بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 250
Hakikat
“Kelahiran Ruhani Baru” & Pencabutan Sementara “Ruh”
Al-Quran
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai ayat وَ
لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ -- “dan
sungguh Kami
benar-benar telah menciptakan insan (manusia) dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi
bentuk” (Al-Hijr [15]:27), hal
itu tidak berarti bahwa lumpur itu sekaligus memperoleh bentuk suatu wujud yang hidup tatkala
Allah Swt. menghembuskan ruh ke dalamnya melalui
ucapan “Kun, fayakun -- Jadilah, maka terjadilah ia”.
Berulang-ulang kali Al-Quran
menyatakan, bahwa kejadian atau penciptaan alam semesta itu berlangsung setahap demi setahap di bawah sifat Rabbubiyyah Allah Swt. (QS.1:2). Ayat
yang sekarang ini hanya menyebutkan tahapan
pertama saja dari kejadian manusia itu. Tahapan-tahapan lain dalam
kejadiannya itu telah disebutkan dalam QS.30:21; QS.35:12; QS.22:6; QS.23:15
dan QS.40:68.
Pernyataan Al-Quran bahwa manusia
telah diciptakan dari “tanah” -- yang
secara sepintas lalu berarti, bahwa proses
kejadiannya yang panjang itu dimulai dengan tanah -- dikuatkan oleh
kenyataan, bahwa bahkan sekarang juga makanan
manusia berasal dari tanah, beberapa
bagian tertentu dari makanan itu
diambil langsung darinya dan beberapa bagian lainnya lagi secara tidak
langsung.
Hal ini menunjukkan bahwa zat yang terkandung dalam tanah, merupakan asal manusia; sebab sekiranya bukan demikian, niscaya ia tidak
dapat mengambil gizinya (zat sari
makanannya) dari tanah, sebab yang
dapat memberikan makanan kepada suatu
wujud, hanyalah barang yang darinya telah dibuat wujud itu, karena unsur dari
luar tidak akan mampu mengisi apa
yang telah menjadi susut.
Makna Penciptaan Jin
dari “Api Angin Panas” & Hakikat
Peniupan “Ruh” kepada Adam (Khalifah
Allah)
Kemudian mengenai ayat selanjutnya وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ
مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ -- “Dan sebelumnya
Kami telah menjadikan jin
dari api angin panas. (Al-Hijr [15]:28).” Sebuah ungkapan
Al-Quran yang serupa ini ialah manusia dijadikan dari ketergesa-gesaan
(QS.21:38) menunjukkan, bahwa ayat yang sedang dalam pembahasan ini
berarti bahwa jin – dari dari golongannya iblis
berasal -- memiliki pembawaan seperti api
dan bukan bahwa makhluk jin atau iblis itu sesungguhnya dibuat dari api., firman-Nya:
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ کَانَ
مِنَ الۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ اَمۡرِ رَبِّہٖ ؕ اَفَتَتَّخِذُوۡنَہٗ وَ ذُرِّیَّتَہٗۤ اَوۡلِیَآءَ مِنۡ دُوۡنِیۡ وَ ہُمۡ
لَکُمۡ عَدُوٌّ ؕ بِئۡسَ لِلظّٰلِمِیۡنَ بَدَلًا﴿﴾
Dan
ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni patuhlah kepada Adam," maka mereka
sujud kecuali iblis, ia
adalah dari golongan jin maka ia
mendurhakai perintah Rabb-Nya (Tuhan-nya). Apakah kamu hendak mengambil dia dan keturunannya sebagai sahabat-sahabat selain Aku,
padahal mereka itu musuh-musuh kamu?
Sangat buruk bagi orang-orang
yang zalim pertukaran itu. (Al-Kahf [18]:51).
Dengan demikian bahwa Adam dijadikan dari “tanah
liat” mengandung arti berpembawaan lemah-lembut dan suka tunduk, sedangkan jin
atau Iblis
“dijadikan dari api” mengandung arti, ia bertabiat seperti api dan mudah menyala
yakni pemarah. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
وَ اِذۡ
قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ
خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ
حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا لَہٗ سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ الۡمَلٰٓئِکَۃُ کُلُّہُمۡ
اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ ﴾
اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ
السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman
kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia (basyar) مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ --
dari tanah liat kering yang berdenting,
dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Maka apabila Aku telah membentuknya dengan sempurna, وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِیۡ
-- dan Aku telah meniupkan ruh-Ku
ke dalamnya, فَقَعُوۡا لَہٗ
سٰجِدِیۡنَ -- َmaka sujudlah yakni patuh-taatlah kamu
kepadanya.” Maka malaikat-malaikat
itu sujud semuanya bersama-sama, kecuali iblis,
ia menolak menjadi termasuk di antara mereka
yang sujud. (Al-Hijr [15]:29-32).
Makna “peniupan
ruh-Ku” dalam ayat فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ وَ نَفَخۡتُ
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِی
-- “maka apabila Aku telah membentuknya dengan sempurna, dan Aku telah meniupkan ruh-Ku
ke dalamnya, َقَعُوۡا لَہٗ
سٰجِدِیۡنَ -- maka sujudlah
yakni patuh-taatlah kamu kepadanya,”
mengandung beberapa arti, yakni:
(1)
memperkuat jiwa
(ruh) hamba pilihan-Nya tersebut dengan Ruhulqudus atau malaikat Jibril a.s., yang dalam hubungannya dengan Nabi Besar Muhammad
saw. disebut Ruhul
amin (ruh yang terpercaya – QS.26:193-198).
(2) memperkuat
jiwa (ruh) hamba pilihan-Nya tersebut dengan wahyu
Ilahi, karena dengan perantaraan wahyu
itulah Allah Swt. berkomunikasi dengan manusia
(QS.42:52-54).
Kesejajaran Turunnya Ruqulqudus
atau Wahyu Ilahi dengan “Peniupan Ruh” Pada Bayi dalam Rahim Ibu
Proses turunnya Ruqulqudus atau wahyu Ilahi kepada hamba-hamba
pilihan Allah Swt. tersebut memiliki kesejajaran
dengan terciptanya ruh dalam tubuh bayi dalam
rahim ibu, yang membuat seluruh organ tubuh bayi yang sudah
lengkap tersebut berfungsi dengan
baik, guna melanjutkan kehidupannya
di luar rahim ibu, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ
سُلٰلَۃٍ مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾ ثُمَّ جَعَلۡنٰہُ
نُطۡفَۃً فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ
﴿۪﴾ ثُمَّ خَلَقۡنَا
النُّطۡفَۃَ عَلَقَۃً فَخَلَقۡنَا
الۡعَلَقَۃَ مُضۡغَۃً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا فَکَسَوۡنَا
الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ اَحۡسَنُ الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan
sungguh Kami benar-benar telah
menciptakan insan (manusia) dari sari tanah liat, kemudian
Kami menjadikannya air mani di dalam tempat penyimpanan yang kokoh. Kemudian Kami menciptakan air mani menjadi segumpal darah, maka Kami
menciptakan segumpal darah itu
menjadi segumpal daging, maka Kami menciptakan dari segumpal daging
itu tulang-tulang, kemudian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan
daging, ٭ ثُمَّ
اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ -- kemudian Kami menumbuhkannya menjadi makhluk lain, -- الۡخٰلِقِیۡنَ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ اَحۡسَنُ maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta.
(Al-Mu’minūn
[23]:13-15).
Sesudah mengemukakan
berbagai tingkat evolusi ruhani
manusia dalam sepuluh ayat pertama Surah Al-Mu’minun
ini, selanjutnya Al-Quran menjelaskan dalam ayat ini dan dalam beberapa ayat
berikutnya berbagai tingkat perkembangan
fisiknya di dalam rahim ibu, dan
dengan demikian membuktikan adanya kesejajaran
ajaib di antara kelahiran dan pertumbuhan jasmani manusia dengan ruhaninya.
Dengan menyampingkan istilah-istilah
ilmu hayat, Surah ini memberikan
lukisan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Ilmu hayat tidak menemukan
sesuatu yang bertentangan sedikit pun dengan lukisan Al-Quran. Kata-kata, “Kami
menciptakan manusia dari inti sari tanah
liat” menyebutkan proses kejadian manusia mulai dari tingkat paling awal sekali ketika ia masih dalam keadaan tidak bernyawa dalam bentuk debu (turab) dan berupa bagian-bagian tanah yang bukan-organik, melalui suatu proses
perkembangan yang halus, berubah menjadi kecambah-hayat dengan perantaraan makanan yang dimakan oleh manusia. Pada tingkat فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا -- “maka Kami membungkus tulang-tulang
itu dengan daging” (QS.23:15) perkembangan fisik mudigah menjadi sempurna.
Kata-kata ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ -- “kemudian Kami menumbuhkan dia menjadi makhluk lain” menunjukkan,
bahwa ruh tidak dimasukkan ke
dalam wujud manusia dari luar,
melainkan tumbuh dalam tubuh jasmani ketika ia berkembang dalam rahim, walau Allah Swt. dalam
Al-Quran menggunakan kata nafakha (meniupkan – QS.32:7-10;
QS.15:30; QS.38:73) mengenai
“pertumbuhan ruh” dalam janin
(bayi) dalam rahim tersebut.
Mula-pertama ruh tidak mempunyai wujud terpisah dari tubuh
jasmani, tetapi proses-proses yang dilalui oleh tubuh jasmani selama
berlangsung perkembangannya dalam rahim,
menyuling dari tubuh jasmani itu sari
halus yang disebut ruh.
Keadaan dan kemunculan ruh
manusia tersebut memiliki persamaan dengan kemunculan alcohol pada tape
ketan atau tape singkong yang ditaburi ragi atau pun dalam buah kurma
dan anggur (QS.16:68), seperti
halnya keberadaan api
yang tersimpan secara latent (tersembunyi) di dalam “batu api.”
Peniupan “Wahyu Ilahi”
kepada Adam (Khalifah Allah) atau Rasul Allah
Dengan demikian jelaslah, bahwa
penggunaan kata nafakha (ditiupkan) berkenaan
dengan ruh manusia mau pun wahyu Ilahi, hal itu mengandung makna bahwa seperti keberadaan
potensi ruh yang terdapat secara latent (tersembunyi) dalam tubuh janin dalam rahim demikian pula halnya
dengan kemampuan manusia untuk
menerima wahyu Ilahi. Itulah makna “peniupan ruh” berkenaan dengan penciptaan Adam sebagai Khalifah Allah
atau sebagai Rasul Allah.
Karena itu orang-orang yang --
karena ketidakfahamannya mengenai masalah yang sangat
halus ini -- mengatakan bahwa setelah pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pembawa syariat terakhir dan tersempurna
(QS.5:4) maka semua jenis wahyu Ilahi telah tertutup rapat, pada
hakikatnya mereka itu termasuk kepada orang-orang tidak diberi pengetahuan mengenai masalah (hakikat) ruh kecuali sedikit, yaitu mereka hanya mengetahui masalah potensi kebathinan, firman-Nya:
وَ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الرُّوۡحِ ؕ قُلِ الرُّوۡحُ مِنۡ اَمۡرِ رَبِّیۡ وَ مَاۤ اُوۡتِیۡتُمۡ مِّنَ الۡعِلۡمِ اِلَّا قَلِیۡلًا ﴿﴾
Dan mereka bertanya kepada engkau mengenai ruh, katakanlah: “Ruh telah diciptakan atas
perintah Rabb-ku (Tuhan-ku), dan kamu
sama sekali tidak diberi ilmu mengenai itu melainkan sedikit.” (Bani
Israil [17]:86).
Sebagaimana
telah dikemukakan berulang kali mengenai
firman Allah Swt. tersebut, dalam
masa kemunduran dan kejatuhan ruhani mereka, nampaknya orang-orang Yahudi asyik berkecimpung
dalam kebiasaan-kebiasaan ilmu klenik
(occult), seperti halnya banyak ahli kebatinan modern, para pengikut gerakan teosofi dan yogi-yogi
Hindu serta para praktisi “tenaga dalam”
(inner power) atau “bio elektrik” atau “bio energy”, yang juga disebut prana,
chi, khi dll.
Nampaknya di masa Nabi Besar
Muhammad saw. pun beberapa orang Yahudi di Medinah telah menempuh cara-cara kebiasaan semacam itu. Itulah sebabnya mengapa ketika orang-orang musyrik Mekkah mencari bantuan orang-orang Yahudi untuk membungkam Nabi Besar Muhammad saw., mereka memberi saran supaya orang-orang musyrik Mekkah itu menanyakan kepada beliau
saw. hakikat ruh manusia.
Dalam ayat yang sedang dibahas
ini Al-Quran menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan, bahwa ruh
memperoleh daya kekuatannya dari perintah Ilahi, dan apa pun yang menurut
kepercayaan orang dapat diperoleh dengan perantaraan apa yang dikatakan latihan-latihan batin dan ilmu sihir, adalah semata-mata tipu-daya dan omong-kosong belaka.
Menurut riwayat,
pertanyaan-pertanyaan mengenai sifat ruh
manusia pertama-tama diajukan kepada Nabi Besar Muhammad saw. di kota
Mekkah oleh orang-orang Quraisy, dan
kemudian menurut ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. oleh orang-orang Yahudi di Medinah.
Dalam ayat tersebut ruh
disebut مِنۡ اَمۡرِ رَبِّیۡ -- “atas perintah Rabb-ku”, yakni sesuatu yang diciptakan atas perintah
langsung dari Tuhan. Menurut Al-Quran
semua penciptaan terdiri dari dua
jenis:
(1) Kejadian permulaan yang dilaksanakan tanpa mempergunakan zat atau benda yang telah diciptakan sebelumnya.
(2) Kejadian selanjutnya yang dilaksanakan dengan mempergunakan sarana dan benda yang telah diciptakan sebelumnya.
Kejadian macam pertama termasuk
jenis amr (arti harfiahnya ialah perintah),
yaitu “kun, fayakun” (“Jadilah,
maka terjadilah” -- QS.2:118), dan
yang terakhir disebut khalq arti harfiahnya ialah menciptakan QS.95:5.
Pencabutan Sementara “Ruh” Al-Quran dan Pengembaliannya
Ruh manusia termasuk jenis
penciptaan pertama. Kata ruh itu berarti pula wahyu Ilahi (Lexicon Lane).
Letaknya kata ini di sini agaknya mendukung arti demikian, sebagaimana firman
Allah Swt. selanjutnya mengenai Al-Quran:
وَ لَئِنۡ
شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ بِہٖ عَلَیۡنَا وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا رَحۡمَۃً مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ
اِنَّ فَضۡلَہٗ کَانَ عَلَیۡکَ کَبِیۡرًا ﴿﴾
Dan jika Kami benar-benar menghendaki, niscaya Kami mengambil kembali apa yang telah Kami wahyukan kepada
engkau kemudian engkau
tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali
karena rahmat dari Rabb (Tuhan) engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau.
(Bani
Israil [17]:87-88).
Ayat-ayat
ini nampaknya mengandung nubuatan
bahwa akan datang suatu saat ketika ilmu
atau ruh
Al-Quran akan lenyap dari bumi atau
dari kalangan umat Islam (QS.32:6;
QS.57:17-18). Nubuatan Nabi Besar Muhammad saw. serupa itu telah diriwayatkan oleh
Mardawaih, Baihaqi, dan Ibn Majah, ketika ruh
dan jiwa ajaran Al-Quran akan hilang lenyap dari bumi, dan semua orang yang dikenal sebagai ahli-ahli mistik dan para sufi yang mengakui memiliki kekuatan batin istimewa — seperti pula
diakui oleh segolongan orang-orang Yahudi
dahulu kala yang sifatnya serupa dengan mereka — tidak akan berhasil mengembalikan jiwa ajaran Al-Quran dengan usaha mereka bersama-sama, sebagaimana dijelaskan ayat selanjutnya,
firman-Nya:
قُلۡ
لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا
الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ ظَہِیۡرًا ﴿﴾
Katakanlah:
“Jika ins (manusia) dan jin benar-benar berhimpun untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini,
mereka tidak akan sanggup men-datangkan
yang sama seperti ini, walaupun
sebagian mereka membantu sebagian
yang lain.” (Bani Israil [17]:89).
Tantangan ini pertama-tama diajukan kepada
mereka yang berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan
klenik atau kebathinan, supaya mereka
meminta pertolongan ruh-ruh gaib,
yang darinya orang-orang ahli kebatinan
itu — menurut pengakuannya sendiri —
menerima ilmu ruhani.
Tantangan ini berlaku pula untuk semua
orang yang menolak bahwa Al-Quran bersumber
pada Allah
Swt., Tuhan seluruh alam, dan tantangan
ini untuk sepanjang masa (QS.2:24-25; QS.10:39; QS.11:14; QS.52;34-35), karena
berdasarkan QS.62:3-4 yang akan membawa kembali “ruh Al-Quran” yang telah terbang ke bintang Tsurayya (QS.32:6) adalah Rasul Akhir Zaman yang sekali gus akan mengunggulkan agama Islam yang kedua kali atas semua agama, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ
بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ
لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,
walaupun orang musyrik tidak menyukai.
(Ash-Shaf [61]:10).
Kebanyakan ahli tafsir Al-Quran sepakat bahwa
ayat ini kena untuk Al-Masih yang
dijanjikan (Al-Masih Mau’ud) di Akhir
Zaman ini, sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan Islam di atas semua agama
akan menjadi kepastian.
Kelahiran Ruh &
Tujuh Jalan (Tingkatan) Ruhani
Kembali kepada firman Allah
Swt. mengenai proses “kelahiran ruh” dalam tubuh janin (bayi) dalam rahim ibu, segera sesudah hubungan
di antara ruh dan tubuh jasmani menjadi benar-benar pas, maka jantung dan seluruh organ tubuh pun pun mulailah bekerja. Sesudah itu ruh mempunyai wujud tersendiri yang terpisah dari tubuh
jasmani, yang selanjutnya tubuh
jasmani itu berperan sebagai wadah atau sebagai rahim bagi ruh,
firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ
سُلٰلَۃٍ مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾ ثُمَّ جَعَلۡنٰہُ
نُطۡفَۃً فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ
﴿۪﴾ ثُمَّ خَلَقۡنَا النُّطۡفَۃَ
عَلَقَۃً فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَۃَ
مُضۡغَۃً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا فَکَسَوۡنَا
الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ اَحۡسَنُ الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan
sungguh Kami benar-benar telah
menciptakan insan (manusia) dari sari tanah liat, kemudian
Kami menjadikannya air mani di dalam tempat penyimpanan yang kokoh. Kemudian Kami menciptakan air mani menjadi segumpal darah, maka Kami
menciptakan segumpal darah itu
menjadi segumpal daging, maka Kami menciptakan dari segumpal daging
itu tulang-tulang, kemu-dian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan
daging, ٭ ثُمَّ
اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ -- kemudian Kami menumbuhkannya menjadi makhluk lain, -- الۡخٰلِقِیۡنَ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ اَحۡسَنُ maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta. (Al-Mu’minūn [23]:13-15).
Setelah
manusia mencapai perkembangan
sepenuhnya, maka menyusullah suatu proses kemunduran,
yang berakhir dengan kematian
(QS.22:6). Kehidupan manusia harus
berakhir dalam kemunduran, kehancuran, dan kematian, sedangkan ruh
manusia tidak ikut hancur atau mati seperti tubuh jasmaninya karena ruh
manusia --- sesuatu tujuan utama penciptaan manusia (QS.51:57) -- akan
melanjutkan kehidupannya di alam akhirat, baik ia berada di dalam surga
atau pun terlebih dulu untuk sementara
waktu harus berada di dalam neraka guna pemulihan ruhnya yang
keadaannya tidak sempurna (cacat)
ketika tubuh jasmaninya mengalami kematian
(QS.101:1-12), sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ اِنَّکُمۡ بَعۡدَ ذٰلِکَ لَمَیِّتُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ
اِنَّکُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ تُبۡعَثُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا
فَوۡقَکُمۡ سَبۡعَ طَرَآئِقَ ٭ۖ وَ مَا کُنَّا عَنِ الۡخَلۡقِ غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾
Kemudian sesungguhnya kamu sesudah itu pasti akan mati, kemudian sesungguhnya kamu pada Hari Kiamat akan
dibangkitkan. Dan
sungguh Kami benar-benar telah
menciptakan di atas kamu tujuh jalan ruhani, dan Kami
sekali-kali tidak lalai dari penciptaan.
(Al-Mu’minun
[23]:16-18).
Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran, bahwa proses kemunduran ruhani mau pun kebangkitan ruhani umat manusia atau pun suatu kaum dalam kehidupannya
di dunia ini memiliki persamaan dengan proses kemunduran ruhani dan kebangkitan
ruhani seorang manusia, firman-Nya:
مَا
خَلۡقُکُمۡ وَ لَا بَعۡثُکُمۡ اِلَّا
کَنَفۡسٍ وَّاحِدَۃٍ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
سَمِیۡعٌۢ بَصِیۡرٌ ﴿﴾ اَلَمۡ تَرَ
اَنَّ اللّٰہَ یُوۡلِجُ الَّیۡلَ فِی النَّہَارِ وَ یُوۡلِجُ النَّہَارَ
فِی الَّیۡلِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ۫ کُلٌّ یَّجۡرِیۡۤ اِلٰۤی
اَجَلٍ مُّسَمًّی وَّ اَنَّ اللّٰہَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرٌ ﴿﴾ ذٰلِکَ
بِاَنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡحَقُّ وَ اَنَّ مَا یَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِہِ الۡبَاطِلُ
ۙ وَ اَنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡعَلِیُّ الۡکَبِیۡرُ ﴿٪﴾
Sekali-kali tidaklah penciptaan kamu dan tidak pula kebangkitan
kamu melainkan seperti penciptaan suatu
jiwa. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Apakah
engkau tidak melihat bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam, dan Dia
telah menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar terus sampai masa
yang telah ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan? Hal
demikian itu sesungguhnya Allah Dia-lah
Yang haq dan bah-wa apa yang mereka
seru selain Dia adalah batil, dan bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Dzat Yang Maha Tinggi, Maha Besar. (Luqman [31]:29-31).
Ayat 29 mengandung
arti bahwa seluruh umat manusia
tunduk kepada hukum-hukum alam yang
sama. Ayat ini menunjuk pula kepada kenyataan
bahwa kebangkitan atau keruntuhan bangsa dan masyarakat adalah tunduk kepada hukum-hukum alam yang sama, seperti
halnya kemajuan atau kemunduran perseorangan مَا خَلۡقُکُمۡ وَ لَا بَعۡثُکُمۡ
اِلَّا کَنَفۡسٍ -- “Sekali-kali tidaklah penciptaan kamu dan tidak pula kebangkitan
kamu melainkan seperti penciptaan suatu
jiwa”.
Ayat
selanjutnya اَلَمۡ تَرَ اَنَّ اللّٰہَ یُوۡلِجُ الَّیۡلَ فِی
النَّہَارِ وَ یُوۡلِجُ النَّہَارَ فِی الَّیۡلِ -- “Apakah engkau tidak melihat bahwa Allah
memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam” menjelaskan lebih lanjut, bahwa hukum alam mengenai pergantian antara siang
dan malam, dan sebaliknya, bekerja
dengan kekuatan yang sama berkenaan
dengan nasib bangsa-bangsa mau pun perorangan-perorangan.
Jadi, sesudah mati manusia akan dibangkitkan kembali dengan “tubuh
yang baru” agar supaya ia dapat terus membuat kemajuan ruhani dalam kehidupan di akhirat yang tidak
mempunyai kesudahan. Kemajuan yang ia
capai dalam kehidupan di dunia hanya
merupakan tingkat persiapan.
Keadaan kehidupan manusia di dunia
ini seperti seorang anak dalam rahim ibunya.
Sesudah mati ia dilahirkan dalam kehidupan
baru dan lebih lengkap, merupakan
permulaan bagi suatu kemajuan yang tidak akan berakhir di
dalam kehidupan yang disebut surga.
Makna
ayat ﴿﴾ سَبۡعَ طَرَآئِقَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا فَوۡقَکُمۡ -- “ sungguh Kami
benar-benar telah menciptakan di atas
kamu tujuh jalan ruhani,” enam tingkat kemajuan ruhani yang dilukiskan dalam sepuluh ayat pertama surah Al-Mu’minun ini menjadi tujuh, bila “surga” (ayat 12) dihitung sebagai tingkat terakhir bagi perkembangan ruhani. Demikian pula, bila tingkat persiapan sebelum pembentukan air mani (ayat 13) ditambahkan kepada enam tingkat perkembangan mudigah, angka ini pun menjadi tujuh pula. Dengan demikian “tujuh
jalan dalam langit ruhani” yang telah disinggung dalam ayat ini
(QS.23:2-12), bersesuaian dengan tujuh
tingkat perkembangan jasmani manusia yang telah disebut dalam ayat-ayat 13-15.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Juni
2014