بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
204
Para Penghuni “Rumah-rumah
yang Bercahaya” & Para Penghuni Kegelapan
yang Pekat
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai maksud kata-kata یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ
لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ -- “yang minyaknya hampir-hampir bercahaya
walaupun api tidak menyentuhnya,” dalam
firman-Nya:
اَللّٰہُ نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ
فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ
کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ زَیۡتُوۡنَۃٍ
لَّا شَرۡقِیَّۃٍ وَّ لَا
غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ
نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ لِنُوۡرِہٖ
مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ وَ اللّٰہُ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya seperti sebuah
relung yang di dalamnya
ada pelita. Pelita itu ada dalam kaca. Kaca itu seperti bin-tang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati,
yaitu pohon zaitun yang bukan di
timur dan bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya
walaupun api tidak menyentuhnya. Nur di atas nur. Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil untuk
manusia, dan Allāh Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr
[24]:36).
Tamsil (perumpamaan) tersebut dapat pula diberi tafsiran lain lagi. Relung
dalam ayat ini berarti jasad manusia.
Jasad manusia berisi ruh serta
mengantarkan cahaya, yang berarti tubuh jasmani manusia itu berisikan misbah atau
“pelita ruh” yang menyinari akal
manusia dan menghubungkannya dengan Tuhan (Allah Swt.).
Pelita (misbah) itu
terletak dalam zujajah (kaca) yang menjaganya terhadap kemudaratan dan
cacat serta menambah dan memantulkan cahayanya, zujājah yang
melambangkan otak manusia susunannya
begitu sempurna, sehingga telah menjuruskan beberapa ahli filsafat untuk mengira bahwa akal manusia adalah sumber
asli cahaya Ilahi, padahal bukan
karena tanpa bantuan cahaya wahyu Ilahi maka otak
atau akal manusia tidak akan luput
dari berbagai kelemahan dan kekeliruan.
Cahaya itu dibantu oleh minyak yang berasal dari suatu “pohon
yang diberkati”, yaitu dari kebenaran-kebenaran
yang pokok lagi abadi, yang tidak merupakan milik khusus orang-orang timur ataupun barat,
dimana kebenaran-kebenaran kekal-abadi itu telah tertanam dalam fitrat manusia dan hampir-hampir akan menampakkan dirinya
(nyaris bersinar) meskipun tanpa bantuan cahaya wahyu Ilahi.
Empat Macam Golongan Pewaris Nikmat Ruhani
Orang-orang yang memiliki fitrat yang murni seperti itu apabila
mereka “disinari dengan cahaya wahyu Al-Quran -- yakni mengikuti cahaya petunjuk Al-Quran sebagaimana sunnah
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22) -- maka
fitrat mereka pun akan mulai bercahaya seperti pelita
yang disulut oleh nyala api. Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah firman Allah Swt. berikut ini:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ
اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ
الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat
yang sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Menge-tahui. (An-Nisa [70]:70-71).
Kata
depan ma’a menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu
tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung
arti bantuan, seperti tercantum dalam
QS.9:40 (Al-Mufradat). Kata
itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi
artinya “di antara” (QS.3:194; QS.4: 147).
Ayat
ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka
bagi kaum Muslimin. Keempat martabat
keruhanian — nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada
(syahid-syahid) dan shalih-shalih
(orang-orang saleh) — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti
Nabi Besar Muhammad saw..
Hal ini
merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammad asw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang
beriman kepada Allāh dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan
saksi-saksi di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi
lainnya dapat mencapai martabat shiddiq,
syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka para pengikut
secati Nabi Besar Muhammad saw. dapat
naik ke martabat nabi juga.
Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang
mengatakan: “Tuhan telah membagi
orang-orang beriman dalam empat golongan
dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di
antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman
sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan
bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum
dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang
tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
Rumah-rumah yang “Diterangi Nur Ilahi” & “Rumah-rumah yang Bagaikan “Kuburan”
Selanjutnya Allah Swt. menerangkan
mengenai keadaan rumah-rumah para pengikut
sejati Nabi Besar Muhammad saw. yang diterangi oleh “Nur Ilahi” yakni ajaran Islam (Al-Quran) sebagaimana yang
disunnahkan oleh beliau saw.:
فِیۡ بُیُوۡتٍ اَذِنَ اللّٰہُ اَنۡ تُرۡفَعَ وَ یُذۡکَرَ فِیۡہَا اسۡمُہٗ ۙ
یُسَبِّحُ لَہٗ فِیۡہَا بِالۡغُدُوِّ وَ
الۡاٰصَالِ ﴿ۙ﴾ رِجَالٌ ۙ لَّا تُلۡہِیۡہِمۡ تِجَارَۃٌ
وَّ لَا بَیۡعٌ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ وَ
اِقَامِ الصَّلٰوۃِ وَ اِیۡتَآءِ الزَّکٰوۃِ ۪ۙ یَخَافُوۡنَ یَوۡمًا
تَتَقَلَّبُ فِیۡہِ الۡقُلُوۡبُ وَ الۡاَبۡصَارُ ﴿٭ۙ﴾ لِیَجۡزِیَہُمُ اللّٰہُ اَحۡسَنَ مَا عَمِلُوۡا وَ یَزِیۡدَہُمۡ مِّنۡ
فَضۡلِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ
بِغَیۡرِ حِسَابٍ﴿﴾
Di dalam rumah yang Allah telah mengizinkan supaya ditinggikan
dan nama-Nya diingat di dalamnya, bertasbih
kepada-Nya di dalamnya pada waktu
pagi dan petang. Orang-orang
lelaki, tidak melalaikan mereka dari
mengingat Allah perniagaan dan tidak pula
jual-beli, mendirikan shalat dan
membayar zakat, mereka takut akan hari ketika di dalamnya hati dan mata berubah-ubah,
supaya Allah
memberi mereka ganjaran yang sebaik-baiknya
atas apa yang telah mereka kerjakan,
dan Allah akan menambah kepada
mereka dari karunia-Nya. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia
kehendaki tanpa perhitungan. (An-Nūr
[24]:37-39).
Ayat ini berisikan suatu bukti dan juga suatu nubuatan.
Ayat ini menubu-atkan bahwa rumah-rumah yang disinari oleh cahaya yang terdapat dalam Al-Quran akan dimuliakan dan para penghuninya
senantiasa akan mengirim persembahan sanjung-puji kepada Allah Swt.. Ini akan
merupakan bukti bahwa rumah-rumah itu disinari oleh nur Ilahi.
Sehubungan dengan hal itu Nabi
Besar Muhammad saw. telah memberi
nasihat kepada para sahabah beliau saw.
mengenai rumah-rumah mereka:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ
صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا (متفق
عليه)
“Dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad Shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jadikanlah Rumah-rumah kalian sebagai tempat
shalat, dan jangan membuatnya [seperti] kuburan” (Hadits
Muttafaq ‘alaih).
Isi kuburan adalah tulang-belulang orang-orang yang telah meninggal dunia, sekali pun semasa
hidupnya ia atau mereka itu adalah orang-orang
yang sangat berkuasa dan kaya-raya -- misalnya para raja duniawi atau para hartawan -- tetapi setelah berada dalam kuburan maka mereka menjadi tulang-belulang berserakan
yang tidak
berdaya, sebagaimana firman-Nya berikut ini:
وَ اَمَّا مَنۡ اُوۡتِیَ کِتٰبَہٗ
بِشِمَالِہٖ ۬ۙ فَیَقُوۡلُ یٰلَیۡتَنِیۡ
لَمۡ اُوۡتَ کِتٰبِیَہۡ ﴿ۚ﴾
وَ لَمۡ
اَدۡرِ مَا حِسَابِیَہۡ﴿ۚ﴾ یٰلَیۡتَہَا کَانَتِ
الۡقَاضِیَۃَ ﴿ۚ﴾ مَاۤ اَغۡنٰی
عَنِّیۡ مَالِیَہۡ ﴿ۚ﴾ ہَلَکَ عَنِّیۡ سُلۡطٰنِیَہۡ﴿ۚ﴾ خُذُوۡہُ فَغُلُّوۡہُ ﴿ۙ﴾ ثُمَّ الۡجَحِیۡمَ
صَلُّوۡہُ ﴿ۙ﴾ ثُمَّ فِیۡ
سِلۡسِلَۃٍ ذَرۡعُہَا سَبۡعُوۡنَ ذِرَاعًا
فَاسۡلُکُوۡہُ ﴿ؕ﴾ اِنَّہٗ
کَانَ لَا یُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ الۡعَظِیۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَحُضُّ
عَلٰی طَعَامِ الۡمِسۡکِیۡنِ ﴿ؕ﴾ فَلَیۡسَ
لَہُ الۡیَوۡمَ ہٰہُنَا حَمِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ وَّ لَا
طَعَامٌ اِلَّا مِنۡ غِسۡلِیۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا یَاۡکُلُہٗۤ
اِلَّا الۡخَاطِـُٔوۡنَ﴿٪﴾
Tetapi barangsiapa
diberikan kitabnya di tangan kirinya, maka ia berkata: “Aduhai kiranya aku
tidak diberi kitabku dan aku tidak mengetahui apa perhitunganku
itu. Aduhai sekiranya kematianku mengakhiri hidupku! Sekali-kali tidak bermanfaat bagiku hartaku. Hilang
lenyap dariku kekuasaanku.” [Dia berfirman], “Tangkaplah dia dan belenggulah
dia, kemudian masukkanlah dia ke
dalam Jahannam, lalu ikatlah dia
dengan rantai yang panjangnya tujuh
puluh hasta. Sesungguhnya ia
dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar, dan ia
tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin maka tidak ada baginya pada hari ini di sana
seorang sahabat karib, dan tidak ada
makanan ke-cuali bekas cucian luka, tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang berdosa.” (Al-Hāqqāh
[69]:26-37).
Karena
Menyambut “Seruan” Nabi Besar Muhammad
Saw., Bangsa Arab Jahiliyah Menjadi
“Umat yang Terbaik”
Sehubungan dengan sabda Nabi Besar
Muhammad saw. sebelumnya mengenai “rumah
yang seperti kuburan”, yang
sangat menarik adalah perkataan
orang-orang kafir Mekkah yang mendustakan
dan menentang
Nabi Besar Muhammad saw. mengenai
kebenaran adanya “Hari
Kebangkitan”, firman-Nya:
وَ قَالُوۡۤاءَ اِذَا کُنَّا عِظَامًا
وَّ رُفَاتًاءَ اِنَّا لَمَبۡعُوۡثُوۡنَ خَلۡقًا جَدِیۡدًا ﴿﴾ قُلۡ کُوۡنُوۡا
حِجَارَۃً اَوۡ حَدِیۡدًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ خَلۡقًا
مِّمَّا یَکۡبُرُ فِیۡ صُدُوۡرِکُمۡ ۚ فَسَیَقُوۡلُوۡنَ مَنۡ یُّعِیۡدُنَا ؕ قُلِ
الَّذِیۡ فَطَرَکُمۡ اَوَّلَ مَرَّۃٍ ۚ
فَسَیُنۡغِضُوۡنَ اِلَیۡکَ رُءُوۡسَہُمۡ وَ یَقُوۡلُوۡنَ مَتٰی ہُوَ ؕ قُلۡ
عَسٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ
قَرِیۡبًا ﴿﴾ یَوۡمَ
یَدۡعُوۡکُمۡ فَتَسۡتَجِیۡبُوۡنَ بِحَمۡدِہٖ وَ تَظُنُّوۡنَ
اِنۡ لَّبِثۡتُمۡ اِلَّا
قَلِیۡلًا ﴿٪﴾
Dan mereka
berkata: ”Apakah apabila kami telah menjadi tulang-belulang
dan benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali
sebagai makhluk yang baru?” Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi, atau makhluk yang nampaknya terkeras dalam pikiran
kamu, kamu pasti akan dibangkitkan lagi.” Maka pasti mereka akan
mengatakan: “Siapakah yang akan menghidupkan kami kembali?” Katakanlah: “Dia Yang telah menjadikan kamu pertama kali.”
Maka pasti mereka akan menggelengkan
kepalanya terhadap engkau dan berkata: ”Kapankah itu akan terjadi?” Katakanlah: “Boleh jadi itu dekat, yaitu
pada hari ketika Dia
memanggil kamu lalu kamu
menyambut dengan memuji-Nya dan kamu
akan beranggapan bahwa kamu tidak tinggal di dunia kecuali hanya sebentar.” (Bani
Israil [17]:50-53).
Ayat قُلۡ
کُوۡنُوۡا حِجَارَۃً اَوۡ
حَدِیۡدًا -- Katakanlah:
“Jadilah kamu batu atau besi, اَوۡ خَلۡقًا مِّمَّا یَکۡبُرُ فِیۡ
صُدُوۡرِکُمۡ -- atau makhluk yang nampaknya terkeras dalam pikiran kamu,” ayat ini dapat dianggap mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa meskipun
seandainya hati mereka menjadi keras seperti besi atau batu atau suatu
benda lain semacam itu yang lebih keras lagi, tetapi menurut ayat
tersebut Allah
Swt. benar-benar akan menimbulkan perubahan segar di kalangan mereka melalui seruan
Nabi Besar Muhammad saw..
Atau ayat tersebut dapat pula diartikan sebagai
jawaban atas keragu-raguan mereka
mengenai Hari Kebangkitan, seperti
disebutkan dalam ayat sebelumnya, seraya berkata kepada mereka, bahwa jika mereka bersikeras mendustakan dan menentang Nabi Besar Muhammad saw. maka mereka
tidak dapat menghindarkan diri dari azab
Ilahi, seandainya pun mereka akan berubah menjadi besi atau
batu atau suatu benda lain yang lebih keras lagi.
Mengapa demikian? Sebab hanya dengan azab
Ilahi itulah kekerasan hati orang-orang
yang tidak mau mengerti melalui
nasihat dan peringatan secara lisan dan tulisan akan menjadi luluh setelah mendapat azab
Ilahi, kemudian mereka akan beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan
kepada mereka.
Kenyataan itulah yang terjadi dengan orang-orang kafir Quraisy Mekkah setelah
terjadinya peristiwa Fathah Mekkah, sehingga bangsa Arab jahiliyyah yang keadaan mereka
sebelumnya bagaikan “tulang-belulang
berserakan” tetapi ketika mereka beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw.
hanya dalam waktu 23 tahun saja mereka berubah
menjadi “satu tubuh yang utuh dan hidup”
dan bahkan menjadi “umat terbaik”
yang dijadikan bagi manfaat seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111).
Jadi, ketidakpercayaan - para penentang keras Nabi Besar Muhammad saw. mengenai kebenaran
adanya “Hari Kebangkitan” telah dijawab
oleh diri mereka sendiri, sebab
buktinya adalah perubahan akhlak dan ruhani mereka sendiri dalam kehidupan di dunia ini juga menjadi خَلۡقًا جَدِیۡدًا -- “makhluk
baru”, yakni yang sebelumnya merupakan “manusia-manusia
iblis” tiba-tiba berubah menjadi
“manusia-manusia malaikat”; atau
mereka sebelumnya berada dalam “lapisan-lapisan kegelapan” telah berubah menjadi manusia-manusia bercahaya
yang berada dibawah penerangan نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ --
“Nur
di atas nur” (QS.24:36), yang keadaannya dijelaskan dalam ayat selanjutnya:
فِیۡ بُیُوۡتٍ اَذِنَ اللّٰہُ اَنۡ تُرۡفَعَ وَ یُذۡکَرَ فِیۡہَا اسۡمُہٗ ۙ
یُسَبِّحُ لَہٗ فِیۡہَا بِالۡغُدُوِّ وَ
الۡاٰصَالِ ﴿ۙ﴾
Di dalam rumah yang Allah telah mengizinkan supaya ditinggikan
dan nama-Nya diingat di dalamnya, bertasbih
kepada-Nya di dalamnya pada waktu
pagi dan petang. (An-Nūr
[24]:37).
Para
Penghuni “Rumah-rumah yang Bercahaya”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai para
penghuni “rumah-rumah yang dimuliakan” dengan cahaya Al-Quran tersebut:
رِجَالٌ ۙ لَّا تُلۡہِیۡہِمۡ تِجَارَۃٌ
وَّ لَا بَیۡعٌ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ وَ
اِقَامِ الصَّلٰوۃِ وَ اِیۡتَآءِ الزَّکٰوۃِ ۪ۙ یَخَافُوۡنَ یَوۡمًا
تَتَقَلَّبُ فِیۡہِ الۡقُلُوۡبُ وَ الۡاَبۡصَارُ ﴿٭ۙ﴾ لِیَجۡزِیَہُمُ اللّٰہُ اَحۡسَنَ مَا عَمِلُوۡا وَ یَزِیۡدَہُمۡ مِّنۡ
فَضۡلِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ
بِغَیۡرِ حِسَابٍ﴿﴾
Orang-orang
lelaki, tidak melalaikan mereka dari
mengingat Allah perniagaan dan tidak pula
jual-beli, mendirikan shalat dan
membayar zakat, mereka takut akan hari ketika di dalamnya hati dan mata berubah-ubah,
supaya Allah
memberi mereka ganjaran yang sebaik-baiknya
atas apa yang telah mereka kerjakan,
dan Allah akan menambah kepada
mereka dari karunia-Nya. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia
kehendaki tanpa perhitungan. (An-Nūr
[24]:38-39).
Ayat-ayat
ini merupakan pengakuan agung terhadap ketakwaan
dan kebaikan para Sahabat Nabi Besar Muhammad saw. dan terhadap kecintaan mereka kepada Allah Swt.. Mereka itu orang-orang —
demikian kata ayat itu — yang berdaging
dan bertulang. Mereka pun mempunyai kemauan-kemauan dan keinginan-keinginan duniawi, dan memiliki pekerjaan-pekerjaan dan kesibukan-kesibukan.
Mereka
bukan rahib-rahib atau pertapa-pertapa yang telah memutuskan hubungan dengan dunia. Namun di tengah-tengah segala kesibukan dan perjuangan dalam urusan
dunianya, mereka tidak lalai menjalankan kewajiban-kewajiban mereka kepada Allah Swt. dan kepada manusia رِجَالٌ ۙ لَّا تُلۡہِیۡہِمۡ
تِجَارَۃٌ وَّ لَا بَیۡعٌ عَنۡ ذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ اِقَامِ الصَّلٰوۃِ وَ اِیۡتَآءِ
الزَّکٰوۃِ -- “Orang-orang lelaki, tidak
melalaikan mereka dari mengingat Allah
perniagaan dan tidak pula jual-beli, mendirikan shalat dan membayar zakat.”
Mereka yang Berada Dalam “Kegelapan
yang Berlapis-lapis”
Sebaliknya dengan orang-orang yang memperoleh
cahaya “Nur di atas nur”, selanjutnya
Allah Swt. menjelaskan mengenai orang-orang yang karena mendustakan dan menentang Nabi Besar Muhammad saw. -- yang
adalah “Nur di atas nur” -- maka sebagaimana orang yang menolak cahaya
atau yang memejamkan mata pasti akan berada dalam kegelapan, demikian pula halnya keadaan orang-orang yang mendustakan dan menentang para Rasul Allah, terutama Nabi Besar
Muhammad saw., firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡۤا
اَعۡمَالُہُمۡ کَسَرَابٍۭ بِقِیۡعَۃٍ یَّحۡسَبُہُ الظَّمۡاٰنُ مَآءً ؕ حَتّٰۤی
اِذَا جَآءَہٗ لَمۡ یَجِدۡہُ شَیۡئًا وَّ وَجَدَ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ فَوَفّٰىہُ حِسَابَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ سَرِیۡعُ
الۡحِسَابِ ﴿ۙ ﴾ اَوۡ کَظُلُمٰتٍ فِیۡ بَحۡرٍ لُّجِّیٍّ یَّغۡشٰہُ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ
مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ سَحَابٌ ؕ ظُلُمٰتٌۢ
بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ ؕ اِذَاۤ اَخۡرَجَ یَدَہٗ لَمۡ
یَکَدۡ یَرٰىہَا ؕ وَ مَنۡ لَّمۡ
یَجۡعَلِ اللّٰہُ لَہٗ نُوۡرًا
فَمَا لَہٗ مِنۡ
نُّوۡرٍ ﴿٪ ﴾
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka bagaikan fatamorgana di padang pasir,
orang-orang yang haus menyangkanya air, hingga apabila
ia mendatanginya ia tidak mendapati
sesuatu pun, dan ia mendapati Allah
di sisinya lalu Dia membayar penuh
perhitungannya, dan Allah sangat
cepat dalam perhitungan. Atau
seperti kegelapan di lautan yang dalam,
di atasnya gelombang demi gelombang meliputinya, di atasnya lagi
ada awan hitam. Kegelapan sebagiannya di
atas sebagian lain. Apabila ia mengulurkan
tangan-nya ia hampir-hampir tidak dapat me-lihatnya, dan barangsiapa
baginya Allah tidak menjadikan nur
maka baginya tidak ada nur. (An-Nūr [24]:40-41).
Dalam QS.24:37-39 di atas telah dikemukakan kata-kata penghargaan yang
ditujukan kepada suatu golongan manusia
yaitu para pencinta nur Ilahi dan hamba-hamba Allah yang bertakwa.
Ayat-ayat ini membicarakan sesuatu golongan manusia lainnya yaitu anak-anak
kegelapan.
Golongan pertama menerima nur serta berjalan di dalamnya. Keadaan
mereka yang sungguh membangkitkan rasa
iri itu telah digambarkan dalam tamsil
dengan kata-kata نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ -- “Nur di atas nur”.
Sedangkan golongan kedua menolak nur Ilahi dan memilih jalan kegelapan dalam rimba keragu-raguan. Segala usaha mereka terbukti sia-sia serta menyesatkan, laksana suatu fatamorgana
di padang pasir yang panas. Mereka suka
kepada kegelapan, mengikuti langkah kegelapan dan tinggal dalam kegelapan, maka keadaan
mereka yang tidak menarik itu telah dilukiskan dengan tepat dan jelas lagi
terperinci dengan kata-kata اَوۡ کَظُلُمٰتٍ فِیۡ بَحۡرٍ لُّجِّیٍّ یَّغۡشٰہُ
مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ سَحَابٌ ؕ ظُلُمٰتٌۢ بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ -- “atau seperti kegelapan di
lautan yang dalam, di atasnya gelombang demi gelombang meliputinya, di atasnya
lagi ada awan hitam. Kegelapan sebagiannya di atas sebagian lain.”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar