Rabu, 23 April 2014

Falsafah Perumpamaan "Sungai Khamar" di Surga & "Minuman Surgawi" yang Campurannya "Kafur"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   207

Falsafah Perumpamaan   Sungai Khamar” di Surga & “Minuman Surgawi” yang Campurannya “Kafur

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   Bab  sebelumnya    telah dikemukakan firman-Nya mengenai   khasiat  senantiasa minum air susu ibu (ASI)  maka  tubuh   bayi yang   dilahirkan  seorang ibu   bukan saja akan cepat berkembang secara sempurna dalam segala seginya,  dibandingkan perkembangan tubuhnya jika hanya diberi minum air tawar saja, bahkan akan  hubungan batin dengan ibunya akan semakin erat.
   Berikut  keterangan mengenai manfaat besar ASI (air susu ibu) bagi bayi yang dilahirkannya:
        ASI selalu mempunyai suhu standarnya, tingkat kesegaran yang prima dan bebas bakteri  serta mudah dicerna. ASI mengandung berbagai macam zat antibodi yang berasal dari ibu, memberi perlindungan terhadap berbagai sumber penularan penyakit bagi bayi. Bayi yang minum ASI dibanding dengan bayi yang minum susu bubuk buatan, lebih jarang terjangkit bermacam penyakit akut maupun kronis.
       ASI juga bisa mengikuti pertumbuhan bayi dengan otomatis merubah komposisinya, untuk menyesuaikan kebutuhan setiap tahap masa pertumbuhan bayi. ASI tidak mengandung jenis protein dari benda lainnya, bisa mengurangi kemungkinan yang mengakibatkan bayi terkena alergi.
        ASI mengandung komposisi gizi yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan otak bayi, uji klinis telah membuktikan bahwa bayi yang dibesarkan dengan ASI, IQ-nya (Intellegencia Quotient) lebih tinggi. Melalui proses menyusui, pendekatan intim antara bayi dan ibu, lebih mudah menumbuhkan EQ bayi dalam kepercayaan diri sendiri maupun orang lain.

Kelekatan Hati Nabi Musa a.s. Ketika Masih Bayi kepada Ibunya

     Dengan demikian jelaslah makna makna  atau falsafah yang terkandung perumpamaan “sungai surgawi” berupa “sungai-sungai susu”,  yaitu mengisyaratkan kepada pertumbuhan (perkembangan)  “keadaan” para penghuni surga  di dalam surga di akhirat ketika memperoleh minuman “susu kecintaan Ilahi”.
    Jadi,  keberadaan  sungai susu” dalam surga mengisyaratkan kepada tingkatan kehidupan surgawi  yang lebih tinggi daripada tingkatan kehidupan surgawi yang  di dalamnya terdapat “sungai-sungai surgawi air tawar  yang  berkhasiat memberikan kemampuan untuk mempertahankan  hidup,” firman-Nya:
وَ اللّٰہُ  اَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ  مَآءً  فَاَحۡیَا بِہِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ اِنَّ فِیۡ  ذٰلِکَ لَاٰیَۃً  لِّقَوۡمٍ  یَّسۡمَعُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan Allah telah menurunkan air dari langit  lalu Dia menghidupkan bumi dengannya setelah kematiannya, sesungguhnya dalam yang demikian itu ada Tanda bagi kaum yang mau mendengar. (An-Nahl [16]:66).
       Ada hal yang menarik berkenaan  khasiat  air susu ibu  (ASI) terhadap bayi yang dilahirkannya adalah ketika   Nabi Musa a.s. masih bayi menolak menyusu  kepada perempuan-perempuan selain kepada ibunya,  karena sebelum diletakkan dalam peti untuk dihanyutkan di sungai Nil,  Allah Swt. telah  mewahyukan kepada ibu Nabi Musa a.s. untuk terlebih dulu menyusuinya (QS.28:8-14), firman-Nya:
وَ اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلٰۤی اُمِّ مُوۡسٰۤی اَنۡ  اَرۡضِعِیۡہِ ۚ فَاِذَا خِفۡتِ عَلَیۡہِ  فَاَلۡقِیۡہِ فِی الۡیَمِّ  وَ لَا تَخَافِیۡ  وَ لَا تَحۡزَنِیۡ ۚ اِنَّا رَآدُّوۡہُ  اِلَیۡکِ وَ جَاعِلُوۡہُ  مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami  wahyukan kepada ibu Musa supaya dia menyusuinya: “Lalu apabila engkau takut mengenai   keselamatan dia maka letakkanlah dia di sungai, janganlah engkau takut dan jangan pula engkau bersedih, sesungguhnya Kami akan mengembalikan dia kepada engkau, dan Kami akan menjadikannya salah seorang dari   orang-orang yang diutus.” (Al-Qashshas [28]:8).
      Jadi, terdapat pengaruh besar khasiat  air  susu ibu terhadap perkembangan jiwa  bayi yang disusui, sehingga  Allah Swt. melarang laki-laki menikahi  perempuan yang sepesusuan sekali pun mereka itu bukan saudara kandung, demikian juga halnya dengan   ibu susu   karena kedudukannya menjadi   seperti  ibu kandung (QS.4:23).

Sungai Khamar” &  Makna “Nuthfah Campuran

        Selanjutnya akan dijelaskan mengenai hikmah atau falsafah perumpamaan “sungai surgawi  khamar”, firman-Nya:
  مَثَلُ الۡجَنَّۃِ الَّتِیۡ وُعِدَ الۡمُتَّقُوۡنَ ؕ فِیۡہَاۤ اَنۡہٰرٌ  مِّنۡ  مَّآءٍ غَیۡرِ اٰسِنٍ ۚ وَ  اَنۡہٰرٌ مِّنۡ لَّبَنٍ لَّمۡ  یَتَغَیَّرۡ  طَعۡمُہٗ ۚ وَ اَنۡہٰرٌ  مِّنۡ خَمۡرٍ  لَّذَّۃٍ   لِّلشّٰرِبِیۡنَ ۬ۚ وَ اَنۡہٰرٌ مِّنۡ عَسَلٍ مُّصَفًّی ؕ وَ لَہُمۡ  فِیۡہَا مِنۡ کُلِّ الثَّمَرٰتِ وَ مَغۡفِرَۃٌ  مِّنۡ  رَّبِّہِمۡ ؕ  کَمَنۡ ہُوَ خَالِدٌ فِی النَّارِ وَ سُقُوۡا مَآءً حَمِیۡمًا فَقَطَّعَ  اَمۡعَآءَہُمۡ ﴿﴾
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, di dalamnya terdapat sungai-sungai yang airnya tidak akan rusak; dan sungai-sungai susu yang rasanya tidak berubah, dan sungai-sungai arak yang sangat lezat rasanya bagi orang-orang yang meminum, dan sungai-sungai madu yang dijernihkan. Dan bagi mereka di dalamnya ada segala macam buah-buahan, dan pengampunan dari Rabb (Tuhan) mereka. Apakah sama seperti orang yang tinggal kekal di dalam Api dan diberi minum air mendidih, sehingga akan merobek-robek usus mereka? (Muhammad [47]:16).
        Memang benar Allah Swt. dalam Al-Quran telah menyatakan haram bahwa semua jenis minuman  memabukkan yang termasuk  khamar (QS.2:220; QS.5:91-92);  akan tetapi penggunaan kata “khamar”   berkenaan dengan perumpamaan “sungai surgawi” yang ketiga,   hanya sekedar  untuk menggambarkan “kerinduan” atau “mabuk-kepayangnya” para pelaku suluk (perjalanan ruhani) menuju perjumpaan dengan Allah Swt. (QS.2:155-158 & 224; QS.11:30; QS.18:111; QS.29:70; QS.84:7; QS.89:28-31)  ketika  mereka meraih tingkatan makrifat Ilahi tertentu, yang dalam Surah Al-Quran berikut ini  digambarkan sebagai “minuman surgawi” yang bernama zanjabil (jahe) dari sumber mata air  surgawi yang bernama salsabil (QS.76:18-19),  firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ ہَلۡ  اَتٰی عَلَی الۡاِنۡسَانِ حِیۡنٌ مِّنَ الدَّہۡرِ  لَمۡ  یَکُنۡ شَیۡئًا مَّذۡکُوۡرًا ﴿﴾  اِنَّا خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ  اَمۡشَاجٍ ٭ۖ  نَّبۡتَلِیۡہِ  فَجَعَلۡنٰہُ سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا ﴿﴾ اِنَّا ہَدَیۡنٰہُ  السَّبِیۡلَ  اِمَّا شَاکِرًا وَّ اِمَّا کَفُوۡرًا ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡتَدۡنَا  لِلۡکٰفِرِیۡنَ سَلٰسِلَا۠ وَ اَغۡلٰلًا  وَّ  سَعِیۡرًا ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Bukankah telah  datang kepada insan (manusia) suatu waktu dari masa ketika ia belum menjadi  sesuatu yang layak disebut?  Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari nutfah campuran  supaya Kami dapat mengujinya, maka Kami telah membuat dia mendengar serta melihat.  Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan, apakah ia bersyukur atau pun tidak bersyukur.  Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan Api yang menyala-nyala. (Ad-Dahr -- Al-Insān  [76]:1-5).
   Makna kalimat  نُّطۡفَۃٍ  اَمۡشَاجٍ  -- “nuthfah campuran” dalam ayat اِنَّا خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ  اَمۡشَاجٍ  -- “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari nutfah campuran  supaya Kami dapat mengujinya”, bahwa insan  (manusia) diciptakan dari setetes nuthfah (air mani), yang zatnya sendiri merupakan campuran dari beberapa zat; hal ini berarti bahwa ia telah diberi berbagai kekuatan, kemampuan, dan sifat-sifat fitri yang dimaksudkan guna meraih kemajuan dalam akhlak dan ruhaninya.   
     Proses penciptaan  ini hanya menunjuk kepada peraturan umum mengenai penciptaan manusia  dalam rahim  ibu, tetapi   bukan tidak mungkin (tidak mustahil) itu terjadi dengan jalan lain, seperti contohnya dengan cara “cloning” yang sempat menimbulkan kontroversi.
  Karena tujuan utama Allah Swt. menciptakan   dua golongan manusia – yang disebut jin dan ins   --  adalah untuk beribadah kepada-Nya (QS.51:57), yakni untuk menjadi Khalifah-Nya di muka bumi, karena itulah Allah Swt. telah membekali “cikal-bakal” manusia tersebut bukan saja dengan berbagai  macam “potensi yang terkandung dalam sebutan   نُّطۡفَۃٍ  اَمۡشَاجٍ  -- “nuthfah campuran”,  tetapi juga Allah Swt. telah menganugerahi  manusia sarana untuk memperoleh ilmu (makrifat) berupa kemampuan “mendengar” dan “melihat”:   فَجَعَلۡنٰہُ سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا   -- “maka Kami telah membuat dia mendengar dan melihat”,  serta Allah Swt. telah menunjuki mereka “jalan tempuhan” yang dengan menempuhnya akan meraih berbagai kesuksesan:  اِنَّا ہَدَیۡنٰہُ  السَّبِیۡلَ  اِمَّا شَاکِرًا وَّ اِمَّا کَفُوۡرًا  --  Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan, apakah ia bersyukur atau pun tidak bersyukur.  

Keadaan Nafs Ammarah

       Selanjutnya Allah Swt. berfirman bahwa apabila manusia tidak memanfaatkan seluruh “potensi” anugerah  Allah Swt. tersebut sebaik-baiknya   -- guna meraih tujuan utama penciptaan-Nya (QS.51:57)  --   mereka akan mengalami akibat buruk sebagaimana  dikemukakan ayat selanjutnya:    اِنَّاۤ  اَعۡتَدۡنَا  لِلۡکٰفِرِیۡنَ سَلٰسِلَا۠ وَ اَغۡلٰلًا  وَّ  سَعِیۡرًا   --   Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan Api yang menyala-nyala  (Ad-Dahr -- Al-Insān  [76]:1-5).
    Menurut ayat tersebut bahwa tiap-tiap perbuatan yang dilakukan manusia diikuti oleh perbuatan bersangkutan yang dilakukan oleh Allah Swt.. Terlibatnya orang-orang kafir di dalam urusan duniawi  maka di akhirat akan mengambil wujud rantai-rantai pengikat; demikian juga  hasrat-hasrat duniawi akan mengambil bentuk belenggu leher dari besi, sedangkan  ketamakan serta nafsu rendah mereka akan mengambil bentuk kobaran api neraka, dan seterusnya.
   Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah apabila manusia tidak berusaha keras melepaskan diri dari cengkraman gejolak nafs Ammarah dalam dirinya  -- yang pada hakikatnya merupakan nafsu kebinatangan -  sebagaimana dikemukakan oleh Nabi Yusuf a.s., firman-Nya:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ   ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
  Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a)Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang”, huruf  di sini menggantikan kata nafs. (b)Kecuali dia  yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang”,  di sini berarti man (siapa). (c)Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya”. Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
  Arti pertama menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28). Arti kedua dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs Lawwamah (jiwa yang mencela diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya. Arti ketiga dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan), sebagaimana dikemukakan oleh Nabi Yusuf a.s..

Falsafah “Minuman Surgawi yang Dicampur  Kafur

      Setelah mengemukakan akibat buruk yang akan dialami manusia di akhirat jika tidak memanfaatkan seluruh “potensi” serta sarana untuk memperoleh makrifat Ilahi berupa pendengaran dan penglihatan  sesuai petunjuk Allah Swt., selanjutnya Dia berfirman mengenai orang-orang yang  mensyukuri penganugerahan potensi dan sarana tersebut:
اِنَّ  الۡاَبۡرَارَ  یَشۡرَبُوۡنَ مِنۡ کَاۡسٍ کَانَ مِزَاجُہَا  کَافُوۡرًا ۚ﴿﴾ عَیۡنًا یَّشۡرَبُ بِہَا عِبَادُ اللّٰہِ یُفَجِّرُوۡنَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿﴾ یُوۡفُوۡنَ بِالنَّذۡرِ وَ یَخَافُوۡنَ یَوۡمًا کَانَ شَرُّہٗ  مُسۡتَطِیۡرًا ﴿﴾ وَ یُطۡعِمُوۡنَ  الطَّعَامَ عَلٰی حُبِّہٖ مِسۡکِیۡنًا وَّ  یَتِیۡمًا  وَّ  اَسِیۡرًا ﴿﴾ اِنَّمَا نُطۡعِمُکُمۡ لِوَجۡہِ اللّٰہِ لَا نُرِیۡدُ مِنۡکُمۡ جَزَآءً   وَّ  لَا  شُکُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّا نَخَافُ مِنۡ رَّبِّنَا یَوۡمًا عَبُوۡسًا قَمۡطَرِیۡرًا ﴿﴾  
Sesungguhnya orang-orang  yang berbuat kebajikan, mereka  minum dari piala yang campurannya  kapur,  dari mata air  yang darinya hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan pancaran yang deras. Mereka menyempurnakan nazar  dan takut pada suatu hari yang keburukannya tersebar luas.  Dan karena cinta kepada-Nya   mereka memberi makan orang miskin, anak yatim, dan tawanan, seraya berkata, “Sesungguhnya kami memberi makan kepada kamu karena mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak mengharapkan dari kamu balasan dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut azab dari Rabb (Tuhan) kami pada suatu hari  muka menjadi masam dan penuh kesulitan.  (Ad-Dahr -- Al-Insān  [76]:6-11).
     Makna kata  kafūr  dalam ayat یَشۡرَبُوۡنَ مِنۡ کَاۡسٍ کَانَ مِزَاجُہَا  کَافُوۡرًا  -- “mereka  minum dari piala yang campurannya  kapur”,  berasal dari kafara, yang berarti menutup atau menekan. Arti ayat ini ialah  meneguk minuman yang campurannya  kapur  akan membawa akibat  meredanya atau melemahnya  gejolak hawa nafsu kebinatangan, dan hati orang-orang beriman yang bertakwa akan disucikan dari segala pikiran kotor, dan mereka akan didinginkan dengan kesejukan irfan (makrifat) Ilahi yang mendalam.
 Makna ayat   یُفَجِّرُوۡنَہَا تَفۡجِیۡرًا  -- “mereka memancarkannya dengan pancaran yang deras”, bahwa  di dalam surga, orang-orang beriman yang bertakwa akan minum dari cawan yang diisi minuman dari sumber-sumber mata air yang digali  dan dipancarkan oleh mereka sendiri dengan bekerja keras, karena itulah arti kata tafjīr.
      Berbagai perbuatan  baik atau amal shaleh yang telah dilakukan mereka dalam kehidupan duniawi – antara lain berupa memenuhi nazar, memberi makan orang miskin, anak yatim, tawanan  dan lain-lain --  akan nampak di akhirat dalam bentuk sumber-sumber mata air,  karena semua itu mereka lakukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah Swt.:
اِنَّمَا نُطۡعِمُکُمۡ لِوَجۡہِ اللّٰہِ لَا نُرِیۡدُ مِنۡکُمۡ جَزَآءً   وَّ  لَا  شُکُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّا نَخَافُ مِنۡ رَّبِّنَا یَوۡمًا عَبُوۡسًا قَمۡطَرِیۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya kami memberi makan kepada kamu karena mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak mengharapkan dari kamu balasan dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut azab dari Rabb (Tuhan) kami pada suatu hari  muka menjadi masam dan penuh kesulitan.   (Ad-Dahr -- Al-Insān  [76]:10-11).
     Jadi, penganugerahan minuman surgawi yang campurannya “kafur  hal itu mengisyaratkan kepada tingkat pertama dalam perkembangan ruhani yang menghendaki kerja keras dan tidak putus-putus pada pihak orang-orang beriman dan bertakwa, sebab selama manusia belum dapat mengendalikan serta menekan hawa nafsu jahatnya  maka selama itu ia tidak dapat membuat suatu kemajuan ruhani karena  mereka  tidak berusaha melepaskan diri dari  cengkraman   nafs ammarah (QS.12:54),  yang mengakibatkan tidak akan pernah  memperoleh   “mata air” yang terpancar deras sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini  yaitu berupa  mata air kecintaan Allah dan makrifat Ilahi.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  10 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar