Jumat, 11 April 2014

Hakikat Memohon "Pertolongan Allah Swt." dengan "Sabar dan Shalat" & Makna "Hidupnya Para Syuhada" di Jalan Allah



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  196

Hakikat Memohon Pertolongan Allah Swt. dengan “Sabar” dan “Shalat” &  Makna “Hidupnya” Para Syuhada  di Jalan Allah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
P
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai  ucapan  atau doa orang-orang yang teraniaya dalam ayat  رَبَّنَاۤ اَخۡرِجۡنَا مِنۡ ہٰذِہِ الۡقَرۡیَۃِ الظَّالِمِ اَہۡلُہَا  --  “Wahai Rabb (Tuhan) kami, keluarkanlah kami dari negeri  ini yang penduduknya kejam”, firman-Nya:
وَ مَا لَکُمۡ لَا تُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اَخۡرِجۡنَا مِنۡ ہٰذِہِ الۡقَرۡیَۃِ الظَّالِمِ اَہۡلُہَا ۚ وَ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ وَلِیًّا ۚۙ وَّ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ نَصِیۡرًا ﴿ؕ﴾   
Dan mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan  membela orang-orang lemah, laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, yang mengatakan: “Wahai Rabb (Tuhan) kami, keluarkanlah kami dari negeri  ini yang penduduknya zalim dan jadikanlah bagi kami   pelindung dari sisi Engkau, dan jadikanlah bagi kami   penolong dari sisi Engkau.”    (An-Nisa [4]:76).

Tiga Golongan “Orang Beriman

         Yang dimaksud dalam ayat tersebut terutama adalah orang-orang Muslim yang   tidak mampu   hijrah  dari Mekkah ke Madinah mengikuti Nabi Besar Muhammad saw. dan para Muhajirin, sekali pun mereka sangat menginginkannya akan tetapi karena  berbagai kelemahan   -- kecuali kelemahan iman – mereka tidakberdaya   melakukan hijrah  ke Madinah, firman-Nya:
لَا یَسۡتَوِی الۡقٰعِدُوۡنَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ غَیۡرُ اُولِی الضَّرَرِ وَ الۡمُجٰہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ ؕ فَضَّلَ اللّٰہُ الۡمُجٰہِدِیۡنَ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ عَلَی الۡقٰعِدِیۡنَ دَرَجَۃً ؕ وَ کُلًّا وَّعَدَ اللّٰہُ الۡحُسۡنٰی ؕ وَ فَضَّلَ اللّٰہُ الۡمُجٰہِدِیۡنَ عَلَی الۡقٰعِدِیۡنَ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿ۙ﴾ دَرَجٰتٍ مِّنۡہُ وَ مَغۡفِرَۃً وَّ رَحۡمَۃً ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Tidak sama  orang-orang beriman  yang duduk di rumah, selain orang-orang yang uzur, dengan mereka yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan diri mereka. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta mereka dan diri mereka daripada orang-orang yang duduk di rumah, dan  untuk masing-masing Allah telah menjanjikan kebaikan. Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan ganjaran yang besar   atas mereka yang duduk di rumah, yaitu beberapa derajat dari-Nya,   ampunan  serta  rahmat, dan Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nisa [4]:96-97).
     Firman Allah Swt. tersebut  ini mengemukakan tiga golongan  orang-orang beriman, yaitu:
    (1) Mereka yang dengan ikhlas menerima Islam, kemudian mereka berusaha mengikuti ajaran Islam, tetapi tidak turut ambil bagian dalam perjuangan (jihad) untuk mempertahankan dan menablighkan Islam. Mereka inilah orang-orang beriman  pasif, seakan-akan mereka itu “duduk” seperti disebut oleh ayat ini yakni   لَا یَسۡتَوِی الۡقٰعِدُوۡنَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  -- “Tidak sama  orang-orang beriman  yang duduk.
     (2) Golongan yang kedua  bahwa mereka   bukan saja mengikuti ajaran Islam tetapi juga bersemangat ikut serta dalam tugas penyebaran Islam. Mereka inilah orang-orang beriman  aktif yaitu “para pejuang” atau mujahidin, bahwa golongan yang pertama tersebut tidak sama  dengan   وَ الۡمُجٰہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ ؕ فَضَّلَ اللّٰہُ الۡمُجٰہِدِیۡنَ بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ عَلَی الۡقٰعِدِیۡنَ دَرَجَۃً ؕ  -- “dan mereka yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan diri mereka. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta mereka dan diri mereka daripada orang-orang yang duduk di rumah.  
       (3) Akan tetapi ada pula golongan mukmin ketiga yang walaupun mereka tidak beserta saudara-saudara mereka dalam memerangi kaum kafir, tetapi mereka mendapat ganjaran yang sama dengan mereka yang turut dalam perang sungguhan. Hati dan jiwa mereka ada bersama para mujahidin, ke mana pun mereka pergi berjihad di jalan Allah, tetapi keadaan khas mereka  --  penyakit, kemiskinan, dan lain-lain -- tidak memungkinkan  mereka ikut-serta secara pribadi dalam gerakan-gerakan militer, itulah makna  غَیۡرُ اُولِی الضَّرَرِ  -- “selain orang-orang yang uzur.

Orang-orang yang Zalim  atas Dirinya Sendiri

      Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan  mengenai mereka yang lebih senang  termasuk golongan yang “duduk di rumah” bersama dengan orang-orang yang uzur, daripada “berjihad di jalan Allah” dengan harta dan jiwa mereka,  firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ تَوَفّٰہُمُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ ظَالِمِیۡۤ اَنۡفُسِہِمۡ قَالُوۡا فِیۡمَ کُنۡتُمۡ ؕ قَالُوۡا کُنَّا مُسۡتَضۡعَفِیۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ قَالُوۡۤا اَلَمۡ تَکُنۡ اَرۡضُ اللّٰہِ وَاسِعَۃً فَتُہَاجِرُوۡا فِیۡہَا ؕ فَاُولٰٓئِکَ مَاۡوٰىہُمۡ جَہَنَّمُ ؕ وَ سَآءَتۡ مَصِیۡرًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ حِیۡلَۃً  وَّ لَا  یَہۡتَدُوۡنَ سَبِیۡلًا ﴿ۙ﴾ فَاُولٰٓئِکَ عَسَی اللّٰہُ اَنۡ یَّعۡفُوَ عَنۡہُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَفُوًّا غَفُوۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya  orang-orang yang  para malaikat mewafatkan mereka dalam keadaan zalim terhadap dirinya, mereka yakni  para malaikat berkata:  Bagaimana keadaan kamu dahulu?” Mereka menjawab: “Kami dahulu dipandang lemah di muka bumi.”  Mereka yakni para malaikat berkata: “Tidakkah bumi Allah itu luas untuk kamu berhijrah di dalamnya?”  Maka mereka inilah yang tempat tinggalnya Jahannam dan sangat buruk tempat kembali itu.   Kecuali  orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan  dan anak-anak yang tidak mampu berdaya-upaya dan tidak pula mendapatkan suatu jalan,  maka  mengenai  mereka ini boleh jadi Allah akan memaafkan mereka, dan Allah benar-benar Maha Pemaaf, Maha Pengampun. (An-Nisa [4]:98-100). 
        Makna jawaban para malaikat atas alasan mereka   کُنَّا مُسۡتَضۡعَفِیۡنَ فِی الۡاَرۡضِ    --  Kami dahulu dipandang lemah di muka bumi yakni   اَلَمۡ تَکُنۡ اَرۡضُ اللّٰہِ وَاسِعَۃً فَتُہَاجِرُوۡا فِیۡہَا --  Tidakkah bumi Allah itu luas untuk kamu berhijrah di dalamnya?  Islam tidak akan puas dengan keimanan yang lemah atau pasif. Jika lingkungan hidup seorang mukmin tidak selaras bagi keimanannya, ia harus pindah (hijrah) ke tempat yang lebih selaras, dan jika ia tidak berbuat demikian, ia tidak akan dipandang sebagai orang yang   tulus dalam keimanannya.
       Orang-orang beriman  yang tidak mampu hijrah   karena alasan uzur dikecualikan dari golongan yang tersebut dalam ayat sebelumnya:  اِلَّا الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ حِیۡلَۃً  وَّ لَا  یَہۡتَدُوۡنَ سَبِیۡلًا  -- “Kecuali  orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan  dan anak-anak yang tidak mampu berdaya-upaya dan tidak pula mendapatkan suatu jalan.”

Makna Penggunaan Kata ‘Asā (Boleh Jadi)

       Mengisyaratkan kepada mereka inilah yang dimaksud  orang-orang teraniaya” yang  berdoa dalam ayat yang dikemukakan  dalam  firman Allah Swt. sebelumnya:  
وَ مَا لَکُمۡ لَا تُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اَخۡرِجۡنَا مِنۡ ہٰذِہِ الۡقَرۡیَۃِ الظَّالِمِ اَہۡلُہَا ۚ وَ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ وَلِیًّا ۚۙ وَّ اجۡعَلۡ لَّنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ نَصِیۡرًا ﴿ؕ﴾   
Dan mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan  membela  orang-orang lemah, laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, yang mengatakan: “Wahai Rabb (Tuhan) kami, keluarkanlah kami dari negeri  ini yang penduduknya zalim  dan jadikanlah bagi kami   pelindung dari sisi Engkau, dan jadikanlah bagi kami   penolong dari sisi Engkau.”    (An-Nisa [4]:76).
        Kata ‘asā  dalam ayat   فَاُولٰٓئِکَ عَسَی اللّٰہُ اَنۡ یَّعۡفُوَ عَنۡہُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَفُوًّا غَفُوۡرًا  -- “maka  mengenai  mereka ini boleh jadi Allah akan memaafkan mereka, dan Allah benar-benar Maha Pemaaf, Maha Pengampun” (An-Nisa 100) berkenaan dengan ayat  اِلَّا الۡمُسۡتَضۡعَفِیۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ النِّسَآءِ وَ الۡوِلۡدَانِ لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ حِیۡلَۃً  وَّ لَا  یَہۡتَدُوۡنَ سَبِیۡلًا  -- orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan  dan anak-anak yang tidak mampu berdaya-upaya dan tidak pula mendapatkan suatu jalan”,   demikian juga dalam seluruh ayat-ayat  Al-Quran lainnya,  penggunaan kata ‘asā  (boleh jadi/mudah-mudahan)  seperti itu tidak menunjukkan keraguan pihak Allah Swt.,  melainkan digunakan untuk membiarkan orang-orang beriman  yang dibahas di sini dalam keadaan terkatung — antara harap dan cemas — supaya mereka tidak akan lalai dalam shalat  (berdoa) dan beramal shalih.
          Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan ungkapan yang menggunakan kata ‘asā  (boleh jadi/mudah-mudahan) itu adalah untuk menerbitkan sinar harapan tanpa menimbulkan perasaan aman semu atau keadaan berpuas diri, sehingga lali melakukan ibadah kepada Allah Swt. dan melakukan  upaya  maksimal sesuai dengan kemampuan  disertai doa, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  mohonlah pertolongan dengan sabar  dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah [2]:154).

 Makna    Sabar   dan Shalat  &  Orang-orang  yang “Hidup” di Sisi Allah Swt.

     Shabr (sabar) berarti: (1) tekun dalam menjalankan sesuatu; (2) memikul kemalangan dengan ketabahan dan tanpa berkeluh-kesah; (3) berpegang teguh kepada syariat dan petunjuk akal; (4) menjauhi perbuatan yang dilarang oleh syariat dan akal  (Al-Mufradat).
        Ayat ini mengandung satu asas yang hebat sekali untuk mencapai keberhasilan. Pertama, seorang Muslim harus tekun dalam usahanya dan sedikit pun tidak boleh berputus asa. Di samping itu ia harus menjauhi apa-apa yang berbahaya dan berpegang teguh kepada segala hal yang baik. Kedua, ia hendaknya berdoa kepada  Allah Swt.  untuk keberhasilan, sebab hanya Allah Swt.   sajalah Sumber segala kebaikan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat (QS.2:202-203).
       Kata shabr (sabar) mendahului kata shalat dalam ayat ini dengan maksud untuk menekankan pentingnya melaksanakan hukum Ilahi yang terkadang diremehkan karena tidak mengetahui. Lazimnya doa akan terkabul hanya bila didampingi oleh penggunaan segala sarana yang dijadikan  Allah Swt. melalui suatu upaya    untuk mencapai sesuatu tujuan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang  terbunuh atau mati secara biasa di jalan-Nya, terutama ketika melakukan hijrah dan jihad  di jalan Allah Swt. dan Rasul-Nya:
وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan  janganlah kamu mengatakan mengenai orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa  mereka itu mati, tidak bahkan mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadari. (Al-Baqarah [2]:155).
         Ahya itu jamak dari hayy yang antara lain berarti: (1) seseorang dengan amal yang diperbuat selama hidupnya tidak menjadi sia-sia; (2) orang yang kematiannya dituntut balas. Ayat ini mengandung suatu kebenaran agung dari segi ilmu jiwa yang diperkirakan memberikan pengaruh hebat kepada kehidupan dan kemajuan suatu kaum (bangsa).
        Suatu kaum yang tidak menghargai pahlawan-pahlawan yang telah syahid secara sepatutnya dan tidak mengambil langkah-langkah untuk melenyapkan rasa takut mati dari hati mereka, sebenarnya telah menutup masa depan mereka sendiri. Itulah sebabnya menurut Allah Swt. orang-orang yang mati atau terbunuh sebagai syuhada ketika melakukan  hijrah dan jihad di  jalan Allah  adalah “orang-orang yang hidup”, firman-Nya:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ  اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ  یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِنِعۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ فَضۡلٍ ۙ وَّ اَنَّ اللّٰہَ لَا یُضِیۡعُ اَجۡرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ   ﴿﴾ۚ٪ۛ
Dan janganlah kamu menyangka mengenai orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka itu mati, tidak, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya (Tuhannya),  mereka diberi rezeki.   Mereka bergirang hati dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, dan mereka bergembira terhadap orang-orang  di belakangnya yang  belum pernah bergabung dengan mereka bahwa tidak ada ketakutan  atas mereka  dan tidak pula mereka  bersedih. Mereka bergembira  dengan nikmat dan karunia dari Allah, dan sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan ganjaran orang-orang yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:170-172).
        Amwat itu jamak dari mayyit, yang selain  berarti orang mati, mengandung makna: (1) orang yang darahnya belum terbalas; (2) orang yang tidak meninggalkan penerus-penerus; (3) orang yang menderita sedih dan duka nestapa.
       Para syuhada (orang-orang mati syahid) merasa gembira bahwa saudara-saudara mereka yang ditinggalkan di dunia ini   yang hijrah dan jihad  di jalan Allah bersama Rasul Allah  yang kepadanya mereka melakukan bai’at  -- dan akan mengikuti jejak mereka kemudian akan segera menang atas musuh-musuh mereka.
Maksudnya adalah bahwa sesudah mati segala hijab (tabir gaib) diangkat dan para syuhada diberi makrifat  mengenai kemenangan-kemenangan yang tersedia bagi kaum Muslimin para pengikut sejati Nabi Besar Muhammad saw. -- baik di masa awal mau pun di masa akhir (QS.62:3-4).  
          Mereka mendapat kabar gembira  mengenai saudara-saudaranya yang masih “belum bergabung” dengan mereka karena masih berada di dunia,   yaitu para malaikat Allah terus-menerus memberitahukan mereka (para syuhada)  mengenai  sukses dan kemenangan-kemenangan yang dicapai Islam sepeninggal mereka.

Sabda Nabi Besar Muhammad Saw. Tentang Kemuliaan Para Syuhada di Akhirat

       Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda mengenai keinginan para syuhada di alam akhirat ketika mereka  ditanya oleh Allah Swt. -- setelah mereka menyaksikan keistimewaan ganjaran bagi para syuhada  tersebut   -- yakni  mereka ingin berkali-kali  mengalami syahid di jalan Allah:
      Dari Masyruq, beliau berkata : kami bertanya – atau aku bertanya – kepada Abdullah – maksudnya adalah Abdullah Ibn Mas'ud – mengenai ayat berikut:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ یُرۡزَقُوۡنَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”. (Ali-Imran:170)
Ibnu Abbas berkata: Ketahuilah sesunguhnya aku benar–benar telah menanyakan ayat tersebut (kepada Rasulullah s.aw), maka beliau bersabda, “Ruh-ruh mereka di dalam burung-burung berwarna hijau yang memiliki pelita-pelita yang tergantung di 'arasy, (ruh mereka) terbang ke surga sesuai kehendak mereka, dan kemudian kembali ke pelita, kemudian Tuhan mereka mendatangi mereka dan berfirman, “Apakah ada sesuatu yang kalian inginkan?”, mereka menjawab, 'adakah lagi yang kami inginkan, sedangkan kami bebas terbang ke surga sekehendak kami', dan hal tersebut ditanyakan kepada mereka tiga kali, dan ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak akan ditinggalkan (tidak ditanya lagi) hingga mereka meminta sesuatu, mereka selanjutnya berkata, 'Wahai Tuhan kami, kami berharap kiranya Engkau kembalikan ruh kami ke dalam jasad kami, hingga kami terbunuh kembali di jalan Engkau untuk kedua kalinya', tatkala Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki hajat/keinginan lain lagi, maka mereka ditinggalkan (tidak ditanya lagi).” Diriwayatkan oleh Muslim, begitu juga oleh at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah.
        Namun perlu diketahui, bahwa sebagaimana dikemukakan dalam hadits Qudsi bahwa “kenikmatan-kenikmatan surga  dihijab dengan  berbagai hal yang menakutkan – sebaliknya,   “keburukan-keburukan neraka” dihijab dengan  berbagai  hal yang menarik hawa-nafsu manusia – demikian pula halnya  keadaan  jasad para   sahabat Nabi Besar Muhammad saw. yang mati syahid dalam berbagai peperangan, misalnya  Perang Badar dan Perang Uhud keadaan tubuhnya  sangat mengerikan.
       Kenapa demikian? Sebab kebiasaan bangsa Arab jahiliyah dalam perang adalah mereka merusak tubuh musuh-musuh mereka yang dikalahkan, salah satu contohnya adalah Sayyidina Hamzah bin ‘Abdul Muthalib r.a., paman Nabi Besar Muhammad saw. yang mati syahid dalam Perang Uhud.      Sehubungan dengan hal tersebut berikut adalah keterangan hadits Qudsi:
      Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Ketika Allah menciptakan surga dan neraka, Dia mengutus Jibril untuk melihat surga, dan kemudian berfirman: “Lihatlah apa yang ada di dalamnya, dan kenikmatan yang aku janjikan kepada penghuninya di dalamnya”. Rasulullah saw. melanjutkan: Kemudian Jibril datang ke surga dan melihat di dalamnya dan pada kenikmatan yang disiapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada para penghuninya di dalamnya, kemudian Rasulullah saw. mengatakan: Kemudian Jibril kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkata, “Demi kemuliaan Engkau, tidak seorangpun yang mendengar tentangnya, kecuali akan memasukinya”. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menyelimuti/melingkupi surga dengan perkara-perkara yang dibenci (berbagai kesulitan), kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (kepada Jibril): “Kembalilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah aku persiapkan untuk para penghuninya di dalamnya.” Rasulullah saw. melanjutkan, “Kemudian kembalilah Jibril ke surga, maka ketika dia sampai di sana, benar-benar (surga) telah terlingkupi dengan berbagai kesulitan, kemudian Jibril kembali menemui Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkata, ‘Demi Kemuliaan Engkau, aku benar-benar kuatir, bahwa tidak akan seorangpun masuk ke dalamnya’. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah di dalamnya, dan perhatikan terhadap apa yang aku persiapkan bagi para penghuninya”. Kemudian ketika Jibril sampai di neraka, dia melihat neraka terdiri dari beberapa tingkatan, yang satu di bawah yang lain, kemudian dia kembali menemui Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkata, ‘Demi Kemuliaan Engkau, Tidak seorangpun yang mendengar tentangnya akan memasukinya’. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menyelimuti/melingkupi Neraka dengan syahwat/kesenangan, dan kemudian berfirman kepada Jibril, “Kembalilah ke neraka’, kemudian Jibril pun kembali ke neraka, dan kemudian berkata, ‘Demi Kemuliaan Engkau, aku benar-benar kuatir, tidak seorangpun terbebas kecuali akan memasukinya(Hadits diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau berpendapat hadits ini berdrajat hasan shahih begitu juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Majah).
        Namun perlu juga diketahui bahwa menurut Nabi Besar Muhammad saw. yang termasuk syuhada  tidak hanya mereka yang mati syahid dalam peperangan melawan musuh Islam saja, berikut keterangan  mengenai hal tersebut: 
       Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya, bahwasanya Rasulullah Saw.  bersabda: “Siapakah orang yang syahid menurut kalian?” Para sahabat menjawab, ”Orang yang terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid.” Rasulullah Saw. bersabda, ”Kalau begitu, orang yang mati syahid dari umatku sedikit,” mereka bertanya,”Kalau begitu, siapa wahai Rasulullah?” Beliau Saw. menjawab, ”Orang yang terbunuh di jalan Allah, ia syahid. Orang yang mati dijalan Allah, maka ia syahid, Orang yang mati karena sakit tha’un (wabah), maka ia syahid. Barangsiapa yang mati karena sakit perut, maka ia syahid, dan orang yang mati tenggelam adalah syahid”.
       Dalam hadits lainnya dikemukakan pula beberapa contohnya lainnya mengenai orang-orang yang  kematiannya termasuk syahid. Bahkan diriwayatkan  Sahabat Nabi Besar Muhammad  saw. yang sangat terkenal Khalid bin Walid r.a. --  yang sangat mendambakan mati syahid dalam berbagai  perang  yang dialaminya -- ternyata wafatnya di tempat tidur.
       Dengan demikian jelaslah, bahwa untuk menjadi syuhada di jalan Allah tidak selalu harus terbunuh secara jasmani dalam suatu peperangan membela agama atau terbunuh (mati)  dalam suatu peristiwa lainnya yang termasuk “jihad  di jalan Allah”, karena ketika  Nabi Besar Muhammad saw. dan 313  sahabat beliau saw.   telah memperoleh kemenangan dalam Perang Badar  -- yang dalam segala seginya sangat tidak seimbang  --  namun  menurut riwayat Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda:
“Kita baru kembali melakukan jihad kecil (shaghir) dan akan menghadapi jihad besar (akbar), yakni jihad melawan hawa nafsu”.
padahal Allah Swt. sendiri menyatakan bahwa Perang Badar sebagai “Yaumal- furqān” (Hari Pembeda  antara  haq dengan yang bathil - QS.8:42).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  26  Februari      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar