بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 239
Keadaan Nafs-al-Ammarah Seperti “Banjir Dahsyat” di Zaman Nabi Nuh a.s. & Hakikat Misal Maryam binti ‘Imran dan Munculnya “Karamah”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai tingkat pertama dalam perkembangan ruhani yang menghendaki kerja keras dan tidak putus-putus pada pihak orang-orang beriman pada keadaan nafs
al-Ammarah (jiwa yang menyuruh kepada keburukan -QS.12:54), sebab selama manusia belum dapat mengendalikan serta menekan hawa nafsu jahatnya, selama itu ia tidak
dapat membuat suatu kemajuan ruhani
memasuki keadaan ruhani selanjutnya
yakni nafs-al-Lawwāmah (jiwa yang
mencela diri -- QS.75:3).
Sehubungan dengan keadaan nafs-al-Lawwāmah tersebut, Mirza
Ghulam Ahmad a.s. – Al-Masih Mau’ud a.s.
– dalam buku Falsafah Ajaran
Islam menjelaskan:
“Keadaan manusia pada derajat nafs
Lawwāmah adalah ia berulang kali bertaubat dan
berulang kali tergelincir. Bahkan
acapkali ia berputus asa terhadap
kemampuan dirinya dan menganggap penyakitnya
tidak dapat disembuhkan lagi. Hingga
satu jangka waktu tertentu keadaannya demikian. Kemudian ketika waktu
yang ditetapkan telah sempurna, maka pada malam hari atau pada siang hari turunlah suatu nur
(cahaya) kepadanya, dan di dalam nur (cahaya) itu terkandung kekuatan Ilahi.
Bersamaan dengan turunnya nur (cahaya) itu timbul suatu perubahan
menakjubkan di dalam dirinya dan terasa adanya suatu kekuatan
Tangan Gaib, lalu nampaklah di hadapannya suatu alam yang menakjubkan.
Pada saat itu manusia menyadari bahwa Tuhan benar-benar ada, dan pada matanya
muncul cahaya yang tidak ada sebelumnya.
Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat
menemui jalan itu, dan bagaimana kita dapat memperoleh nur (cahaya) itu? Jadi, hendaknya diketahui bahwa di dunia ini
-- yang merupakan tempat berlakunya faktor-faktor sebab -- bagi setiap akibat
ada satu penyebabnya, dan bagi setiap gerak ada satu penggeraknya.
Dan untuk meraih setiap ilmu ada satu jalan
yang dinamakan shirāthal mustaqim (jalan lurus).
Tiada suatu pun di dunia ini yang dapat diperoleh tanpa mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh kudrat (kekuasaan Tuhan) baginya sejak awal.
Hukum kudrat menunjukkan,
bahwa untuk memperoleh sesuatu ada shirāthal
mustaqim, yang secara kudrati dengan bertumpu kepadanyalah
hal itu baru dapat diperoleh. Umpamanya, jika kita duduk
di dalam sebuah kamar yang gelap dan memerlukan cahaya
matahari maka shirātal mustaqim bagi kita ialah kita harus membuka jendela
yang menghadap ke arah matahari. Dengan demikian barulah
cahaya
matahari akan masuk ke dalam lalu menyinari kita.
Jadi,
jelaslah untuk memperoleh karunia Tuhan yang sejati dan hakiki pasti ada suatu jendela
tertentu, dan untuk mencapai keruhanian yang suci pasti ada suatu cara tersendiri.
Dan caranya, carilah shirāthal mustaqim bagi hal-hal ruhaniah
sebagaimana kita mencari shirāthal mustaqim bagi
keberhasilan-keberhasilan dalam segala
urusan kehidupan kita.
Akan tetapi apakah memang demikian caranya -- yaitu kita mencari perjumpaan dengan Tuhan hanya
bertumpu pada kemampuan akal kita dan melalui hal-hal yang kita rancang
sendiri saja? Apakah hanya melalui logika dan falsafah kita saja
maka pintu-pintu itu akan terbuka
bagi kita – padahal terbukanya
pintu-pintu tersebut sangat
tergantung pada Tangan-Nya
yang perkasa?
Fahamilah dengan seyakin-yakinnya, bahwa
hal demikian sama sekali tidak benar. Kita sama sekali
tidak dapat meraih Sang Hayyul Qayyum (Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri) dengan hanya melalui upaya-upaya
kita sendiri. Justru pada jalan ini satu-satunya shirāthal
mustaqim ialah, pertama-tama kita harus mewakafkan kehidupan kita beserta kemampuan
kita pada jalan Allah, kemudian tetap tekun memanjatkan doa
untuk meraih perjumpaan dengan Allah,
supaya kita bisa mendapatkan Tuhan dengan perantaraan Tuhan sendiri.”
Keadaan Nafs-al-Ammarah & “Banjir Dahsyat” di Zaman Nabi Nuh a.s.
Jadi,
semata-maka dengan rahmat dan karunia Allah Swt. akhirnya para salik (penempuh jalan
ruhani) yang hakiki tersebut
akan memasuki keadaan nafs-al-Muthmainnah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ
الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾
فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang
tenteram! Kembalilah kepada Rabb
(Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya
dan Dia pun ridha kepada
engkau. Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:27-29).
Ini
merupakan tingkat perkembangan ruhani
tertinggi ketika manusia ridha kepada
Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat
ini yang disebut pula tingkat surgawi,
ia menjadi kebal terhadap segala
macam kelemahan akhlak, diperkuat
dengan kekuatan ruhani yang khusus.
Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan
tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan
ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan
baginya untuk masuk ke surga.
Dalam keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:54) kecenderungan manusia sepenuhnya adalah mengejar-ngejar kesenangan hawa-nafsu guna memperoleh nikmat-nikmat duniawi (QS.103:1-9), seperti halnya kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan
Nabi Luth a.s. yang memilih mengikuti kedurhakaan yang dilakukan oleh kaum kedua Rasul Allah tersebut dengan cara-cara yang melampaui batas, berikut firman-Nya mengenai Nabi Yusuf a.s.
mengenai berbahayanya keadaan nafs-al-Ammarah:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ
ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ
بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya Rabb-ku (Tu-han-ku) Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf
[12]:54).
Anak kalimat illa mā rahima rabbi (kecuali orang yang
dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan:
(a) “Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya
Tuhan-ku berkasih-sayang,” huruf mā di sini menggantikan kata nafs.
(b)
“Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang,” mā di sini berarti man (siapa).
(c) “Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang
menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.” Ketiga arti tersebut menunjuk kepada
ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
Arti pertama, menunjuk kepada taraf ketika
manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan
ruhani — tingkat nafs Muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28-31).
Arti
kedua, dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs Lawwāmah
(jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya,
kadang-kadang ia mengalahkannya dan
kadang-kadang ia dikalahkan olehnya.
Arti ketiga, dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela
dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs-al Ammarah (jiwa yang
cenderung kepada keburukan).
Karena
itu tidak berlebihan jika menggambarkan keadaan nafs-al-Ammarah seperti dahsyatnya banjir di masa Nabi Nuh a.s. yang menenggelamkan kaumnya yang durhaka -- termasuk istri
dan anak lelaki beliau -- karena hanya مَا رَحِمَ رَبِّیۡ -- “orang yang dikasihani oleh Rabb-ku (Tuhan-ku)” sajalah yang selamat dari kedahsyatannya,
sebagaimana diucapkan juga oleh Nabi Nuh a.s. ketika menjawab perkataan anak
durhaka beliau yang menolak ajakan untuk menaiki
bahtera (perahu) bersama-sama dengan
beliau dan orang-orang yang beriman kepada
beliau, firman-Nya:
وَ ہِیَ تَجۡرِیۡ بِہِمۡ فِیۡ مَوۡجٍ کَالۡجِبَالِ
۟ وَ نَادٰی نُوۡحُۨ ابۡنَہٗ وَ کَانَ فِیۡ مَعۡزِلٍ یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ لَا
تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ سَاٰوِیۡۤ اِلٰی جَبَلٍ
یَّعۡصِمُنِیۡ مِنَ الۡمَآءِ ؕ قَالَ لَا
عَاصِمَ الۡیَوۡمَ مِنۡ
اَمۡرِ اللّٰہِ اِلَّا مَنۡ
رَّحِمَ ۚ وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ
فَکَانَ مِنَ الۡمُغۡرَقِیۡنَ ﴿﴾
Dan bahtera itu melaju dengan membawa mereka di tengah gelombang
seperti gunung, dan Nuh
berseru kepada anaknya yang
senantiasa berada di tempat terpisah:
“Hai anakku, naiklah beserta kami
dan janganlah engkau termasuk
orang-orang kafir.” Ia menjawab: “Aku
segera akan mencari sendiri perlindungan ke sebuah gunung yang akan melindungiku
dari air itu.” Ia, Nuh berkata: “Tidak ada tempat berlindung pada hari ini bagi seorang pun
dari perintah Allah, اِلَّا
مَنۡ رَّحِمَ -- kecuali bagi orang yang Dia kasihani.” Lalu gelombang menjadi penghalang di antara
keduanya maka jadilah ia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hūd
[11]:43-44).
Hakikat
Misal “Maryam Binti ‘Imran” & Munculnya “Karamah”
Apabila
orang-orang beriman yang berhasil memasuki tngkatan nafs-al-Lawwamah
tersebut terus berjuang keras -- sekali pun harus berulang kali jatuh bangun dalam mengarungi suluk yang dijalaninya -- maka
dengan karunia Allah Swt. akan memasuki
tingkat keruhanian yang disebut “Maryam binti
‘Imran”, seorang gadis yang memelihara
kesuciannya secara ketat, firman-Nya:
وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ
مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ﴿٪﴾
Dan juga Maryam putri
‘Imran, yang memelihara
kesuciannya, maka Kami meniupkan ke
dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Rabb-nya (Tuhan-nya)
dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm
[66]:11).
Maryam binti Maryam, ibunda Nabi Isa ibnu
Maryam a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang
karena telah menutup segala jalan dosa
dan karena telah berdamai dengan Allah
Swt., mereka dikaruniai ilham Ilahi;
kata pengganti hi dalam fīhi (lihat ayat 13, Pent.) menunjuk
kepada orang-orang beriman yang
bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata
farj, yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
Tingkatan suluk (perjalanan
ruhani atau pendakian ruhani) pada keadaan ruhani Maryam binti ‘Imran yang
dikemukakan Al-Quran disebut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai tingkatan
alam malakut (alam malaikat)
atau alam jabarut, yang di
dalamnya para salik (para penempuh jalan ruhani) akan mengalami berbagai pengalaman yang ajaib yang keadaannya di luar nalar, yang disebut “karamah”
(kekeramatan) atau khariqul ‘adat (hal
yang luar biasa).
Sehubungan dengan hal tersebut,
berikut firman-Nya berkenaan Maryam binti ‘Imran ketika masih dibawah asuhan
Nabi Zakaria a.s., firman-Nya:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ
وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ
کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ
الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ ﴿﴾ فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا
بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا
ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا
ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾ ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا
رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ
سَمِیۡعُ الدُّعَآءِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah
melahirkannya ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya bayi
yang kulahirkan ini seorang perempuan;
dan Allah lebih mengetahui apa
yang dilahirkannya itu, sedangkan anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah
sama baiknya seperti anak
perempuan ini; dan bahwa aku
menamainya Maryam, dan
sesungguhnya aku memohon perlindungan
Engkau untuknya dan keturunannya
dari syaitan yang terkutuk.”
Maka Rabb-nya (Tuhan-nya) telah menerimanya
dengan penerimaan yang sa-ngat baik,
dan menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sangat baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria.
Setiap kali Zakaria da-tang
menemuinya di mihrab didapatinya ada
rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,
dari manakah eng-kau mendapatkan
rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki
itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab. Di sanalah Zakaria berdoa kepada Rabb-nya
(Tuhan-nya), dia berkata: ”Ya
Rabb-ku (Tuhan-ku), anugerahilah aku juga dari
sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali ‘Imran [3]:37-39).
Salah satu jenis “karamah” yang dianugerahkan Allah Swt. kepada gadis Maryam binti
‘Imran dalam firman Allah Swt. adalah “rezeki”
yang diterinya dari Allah Swt.: کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا
رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ
ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ -- “Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia
berkata: “Hai Maryam, dari
manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang
Dia kehendaki tanpa hisab.
Kisah
Sahabah Khubaib
bin Adi r.a. & “Buah Anggur” dalam
Penjara
Makna “rezeki” tersebut sangat luas, bisa
berupa rezeki jasmani mau pun rezeki ruhani. Salah satu contoh rezeki jasmani adalah ketika ada salah seorang sahabat Nabi
Besar Muhammad a.s. yang bernama Hubaib bin Adi r.a. ditangkap dan dipenjara oleh kaum kafir Mekkah
untuk kemudian dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya, diceritakan
bahwa selama berada dalam penjara selalu ada buah anggur. Berikut ini kisahnya:
Khubaib
bin Adi
adalah seorang sahabat Anshar dari Suku Aus. Pada hari pertama ketika Nabi saw.
datang di Madinah, Khubaib datang menghadap beliau dan menyatakan dirinya
memeluk Islam. Kebanyakan kaum kerabatnya telah memeluk Islam ketika masih
didakwahkan sahabat Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah, ia sendiri belum
tergerak hatinya. Tetapi ketika ia memandang langsung wajah Nabi saw., hatinya seolah tertarik oleh ‘pesona’ yang membawanya untuk memeluk Islam.
Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, beberapa
waktu setelah terjadinya Perang Uhud, Nabi saw. mengirim utusan dakwah yang terdiri sekelompok
sahabat yang dipimpin Ashim bin Tsabit,
Khubaib termasuk di dalamnya. Rombongan yang dikirim atas permintaan Bani Adhal
dan Qarah ini ternyata dikhianati. Mereka diserang oleh Bani Hudzail dan berakhir dengan tragedi Raji'. Khubaib ditawan dalam keadaan hidup
bersama Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq, sedang lainnya syahid. Sedianya, ketiganya akan dibawa ke Makkah untuk dijual, tetapi
Abdullah bin Thariq berhasil lepas dan
melawan, tetapi ia akhirnya terbunuh di
daerah Zhahran.
Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abu
ihab at Tamimi dari Bani Harits bin Amir bin Naufal dengan harga seratus ekor
unta. Khubaib adalah pembunuh Harits bin Amir pada Perang Badar,
mereka mengurungnya sementara waktu sampai saat yang disepakati oleh keluarga
Harits untuk membunuhnya. Suatu
ketika Khubaib meminjam pisau cukur untuk memotong rambutnya, salah seorang putri al Harits
meminjaminya. Tidak berapa lama, putri al Harits tersentak dan berlari menuju
tempat Khubaib ditawan, sambil
berkata, "Aku telah lalai meninggalkan anakku di dekat Khubaib….!"
Sesampainya di sana, ia melihat anaknya duduk
di pangkuan paha Khubaib, seketika wajahnya pucat dalam ketakutan. Apalagi pisau cukur itu masih ada di tangan Khubaib. Melihat ekspresi putri al
Harits tersebut, Khubaib berkata, "Apakah engkau takut aku akan membunuhnya? Sekali-kali aku tidak akan
melakukannya, insyaallah!!"
Ia kembali ke keluarganya dan berkata, "Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Khubaib, dan yang mengherankan, ia
sedang memakan setandan buah anggur,
padahal tidak sedang musim buah-buahan
di Makkah, tangan dan kakinya-pun tetap terikat dengan rantai besi.
Tentulah buah-buahan tersebut rezeki dari Allah Swt.!"
Pada saat yang ditentukan untuk dieksekusi, Khubaib dibawa keluar dari tanah haram.
Sebelum pelaksanaan pembunuhan, Khubaib
meminta waktu untuk shalat dua rakaat,
dan ia diijinkan. Inilah pertama kalinya shalat
sunnah sebelum eksekusi kematian
dijalankan. Usai shalat, Khubaib
berkata, "Kalau tidak khawatir
kalian mengira aku takut mati, pastilah aku akan memanjangkan dan menambah
shalatku…"
Putra al Harits, Uqbah bin Harits bangkit
untuk membunuh Khubaib, yang tubuhnya telah disalib pada sebatang kayu.
Mayatnya dibiarkan tetap tersalib, dan menyuruh beberapa orang untuk
menjaganya. Tetapi pada malam harinya, muncul sahabat Amr bin Umayyah adh
Dhamry, ia berhasil menyiasati (mengakali) para penjaga dan menurunkan mayat Khubaib, kemudian membawanya pergi dan
menguburkan pada tempat tersembunyi.
Khubaib dan Zaid bin Datsinah dibunuh pada waktu yang hampir bersamaan, dan
Nabi saw. di Madinah bisa mendengar perkataan terakhir mereka sebelum
dieksekusi, beliau berkata, "Salam
dan keselamatan untuk kalian berdua…"
Kemudian beliau saw. berpaling kepada para
sahabat, "Khubaib dan Zaid telah
dibunuh orang-orang Quraisy…"
Dalam suatu riwayat disebutkan, sebelum
eksekusi dijalankan, Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan
kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira
bersama keluargamu?"
Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu
memperoleh jawaban yang mengejutkan, Khubaib berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku
tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk
badan kekasihku, Muhammad."
Tetapi riwayat lain menyebutkan, percakapan
tersebut terjadi pada eksekusi Zaid bin
Datsinah. Atau mungkin juga terjadi pada eksekusi kedua sahabat tersebut,
karena mereka berdua ditangkap dan dijual ke kaum Quraisy bersama-sama, dan
dieksekusi mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dan sama-sama disaksikan
oleh tokoh- tokoh kafir Quraisy.
Peringatan Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani kepada
Para Sālik
Banyak keajaiban-keajaiban lainnya yang dapat terjadi pada hamba-hamba
Allah yang menempuh suluk tersebut,
dan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memperingatkan para salik agar jangan
mempedulikan berbagai bentuk karamah
(kekeramatan) atau khariqul ‘adat yang
muncul tersebut -- terlebih lagi kemudian menjadi tujuan
utama melakukan suluk, sebab hal itu berarti
telah menyimpang dari tujuan hakiki menempuh suluk
seperti yang dilakukan oleh para wali
Allah besar yang menduduki derajat ‘abdal, quthub dan ghauts. Beliau
bersabda:
“....Hamba
Allah yang sejati adalah yang terbang
ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan dhohir
dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak
tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam perjalanannya. Allah berfirman
melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi
para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa
menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
Penjelasan
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam buku Sirrul-Asrar tersebut adalah:
“Manusia tidak dapat mencapai hakikat
kecuali dia suci murni, karena sifat-sifat
keduniaannya tidak akan meninggalkannya sehingga hakikat menyata dalam dirinya. Ini
adalah keikhlasan sejati. Kejahilannya hanya akan meninggalkannya
bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. Ini tidak dapat
dicapai dengan pelajaran; hanya Allah tanpa pengantaraan bisa
mengajarnya.
Bila Allah Yang Maha Tinggi
sendiri yang menjadi Guru, Dia karuniakan ilmu yang dari-Nya sebagaimana
Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesadaran yang
diperolehnya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia
mengenali Tuhan-nya dan menyembah-Nya yang dia kenal.
Orang yang sampai kepada suasana ini memiliki
penyaksian ruh suci dan dapat melihat kekasih Allah, Nabi Muhammad
saw.. Ia bisa berbicara dengan baginda saw. mengenai segala
perkara dari awal hingga ke akhirnya, dan semua nabi-nabi yang lain
memberikannya kabar gembira tentang janji penyatuan dengan Yang
dikasihi. Allah menggambarkan
suasana ini:
"Karena Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya,
maka mereka beserta orang-orang yang diberi nikmat yaitu nabi-nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin dan alangkah baiknya mereka ini sebagai sahabat karib".
(Surah Nisā' ayat 70).
Orang yang tidak bisa menemui pengetahuan
ini di dalam dirinya tidak akan menjadi arif walaupun dia membaca
seribu buah buku. Nikmat yang bisa diharapkan oleh orang yang
mempelajari ilmu dhohir ialah surga; di sana semua yang dapat dilihat
adalah kenyataan Sifat-sifat Ilahi dalam bentuk cahaya.
Tidak terkira bagaimana sempurna pengetahuannya
tentang perkara nyata yang bisa dilihat dan dipercaya,
tetapi ia tidak dapat membantu
seseorang untuk masuk kepada suasana kesucian dan mulia,
yaitu kehampiran (kedekatan) dengan Allah, karena seseorang itu perlu
terbang ke tempat (maqam) tersebut, dan untuk terbang perlu dua
sayap.
Hamba Allah yang sejati adalah
yang terbang ke sana dengan menggunakan dua sayap, yaitu pengetahuan
dhohir dan pengetahuan batin, tidak pernah berhenti di tengah
jalan, tidak tertarik dengan apa saja yang ditemui dalam
perjalanannya. Allah berfirman melalui rasul-Nya:
"Hai Hamba-Ku, jika engkau ingin masuk kepada kesucian berhampiran
dengan-Ku jangan pedulikan dunia ini atau pun alam tinggi
para malaikat, tidak juga yang lebih tinggi di mana kamu bisa
menerima Sifat-sifat-Ku yang suci".
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 22 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar