بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
203
Hakikat “Nur
di Atas Nur” & Empat Macam Nikmat
Ruhani Bagi Para Pengikut
Hakiki Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai Ayat selanjutnya وَ ہُدُوۡۤا اِلٰی الطَّیِّبِ مِنَ
الۡقَوۡلِ ۚۖ وَ ہُدُوۡۤا اِلَی صِرَاطِ
الۡحَمِیۡدِ -- “Dan
mereka akan dibimbing kepada ucapan yang
baik, dan mereka akan dibimbing ke jalan yang terpuji (QS. 22:24-25), selain sesuai dengan firman Allah Swt.
sebelumnya: وَ الَّذِیۡنَ اہۡتَدَوۡا زَادَہُمۡ ہُدًی وَّ اٰتٰہُمۡ تَقۡوٰىہُمۡ -- “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Dia menambahkan
petunjuk kepada mereka, dan Dia memberikan kepada mereka balasan ketakwaan mereka. (QS.47:18),
juga sesuai dengan firman-Nya berikut ini:
وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلٰی دَارِ
السَّلٰمِ ؕ وَ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾ لِلَّذِیۡنَ اَحۡسَنُوا
الۡحُسۡنٰی وَ زِیَادَۃٌ ؕ وَ لَا یَرۡہَقُ وُجُوۡہَہُمۡ قَتَرٌ وَّ لَا ذِلَّۃٌ ؕ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ
الۡجَنَّۃِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan Allah
menyeru manusia ke rumah
keselamatan dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki
ke jalan yang lurus. Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik serta tambahan-tambahan
yang lain. Dan wajah mereka tidak akan ditutupi
debu hitam dan tidak pula kehinaan,
mereka itu penghuni surga, mereka akan kekal
di dalamnya. (Yunus [10]:26-27).
Makna “Darus Salām” (Rumah Keselamatan) & Jiyādah (Tambahan-tambahan)
Salām berarti: keselamatan, keamanan, kekekalan atau kebebasan dari
kesa-lahan-kesalahan kekurangan-kekurangan cacat-cacat noda-noda keburukan-keburukan;
atau berarti pula: kedamaian, kepatuhan; surga. Salam adalah salah satu
nama sifat Allah Swt. juga
(Lexicon Lane).
Berhubung al-husna berarti (1) kesudahan
yang menggembirakan, (2) kemenangan; (3) kecerdasan dan kegesitan, maka anak
kalimat lilladzina ahsanul-husna berarti: (1) bahwa orang-orang beriman akan sampai kepada kesudahan yang menyenangkan;
(2) bahwa mereka akan mencapai sukses
dan (3) bahwa Allah Swt. akan
menjadikan mereka cerdas dan terampil.
Kata ziyādah (tambahan lebih banyak lagi) mengandung arti bahwa orang-orang beriman akan mendapatkan Allah
Swt. Sendiri
sebagai ganjarannya, dan kata al-husna
(yang berarti juga penglihatan kepada Tuhan) menguatkan kesimpulan itu. Hal
tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. mengenai ganjaran bagi orang-orang beriman yang melakukan jihad
fīllāh (jihad di dalam Allah) -- yang berbeda dengan jihad fī sabīlillāh (jihad di jalan Allah) dengan harta
dan jiwa -- firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا
فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang
yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan
sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang berbuat ihsan. (Al-Ankabūt [29]:70).
Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa jihad sebagaimana
diperintahkan oleh Allah Swt. dalam
Al-Quran tidak berarti harus membunuh atau menjadi korban pembunuhan, melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti
“untuk menjumpai Kami.”
Perumpamaan Pancaran “Nur Ilahi”
Jadi,
pernyataan Allah Swt. mengenai “petunjuk
di atas petunjuk” bagi orang-orang
yang beriman dalam firman-Nya dalam
Bab sebelumnya:
وَ الَّذِیۡنَ اہۡتَدَوۡا زَادَہُمۡ ہُدًی وَّ اٰتٰہُمۡ تَقۡوٰىہُمۡ ﴿﴾
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk,
Dia menambahkan petunjuk kepada
mereka, dan Dia memberikan kepada
mereka balasan ketakwaan mereka. (Muhammad
[47]:18).
Firman-Nya lagi mengenai “Dan mereka akan dibimbing kepada ucapan yang baik, dan mereka akan
dibimbing ke jalan yang terpuji”:
اِنَّ اللّٰہَ یُدۡخِلُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ
جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ
یُحَلَّوۡنَ فِیۡہَا مِنۡ اَسَاوِرَ مِنۡ ذَہَبٍ وَّ لُؤۡلُؤًا ؕ وَ
لِبَاسُہُمۡ فِیۡہَا حَرِیۡرٌ ﴿﴾ وَ ہُدُوۡۤا اِلٰی
الطَّیِّبِ مِنَ الۡقَوۡلِ ۚۖ وَ ہُدُوۡۤا
اِلَی صِرَاطِ الۡحَمِیۡدِ ﴿﴾
Sesungguhnya
Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan beramal
saleh ke dalam kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di
dalamnya mereka
akan dihiasi dengan gelang-gelang emas
dan mutiara, dan di dalamnya pakaian mereka dari sutera.
Dan mereka akan dibimbing kepada ucapan yang baik, dan mereka akan dibimbing ke jalan yang terpuji. (Al-Hajj [22]:24-25).
Kemudian
dalam firman-Nya mengenai “Bagi
orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan
yang lebih baik serta tambahan-tambahan yang lain”:
وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلٰی دَارِ
السَّلٰمِ ؕ وَ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾ لِلَّذِیۡنَ اَحۡسَنُوا
الۡحُسۡنٰی وَ زِیَادَۃٌ ؕ وَ لَا یَرۡہَقُ وُجُوۡہَہُمۡ قَتَرٌ وَّ لَا ذِلَّۃٌ ؕ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ
الۡجَنَّۃِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan Allah
menyeru manusia ke rumah
keselamatan dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki
ke jalan yang lurus. Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik serta tambahan-tambahan
yang lain. Dan wajah mereka tidak akan ditutupi
debu hitam dan tidak pula kehinaan,
mereka itu penghuni surga, mereka akan kekal
di dalamnya. (Yunus [10]:26-27).
Pernyataan Allah Swt. dalam ayat-ayat tersebut sesuai dengan ayat “Nur di atas nur” dalam firman-Nya
berikut ini:
اَللّٰہُ نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ
فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ
کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ زَیۡتُوۡنَۃٍ
لَّا شَرۡقِیَّۃٍ وَّ لَا
غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ
نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ
لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ
وَ اللّٰہُ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya seperti sebuah
relung yang di dalamnya
ada pelita. Pelita itu ada dalam kaca. Kaca itu seperti bin-tang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati,
yaitu pohon zaitun yang bukan di
timur dan bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya
walaupun api tidak menyentuhnya. Nur di atas nur. Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil untuk
manusia, dan Allāh Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr
[24]:36).
Nur
berarti cahaya sebagai lawan dari kegelapan. Kata nur mempunyai
pengertian lebih luas dan lebih menembus dan juga lebih bertahan (lama)
daripada dhiya (Lexicon Lane).
Misykat berarti: relung
dalam sebuah tembok yakni lobang atau
lekuk dalam tembok yang tidak menembus dinding itu; lampu yang ditempatkan di sana memberi cahaya lebih banyak daripada di tempat lain; tiang yang dipuncaknya
diletakkan lampu (Lexicon Lane). Zujajah
berarti: kaca; bola dari kaca atau semprong
kaca (Lexicon Lane).
Makna “Nur di atas Nur”
Ayat ini merupakan tamsil (perumpamaan) yang indah. Ayat
ini membicarakan tiga buah benda — pelita, kaca,
dan relung. Disebutkan bahwa Nur Ilahi disebutkan “terkurung” di dalam tiga benda tersebut yang bila digabung
bersama membuat binar dan kilau cahayanya menjadi lengkap dan
sempurna.
Memang “pelita” itulah
yang menjadi sumber cahaya; sedangkan
“kaca” yang melindungi lampu itu
menjaga supaya cahayanya jangan padam
oleh tiupan angin serta menambah terangnya; dan “relung” menjaga cahaya
itu agar tidak menyebar secara liar melainkan menjadi cahaya yang menyorot ke
arah depan.
Tamsil ini dengan tepat dapat
dikenakan kepada lampu senter yang
bagian-bagiannya adalah (1) kawat-kawat listrik yang memberikan cahaya, (2) bola-lampu yang melindungi cahaya
itu dan (3) reflektor yang
memancarkan dan menyebarkan cahaya
serta memberi arah kepadanya.
Dalam istilah ruhani tiga buah benda itu — “lampu”, “kaca” dan
“relung” — masing-masing dapat melukiskan cahaya Ilahi, para nabi Allah
yang melindungi cahaya itu dari
menjadi padam serta menambah kilau dan terangnya, dan para khalifah nabi yang menyebarkan dan
memancarkan cahaya Ilahi dan memberikan arah dan tujuan untuk
menjadi petunjuk dan sinar penerang dunia.
Ayat ini selanjutnya menyatakan
bahwa minyak yang dipakai menyalakan lampu itu mempunyai kemurnian yang
semurni-murninya dan dapat menyala sampai batas hingga membuat minyak itu
berkobar menyala-nyala sekalipun tidak
dinyalakan api. Minyak itu diambil dari pohon yang bukan dari timur dan bukan
juga dari barat, yaitu yang tidak bersifat pilih kasih terhadap sesuatu kaum
tertentu.
Ayat ini dapat pula mempunyai
tafsiran lain lagi. Nur (cahaya) yang tersebut dalam ayat ini dapat
dianggap menunjuk kepada Nabi Besar Muhammad saw. sebab beliau saw. dalam Al-Quran disebut nur
(QS.5:16), dalam keadaan demikian “relung”
berarti “hati” beliau saw. , dan “lampu” berarti fitrat beliau saw.
yang amat murni, khalis
dan dikaruniai sifat-sifat serta
mengandung arti bahwa nur Ilahi yang telah ditanamkan dalam fitrat
beliau saw. adalah sebersih dan secemerlang hablur
(kristal).
Jika nur wahyu Ilahi -- dalam hal ini adalah wahyu Al-Quran sebagai wahyu syariat yang terakhir dan
tersempurna (QS.5:4) -- turun (diwahyukan)
kepada nur fitrat Nabi Besar Muhammad saw. maka nur
itu bersinar dengan kilauan berlipat ganda, yang oleh Allah Swt. dalam Al-Quran dilukiskan dengan
kata-kata نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ -- “Nur
di atas nur”.
“Minyak Pohon Zaitun”
yang Nyaris Bercahaya
Nur Nabi Besar Muhammad saw. ini telah dibantu oleh minyak yang keluar dari pohon yang bukan hanya terang dan cemerlang tetapi juga berlimpah-limpah,
mantap, dan kekal (seperti arti dan maksud kata mubarakah itu) dan
dimaksudkan menyinari timur dan barat kedua-duanya --
yaitu untuk seluruh umat manusia
sampai Hari Kiamat (QS.7:159;
QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29) -- itulah makna
یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ
زَیۡتُوۡنَۃٍ لَّا
شَرۡقِیَّۃٍ وَّ لَا غَرۡبِیَّۃٍ -- “Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari
sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu pohon
zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat”.
Lagi pula hati Nabi Besar Muhammad saw. begitu suci bersih, dan fitrat
beliau saw. dianugerahi kemampuan sempurna yang begitu mulia, sehingga
beliau saw. layak melaksanakan tugas-tugas
misi agung beliau saw., bahkan sebelum wahyu
Ilahi (wahyu Al-Quran) turun kepada beliau saw.. Inilah maksud kata-kata یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ
لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ
-- “yang minyaknya
hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya.”
Tamsil ini dapat pula diberi
tafsiran lain lagi. Relung dalam ayat ini berarti jasad manusia. Jasad manusia berisi ruh serta mengantarkan cahaya, yang berarti tubuh
jasmani manusia itu berisikan misbah atau “pelita ruh” yang
menyinari akal manusia dan menghubungkannya dengan Tuhan (Allah Swt.).
Pelita (misbah) itu
terletak dalam zujajah (kaca) yang menjaganya terhadap kemudaratan dan
cacat serta menambah dan memantulkan cahayanya, zujājah yang
melambangkan otak manusia susunannya
begitu sempurna, sehingga telah menjuruskan beberapa ahli filsafat untuk mengira bahwa akal manusia adalah sumber
asli cahaya Ilahi, padahal bukan
karena tanpa bantuan cahaya wahyu Ilahi maka otak
atau akal manusia tidak akan luput
dari berbagai kelemahan dan kekeliruan.
Cahaya itu dibantu oleh minyak yang berasal dari suatu “pohon
yang diberkati”, yaitu dari kebenaran-kebenaran
yang pokok lagi abadi, yang tidak merupakan milik khusus orang-orang timur ataupun barat,
dimana kebenaran-kebenaran kekal-abadi itu telah tertanam dalam fitrat manusia dan hampir-hampir akan menampakkan dirinya
(nyaris bersinar) meskipun tanpa bantuan cahaya wahyu Ilahi.
Empat Macam Nikmat Ruhani
Bagi Umat Islam
Orang-orang yang memiliki fitrat yang murni seperti itu apabila
mereka “disinari dengan cahaya wahyu Al-Quran -- yakni mengikuti cahaya petunjuk Al-Quran sebagaimana sunnah
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22) -- maka
fitrat mereka pun akan mulai bercahaya seperti pelita
yang disulut oleh nyala api. Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah firman Allah Swt. berikut ini:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
عَلِیۡمًا﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini maka
mereka akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat
yang sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Menge-tahui. (An-Nisa [70]:70-71).
Kata
depan ma’a menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu
tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu
mengandung arti bantuan, seperti
tercantum dalam QS.9:40 (Al-Mufradat).
Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi
artinya “di antara” (QS.3:194; QS.4: 147).
Ayat
ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka
bagi kaum Muslimin. Keempat martabat
keruhanian — nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syuhada
(syahid-syahid) dan shalih-shalih
(orang-orang saleh) — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti
Nabi Besar Muhammad saw..
Hal ini
merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammad asw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang
beriman kepada Allāh dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan
saksi-saksi di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi
lainnya dapat mencapai martabat shiddiq,
syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka para pengikut
secati Nabi Besar Muhammad saw. dapat
naik ke martabat nabi juga.
Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang
mengatakan: “Tuhan telah membagi
orang-orang beriman dalam empat golongan
dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di
antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang
beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan
membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua
macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat,
sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat
dicapai.”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar