بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
207
Falsafah Perumpamaan
“Sungai Khamar” di Surga & “Minuman
Surgawi” yang Campurannya “Kafur”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya
mengenai khasiat senantiasa minum air susu ibu (ASI) maka tubuh bayi yang dilahirkan
seorang ibu bukan saja akan cepat berkembang secara sempurna dalam
segala seginya, dibandingkan
perkembangan tubuhnya jika hanya diberi minum air tawar saja, bahkan akan hubungan batin dengan ibunya akan
semakin erat.
Berikut keterangan mengenai
manfaat besar ASI (air susu ibu) bagi bayi yang dilahirkannya:
ASI
selalu mempunyai suhu standarnya, tingkat kesegaran yang prima dan bebas
bakteri serta mudah dicerna. ASI
mengandung berbagai macam zat antibodi yang berasal dari ibu, memberi
perlindungan terhadap berbagai sumber penularan penyakit bagi bayi. Bayi yang
minum ASI dibanding dengan bayi yang minum susu bubuk buatan, lebih jarang
terjangkit bermacam penyakit akut maupun kronis.
ASI juga
bisa mengikuti pertumbuhan bayi dengan otomatis merubah komposisinya, untuk
menyesuaikan kebutuhan setiap tahap masa pertumbuhan bayi. ASI tidak mengandung
jenis protein dari benda lainnya, bisa mengurangi kemungkinan yang
mengakibatkan bayi terkena alergi.
ASI
mengandung komposisi gizi yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan otak bayi,
uji klinis telah membuktikan bahwa bayi yang dibesarkan dengan ASI, IQ-nya
(Intellegencia Quotient) lebih tinggi. Melalui proses menyusui, pendekatan
intim antara bayi dan ibu, lebih mudah menumbuhkan EQ bayi dalam kepercayaan
diri sendiri maupun orang lain.
Kelekatan Hati Nabi Musa a.s. Ketika Masih Bayi kepada Ibunya
Dengan demikian jelaslah makna makna atau falsafah
yang terkandung perumpamaan “sungai
surgawi” berupa “sungai-sungai susu”, yaitu mengisyaratkan kepada pertumbuhan (perkembangan) “keadaan”
para penghuni surga di dalam
surga di akhirat ketika memperoleh minuman “susu kecintaan Ilahi”.
Jadi, keberadaan
“sungai susu” dalam surga mengisyaratkan kepada tingkatan kehidupan surgawi yang lebih tinggi daripada tingkatan kehidupan surgawi yang di dalamnya terdapat “sungai-sungai surgawi air tawar”
yang berkhasiat memberikan kemampuan untuk mempertahankan “hidup,”
firman-Nya:
وَ اللّٰہُ اَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً
فَاَحۡیَا بِہِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً لِّقَوۡمٍ
یَّسۡمَعُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan Allah telah
menurunkan air dari langit lalu Dia menghidupkan bumi dengannya setelah
kematiannya, sesungguhnya dalam yang demikian itu ada Tanda bagi kaum yang mau
mendengar. (An-Nahl [16]:66).
Ada hal yang
menarik berkenaan khasiat air
susu ibu (ASI) terhadap bayi yang
dilahirkannya adalah ketika Nabi Musa
a.s. masih bayi menolak menyusu kepada perempuan-perempuan selain kepada ibunya,
karena sebelum diletakkan dalam peti untuk dihanyutkan di sungai Nil,
Allah Swt. telah mewahyukan kepada ibu Nabi Musa a.s.
untuk terlebih dulu menyusuinya
(QS.28:8-14), firman-Nya:
وَ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلٰۤی اُمِّ مُوۡسٰۤی اَنۡ اَرۡضِعِیۡہِ ۚ فَاِذَا خِفۡتِ عَلَیۡہِ فَاَلۡقِیۡہِ فِی الۡیَمِّ وَ لَا تَخَافِیۡ وَ لَا تَحۡزَنِیۡ ۚ اِنَّا رَآدُّوۡہُ اِلَیۡکِ وَ جَاعِلُوۡہُ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa supaya dia menyusuinya: “Lalu apabila engkau
takut mengenai keselamatan dia maka letakkanlah
dia di sungai, janganlah engkau takut dan jangan pula engkau bersedih, sesungguhnya Kami akan mengembalikan dia
kepada engkau, dan Kami akan
menjadikannya salah seorang dari
orang-orang yang diutus.” (Al-Qashshas
[28]:8).
Jadi,
terdapat pengaruh besar khasiat air susu ibu terhadap perkembangan jiwa bayi yang disusui, sehingga Allah Swt.
melarang laki-laki menikahi perempuan
yang sepesusuan sekali pun mereka itu
bukan saudara kandung, demikian juga
halnya dengan ibu susu karena
kedudukannya menjadi seperti ibu
kandung (QS.4:23).
“Sungai Khamar” & Makna “Nuthfah
Campuran”
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai hikmah atau falsafah perumpamaan “sungai
surgawi khamar”, firman-Nya:
مَثَلُ الۡجَنَّۃِ الَّتِیۡ وُعِدَ الۡمُتَّقُوۡنَ ؕ فِیۡہَاۤ اَنۡہٰرٌ مِّنۡ
مَّآءٍ غَیۡرِ اٰسِنٍ ۚ وَ
اَنۡہٰرٌ مِّنۡ لَّبَنٍ لَّمۡ
یَتَغَیَّرۡ طَعۡمُہٗ ۚ وَ
اَنۡہٰرٌ مِّنۡ خَمۡرٍ لَّذَّۃٍ
لِّلشّٰرِبِیۡنَ ۬ۚ وَ اَنۡہٰرٌ مِّنۡ عَسَلٍ مُّصَفًّی ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَا مِنۡ کُلِّ الثَّمَرٰتِ وَ
مَغۡفِرَۃٌ مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ؕ
کَمَنۡ ہُوَ خَالِدٌ فِی النَّارِ وَ سُقُوۡا مَآءً حَمِیۡمًا فَقَطَّعَ اَمۡعَآءَہُمۡ ﴿﴾
Perumpamaan
surga yang dijanjikan kepada orang-orang
yang bertakwa, di dalamnya terdapat sungai-sungai
yang airnya tidak akan rusak; dan sungai-sungai
susu yang rasanya tidak berubah, dan sungai-sungai
arak yang sangat lezat rasanya bagi orang-orang
yang meminum, dan sungai-sungai madu
yang dijernihkan. Dan bagi mereka di dalamnya ada segala macam buah-buahan, dan pengampunan dari Rabb
(Tuhan) mereka. Apakah sama seperti
orang yang tinggal kekal di dalam Api dan diberi minum air mendidih, sehingga akan merobek-robek usus mereka? (Muhammad [47]:16).
Memang
benar Allah Swt. dalam Al-Quran telah menyatakan haram bahwa semua jenis minuman memabukkan yang termasuk khamar
(QS.2:220; QS.5:91-92); akan tetapi
penggunaan kata “khamar” berkenaan dengan perumpamaan “sungai surgawi” yang ketiga, hanya sekedar
untuk menggambarkan “kerinduan”
atau “mabuk-kepayangnya” para pelaku suluk (perjalanan ruhani) menuju perjumpaan dengan Allah Swt. (QS.2:155-158
& 224; QS.11:30; QS.18:111; QS.29:70; QS.84:7; QS.89:28-31) ketika
mereka meraih tingkatan makrifat
Ilahi tertentu, yang dalam Surah Al-Quran berikut ini digambarkan sebagai “minuman surgawi” yang bernama zanjabil
(jahe) dari sumber mata air surgawi
yang bernama salsabil (QS.76:18-19), firman-Nya:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ ہَلۡ
اَتٰی عَلَی الۡاِنۡسَانِ حِیۡنٌ مِّنَ الدَّہۡرِ لَمۡ
یَکُنۡ شَیۡئًا مَّذۡکُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّا خَلَقۡنَا
الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ اَمۡشَاجٍ
٭ۖ نَّبۡتَلِیۡہِ فَجَعَلۡنٰہُ سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا ﴿﴾ اِنَّا ہَدَیۡنٰہُ السَّبِیۡلَ اِمَّا شَاکِرًا وَّ اِمَّا کَفُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّاۤ اَعۡتَدۡنَا
لِلۡکٰفِرِیۡنَ سَلٰسِلَا۠ وَ اَغۡلٰلًا
وَّ سَعِیۡرًا ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Bukankah telah datang kepada insan
(manusia) suatu waktu dari masa ketika
ia belum menjadi sesuatu
yang layak disebut? Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari nutfah campuran supaya Kami
dapat mengujinya, maka Kami telah
membuat dia mendengar serta melihat.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan, apakah ia bersyukur atau pun tidak bersyukur. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan Api yang menyala-nyala. (Ad-Dahr -- Al-Insān
[76]:1-5).
Makna kalimat
نُّطۡفَۃٍ اَمۡشَاجٍ -- “nuthfah campuran” dalam ayat اِنَّا
خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ
اَمۡشَاجٍ -- “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari nutfah campuran supaya Kami
dapat mengujinya”, bahwa insan (manusia) diciptakan dari setetes nuthfah (air mani), yang zatnya sendiri merupakan campuran dari beberapa zat; hal ini berarti bahwa ia telah
diberi berbagai kekuatan, kemampuan, dan sifat-sifat fitri yang dimaksudkan guna meraih kemajuan dalam akhlak dan
ruhaninya.
Proses penciptaan ini hanya menunjuk kepada peraturan umum
mengenai penciptaan manusia dalam rahim ibu,
tetapi bukan tidak mungkin (tidak mustahil) itu
terjadi dengan jalan lain, seperti contohnya dengan cara “cloning” yang sempat menimbulkan kontroversi.
Karena tujuan utama Allah Swt.
menciptakan dua golongan manusia – yang disebut jin dan ins -- adalah untuk beribadah kepada-Nya (QS.51:57), yakni untuk menjadi Khalifah-Nya di muka bumi, karena itulah
Allah Swt. telah membekali “cikal-bakal”
manusia tersebut bukan saja dengan berbagai
macam “potensi” yang terkandung dalam sebutan نُّطۡفَۃٍ اَمۡشَاجٍ
-- “nuthfah campuran”, tetapi juga Allah Swt. telah menganugerahi manusia sarana
untuk memperoleh ilmu (makrifat) berupa
kemampuan “mendengar” dan “melihat”: فَجَعَلۡنٰہُ
سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا -- “maka
Kami telah membuat dia mendengar dan melihat”, serta Allah
Swt. telah menunjuki mereka “jalan
tempuhan” yang dengan menempuhnya akan meraih berbagai kesuksesan: اِنَّا ہَدَیۡنٰہُ السَّبِیۡلَ اِمَّا شَاکِرًا وَّ اِمَّا کَفُوۡرًا
-- “Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan, apakah ia
bersyukur atau pun tidak bersyukur.
”
Keadaan Nafs
Ammarah
Selanjutnya Allah Swt. berfirman bahwa apabila
manusia tidak memanfaatkan seluruh “potensi” anugerah Allah Swt. tersebut sebaik-baiknya -- guna meraih tujuan utama penciptaan-Nya (QS.51:57) --
mereka akan mengalami akibat buruk
sebagaimana dikemukakan ayat
selanjutnya: اِنَّاۤ اَعۡتَدۡنَا
لِلۡکٰفِرِیۡنَ سَلٰسِلَا۠ وَ اَغۡلٰلًا
وَّ سَعِیۡرًا
-- “Sesungguhnya Kami menyediakan
bagi orang-orang kafir rantai, belenggu
dan Api yang menyala-nyala” (Ad-Dahr -- Al-Insān [76]:1-5).
Menurut ayat tersebut bahwa tiap-tiap perbuatan yang dilakukan manusia diikuti
oleh perbuatan bersangkutan yang dilakukan oleh Allah Swt.. Terlibatnya orang-orang kafir di dalam urusan duniawi maka di akhirat
akan mengambil wujud rantai-rantai pengikat;
demikian juga hasrat-hasrat duniawi akan mengambil bentuk belenggu leher dari besi, sedangkan ketamakan
serta nafsu rendah mereka akan
mengambil bentuk kobaran api neraka,
dan seterusnya.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah
apabila manusia tidak berusaha keras melepaskan
diri dari cengkraman gejolak nafs Ammarah
dalam dirinya -- yang pada hakikatnya
merupakan nafsu kebinatangan - sebagaimana dikemukakan oleh Nabi Yusuf a.s., firman-Nya:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ
لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا
رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf
[12]:54).
Anak kalimat illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran
yang berlainan: (a) “Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang”, huruf mā di
sini menggantikan kata nafs. (b) “Kecuali
dia yang kepadanya Tuhan-ku berkasih
sayang”, mā di sini berarti man
(siapa). (c) “Memang begitu,
tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya”.
Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf
perkembangan ruhani manusia.
Arti pertama menunjuk kepada taraf ketika
manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan
ruhani — tingkat nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenteram —
QS.89:28). Arti kedua dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs Lawwamah
(jiwa yang mencela diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan
buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya
dan kadang-kadang ia dikalahkan
olehnya. Arti ketiga dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan
ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan),
sebagaimana dikemukakan oleh Nabi Yusuf a.s..
Falsafah “Minuman Surgawi yang Dicampur
Kafur”
Setelah mengemukakan akibat buruk yang akan dialami manusia di akhirat jika tidak memanfaatkan seluruh “potensi” serta sarana
untuk memperoleh makrifat Ilahi
berupa pendengaran dan penglihatan sesuai petunjuk
Allah Swt., selanjutnya Dia berfirman mengenai orang-orang yang mensyukuri penganugerahan potensi dan sarana tersebut:
اِنَّ الۡاَبۡرَارَ
یَشۡرَبُوۡنَ مِنۡ کَاۡسٍ کَانَ مِزَاجُہَا کَافُوۡرًا ۚ﴿﴾ عَیۡنًا
یَّشۡرَبُ بِہَا عِبَادُ اللّٰہِ یُفَجِّرُوۡنَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿﴾ یُوۡفُوۡنَ بِالنَّذۡرِ وَ یَخَافُوۡنَ یَوۡمًا کَانَ شَرُّہٗ مُسۡتَطِیۡرًا ﴿﴾ وَ
یُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰی حُبِّہٖ
مِسۡکِیۡنًا وَّ یَتِیۡمًا وَّ
اَسِیۡرًا ﴿﴾ اِنَّمَا نُطۡعِمُکُمۡ لِوَجۡہِ اللّٰہِ لَا نُرِیۡدُ مِنۡکُمۡ
جَزَآءً وَّ لَا
شُکُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّا نَخَافُ مِنۡ رَّبِّنَا یَوۡمًا عَبُوۡسًا قَمۡطَرِیۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat
kebajikan, mereka minum dari piala yang campurannya kapur, dari mata air yang
darinya hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan pancaran yang deras. Mereka menyempurnakan nazar dan takut
pada suatu hari yang keburukannya tersebar luas. Dan karena cinta kepada-Nya mereka
memberi makan orang miskin, anak
yatim, dan tawanan, seraya berkata, “Sesungguhnya kami memberi makan kepada kamu karena mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak mengharapkan dari kamu balasan
dan tidak pula ucapan terima
kasih. Sesungguhnya kami takut azab
dari Rabb (Tuhan) kami pada suatu hari muka menjadi masam dan penuh kesulitan. (Ad-Dahr -- Al-Insān [76]:6-11).
Makna kata kafūr dalam ayat یَشۡرَبُوۡنَ مِنۡ کَاۡسٍ کَانَ مِزَاجُہَا
کَافُوۡرًا -- “mereka minum
dari piala yang campurannya kapur”, berasal
dari kafara, yang berarti menutup
atau menekan. Arti ayat ini
ialah meneguk minuman yang campurannya kapur
akan membawa akibat meredanya atau melemahnya gejolak hawa nafsu kebinatangan, dan hati orang-orang beriman yang bertakwa akan disucikan dari segala pikiran
kotor, dan mereka akan didinginkan
dengan kesejukan irfan (makrifat) Ilahi yang mendalam.
Makna ayat
یُفَجِّرُوۡنَہَا تَفۡجِیۡرًا
-- “mereka memancarkannya dengan
pancaran yang deras”, bahwa di
dalam surga, orang-orang beriman yang
bertakwa akan minum dari cawan yang diisi minuman
dari sumber-sumber mata air yang digali dan dipancarkan
oleh mereka sendiri dengan bekerja keras,
karena itulah arti kata tafjīr.
Berbagai perbuatan baik atau amal shaleh yang telah dilakukan mereka
dalam kehidupan duniawi – antara lain berupa memenuhi nazar, memberi makan
orang miskin, anak yatim, tawanan dan
lain-lain -- akan nampak di akhirat dalam bentuk sumber-sumber mata air, karena semua itu mereka lakukan semata-mata
untuk mencari keridhaan Allah Swt.:
اِنَّمَا نُطۡعِمُکُمۡ لِوَجۡہِ اللّٰہِ لَا نُرِیۡدُ مِنۡکُمۡ
جَزَآءً وَّ لَا
شُکُوۡرًا ﴿﴾ اِنَّا نَخَافُ مِنۡ رَّبِّنَا یَوۡمًا عَبُوۡسًا قَمۡطَرِیۡرًا ﴿﴾
“Sesungguhnya kami memberi makan kepada kamu
karena mengharapkan keridhaan Allah,
Kami tidak mengharapkan dari kamu
balasan dan tidak pula ucapan terima
kasih. Sesungguhnya kami takut azab
dari Rabb (Tuhan) kami pada suatu hari muka menjadi masam dan penuh kesulitan. (Ad-Dahr
-- Al-Insān [76]:10-11).
Jadi, penganugerahan minuman surgawi yang campurannya “kafur” hal itu
mengisyaratkan kepada tingkat pertama
dalam perkembangan ruhani yang menghendaki
kerja keras dan tidak putus-putus pada pihak orang-orang beriman dan bertakwa, sebab
selama manusia belum dapat mengendalikan
serta menekan hawa nafsu jahatnya maka selama itu ia tidak dapat membuat suatu kemajuan ruhani karena mereka
tidak berusaha melepaskan diri
dari cengkraman nafs
ammarah (QS.12:54), yang
mengakibatkan tidak akan pernah
memperoleh “mata air” yang terpancar deras sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini yaitu berupa mata air
kecintaan Allah dan makrifat Ilahi.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10 Maret
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar