Jumat, 18 April 2014

Hakikat "Nur di atas Nur" & Empat Macam "Nikmat Ruhani" Bagi Para Pengikut Hakiki Nabi Besar Muhammad saw.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   203

Hakikat “Nur di Atas Nur” & Empat Macam Nikmat Ruhani  Bagi Para Pengikut  Hakiki Nabi Besar Muhammad Saw.

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
P
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai   Ayat selanjutnya    وَ ہُدُوۡۤا اِلٰی الطَّیِّبِ مِنَ الۡقَوۡلِ ۚۖ وَ ہُدُوۡۤا  اِلَی  صِرَاطِ  الۡحَمِیۡدِ -- “Dan mereka akan dibimbing kepada ucapan yang baik, dan mereka akan dibimbing ke jalan  yang terpuji  (QS. 22:24-25),  selain sesuai dengan firman Allah Swt. sebelumnya: وَ الَّذِیۡنَ اہۡتَدَوۡا زَادَہُمۡ ہُدًی وَّ اٰتٰہُمۡ تَقۡوٰىہُمۡ    --  Dan orang-orang yang mendapat petunjuk,  Dia menambahkan  petunjuk kepada mereka, dan Dia memberikan kepada mereka balasan  ketakwaan mereka. (QS.47:18), juga sesuai dengan firman-Nya berikut ini:
وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلٰی دَارِ السَّلٰمِ ؕ وَ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾   لِلَّذِیۡنَ اَحۡسَنُوا الۡحُسۡنٰی وَ زِیَادَۃٌ ؕ وَ لَا یَرۡہَقُ وُجُوۡہَہُمۡ قَتَرٌ وَّ لَا ذِلَّۃٌ ؕ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ الۡجَنَّۃِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan  Allah menyeru manusia ke rumah keselamatan  dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.   Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik  serta tambahan-tambahan   yang lain. Dan wajah  mereka tidak akan ditutupi debu hitam dan tidak pula kehinaan, mereka itu penghuni surga, mereka akan kekal  di dalamnya. (Yunus [10]:26-27).

Makna “Darus Salām” (Rumah Keselamatan) & Jiyādah (Tambahan-tambahan)

      Salām berarti: keselamatan, keamanan, kekekalan atau kebebasan dari kesa-lahan-kesalahan kekurangan-kekurangan cacat-cacat noda-noda keburukan-keburukan; atau berarti pula: kedamaian, kepatuhan; surga. Salam adalah salah satu nama sifat Allah  Swt.   juga  (Lexicon Lane).
    Berhubung al-husna berarti (1) kesudahan yang menggembirakan, (2) kemenangan; (3) kecerdasan dan kegesitan, maka anak kalimat lilladzina ahsanul-husna berarti: (1) bahwa orang-orang beriman akan sampai kepada kesudahan yang menyenangkan; (2) bahwa mereka akan mencapai sukses dan (3) bahwa Allah Swt.   akan menjadikan mereka cerdas dan terampil.
        Kata ziyādah (tambahan lebih banyak lagi) mengandung arti  bahwa orang-orang beriman akan mendapatkan Allah  Swt.   Sendiri sebagai ganjarannya, dan kata al-husna (yang berarti juga penglihatan kepada Tuhan) menguatkan kesimpulan itu. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. mengenai  ganjaran bagi orang-orang beriman yang melakukan   jihad fīllāh (jihad di dalam Allah) -- yang berbeda dengan jihad fī sabīlillāh (jihad di jalan Allah)  dengan harta dan jiwa --  firman-Nya: 
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ  لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan. (Al-Ankabūt [29]:70).
      Sebagaimana telah dikemukakan bahwa  jihad sebagaimana diperintahkan oleh  Allah Swt. dalam Al-Quran  tidak berarti harus membunuh atau menjadi korban pembunuhan, melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti “untuk menjumpai Kami.”

Perumpamaan  Pancaran “Nur Ilahi

      Jadi,  pernyataan  Allah Swt.   mengenai “petunjuk di atas petunjuk  bagi orang-orang yang beriman dalam firman-Nya  dalam Bab sebelumnya:
وَ الَّذِیۡنَ اہۡتَدَوۡا زَادَہُمۡ ہُدًی وَّ اٰتٰہُمۡ تَقۡوٰىہُمۡ ﴿﴾
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk,  Dia menambahkan  petunjuk kepada mereka, dan Dia memberikan kepada mereka balasan  ketakwaan mereka. (Muhammad [47]:18).
        Firman-Nya lagi mengenai “Dan mereka akan dibimbing kepada ucapan yang baik, dan mereka akan dibimbing ke jalan  yang terpuji”:
اِنَّ اللّٰہَ یُدۡخِلُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ  یُحَلَّوۡنَ فِیۡہَا مِنۡ اَسَاوِرَ مِنۡ ذَہَبٍ وَّ لُؤۡلُؤًا ؕ وَ لِبَاسُہُمۡ  فِیۡہَا حَرِیۡرٌ ﴿﴾  وَ ہُدُوۡۤا اِلٰی الطَّیِّبِ مِنَ الۡقَوۡلِ ۚۖ وَ ہُدُوۡۤا  اِلَی  صِرَاطِ  الۡحَمِیۡدِ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah akan  memasukkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di dalamnya   mereka akan dihiasi  dengan gelang-gelang emas dan mutiara, dan di dalamnya  pakaian mereka dari sutera.  Dan mereka akan dibimbing kepada ucapan yang baik, dan mereka akan dibimbing ke jalan  yang terpuji. (Al-Hajj [22]:24-25).
       Kemudian  dalam firman-Nya mengenai “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik  serta tambahan-tambahan   yang lain”:
وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلٰی دَارِ السَّلٰمِ ؕ وَ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾   لِلَّذِیۡنَ اَحۡسَنُوا الۡحُسۡنٰی وَ زِیَادَۃٌ ؕ وَ لَا یَرۡہَقُ وُجُوۡہَہُمۡ قَتَرٌ وَّ لَا ذِلَّۃٌ ؕ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ الۡجَنَّۃِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan  Allah menyeru manusia ke rumah keselamatan  dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.   Bagi orang-orang yang berbuat ihsan ada balasan yang lebih baik  serta tambahan-tambahan   yang lain. Dan wajah  mereka tidak akan ditutupi debu hitam dan tidak pula kehinaan, mereka itu penghuni surga, mereka akan kekal  di dalamnya. (Yunus [10]:26-27).
      Pernyataan Allah Swt.  dalam ayat-ayat tersebut sesuai dengan ayat “Nur di atas nur” dalam firman-Nya berikut ini:
اَللّٰہُ  نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ  فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ  زَیۡتُوۡنَۃٍ  لَّا شَرۡقِیَّۃٍ  وَّ لَا غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ  لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ وَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ 
Allah adalah Nur  seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya   seperti sebuah relung yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada dalam kaca.  Kaca itu seperti bin-tang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu  pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur di atas nur. Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil untuk manusia, dan Allāh Maha  Mengetahui segala sesuatu. (An-Nūr [24]:36).
       Nur berarti cahaya sebagai lawan dari kegelapan. Kata nur mempunyai pengertian lebih luas dan lebih menembus dan juga lebih bertahan (lama) daripada dhiya (Lexicon Lane).  Misykat berarti:  relung dalam sebuah tembok  yakni lobang atau lekuk dalam tembok yang tidak menembus dinding itu; lampu yang ditempatkan di sana memberi cahaya lebih banyak daripada di tempat lain; tiang yang dipuncaknya diletakkan lampu (Lexicon Lane).    Zujajah berarti: kaca; bola dari kaca atau semprong kaca (Lexicon Lane).

Makna “Nur di atas Nur

         Ayat ini merupakan tamsil (perumpamaan) yang indah. Ayat ini membicarakan tiga buah benda — pelita,  kaca, dan relung.  Disebutkan bahwa Nur Ilahi disebutkan “terkurung” di dalam tiga benda tersebut yang bila digabung bersama membuat binar dan kilau cahayanya menjadi lengkap dan sempurna.
      Memang “pelita” itulah yang menjadi sumber cahaya; sedangkan  “kaca” yang melindungi lampu itu menjaga supaya cahayanya jangan padam oleh tiupan angin serta menambah terangnya; dan “relung”    menjaga cahaya itu agar tidak menyebar secara liar melainkan menjadi cahaya yang menyorot ke arah depan.
     Tamsil ini dengan tepat dapat dikenakan kepada lampu senter yang bagian-bagiannya adalah (1)  kawat-kawat listrik yang memberikan cahaya, (2) bola-lampu yang melindungi cahaya itu dan (3) reflektor yang memancarkan dan menyebarkan cahaya serta memberi arah kepadanya.
       Dalam istilah ruhani  tiga buah benda itu — “lampu”, “kaca” dan “relung” — masing-masing dapat melukiskan cahaya Ilahi, para nabi Allah yang melindungi cahaya itu dari menjadi padam serta menambah kilau dan terangnya, dan para khalifah nabi yang menyebarkan dan memancarkan cahaya Ilahi dan memberikan arah dan tujuan untuk menjadi petunjuk dan sinar penerang dunia.
       Ayat ini selanjutnya menyatakan bahwa minyak yang dipakai menyalakan lampu itu mempunyai kemurnian yang semurni-murninya dan dapat menyala sampai batas hingga membuat minyak itu berkobar menyala-nyala  sekalipun tidak dinyalakan api. Minyak itu diambil dari pohon yang bukan dari timur dan bukan juga dari barat, yaitu yang tidak bersifat pilih kasih terhadap sesuatu kaum tertentu.
       Ayat ini dapat pula mempunyai tafsiran lain lagi. Nur (cahaya) yang tersebut dalam ayat ini dapat dianggap menunjuk kepada Nabi Besar Muhammad saw.  sebab beliau saw. dalam Al-Quran disebut nur (QS.5:16), dalam keadaan demikian “relung” berarti “hati” beliau saw. , dan “lampu” berarti fitrat beliau saw. yang amat murni,  khalis dan dikaruniai sifat-sifat serta mengandung arti bahwa nur Ilahi yang telah ditanamkan dalam fitrat beliau  saw. adalah sebersih dan secemerlang hablur (kristal).
        Jika  nur wahyu Ilahi  -- dalam hal ini adalah wahyu Al-Quran  sebagai wahyu syariat yang terakhir dan tersempurna (QS.5:4)  -- turun (diwahyukan) kepada nur fitrat  Nabi Besar Muhammad saw.  maka nur itu bersinar dengan kilauan berlipat ganda, yang oleh  Allah Swt. dalam Al-Quran dilukiskan dengan kata-kata نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ  --  “Nur di atas nur”.

Minyak Pohon Zaitun” yang Nyaris Bercahaya

      Nur  Nabi Besar Muhammad saw.  ini telah dibantu oleh minyak yang keluar dari pohon yang bukan hanya terang dan cemerlang tetapi juga berlimpah-limpah, mantap, dan kekal (seperti arti dan maksud kata mubarakah itu) dan dimaksudkan menyinari timur dan barat kedua-duanya   --   yaitu untuk seluruh umat manusia sampai Hari Kiamat (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29) -- itulah makna  یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ  زَیۡتُوۡنَۃٍ  لَّا شَرۡقِیَّۃٍ  وَّ لَا غَرۡبِیَّۃٍ  -- “Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu  pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat”.
      Lagi pula hati Nabi Besar Muhammad saw.  begitu suci bersih, dan fitrat beliau saw. dianugerahi kemampuan sempurna yang begitu mulia, sehingga beliau saw. layak melaksanakan tugas-tugas misi agung beliau saw., bahkan sebelum wahyu Ilahi (wahyu Al-Quran) turun kepada beliau saw.. Inilah maksud kata-kata  یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ  --   “yang minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya.”
       Tamsil ini dapat pula diberi tafsiran lain lagi. Relung dalam ayat ini berarti jasad manusia. Jasad manusia berisi ruh  serta mengantarkan cahaya, yang berarti  tubuh jasmani manusia itu berisikan misbah atau “pelita ruh” yang menyinari akal manusia dan menghubungkannya dengan Tuhan (Allah Swt.).
      Pelita (misbah) itu terletak dalam zujajah (kaca) yang menjaganya terhadap kemudaratan dan cacat serta menambah dan memantulkan cahayanya, zujājah yang melambangkan otak manusia susunannya begitu sempurna, sehingga telah menjuruskan beberapa ahli filsafat untuk mengira bahwa akal manusia adalah sumber asli cahaya Ilahi, padahal bukan karena  tanpa bantuan cahaya wahyu Ilahi  maka otak atau akal manusia tidak akan luput dari berbagai kelemahan dan kekeliruan.
        Cahaya itu dibantu oleh minyak yang berasal dari suatu “pohon yang diberkati”, yaitu dari kebenaran-kebenaran yang pokok lagi abadi, yang tidak merupakan milik khusus orang-orang timur ataupun barat, dimana  kebenaran-kebenaran kekal-abadi itu telah tertanam dalam fitrat manusia dan hampir-hampir akan menampakkan dirinya (nyaris bersinar) meskipun tanpa bantuan cahaya wahyu Ilahi.

Empat Macam Nikmat Ruhani   Bagi Umat Islam

        Orang-orang yang memiliki fitrat yang murni seperti itu apabila mereka  “disinari dengan cahaya wahyu Al-Quran  -- yakni mengikuti cahaya petunjuk Al-Quran sebagaimana     sunnah Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22)  -- maka   fitrat  mereka pun akan mulai bercahaya seperti pelita yang disulut oleh nyala api.    Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah firman Allah Swt. berikut ini:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka  itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Menge-tahui. (An-Nisa [70]:70-71).
        Kata depan ma’a menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40 (Al-Mufradat). Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi artinya “di antara  (QS.3:194; QS.4: 147).
        Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian —  nabi-nabi,  shiddiq-shiddiq,  syuhada (syahid-syahid) dan   shalih-shalih (orang-orang saleh) — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti Nabi Besar Muhammad saw..
       Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  Nabi Besar Muhammad asw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau  saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allāh dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
       Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka para  pengikut secati Nabi Besar Muhammad saw.  dapat naik ke martabat nabi juga.
      Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  6 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar