Kamis, 03 April 2014

Gejala Meteorik Sebagai Salah Satu "Tanda Langit" Pengutusan Seorang Rasul Allah yang Dijanjikan



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  189

     Gejala Meteorik Sebagai Salah Satu  Tanda Langit Pengutusan Seorang  Rasul Allah yang Dijanjikan

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
P
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai  gugusan-gugusan bintang di langit:
وَ لَقَدۡ جَعَلۡنَا فِی السَّمَآءِ بُرُوۡجًا وَّ زَیَّنّٰہَا  لِلنّٰظِرِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ  حَفِظۡنٰہَا مِنۡ کُلِّ شَیۡطٰنٍ رَّجِیۡمٍ ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar   telah menjadikan gugusan-gugusan bintang di langit dan Kami telah menghiasinya  untuk orang-orang yang melihat.   Dan  Kami telah memeliharanya dari gangguan setiap syaitan yang terkutuk, kecuali  jika ada orang yang mencuri dengar wahyu Ilahi dan memutarbalikkannya maka ia dikejar kobaran nyala api yang terang-benderang.   (Al-Hijr [15]:17-19). 
       Makna “mencuri Kalam Ilahi dalam ayat    اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ  -- “kecuali  jika ada orang yang mencuri dengar” dapat mengandung arti perbuatan palsu orang-orang yang berlagak mengemukakan ajaran-ajaran para nabi sebagai ajaran dari mereka sendiri. Mereka itu berusaha menipu   orang-orang  awam agar mempercayai bahwa nabi-nabi Allah tidak membawa ajaran baru, dan bahwa mereka juga mempunyai pengetahuan yang dimiliki oleh para nabi Allah.
      Atau ayat itu dapat juga berarti, bahwa mereka mengutip suatu bagian dari ajaran dengan jalan memisahkannya dari siaq-sabaq (ujung pangkalnya) dan berusaha menyesatkan orang-orang yang sederhana pikirannya, dengan memberikan penafsiran salah tentang kata-kata itu dan mengaburkan artinya.
      Kata-kata  اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ --    kecuali jika ada orang yang mencuri dengar  jelas menunjukkan, bahwa kata-kata langit dalam ayat 17 menggambarkan sistem keruhanian dan bukan angkasa alam jasmani, sebab mencuri Kalam Ilahi itu tidak ada sangkut pautnya dengan langit jasmani melainkan dengan langit ruhani.
      Kata burūj (gugusan bintang-bintang) dalam ayat 17 menggambarkan rasul-rasul Allah   secara umum, sedangkan kata-kata syihābun mubīn (kobaran nyala api yang terang benderang) dalam ayat ini atau syihābun tsāqib (kobaran nyala api yang me-nembus)  tercantum dalam QS.37:11 dipakai untuk Rasul masa ini yaitu Penghulu para Rasul Allah, yakni Nabi Besar Muhammad saw..
      Pengejaran syaitan oleh syihāb (nyala api) maksudnya, bahwa selama suatu ajaran agama berlandaskan pada wahyu Ilahi (Adz-dzikr -  QS.15:10) dan memberi nur dan hidayat maka mushlih-mushlih rabbani (pembaharu-pembaharu dari Allah) – dalam hal ini kedatangan para mujaddid dan para wali Allah  -- juga terus-menerus muncul untuk menjaganya, itulah makna lain jaminan pemeliharaan Allah Swt. atas Al-Quran:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Kami-lah Yang  menurunkan peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.    (Al-Hijr [15]:10).
        Demikian juga halnya di Akhir Zaman ini pun dalam rangka memelihara Al-Quran serta membukakan khazanah-khazanah  keruhanian Al-Quran  (QS.3:180; QS.72:27-29) yang sangat diperlukan umat manusia di Akhir Zaman ini,   Allah Swt. telah membangkitkan  mujaddid ‘azham (mujaddid agung), sebab beliau  selain sebagai mujaddid juga merupakan Rasul Akhir Zaman (QS.61:10), yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama dengan nama yang berlainan (QS.77:12), sekaligus merupakan pengutusan kedua kali secara ruhani Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan kaum ākharīna minhum (QS.62:3-4), yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s..  guna mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ  رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ  الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ  عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (Ash-Shaff [61]:10).

Gejala Meteorik yang Luar Biasa

      Makna lain  kata “syihābun-mubīn” dalam  ayat  اِلَّا مَنِ اسۡتَرَقَ السَّمۡعَ فَاَتۡبَعَہٗ شِہَابٌ مُّبِیۡنٌ      --  kecuali  jika ada orang yang mencuri dengar wahyu Ilahi dan memutarbalikkannya maka ia dikejar kobaran nyala api yang terang-benderang.”  Dapat mengisyaratkan kepada salah satu dari sekian banyak tanda kedatangan Mushlih-mushlih rabbani  (rasul-rasul Allah) ke dunia, yaitu seringnya terjadi gejala meteorik, yaitu berjatuhannya bintang-bintang dalam jumlah besar.
      Demikian juga di  zaman Nabi Besar Muhammad saw.  meteor-meteor jatuh sedemikian banyaknya, sehingga kaum kafir menyangka bahwa langit dan bumi akan runtuh (Tafsir Ibnu Katsir).  Begitu juga sebelumnya, ketika  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  dilahirkan gejala meteorik terjadi juga, yang atas dasar itu orang-orang Majusi dari timur (Fersia) datang ke Yerusalem  mengenai hal tersebut (Matius 2:1-12).
       Dari kejadian yang luar biasa itu pulalah Heraclius   -- Kaisar Romawi --  yang agaknya mempunyai sedikit pengetahuan tentang ilmu perbintangan, menarik kesimpulan  bahwa nabi dan raja bangsa Arab – yakni “nabi  yang seperti Musa” (Ulangan 18-18; QS.46:11) yang muncul dari kalangan Bani Ismail pasti sudah muncul (Bukhari bab bad’al-wahy).

“Gerhana Bulan dan Matahari

        Sunnatullāh tersebut telah terjadi juga  di Akhir Zaman ini   dalam tahun 1885 sehubungan dengan pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Al-Masih Mau’ud a.s.  atau misal Nabi Isa Ibnu Mayam a.s. (QS.43:58).  Dengan demikian sejarah dan hadits kedua-duanya memberikan kesaksian, bahwa berjatuhannya meteor-meteor dalam jumlah yang luar biasa besarnya, adalah satu tanda yang pasti mengenai munculnya seorang Mushlih rabbani.
      Bahkan, mengenai kedatangan Imam Mahdi a.s. di Akhir  Zaman  ini, guna membedakannya dari para pendakwa palsu yang juga mendakwakan  Imam Mahdi   -- yang menurut Nabi Besar Muhammad saw. jumlahnya 30 orang Mahdi palsu – beliau saw. telah memberikan satu ciri atau  tanda   mengenai  Imam Mahdi  yang asli   yang beliau saw. sebut “Mahdi kami” dengan tanda dari langit lainnya, yaitu terjadinya gerhana bulan dan matahari pada bulan Ramadhan yang sama. Beliau  saw. bersabda:
Sesungguhnya  bagi Mahdi kami ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak saat langit dan bumi diciptakan, yaitu: Gerhana bulan pada malam pertama bulan Ramadhan, dan gerhana matahari pada pertengahan bulan itu juga”. (Sunan Ad-Daruqutni).
        Tahun 1891  Pendiri Jamaah Ahmadiyah,   Mirza  Ghulam Ahmad a.s. atas perintah Allah Swt.  memproklamirkan diri sebagai  Imam Mahdi yang  kedatangannya dijanjikan oleh Nabi Besar Muhammad saw.. Atas pendakwaan tersebut para ulama Islam di daratan Hindustan menuntut tanda ajaib samawi sesuai dengan nubuwwat Nabi Muhammad saw. dalam hadits tersebut.
        Sungguh ajaib, pada tahun 1894 -- tiga tahun setelah     Mirza Ghulam Ahmad a.s. memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi a.s.   – pada bulan Ramadhan tahun itu terjadi  gerhana bulan dan gerhana matahari   persis seperti dinubuwwatkan Nabi Muhammad saw. tentang Imam Mahdi yang asli  yakni “Limahdiyinaa ayatain  -- bagi Mahdi kami ada dua tanda…).
         Banyak para ahli falaq juga menolak keterangan Hadits ini dan menganggapnya sebagai dhaif  (lemah), karena dalam teori  ilmu falaq  tak mungkin gerhana bulan dan matahari akan terjadi pada satu bulan yang sama. Namun apa pun kata para ahli falaq, kalau nubuwwat Nabi Besar Muhammad saw. dalam hadits tersebut  terbukti kebenarannya maka   -- kecuali orang yang hatinya degil --   tentu tak seorang pun dapat mengingkari kebenarannya.

Cara Terbaik Mensikapi Berbagai Derajat Hadits

       Jadi, terjadinya gerhana bulan dan matahari yang terjadi di   bulan Ramadhan pada 1894   bukan saja menjadi   bukti  benarnya pendakwaan    Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam Mahdi a.s. yang kedatangannya dijanjikan oleh Nabi Besar Muhmammad saw., tetapi juga mendukung benarnya fatwa beliau berkenaan cara menafsirkan hadits-hadits yang dianggap dhaif yang dikemukakan dalam Bab 180 dalam buku beliau Kishti  Nuh (Bahtera Nuh).
     Sehubungan dengan cara terbaik mensikapi berbagai derajat hadits yang bermacam-macam, Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam kapasitas dan wewenang beliau beliau sebagai Imam Mahdi  Hakaman ‘Adlan (Imam Mahdi Hakim yang adil), setelah menjelaskan mengenai Al-Quran dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw., beliau bersabda:
        Walau pun di dalam Hadits juga ada sebagian besar yang bermartabat zhan (spekulasi) tetapi dimana hal itu tidak bertentangan dengan Quran Syarif dan Sunnah,  tetap Hadits tersebut  dapat diterima sebagai penunjang Quran Syarif dan Sunnah, serta di dalamnya terdapat perbendaharaan yang berlimpah-limpah mengenai masalah-masalah keislaman.
        Oleh karena itu tidak menghargai Hadits berarti  seakan-akan memenggal satu anggauta tubuh Islam. Tetapi sudah barang tentu jika ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan Shahih Bukhari maka Hadits tersebut tidak patut diterima, sebab kalau hadits tersebut diterima berarti menolak Quran Syarif dan menolak semua Hadits-hadits yang cocok dengan Quran Syarif.
       Aku maklum, bahwa tidak ada seorang pun dari antara orang-orang yang shalih akan berani mempercayai Hadits semacam itu. Betapa jua pun hargailah Hadits dan ambillah faedahnya, sebab sumbernya berasal dari Rasulullah saw., dan selama Quran Syarif dan Sunnah tidak mendustakannya kamu pun hendaknya jangan mendustakannya, malahan hendaknya kamu mentaati hadits sedemikian rupa, sehingga  tidak ada kegiatan kamu, istirahat kamu, tingkah-laku kamu, dan berhenti kamu dari sesuatu pekerjaan yang tidak dibenarkan oleh Hadits.
        Tetapi apabila ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan apa yang telah diterangkan di dalam Quran Syarif kamu harus mempergunakan akal kamu dengan memperbandingkannya, barangkali pertentangan itu adalah disebabkan oleh kekeliruan kamu belaka. Dan apabila sesudah kamu berusaha mencari titik persesuaiannya lalu tidak berhasil maka Hadits tersebut harus ditolak dan dikesampingkan. Sedangkan   Hadits yang dhaif (lemah) tetapi mempunyai  kecocokan dengan Quran Syarif maka terimalah Hadits itu, sebab Quran Syarif membenarkan Hadits tersebut.

Batu Ujian  Untuk  Menentukan  Keshahihan Hadits

        Tetapi kalau ada sebuah Hadits yang mengandung  suatu nubuwatan (kabar gaib), dan para Muhadditsin (ahli hadits) menganggapnya sebagai dha’if (lemah), sedang di zaman kamu atau di zaman sebelum kamu  nubuwatan yang terkandung dalam Hadits tersebut sudah menjadi kenyataan maka anggaplah Hadits itu benar, sebaliknya semua Muhaddits dan para perawi yang menetapkan Hadits tersebut dha’if (lemah) harus dianggap  keliru.
        Jumlah dari Hadits-hadits yang mengandung  nubuwatan (kabar gaib) ada beratus-ratus banyaknya, dan banyak pula di antara Hadits-hadits tersebut oleh para Muhaddits dianggap majruh (kurang sempurna), atau maudhu’ (dibuat-buat) atau dha’if (lemah). Karena itu apabila salah satu dari Hadits-hadits tersebut menjadi kenyataan dan kamu mencoba mengelakkan -- dengan mengatakan bahwa Hadits itu dha’if atau salah satu perawinya tidak mutadayyin (tidak menjalankan hukum-hukum agama) -- maka dalam hal demikian kamu menunjukkan kehampaan iman, karena  dengan itu kamu menolak Hadits  yang kebenarannya telah dibuktikan oleh Tuhan.
        Sekarang, perkirakanlah ada sejumlah 1000 Hadits semacam itu  yang menurut pandangan para Muhadditsin sebagai Hadits-hadits dha’if, tetapi 1000 nubuwatan yang terkandung di dalam Hadits-hadits tersebut ternyata terbukti, maka apakah kamu juga akan menetapkan semua Hadits-hadits itu sebagai dha’if (lemah) dan menyia-nyiakan ke-1000 bukti-bukti itu? Karena itu dalam hal demikian kamu akan menjadi seteru Islam, dan Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾    اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ
[ “Dia tidak akan menampakkan gaib-Nya kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai.”]   
       Oleh karena itu kepada siapakah  nubuwatan (kabar gaib) yang benar dapat dinisbahkan kecuali kepada seorang Rasul yang benar? Apakah tidak menyalahi kesadaran iman  pada saat  mengatakan bahwa Muhaddistnya salah? Pada tempatnyakah kita mengatakan -- dalam membenarkan sesuatu Hadits yang dha’if -- berdasarkan peristiwa yang sebenarnya? Ataukah Tuhan Sendiri telah keliru?
        Apabila ada sebuah Hadits yang dha’if (lemah) tetapi ia tidak bertentangan dengan  Quran Syarif, Sunnah dan Hadits-hadits lainnya yang sepakat dengan Quran Syarif, hendaknya kamu mengamalkan Hadits-hadits tersebut, akan tetapi hendaknya kamu berhati-hati dalam mengikuti Hadits-hadits tersebut, sebab ada fakta bahwa banyak Hadits-hadits  yang maudhu’ah (dibuat-dibuat) dan yang memasukkan unsur fitnah ke dalam tubuh agama Islam.
         Tiap-tiap firqah berpegang kepada Hadits yang sesuai dengan akidah masing-masing, sehingga dalam hal shalat yang begitu jelas dan tetap (mutawatir) pun timbul pendapat yang bermacam-macam bentuknya: ada yang menyebut “amin” dengan suara nyaring, ada yang mengucapkannya di dalam hati. Ada yang membaca Al-Fatihah bersama-sama dengan imam, ada pula yang menganggap bahwa pembacaan semacam itu akan mengacaukan shalatnya. Ada yang melipat kedua tangannya di atas dada sedangkan yang lainnya meletakkannya di atas pusarnya. Penyebab dari perbedaan ini sesungguhnya terletak dalam Hadits-hadits, dan hal ini cocok dengan firman Ilahi:
کُلُّ  حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ فَرِحُوۡنَ
[Tiap-tiap golongan bergembira dengan apa yang ada pada mereka).

Pemberitahuan Hal-hal Gaib Allah Swt. Melalui Melalui Rasul Allah

       Pendek kata, Mirza Ghulam Ahmad a.s.   – baik dalam kapasitasnya sebagai Imam Mahdi a.s. “Hakim yang adil” yang akan memberikan keputusan atas dasar petunjuk wahyu Ilahi mengenai perselisihan pendapat di kalangan umat Islam (QS.5:55); mau pun dalam kapasitasnya sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. yang menyeru seluruh umat beragama ke dalam agama hakiki  yakni agama Islam (Al-Quran) sebagaimana yang difahami dan diamalkan (disunnahkan) oleh Nabi Besar Muhammad saw. --  pengutusan beliau menggenapi firman-Nya berikut ini:
مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya   hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran  [3]:180).
      Ayat ini maksudnya adalah  bahwa percobaan dan kemalangan yang telah dialami kaum Muslimin hingga saat itu tidak akan segera berakhir. Masih banyak lagi percobaan yang tersedia bagi mereka, dan percobaan-percobaan itu akan terus-menerus datang, hingga orang-orang beriman  sejati, akan benar-benar dibedakan dari kaum munafik dan yang lemah iman (QS.9:16; QS.29:3).
       Kata-kata    وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ  -- “tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki” itu tidaklah berarti bahwa sebagian rasul-rasul terpilih dan sebagian lagi tidak. Kata-kata itu berarti bahwa dari orang-orang yang ditetapkan Allah Swt.    sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih yang paling sesuai untuk zaman tertentu, di zaman rasul Allah itu dibangkitkan  yang kepadanya Allah Swt. akan membukakan rahasia-rahasia gaib-Nya -- sebagaimana kepada Adam (Khalifah Allah) Swt. mengajari  rahasia  nama-nama-Nya (QS.2:31-35) – firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾   لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾  
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya baris-an pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat  Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
   Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.
 Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Allah dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang   beriman  yang bertakwa lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi  yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
      Wahyu rasul-rasul Allah itu dijamin keamanannya terhadap pemutarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah  itu membawa tugas dari Allah Swt.  yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh mereka.
  
(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  20  Februari      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar