بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
189
Gejala Meteorik
Sebagai Salah Satu Tanda Langit Pengutusan Seorang
Rasul Allah yang Dijanjikan
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai gugusan-gugusan
bintang di langit:
وَ لَقَدۡ جَعَلۡنَا فِی السَّمَآءِ بُرُوۡجًا وَّ زَیَّنّٰہَا لِلنّٰظِرِیۡنَ ﴿ۙ﴾
وَ حَفِظۡنٰہَا مِنۡ کُلِّ شَیۡطٰنٍ رَّجِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ
اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah menjadikan gugusan-gugusan
bintang di langit dan Kami telah menghiasinya untuk orang-orang yang melihat. Dan Kami
telah memeliharanya dari gangguan setiap syaitan yang terkutuk, kecuali jika
ada orang yang mencuri dengar wahyu Ilahi dan memutarbalikkannya
maka ia dikejar kobaran nyala api
yang terang-benderang. (Al-Hijr
[15]:17-19).
Makna “mencuri
Kalam Ilahi” dalam ayat اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ -- “kecuali jika ada orang yang mencuri dengar” dapat
mengandung arti perbuatan palsu
orang-orang yang berlagak
mengemukakan ajaran-ajaran para nabi
sebagai ajaran dari mereka sendiri.
Mereka itu berusaha menipu orang-orang awam
agar mempercayai bahwa nabi-nabi Allah
tidak membawa ajaran baru, dan bahwa
mereka juga mempunyai pengetahuan
yang dimiliki oleh para nabi Allah.
Atau ayat itu dapat juga berarti,
bahwa mereka mengutip suatu bagian
dari ajaran dengan jalan
memisahkannya dari siaq-sabaq (ujung pangkalnya) dan berusaha menyesatkan orang-orang yang sederhana pikirannya, dengan memberikan penafsiran salah tentang kata-kata itu
dan mengaburkan artinya.
Kata-kata اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ -- kecuali
jika ada orang yang mencuri dengar jelas menunjukkan, bahwa kata-kata langit dalam ayat 17 menggambarkan sistem keruhanian dan bukan angkasa alam jasmani, sebab mencuri Kalam
Ilahi itu tidak ada sangkut pautnya dengan langit jasmani melainkan dengan langit
ruhani.
Kata burūj
(gugusan bintang-bintang) dalam ayat 17 menggambarkan rasul-rasul Allah secara umum, sedangkan kata-kata syihābun
mubīn (kobaran nyala api yang terang benderang) dalam ayat ini atau syihābun
tsāqib (kobaran nyala api yang me-nembus) tercantum dalam QS.37:11 dipakai untuk Rasul masa ini yaitu Penghulu para Rasul Allah, yakni Nabi Besar
Muhammad saw..
Pengejaran syaitan oleh syihāb (nyala api) maksudnya, bahwa selama
suatu ajaran agama berlandaskan pada wahyu Ilahi (Adz-dzikr - QS.15:10) dan memberi nur dan hidayat maka mushlih-mushlih rabbani
(pembaharu-pembaharu dari Allah) – dalam hal ini kedatangan para mujaddid dan para wali Allah -- juga
terus-menerus muncul untuk menjaganya,
itulah makna lain jaminan pemeliharaan
Allah Swt. atas Al-Quran:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا
الذِّکۡرَ وَ اِنَّا
لَہٗ لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Kami-lah
Yang menurunkan peringatan ini, dan
sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.
(Al-Hijr
[15]:10).
Demikian juga halnya di Akhir
Zaman ini pun dalam rangka memelihara
Al-Quran serta membukakan khazanah-khazanah keruhanian Al-Quran (QS.3:180; QS.72:27-29) yang sangat
diperlukan umat manusia di Akhir Zaman
ini, Allah Swt. telah
membangkitkan mujaddid ‘azham (mujaddid agung), sebab beliau selain sebagai mujaddid juga merupakan Rasul
Akhir Zaman (QS.61:10), yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama dengan nama yang berlainan (QS.77:12),
sekaligus merupakan pengutusan kedua kali
secara ruhani Nabi Besar Muhammad saw.
di kalangan kaum ākharīna minhum
(QS.62:3-4), yakni Mirza Ghulam Ahmad
a.s.. guna mewujudkan kejayaan Islam
yang kedua kali, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ
بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ
لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama, walaupun
orang-orang musyrik tidak menyukai.
(Ash-Shaff
[61]:10).
Gejala Meteorik yang
Luar Biasa
Makna lain kata “syihābun-mubīn”
dalam ayat اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ
فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ مُّبِیۡنٌ -- “kecuali jika
ada orang yang mencuri dengar wahyu Ilahi dan memutarbalikkannya
maka ia dikejar kobaran nyala api
yang terang-benderang.” Dapat
mengisyaratkan kepada salah satu dari sekian banyak tanda kedatangan Mushlih-mushlih
rabbani (rasul-rasul Allah) ke dunia, yaitu seringnya
terjadi gejala meteorik, yaitu berjatuhannya bintang-bintang dalam
jumlah besar.
Demikian juga di zaman Nabi Besar Muhammad saw. meteor-meteor
jatuh sedemikian banyaknya, sehingga kaum
kafir menyangka bahwa langit dan bumi akan runtuh (Tafsir Ibnu Katsir). Begitu juga sebelumnya, ketika Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. dilahirkan gejala meteorik terjadi juga, yang atas dasar itu orang-orang Majusi dari timur (Fersia) datang ke Yerusalem mengenai hal tersebut (Matius 2:1-12).
Dari kejadian yang luar biasa itu pulalah Heraclius -- Kaisar Romawi -- yang agaknya mempunyai sedikit pengetahuan tentang ilmu perbintangan, menarik kesimpulan bahwa nabi
dan raja bangsa Arab – yakni “nabi
yang seperti Musa” (Ulangan 18-18; QS.46:11) yang muncul
dari kalangan Bani Ismail pasti sudah
muncul (Bukhari bab bad’al-wahy).
“Gerhana Bulan dan Matahari”
Sunnatullāh tersebut telah terjadi
juga di Akhir Zaman ini dalam tahun 1885 sehubungan dengan pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal
Nabi Isa Ibnu Mayam a.s. (QS.43:58). Dengan demikian sejarah dan hadits
kedua-duanya memberikan kesaksian,
bahwa berjatuhannya meteor-meteor
dalam jumlah yang luar biasa besarnya, adalah satu tanda yang pasti mengenai munculnya seorang Mushlih rabbani.
Bahkan, mengenai kedatangan Imam
Mahdi a.s. di Akhir
Zaman ini, guna membedakannya dari para pendakwa palsu yang juga
mendakwakan Imam Mahdi -- yang menurut
Nabi Besar Muhammad saw. jumlahnya 30 orang Mahdi
palsu – beliau saw. telah memberikan satu ciri atau tanda mengenai
Imam Mahdi yang asli yang
beliau saw. sebut “Mahdi kami” dengan
tanda dari langit lainnya, yaitu
terjadinya gerhana bulan dan matahari pada bulan Ramadhan yang sama. Beliau
saw. bersabda:
“Sesungguhnya bagi Mahdi kami ada dua tanda yang belum
pernah terjadi sejak saat langit dan bumi diciptakan, yaitu: Gerhana bulan pada malam pertama bulan
Ramadhan, dan gerhana matahari pada
pertengahan bulan itu juga”. (Sunan
Ad-Daruqutni).
Tahun 1891 Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. atas perintah Allah Swt. memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi yang kedatangannya dijanjikan oleh Nabi Besar Muhammad saw.. Atas pendakwaan tersebut para ulama Islam di daratan Hindustan menuntut tanda ajaib samawi sesuai dengan nubuwwat Nabi Muhammad saw. dalam hadits tersebut.
Sungguh ajaib, pada tahun 1894 -- tiga tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad a.s. memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi a.s. – pada bulan Ramadhan tahun itu terjadi gerhana bulan dan gerhana matahari persis seperti dinubuwwatkan Nabi Muhammad saw. tentang Imam Mahdi yang asli yakni “Limahdiyinaa ayatain -- bagi Mahdi kami ada dua tanda…).
Tahun 1891 Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. atas perintah Allah Swt. memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi yang kedatangannya dijanjikan oleh Nabi Besar Muhammad saw.. Atas pendakwaan tersebut para ulama Islam di daratan Hindustan menuntut tanda ajaib samawi sesuai dengan nubuwwat Nabi Muhammad saw. dalam hadits tersebut.
Sungguh ajaib, pada tahun 1894 -- tiga tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad a.s. memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi a.s. – pada bulan Ramadhan tahun itu terjadi gerhana bulan dan gerhana matahari persis seperti dinubuwwatkan Nabi Muhammad saw. tentang Imam Mahdi yang asli yakni “Limahdiyinaa ayatain -- bagi Mahdi kami ada dua tanda…).
Banyak
para ahli falaq juga menolak
keterangan Hadits ini dan
menganggapnya sebagai dhaif (lemah), karena dalam teori ilmu falaq tak mungkin gerhana bulan dan matahari
akan terjadi pada satu bulan yang sama. Namun apa pun kata para ahli falaq,
kalau nubuwwat Nabi Besar Muhammad
saw. dalam hadits tersebut terbukti
kebenarannya maka -- kecuali orang yang
hatinya degil -- tentu tak seorang pun dapat mengingkari kebenarannya.
Cara Terbaik Mensikapi Berbagai
Derajat Hadits
Jadi, terjadinya
gerhana bulan dan matahari yang terjadi di bulan Ramadhan pada 1894 bukan
saja menjadi bukti benarnya pendakwaan Mirza
Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam Mahdi a.s.
yang kedatangannya dijanjikan oleh
Nabi Besar Muhmammad saw., tetapi juga mendukung benarnya fatwa beliau berkenaan cara menafsirkan hadits-hadits yang dianggap dhaif
yang dikemukakan dalam Bab 180 dalam buku beliau Kishti Nuh (Bahtera Nuh).
Sehubungan
dengan cara terbaik mensikapi berbagai derajat hadits yang bermacam-macam,
Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam kapasitas
dan wewenang beliau beliau sebagai Imam
Mahdi Hakaman ‘Adlan (Imam Mahdi Hakim yang
adil), setelah menjelaskan mengenai Al-Quran
dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.,
beliau bersabda:
“Walau
pun di dalam Hadits juga ada sebagian besar yang bermartabat zhan
(spekulasi) tetapi dimana hal itu tidak bertentangan dengan Quran
Syarif dan Sunnah, tetap Hadits
tersebut dapat diterima sebagai penunjang Quran Syarif dan Sunnah,
serta di dalamnya terdapat perbendaharaan
yang berlimpah-limpah mengenai masalah-masalah keislaman.
Oleh
karena itu tidak menghargai Hadits berarti seakan-akan memenggal satu anggauta tubuh Islam. Tetapi sudah barang tentu jika
ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan Shahih Bukhari maka Hadits tersebut tidak patut
diterima, sebab kalau hadits tersebut diterima berarti menolak Quran Syarif dan menolak semua Hadits-hadits
yang cocok dengan Quran Syarif.
Aku maklum, bahwa tidak ada seorang pun dari
antara orang-orang yang shalih akan berani mempercayai Hadits semacam itu. Betapa jua pun hargailah Hadits dan ambillah faedahnya, sebab sumbernya berasal
dari Rasulullah saw., dan selama Quran Syarif dan Sunnah tidak mendustakannya kamu pun
hendaknya jangan mendustakannya, malahan hendaknya kamu mentaati hadits sedemikian rupa, sehingga tidak ada kegiatan kamu, istirahat kamu,
tingkah-laku kamu, dan berhenti kamu dari sesuatu pekerjaan yang tidak
dibenarkan oleh Hadits.
Tetapi
apabila ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan apa yang telah diterangkan di dalam Quran Syarif kamu harus mempergunakan akal kamu dengan memperbandingkannya,
barangkali pertentangan itu adalah
disebabkan oleh kekeliruan kamu
belaka. Dan apabila sesudah kamu berusaha mencari titik persesuaiannya
lalu tidak berhasil maka Hadits tersebut harus ditolak dan dikesampingkan.
Sedangkan Hadits yang dhaif
(lemah) tetapi mempunyai kecocokan
dengan Quran Syarif maka terimalah Hadits itu, sebab Quran Syarif membenarkan Hadits
tersebut.
Batu
Ujian Untuk Menentukan
Keshahihan Hadits
Tetapi kalau ada sebuah Hadits yang
mengandung suatu nubuwatan (kabar
gaib), dan para Muhadditsin (ahli hadits) menganggapnya sebagai dha’if (lemah), sedang di zaman kamu atau
di zaman sebelum kamu nubuwatan
yang terkandung dalam Hadits tersebut sudah menjadi kenyataan
maka anggaplah Hadits itu benar,
sebaliknya semua Muhaddits dan para perawi yang menetapkan Hadits
tersebut dha’if (lemah)
harus dianggap keliru.
Jumlah
dari Hadits-hadits yang mengandung nubuwatan
(kabar gaib) ada beratus-ratus banyaknya, dan banyak pula di antara Hadits-hadits tersebut oleh para Muhaddits dianggap majruh
(kurang sempurna), atau maudhu’ (dibuat-buat) atau dha’if
(lemah). Karena itu apabila salah satu dari Hadits-hadits tersebut menjadi kenyataan dan kamu
mencoba mengelakkan -- dengan mengatakan bahwa Hadits itu dha’if atau salah satu perawinya
tidak mutadayyin (tidak menjalankan hukum-hukum agama) -- maka
dalam hal demikian kamu menunjukkan kehampaan iman, karena dengan itu kamu menolak Hadits yang kebenarannya telah dibuktikan oleh Tuhan.
Sekarang, perkirakanlah ada sejumlah 1000 Hadits semacam itu yang menurut pandangan para Muhadditsin sebagai Hadits-hadits dha’if, tetapi 1000 nubuwatan yang terkandung di dalam Hadits-hadits tersebut
ternyata terbukti, maka apakah
kamu juga akan menetapkan semua Hadits-hadits itu sebagai dha’if (lemah) dan menyia-nyiakan ke-1000 bukti-bukti
itu? Karena itu dalam hal demikian kamu akan menjadi seteru Islam, dan Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ
[ “Dia tidak akan menampakkan gaib-Nya kecuali
kepada Rasul yang Dia ridhai.”]
Oleh karena itu kepada siapakah nubuwatan (kabar gaib) yang benar
dapat dinisbahkan kecuali kepada seorang Rasul
yang benar? Apakah tidak menyalahi kesadaran iman pada saat
mengatakan bahwa Muhaddistnya
salah? Pada tempatnyakah kita mengatakan -- dalam membenarkan sesuatu Hadits yang dha’if --
berdasarkan peristiwa yang sebenarnya? Ataukah Tuhan Sendiri telah keliru?
Apabila ada sebuah Hadits yang dha’if (lemah) tetapi ia tidak bertentangan dengan Quran
Syarif, Sunnah dan Hadits-hadits lainnya yang sepakat
dengan Quran Syarif, hendaknya kamu
mengamalkan Hadits-hadits tersebut, akan tetapi hendaknya
kamu berhati-hati dalam mengikuti Hadits-hadits tersebut, sebab ada fakta bahwa
banyak Hadits-hadits yang maudhu’ah
(dibuat-dibuat) dan yang memasukkan unsur fitnah ke dalam tubuh agama
Islam.
Tiap-tiap
firqah berpegang kepada Hadits
yang sesuai dengan akidah
masing-masing, sehingga dalam hal shalat
yang begitu jelas dan tetap (mutawatir) pun timbul pendapat yang bermacam-macam
bentuknya: ada yang menyebut “amin”
dengan suara nyaring, ada yang mengucapkannya di dalam hati. Ada yang
membaca Al-Fatihah bersama-sama dengan imam, ada pula yang menganggap bahwa pembacaan semacam itu akan
mengacaukan shalatnya. Ada yang melipat
kedua tangannya di atas dada sedangkan yang lainnya meletakkannya di atas pusarnya. Penyebab dari perbedaan ini sesungguhnya terletak dalam Hadits-hadits, dan hal ini cocok dengan firman Ilahi:
کُلُّ حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ
فَرِحُوۡنَ
[Tiap-tiap golongan bergembira
dengan apa yang ada pada mereka).
Pemberitahuan
Hal-hal Gaib Allah Swt. Melalui
Melalui Rasul Allah
Pendek kata, Mirza Ghulam Ahmad a.s. – baik dalam kapasitasnya sebagai Imam
Mahdi a.s. “Hakim yang adil” yang akan memberikan keputusan atas dasar petunjuk wahyu
Ilahi mengenai perselisihan pendapat
di kalangan umat Islam (QS.5:55); mau
pun dalam kapasitasnya sebagai Al-Masih
Mau’ud a.s. yang menyeru seluruh umat beragama ke dalam agama hakiki yakni agama
Islam (Al-Quran) sebagaimana yang difahami
dan diamalkan (disunnahkan) oleh Nabi
Besar Muhammad saw. -- pengutusan beliau
menggenapi firman-Nya berikut ini:
مَا کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی
مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ
لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ
مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di dalam
keadaan kamu berada di dalamnya hingga Dia
memisahkan yang buruk dari yang baik.
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara
rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu
ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran [3]:180).
Ayat ini maksudnya adalah bahwa percobaan
dan kemalangan yang telah dialami
kaum Muslimin hingga saat itu tidak
akan segera berakhir. Masih banyak lagi percobaan
yang tersedia bagi mereka, dan percobaan-percobaan
itu akan terus-menerus datang, hingga orang-orang
beriman sejati, akan benar-benar
dibedakan dari kaum munafik dan yang lemah iman (QS.9:16; QS.29:3).
Kata-kata وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ -- “tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia
kehendaki” itu tidaklah berarti bahwa sebagian rasul-rasul terpilih dan sebagian lagi tidak. Kata-kata itu berarti
bahwa dari orang-orang yang ditetapkan Allah Swt. sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih
yang paling sesuai untuk zaman
tertentu, di zaman rasul Allah itu
dibangkitkan yang kepadanya Allah Swt.
akan membukakan rahasia-rahasia gaib-Nya
-- sebagaimana kepada Adam (Khalifah
Allah) Swt. mengajari rahasia nama-nama-Nya
(QS.2:31-35) – firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ
ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ اَنۡ
قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ
رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya baris-an pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya
Dia mengetahui bahwa sungguh
mereka telah menyampaikan
Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka,
dan Dia meliputi semua yang ada
pada mereka dan Dia membuat
perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Ungkapan, “izhhar
‘ala al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan
dengan sering dan secara berlimpah-limpah
mengenai rahasia gaib bertalian
dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.
Ayat ini merupakan ukuran
yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia
gaib yang dibukakan kepada seorang rasul
Allah dan rahasia-rahasia gaib
yang dibukakan kepada orang-orang beriman
yang bertakwa lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar
‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas
yang gaib, maka rahasia-rahasia
yang diturunkan kepada orang-orang
bertakwa dan orang-orang suci
lainnya tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi
yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan
oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan
kepada orang-orang bertakwa lainnya
tidak begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah
itu dijamin keamanannya terhadap pemutarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah itu membawa tugas dari Allah Swt. yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh
mereka.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Februari
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar