بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
196
Hakikat Memohon Pertolongan Allah Swt. dengan “Sabar” dan “Shalat” & Makna
“Hidupnya” Para Syuhada di Jalan Allah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya
mengenai ucapan atau doa orang-orang yang teraniaya dalam ayat رَبَّنَاۤ
اَخۡرِجۡنَا مِنۡ ہٰذِہِ الۡقَرۡیَۃِ الظَّالِمِ اَہۡلُہَا -- “Wahai Rabb
(Tuhan) kami, keluarkanlah kami dari
negeri ini yang penduduknya kejam”, firman-Nya:
وَ مَا لَکُمۡ لَا تُقَاتِلُوۡنَ
فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ
الۡوِلۡدَانِ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اَخۡرِجۡنَا مِنۡ ہٰذِہِ
الۡقَرۡیَۃِ الظَّالِمِ اَہۡلُہَا ۚ وَ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ وَلِیًّا ۚۙ
وَّ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ نَصِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Dan mengapakah
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang
lemah, laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, yang
mengatakan: “Wahai Rabb (Tuhan)
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim dan jadikanlah
bagi kami pelindung dari sisi
Engkau, dan jadikanlah bagi
kami penolong dari sisi Engkau.” (An-Nisa [4]:76).
Tiga
Golongan “Orang Beriman”
Yang
dimaksud dalam ayat tersebut terutama adalah orang-orang Muslim yang
tidak mampu hijrah dari Mekkah ke Madinah mengikuti Nabi Besar
Muhammad saw. dan para Muhajirin,
sekali pun mereka sangat menginginkannya
akan tetapi karena berbagai kelemahan -- kecuali kelemahan iman – mereka tidakberdaya melakukan hijrah ke Madinah,
firman-Nya:
لَا یَسۡتَوِی الۡقٰعِدُوۡنَ
مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ غَیۡرُ اُولِی الضَّرَرِ وَ الۡمُجٰہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ
اللّٰہِ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ ؕ فَضَّلَ اللّٰہُ الۡمُجٰہِدِیۡنَ
بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ عَلَی الۡقٰعِدِیۡنَ دَرَجَۃً ؕ وَ کُلًّا
وَّعَدَ اللّٰہُ الۡحُسۡنٰی ؕ وَ فَضَّلَ اللّٰہُ الۡمُجٰہِدِیۡنَ عَلَی
الۡقٰعِدِیۡنَ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿ۙ﴾ دَرَجٰتٍ
مِّنۡہُ وَ مَغۡفِرَۃً وَّ رَحۡمَۃً ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Tidak sama orang-orang
beriman yang duduk di rumah, selain orang-orang yang uzur, dengan mereka yang
berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan diri mereka. Allah melebihkan derajat orang-orang yang
berjihad dengan harta mereka dan
diri mereka daripada orang-orang yang duduk di rumah, dan
untuk masing-masing Allah telah menjanjikan
kebaikan. Dan Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan ganjaran
yang besar atas mereka yang duduk di rumah, yaitu beberapa
derajat dari-Nya, ampunan
serta rahmat, dan Allah
benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nisa [4]:96-97).
Firman
Allah Swt. tersebut ini mengemukakan
tiga golongan orang-orang beriman, yaitu:
(1) Mereka yang dengan ikhlas menerima Islam,
kemudian mereka berusaha mengikuti ajaran Islam, tetapi tidak turut ambil bagian dalam perjuangan (jihad) untuk mempertahankan dan menablighkan Islam. Mereka inilah orang-orang beriman pasif, seakan-akan mereka itu “duduk”
seperti disebut oleh ayat ini yakni لَا یَسۡتَوِی الۡقٰعِدُوۡنَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Tidak sama orang-orang
beriman yang duduk.”
(2) Golongan yang kedua bahwa mereka bukan
saja mengikuti ajaran Islam tetapi
juga bersemangat ikut serta dalam
tugas penyebaran Islam. Mereka inilah
orang-orang beriman aktif yaitu “para pejuang” atau mujahidin, bahwa golongan yang pertama tersebut tidak sama dengan وَ الۡمُجٰہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ
ؕ فَضَّلَ اللّٰہُ الۡمُجٰہِدِیۡنَ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ عَلَی
الۡقٰعِدِیۡنَ دَرَجَۃً ؕ -- “dan
mereka yang berjihad di jalan Allah
dengan harta mereka dan diri mereka. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta mereka dan diri mereka daripada orang-orang
yang duduk di rumah”.
(3)
Akan tetapi ada pula golongan mukmin ketiga yang walaupun mereka tidak beserta saudara-saudara
mereka dalam memerangi kaum kafir, tetapi
mereka mendapat ganjaran yang sama
dengan mereka yang turut dalam perang sungguhan. Hati dan jiwa mereka
ada bersama para mujahidin, ke mana
pun mereka pergi berjihad di jalan Allah, tetapi keadaan khas mereka --
penyakit, kemiskinan, dan lain-lain -- tidak memungkinkan mereka ikut-serta
secara pribadi dalam gerakan-gerakan
militer, itulah makna غَیۡرُ اُولِی الضَّرَرِ -- “selain orang-orang
yang uzur.”
Orang-orang yang Zalim
atas Dirinya Sendiri
Selanjutnya
Allah Swt. menjelaskan mengenai mereka
yang lebih senang termasuk golongan yang “duduk di rumah” bersama dengan orang-orang
yang uzur, daripada “berjihad di
jalan Allah” dengan harta dan jiwa mereka, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ تَوَفّٰہُمُ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ ظَالِمِیۡۤ اَنۡفُسِہِمۡ قَالُوۡا فِیۡمَ کُنۡتُمۡ ؕ قَالُوۡا
کُنَّا مُسۡتَضۡعَفِیۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ قَالُوۡۤا اَلَمۡ تَکُنۡ اَرۡضُ اللّٰہِ
وَاسِعَۃً فَتُہَاجِرُوۡا فِیۡہَا ؕ فَاُولٰٓئِکَ مَاۡوٰىہُمۡ جَہَنَّمُ ؕ وَ
سَآءَتۡ مَصِیۡرًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ
لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ حِیۡلَۃً وَّ
لَا یَہۡتَدُوۡنَ سَبِیۡلًا ﴿ۙ﴾ فَاُولٰٓئِکَ عَسَی اللّٰہُ اَنۡ یَّعۡفُوَ عَنۡہُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
عَفُوًّا غَفُوۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang
yang para malaikat mewafatkan mereka dalam keadaan zalim terhadap dirinya,
mereka yakni para malaikat
berkata: “Bagaimana keadaan kamu dahulu?” Mereka menjawab: “Kami dahulu dipandang lemah di muka bumi.” Mereka yakni para malaikat berkata:
“Tidakkah bumi Allah itu luas untuk kamu
berhijrah di dalamnya?” Maka
mereka inilah yang tempat tinggalnya Jahannam dan sangat buruk tempat kembali itu. Kecuali
orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tidak mampu berdaya-upaya
dan tidak pula mendapatkan suatu jalan,
maka mengenai mereka
ini boleh jadi Allah akan
memaafkan mereka, dan Allah
benar-benar Maha Pemaaf, Maha
Pengampun. (An-Nisa [4]:98-100).
Makna jawaban para malaikat atas alasan mereka کُنَّا
مُسۡتَضۡعَفِیۡنَ فِی الۡاَرۡضِ -- “Kami
dahulu dipandang lemah di muka bumi” yakni اَلَمۡ تَکُنۡ اَرۡضُ اللّٰہِ
وَاسِعَۃً فَتُہَاجِرُوۡا فِیۡہَا -- ”Tidakkah bumi Allah itu luas untuk kamu berhijrah di dalamnya?” Islam tidak akan puas dengan keimanan yang lemah atau pasif. Jika lingkungan hidup seorang mukmin tidak selaras bagi keimanannya, ia harus pindah (hijrah) ke tempat yang lebih
selaras, dan jika ia tidak berbuat demikian, ia tidak akan dipandang sebagai
orang yang tulus dalam
keimanannya.
Orang-orang beriman yang tidak mampu hijrah karena alasan uzur dikecualikan dari golongan yang
tersebut dalam ayat sebelumnya: اِلَّا الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ
لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ حِیۡلَۃً وَّ
لَا یَہۡتَدُوۡنَ سَبِیۡلًا
-- “Kecuali orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan dan anak-anak
yang tidak mampu berdaya-upaya dan tidak
pula mendapatkan suatu jalan.”
Makna Penggunaan Kata ‘Asā (Boleh Jadi)
Mengisyaratkan
kepada mereka inilah yang dimaksud “orang-orang teraniaya” yang berdoa
dalam ayat yang dikemukakan dalam firman Allah Swt. sebelumnya:
وَ مَا لَکُمۡ لَا تُقَاتِلُوۡنَ
فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ
الۡوِلۡدَانِ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اَخۡرِجۡنَا مِنۡ ہٰذِہِ
الۡقَرۡیَۃِ الظَّالِمِ اَہۡلُہَا ۚ وَ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ وَلِیًّا ۚۙ
وَّ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ نَصِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Dan mengapakah
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang
lemah, laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, yang
mengatakan: “Wahai Rabb (Tuhan)
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim dan jadikanlah bagi kami pelindung dari sisi Engkau, dan jadikanlah bagi kami penolong dari sisi Engkau.” (An-Nisa [4]:76).
Kata ‘asā
dalam ayat فَاُولٰٓئِکَ
عَسَی اللّٰہُ اَنۡ یَّعۡفُوَ عَنۡہُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَفُوًّا غَفُوۡرًا
-- “maka mengenai mereka
ini boleh jadi Allah akan
memaafkan mereka, dan Allah
benar-benar Maha Pemaaf, Maha
Pengampun” (An-Nisa 100) berkenaan dengan ayat اِلَّا
الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ لَا
یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ حِیۡلَۃً وَّ لَا یَہۡتَدُوۡنَ سَبِیۡلًا -- “orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan dan anak-anak
yang tidak mampu berdaya-upaya dan tidak
pula mendapatkan suatu jalan”, demikian juga dalam seluruh ayat-ayat Al-Quran lainnya, penggunaan kata ‘asā (boleh jadi/mudah-mudahan) seperti itu tidak menunjukkan keraguan pihak Allah Swt., melainkan digunakan untuk membiarkan orang-orang beriman yang dibahas di sini dalam keadaan terkatung — antara harap dan cemas — supaya
mereka tidak akan lalai dalam shalat (berdoa) dan beramal shalih.
Dengan
demikian jelaslah bahwa tujuan ungkapan yang menggunakan kata ‘asā (boleh jadi/mudah-mudahan) itu adalah untuk
menerbitkan sinar harapan tanpa
menimbulkan perasaan aman semu atau
keadaan berpuas diri, sehingga lali
melakukan ibadah kepada Allah Swt. dan melakukan upaya maksimal sesuai dengan kemampuan disertai doa, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mohonlah
pertolongan dengan sabar dan shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar. (Al-Baqarah [2]:154).
Makna Sabar
dan Shalat & Orang-orang
yang “Hidup” di Sisi Allah
Swt.
Shabr
(sabar) berarti: (1) tekun dalam menjalankan sesuatu; (2) memikul kemalangan
dengan ketabahan dan tanpa berkeluh-kesah; (3) berpegang teguh kepada syariat
dan petunjuk akal; (4) menjauhi perbuatan yang dilarang oleh syariat dan akal (Al-Mufradat).
Ayat
ini mengandung satu asas yang hebat
sekali untuk mencapai keberhasilan.
Pertama, seorang Muslim harus tekun dalam usahanya dan sedikit pun tidak boleh berputus asa. Di samping itu ia harus menjauhi apa-apa yang berbahaya
dan berpegang teguh kepada segala hal yang baik. Kedua, ia
hendaknya berdoa kepada Allah Swt. untuk keberhasilan, sebab hanya Allah Swt. sajalah Sumber segala kebaikan
dan kesuksesan di dunia dan di akhirat (QS.2:202-203).
Kata
shabr (sabar) mendahului kata shalat dalam ayat ini dengan maksud
untuk menekankan pentingnya melaksanakan
hukum Ilahi yang terkadang diremehkan karena tidak mengetahui. Lazimnya doa akan terkabul hanya bila didampingi oleh penggunaan segala sarana yang dijadikan Allah Swt. melalui suatu upaya untuk mencapai sesuatu tujuan.
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang
terbunuh atau mati secara biasa di jalan-Nya, terutama ketika melakukan hijrah dan jihad di jalan Allah Swt.
dan Rasul-Nya:
وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ
فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan janganlah
kamu mengatakan mengenai orang-orang
yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka
itu mati, tidak bahkan mereka
hidup, tetapi kamu tidak
menyadari. (Al-Baqarah [2]:155).
Ahya
itu jamak dari hayy yang antara lain berarti: (1) seseorang dengan amal yang diperbuat selama hidupnya
tidak menjadi sia-sia; (2) orang yang kematiannya
dituntut balas. Ayat ini mengandung suatu kebenaran
agung dari segi ilmu jiwa yang
diperkirakan memberikan pengaruh hebat
kepada kehidupan dan kemajuan suatu kaum (bangsa).
Suatu
kaum yang tidak menghargai pahlawan-pahlawan
yang telah syahid secara sepatutnya
dan tidak mengambil langkah-langkah untuk melenyapkan
rasa takut mati dari hati mereka, sebenarnya telah menutup masa depan mereka sendiri. Itulah sebabnya menurut
Allah Swt. orang-orang yang mati atau
terbunuh sebagai syuhada ketika melakukan hijrah dan jihad di jalan Allah adalah “orang-orang
yang hidup”, firman-Nya:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ
قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ
یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ
اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ
بِنِعۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ فَضۡلٍ ۙ وَّ اَنَّ اللّٰہَ لَا یُضِیۡعُ اَجۡرَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ۚ٪ۛ
Dan janganlah kamu
menyangka mengenai orang-orang yang
terbunuh di jalan Allah bahwa mereka itu mati, tidak, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya (Tuhannya), mereka diberi
rezeki. Mereka bergirang
hati dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya,
dan mereka bergembira terhadap
orang-orang di belakangnya yang belum
pernah bergabung dengan mereka bahwa tidak
ada ketakutan atas
mereka dan tidak pula mereka bersedih.
Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia dari Allah, dan sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan ganjaran orang-orang yang beriman. (Ali
‘Imran [3]:170-172).
Amwat
itu jamak dari mayyit, yang selain
berarti orang mati, mengandung makna: (1) orang yang darahnya
belum terbalas; (2) orang yang tidak meninggalkan penerus-penerus; (3) orang
yang menderita sedih dan duka nestapa.
Para syuhada
(orang-orang mati syahid) merasa gembira
bahwa saudara-saudara mereka yang ditinggalkan di dunia ini yang hijrah
dan jihad di jalan Allah bersama Rasul Allah yang kepadanya
mereka melakukan bai’at -- dan akan mengikuti jejak mereka kemudian akan segera menang atas musuh-musuh
mereka.
Maksudnya
adalah bahwa sesudah mati segala hijab
(tabir gaib) diangkat dan para syuhada
diberi makrifat mengenai kemenangan-kemenangan
yang tersedia bagi kaum Muslimin para
pengikut sejati Nabi Besar Muhammad
saw. -- baik di masa awal mau pun di
masa akhir (QS.62:3-4).
Mereka
mendapat kabar gembira mengenai saudara-saudaranya
yang masih “belum bergabung” dengan mereka karena masih berada di dunia, yaitu para malaikat Allah terus-menerus memberitahukan mereka (para syuhada) mengenai
sukses dan kemenangan-kemenangan yang dicapai Islam sepeninggal mereka.
Sabda Nabi Besar Muhammad Saw.
Tentang Kemuliaan Para Syuhada di
Akhirat
Nabi Besar
Muhammad saw. telah bersabda mengenai keinginan
para syuhada di alam
akhirat ketika mereka ditanya oleh
Allah Swt. -- setelah mereka menyaksikan keistimewaan
ganjaran bagi para syuhada tersebut
-- yakni mereka ingin
berkali-kali mengalami syahid di jalan Allah:
Dari Masyruq, beliau berkata : kami bertanya – atau aku bertanya
– kepada Abdullah – maksudnya adalah Abdullah Ibn Mas'ud – mengenai ayat
berikut:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ
قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ
یُرۡزَقُوۡنَ
“Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi
Tuhannya dengan mendapat rezeki”. (Ali-Imran:170)
Ibnu Abbas berkata: Ketahuilah
sesunguhnya aku benar–benar telah menanyakan ayat tersebut (kepada Rasulullah
s.aw), maka beliau bersabda, “Ruh-ruh
mereka di dalam burung-burung berwarna hijau yang memiliki pelita-pelita yang
tergantung di 'arasy, (ruh mereka) terbang ke surga sesuai kehendak mereka, dan
kemudian kembali ke pelita, kemudian Tuhan mereka mendatangi mereka dan
berfirman, “Apakah ada sesuatu yang
kalian inginkan?”, mereka menjawab, 'adakah lagi yang kami inginkan,
sedangkan kami bebas terbang ke surga sekehendak kami', dan hal tersebut
ditanyakan kepada mereka tiga kali, dan ketika mereka menyadari bahwa mereka
tidak akan ditinggalkan (tidak ditanya lagi) hingga mereka meminta sesuatu,
mereka selanjutnya berkata, 'Wahai Tuhan
kami, kami berharap kiranya Engkau kembalikan ruh kami ke dalam jasad kami,
hingga kami terbunuh kembali di jalan Engkau untuk kedua kalinya', tatkala
Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki hajat/keinginan lain lagi, maka
mereka ditinggalkan (tidak ditanya lagi).” Diriwayatkan oleh Muslim,
begitu juga oleh at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah.
Namun perlu diketahui, bahwa
sebagaimana dikemukakan dalam hadits Qudsi bahwa “kenikmatan-kenikmatan surga”
dihijab dengan berbagai hal yang menakutkan – sebaliknya,
“keburukan-keburukan neraka” dihijab
dengan berbagai hal yang menarik hawa-nafsu manusia – demikian pula halnya keadaan
jasad para sahabat
Nabi Besar Muhammad saw. yang mati syahid
dalam berbagai peperangan,
misalnya Perang Badar dan Perang Uhud keadaan tubuhnya sangat mengerikan.
Kenapa demikian? Sebab kebiasaan bangsa Arab jahiliyah dalam perang adalah mereka merusak tubuh musuh-musuh mereka yang
dikalahkan, salah satu contohnya adalah Sayyidina
Hamzah bin ‘Abdul Muthalib r.a., paman Nabi Besar Muhammad saw. yang mati syahid dalam Perang Uhud. Sehubungan dengan hal tersebut berikut adalah
keterangan hadits Qudsi:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda: “Ketika Allah menciptakan surga dan neraka, Dia mengutus Jibril
untuk melihat surga, dan kemudian
berfirman: “Lihatlah apa yang ada di dalamnya, dan kenikmatan yang aku janjikan kepada penghuninya di dalamnya”. Rasulullah
saw. melanjutkan: Kemudian Jibril datang ke surga dan melihat di dalamnya dan pada kenikmatan yang disiapkan
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada para penghuninya di dalamnya,
kemudian Rasulullah saw. mengatakan: Kemudian Jibril kembali kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala dan berkata, “Demi
kemuliaan Engkau, tidak seorangpun yang mendengar tentangnya, kecuali akan memasukinya”. Kemudian Allah
Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk
menyelimuti/melingkupi surga dengan perkara-perkara yang dibenci (berbagai
kesulitan), kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (kepada Jibril): “Kembalilah
ke surga, dan lihatlah apa yang telah aku persiapkan untuk para penghuninya di
dalamnya.” Rasulullah saw. melanjutkan, “Kemudian kembalilah Jibril ke surga, maka ketika dia sampai di sana, benar-benar (surga) telah terlingkupi
dengan berbagai kesulitan, kemudian Jibril
kembali menemui Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkata, ‘Demi Kemuliaan Engkau, aku benar-benar kuatir, bahwa tidak akan
seorangpun masuk ke dalamnya’. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah di dalamnya, dan perhatikan
terhadap apa yang aku persiapkan bagi para penghuninya”. Kemudian ketika
Jibril sampai di neraka, dia melihat
neraka terdiri dari beberapa
tingkatan, yang satu di bawah yang lain, kemudian dia kembali menemui Allah
Subhanahu wa ta’ala dan berkata, ‘Demi
Kemuliaan Engkau, Tidak seorangpun yang mendengar tentangnya akan memasukinya’.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan
untuk menyelimuti/melingkupi Neraka
dengan syahwat/kesenangan, dan kemudian berfirman kepada Jibril, “Kembalilah ke neraka’, kemudian Jibril pun kembali ke neraka,
dan kemudian berkata, ‘Demi Kemuliaan
Engkau, aku benar-benar kuatir,
tidak seorangpun terbebas kecuali akan
memasukinya” (Hadits
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan
beliau berpendapat hadits ini berdrajat hasan shahih begitu juga diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Ibn Majah).
Namun perlu
juga diketahui bahwa menurut Nabi Besar Muhammad saw. yang termasuk syuhada tidak hanya mereka yang mati syahid dalam peperangan melawan musuh Islam saja, berikut
keterangan mengenai hal tersebut:
Hadits
riwayat Muslim dalam Shahihnya, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Siapakah
orang yang syahid menurut kalian?”
Para sahabat menjawab, ”Orang yang
terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid.” Rasulullah Saw. bersabda, ”Kalau
begitu, orang yang mati syahid dari umatku sedikit,” mereka bertanya,”Kalau
begitu, siapa wahai Rasulullah?” Beliau Saw. menjawab, ”Orang yang terbunuh di jalan Allah, ia syahid. Orang yang mati dijalan
Allah, maka ia syahid, Orang yang mati karena sakit tha’un (wabah), maka ia
syahid. Barangsiapa yang mati karena sakit perut, maka ia syahid, dan
orang yang mati tenggelam adalah syahid”.
Dalam hadits lainnya dikemukakan pula beberapa contohnya lainnya
mengenai orang-orang yang kematiannya termasuk syahid. Bahkan diriwayatkan Sahabat Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat terkenal Khalid bin Walid r.a. -- yang sangat mendambakan mati syahid dalam berbagai perang
yang dialaminya -- ternyata wafatnya
di tempat tidur.
Dengan demikian jelaslah, bahwa untuk menjadi syuhada di jalan Allah
tidak selalu harus terbunuh secara jasmani dalam suatu peperangan membela agama
atau terbunuh (mati) dalam suatu peristiwa lainnya yang termasuk “jihad di jalan Allah”,
karena ketika Nabi Besar Muhammad saw.
dan 313 sahabat beliau saw. telah
memperoleh kemenangan dalam Perang Badar -- yang dalam segala seginya sangat tidak seimbang --
namun menurut riwayat Nabi Besar
Muhammad saw. telah bersabda:
“Kita
baru kembali melakukan jihad kecil (shaghir) dan akan menghadapi jihad besar
(akbar), yakni jihad melawan hawa nafsu”.
padahal Allah Swt. sendiri menyatakan
bahwa Perang Badar sebagai “Yaumal- furqān” (Hari Pembeda antara
haq dengan yang bathil - QS.8:42).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 26 Februari
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar