بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
197
Dua Macam “Hijab” Mengerikan
dan Menyenangkan yang
Menyelubungi Surga dan Neraka
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya
mengenai orang-orang yang terbunuh
atau mati secara biasa di jalan-Nya, terutama ketika melakukan hijrah dan jihad di jalan Allah Swt.
dan Rasul-Nya:
وَ لَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ
یُّقۡتَلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتٌ ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ وَّ لٰکِنۡ لَّا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan janganlah
kamu mengatakan mengenai orang-orang
yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka
itu mati, tidak bahkan mereka
hidup, tetapi kamu tidak
menyadari. (Al-Baqarah [2]:155).
Ahya itu jamak dari hayy yang
antara lain berarti: (1) seseorang dengan amal
yang diperbuat selama hidupnya tidak menjadi sia-sia; (2) orang yang kematiannya dituntut balas. Ayat ini
mengandung suatu kebenaran agung dari
segi ilmu jiwa yang diperkirakan
memberikan pengaruh hebat kepada kehidupan dan kemajuan suatu kaum
(bangsa).
Suatu
kaum yang tidak menghargai pahlawan-pahlawan
yang telah syahid secara sepatutnya
dan tidak mengambil langkah-langkah untuk melenyapkan
rasa takut mati dari hati mereka, sebenarnya telah menutup masa depan mereka sendiri. Itulah sebabnya menurut
Allah Swt. orang-orang yang mati atau
terbunuh sebagai syuhada ketika melakukan hijrah dan jihad di jalan Allah adalah “orang-orang
yang hidup”, firman-Nya:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ
قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ
یُرۡزَقُوۡنَ ﴿﴾ۙ فَرِحِیۡنَ بِمَاۤ
اٰتٰہُمُ اللّٰہُ مِنۡ فَضۡلِہٖ ۙ وَ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ بِالَّذِیۡنَ لَمۡ یَلۡحَقُوۡا
بِہِمۡ مِّنۡ خَلۡفِہِمۡ ۙ اَلَّا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ۘ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ
بِنِعۡمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ فَضۡلٍ ۙ وَّ اَنَّ اللّٰہَ لَا یُضِیۡعُ اَجۡرَ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ۚ٪ۛ
Dan janganlah kamu
menyangka mengenai orang-orang yang
terbunuh di jalan Allah bahwa mereka itu mati, tidak, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya
(Tuhannya), mereka diberi rezeki. Mereka bergirang
hati dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya,
dan mereka bergembira terhadap
orang-orang di belakangnya yang belum
pernah bergabung dengan mereka bahwa tidak
ada ketakutan atas
mereka dan tidak pula mereka bersedih.
Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia dari Allah, dan sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan ganjaran orang-orang yang beriman. (Ali
‘Imran [3]:170-172).
Amwat itu jamak dari mayyit,
yang selain berarti orang mati,
mengandung makna: (1) orang yang darahnya belum terbalas; (2) orang yang tidak
meninggalkan penerus-penerus; (3) orang yang menderita sedih dan duka nestapa.
Kegembiraan Para Syuhada di Akhirat &
Macam-macam Mati Syahid
Para syuhada (orang-orang mati syahīd)
merasa gembira bahwa saudara-saudara
mereka yang ditinggalkan di dunia ini
yang hijrah dan jihad
di jalan Allah bersama Rasul Allah yang kepadanya mereka melakukan bai’at -- dan akan mengikuti jejak mereka kemudian akan segera menang atas musuh-musuh
mereka.
Maksudnya
adalah bahwa sesudah mati segala hijab
(tabir gaib) diangkat dan para syuhada
diberi makrifat mengenai kemenangan-kemenangan
yang tersedia bagi kaum Muslimin para
pengikut sejati Nabi Besar Muhammad
saw. -- baik di masa awal mau pun di
masa akhir (QS.62:3-4).
Mereka
mendapat kabar gembira mengenai saudara-saudaranya
yang masih “belum bergabung” dengan mereka karena masih berada di dunia, yaitu para malaikat Allah terus-menerus memberitahukan mereka (para syuhada) mengenai
sukses dan kemenangan-kemenangan yang dicapai Islam sepeninggal mereka.
Nabi Besar
Muhammad saw. telah bersabda mengenai keinginan
para syuhada di alam
akhirat ketika mereka ditanya oleh
Allah Swt. -- setelah mereka menyaksikan keistimewaan
ganjaran bagi para syuhada tersebut
-- yakni mereka ingin
berkali-kali mengalami syahid di jalan Allah:
Dari
Masyruq, beliau berkata: Aku bertanya
kepada Abdullah – maksudnya adalah Abdullah Ibn Mas'ud – mengenai ayat
berikut:
وَ لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِیۡنَ
قُتِلُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اَمۡوَاتًا ؕ بَلۡ اَحۡیَآءٌ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ
یُرۡزَقُوۡنَ
“Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi
Tuhannya dengan mendapat rezeki”. (Ali-Imran:170)
Ibnu Abbas berkata: Ketahuilah
sesungguhnya aku benar–benar telah menanyakan ayat tersebut (kepada Rasulullah
s.aw), maka beliau bersabda, “Ruh-ruh mereka di dalam burung-burung berwarna hijau yang
memiliki pelita-pelita yang tergantung
di 'Arasy, (ruh mereka) terbang ke surga sesuai kehendak mereka, dan
kemudian kembali ke pelita, kemudian
Tuhan mereka mendatangi mereka dan berfirman, “Apakah ada sesuatu yang kalian inginkan?”, mereka menjawab, 'Adakah lagi yang kami inginkan, sedangkan
kami bebas terbang ke surga sekehendak
kami', dan hal tersebut ditanyakan kepada mereka tiga kali, dan ketika
mereka menyadari bahwa mereka tidak akan ditinggalkan (tidak ditanya lagi)
hingga mereka meminta sesuatu, mereka selanjutnya berkata, 'Wahai Tuhan kami, kami berharap kiranya Engkau kembalikan ruh kami ke
dalam jasad kami, hingga kami terbunuh kembali di jalan Engkau untuk kedua
kalinya', tatkala Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lain lagi, maka mereka
ditinggalkan (tidak ditanya lagi).” Diriwayatkan oleh Muslim, begitu juga oleh at-Tirmidzi,
an-Nasai
dan Ibnu
Majah.
Hijab Surga
yang Menakutkan dan Hijab Neraka yang Menarik Hati & Kesyahidan Khalid bin Walid r.a. Terjadi di Tempat Tidur karena Sakit
Namun perlu diketahui, bahwa
sebagaimana dikemukakan dalam hadits Qudsi bahwa “kenikmatan-kenikmatan surga”
dihijab dengan berbagai hal yang menakutkan – sebaliknya,
“keburukan-keburukan neraka” dihijab
dengan berbagai hal yang menarik hawa-nafsu manusia – demikian pula halnya keadaan mengerikan jasad
para sahabat Nabi Besar Muhammad saw. yang mati syahid dalam berbagai peperangan,
misalnya Perang Badar dan Perang Uhud keadaan tubuhnya sangat mengerikan
karena dirusak oleh orang-orang
kafir Quraisy.
Kenapa demikian? Sebab kebiasaan bangsa Arab jahiliyah dalam perang adalah mereka merusak tubuh musuh-musuh mereka yang
dikalahkan, salah satu contohnya adalah Sayyidina
Hamzah bin ‘Abdul Muthalib r.a., paman Nabi Besar Muhammad saw. yang mati syahid dalam Perang Uhud, jantungnya
diambil lalu dimakan oleh Hindun,
istri Abu Sofyan.
Sehubungan dengan kenyataan tersebut berikut adalah keterangan
hadits Qudsi:
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Ketika Allah
menciptakan surga dan neraka, Dia
mengutus Jibril untuk melihat surga, dan kemudian berfirman:
“Lihatlah apa yang ada di dalamnya, dan kenikmatan
yang aku janjikan kepada penghuninya di dalamnya”. Rasulullah saw. melanjutkan:
Kemudian Jibril datang ke surga dan
melihat di dalamnya dan pada kenikmatan
yang disiapkan oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala kepada para penghuninya di dalamnya, kemudian Rasulullah saw.
mengatakan: Lalu Jibril kembali kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala dan berkata, “Demi
kemuliaan Engkau, tidak seorangpun yang mendengar tentangnya, kecuali akan memasukinya”.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menyelimuti (melingkupi) surga dengan perkara-perkara yang dibenci
(berbagai kesulitan), kemudian Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman (kepada Jibril): “Kembalilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah aku persiapkan untuk para penghuninya di
dalamnya.” Rasulullah saw. melanjutkan, “Kemudian kembalilah Jibril ke surga, maka ketika dia sampai di sana, benar-benar (surga) telah terlingkupi dengan berbagai kesulitan,
kemudian Jibril kembali menemui Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkata,
‘Demi Kemuliaan Engkau, aku benar-benar
kuatir, bahwa tidak akan seorang pun masuk ke dalamnya’.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Pergilah ke neraka, dan lihatlah di dalamnya, dan perhatikan
terhadap apa yang aku persiapkan bagi para penghuninya”. Kemudian ketika Jibril sampai di neraka, dia melihat neraka
terdiri dari beberapa tingkatan,
yang satu di bawah yang lain, kemudian dia kembali menemui Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkata, ‘Demi Kemuliaan Engkau, Tidak seorangpun yang mendengar tentangnya akan
memasukinya’.
Kemudian Allah
Subhanahu wa ta’ala memerintahkan
untuk menyelimuti (melingkupi)
Neraka dengan syahwat (kesenangan), dan kemudian berfirman kepada Jibril, “Kembalilah ke neraka’, kemudian Jibril pun kembali ke neraka,
dan kemudian berkata, ‘Demi Kemuliaan
Engkau, aku benar-benar kuatir,
tidak seorangpun terbebas kecuali akan
memasukinya” (Hadits
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau berpendapat hadits
ini berderajat hasan shahih begitu juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Majah).
Namun perlu
juga diketahui, bahwa menurut Nabi Besar Muhammad saw. yang termasuk syuhada tidak hanya mereka yang mati syahid dalam peperangan melawan musuh Islam saja, berikut keterangan mengenai hal tersebut:
Hadits
riwayat Muslim dalam Shahihnya, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Siapakah orang yang syahid menurut
kalian?” Para sahabat menjawab, ”Orang
yang terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid.” Rasulullah Saw. bersabda,
”Kalau begitu, orang yang mati syahid dari umatku sedikit,” mereka
bertanya,”Kalau begitu, siapa wahai Rasulullah?” Beliau Saw. menjawab, ”Orang yang terbunuh di jalan Allah, ia
syahid. Orang yang mati dijalan Allah, maka ia syahid, Orang yang mati karena
sakit tha’un (wabah), maka ia syahid. Barangsiapa yang mati karena sakit
perut, maka ia syahid, dan orang yang mati tenggelam adalah syahid”.
Dalam hadits lainnya dikemukakan pula beberapa contohnya lainnya
mengenai orang-orang yang kematiannya termasuk syahid. Bahkan diriwayatkan Sahabat Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat terkenal Khalid bin Walid r.a. -- yang
mendapat gelar “Saifullah (pedang
Allah)” -- beliau sangat mendambakan mati syahid dalam berbagai perang yang dialaminya -- ternyata wafatnya di tempat tidur.
Dua Macam Jihad: Jihad fī Sabilillāh (Jihad di Jalan Allah & Jihad fīllāh (Jihad di Dalam Allah)
Dengan demikian jelaslah, bahwa untuk menjadi syuhada di jalan Allah
tidak selalu harus terbunuh secara jasmani dalam suatu peperangan membela agama
atau terbunuh (mati) dalam suatu peristiwa lainnya yang termasuk “jihad di jalan Allah”,
karena ketika Nabi Besar Muhammad saw.
dan 313 sahabat beliau saw. telah
memperoleh kemenangan dalam Perang Badar -- yang dalam segala seginya sangat tidak seimbang --
namun menurut riwayat Nabi Besar
Muhammad saw. telah bersabda:
“Kita
baru kembali melakukan jihad kecil
(shaghir) dan akan menghadapi jihad
besar (akbar), yakni jihad melawan
hawa nafsu”.
padahal Allah Swt. sendiri menyatakan
bahwa Perang Badar sebagai “Yaumal- furqān” (Hari Pembeda antara
haq dengan yang bathil - QS.8:42).
Sehubungan
dengan masalah jihad , dalam
Al-Quran ada dua sebutan, yakni (1) jihad fī sabilillāh (jihad di jalan
Allah – QS.8:75; QS.9:41, 88 & 111)
berupa pengorbanan harta dan jiwa
di jalan Allah Swt.. (2) jihad fīllāh
(jihad dalam Allah – QS.22:79; QS.29:70)
berupa upaya mengendalikan hawa-nafsu
demi meraih kedekatan dan perjumpaan dengan Allah Swt., sebab kata fīnā
atau fīllāh berarti “untuk menjumpai Kami” atau
“untuk menjumpai Allah.”
Tingkatan jihad fīllāh (jihad di dalam Allah) lebih tinggi
derajatnya daripada jihad fī sabilillāh
(jihad di jalan Allah), karena dalam jihad fī sabilillāh (jihad di jalan
Allah) kemurnian lillāh (karena Allah) dapat dikotori
dengan niat-niat lainnya dalam
melaksanakan jihad fī sabilillāh
(jihad di jalan Allah), sebagaimana dikemukakan dalam hadits qudsi berikut ini:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., beliau
berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya salah seorang
yang pertama di hisab di hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid (gugur dalam peperangan);
kemudian disebutkan baginya nikmat-nikmat
yang diberikan kepadanya, dan dia
membenarkannya. Kemudian Allah
Subhanahu wa ta’ala bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau kerjakan dengan
nikmat itu?’, lelaki itu menjawab, ‘Aku
berperang untuk Engkau hingga aku
syahid’.
Allah menjawab, “Engkau
berdusta, (akan tetapi sesungguhnya) engkau
berperang agar orang menyebut engkau pemberani, dan (orang – orang) telah menyebutkan demikian itu’,
kemudian diperintahkan (malaikat) agar
dia diseret di atas wajahnya hingga sampai di neraka dan dilemparkan ke dalamnya”.
Dan (selanjutnya adalah) seorang laki–laki yang mempelajari ilmu dan
mengamalkannya serta dia membaca Al-Quran, kemudian dia didatangkan,
kemudian disebutkan nikmat–nikmat yang diberikan
kepadanya dan dia membenarkannya. Kemudian Allah bertanya, ‘Apa yang engkau kerjakan dengan
nikmat–nikmat itu?’ lelaki itu menjawab, ‘Aku mencari ilmu dan mengamalkannya (mengajarkannya), dan aku membaca Al-Quran karena Engkau’.
Allah berfirman, “Engkau berdusta,
(akan tetapi) engkau mencari ilmu itu
agar disebut sebagai ‘alim (orang yang berilmu), dan engkau membaca Al-Quran agar orang menyebut engkau qari’, dan engkau telah disebut demikian itu (alim
& qari’)” kemudian diperintahkan
(malaikat) kepadanya, agar dia diseret di atas wajahnya hingga sampai di neraka
dan di masukkan ke dalam neraka.”
Dan (selanjutnya) seorang laki – laki yang diluaskan (rizkinya) oleh Allah, dan
dikaruniai berbagai harta kekayaan. Kemudian dia dihadapkan, dan disebutkan nikmat–nikmat yang diberikan
kepadanya, dan dia membenarkannya. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apa
yang engkau kerjakan dengan nikmat – nikmat itu?”, lelaki itu menjawab, “Tidaklah aku meninggalkan jalan yang aku
cintai selain aku menginfakkan hartaku untuk Engkau”.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Engkau berdusta, tetapi engkau melakukan
itu semua agar orang menyebut engkau dermawan, dan engkau telah disebut demikian”. Kemudian diperintahkan (malaikat) kepadanya, agar dia diseret di atas wajahnya,
hingga sampai di neraka dan dimasukkan ke dalam neraka.
(HR.
Muslim dan begitu juga at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Demikianlah beberapa hal berkenaan dengan
jihad fī sabīlillah (jihad di jalan Allah) dengan
harta dan jiwa yang rawan dicampuri dengan niat-niat yang bersifat riya (pamer).
Jihad Fīllāh (Jihad
di Dalam Allah)
Berikut adalah beberapa firman Allah Swt. berkenaan dengan jihad
fīllāh (jihad dalam Allah):
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا
فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang
yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan
sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang berbuat ihsan. (Al-Ankabūt [29]:70).
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa jihad
seperti diperintahkan oleh Allah Swt. dalam Al-Quran (Islam), tidak berarti
harus membunuh atau menjadi korban pembunuhan -- sebagaimana yang marak dilakukan di Akhir
Zaman ini dengan peristiwa “bom bunuh
diri” -- melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti
“untuk menjumpai Kami.”
Kenapa
demikian? Sebab tujuan Allah Swt. mengutus para Rasul Allah serta menurunkan
syariat (hukum-hukum agama) -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. dan
agama Islam (Al-Quran) -- adalah supaya
di dalam kehidupan di dunia ini juga para pengamalnya dapat “bertemu” dan “berkomunikasi”
dengan Allah Swt., sehingga tercipta kehidupan surgawi di dunia ini juga, firman-Nya:
وَ لِمَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّہٖ
جَنَّتٰنِ ﴿ۚ﴾ فَبِاَیِّ اٰلَآءِ
رَبِّکُمَا تُکَذِّبٰنِ ﴿ۙ﴾
Dan bagi orang
yang takut akan Keagungan Rabb-nya (Tuhan-nya)
ada dua surga. Maka yang
manakah di antara nikmat-nikmat Rabb (Tuhan) kamu berdua, yang kamu dustakan? (Al-Rahmān [55]:47-48).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 27
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar