib". (Surah Nisā'  ayat 70).    
      Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
        Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya, tetapi  ia tidak dapat membantu seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia, yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu   dua sayap.
       Hamba Allah yang sejati adalah yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau  ingin masuk kepada kesucian berhampiran dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***
Pajajaran Anyar,   22 Mei    2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar