بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
187
Makna Persumpahan Allah Swt. dengan Nujum (Bintang-bintang) &
Makna “Hari yang Dijanjikan”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai QS.3:8-9 tentang ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat
dan mutasyābihat, bahwa makna
ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya, atau
menggambarkan peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat
demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa
(idiom) serta peribahasa-peribahasa
yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
Ayat-ayat demikian (mutasyābihat) hendaknya jangan diartikan demikian
rupa sehingga seolah-olah bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama yang
diterangkan dengan kata-kata yang jelas (muhkamat).
Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan
yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci,
perlu sekali menjamin keluasan arti
dengan kata-kata sesingkat-singkatnya,
untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk
memberikan kepada manusia suatu percobaan
(ujian) yang tanpa itu perkembangan
dan penyempurnaan ruhaninya tidak
akan mungkin tercapai.
Makna Persumpahan Allah
Swt. dengan Nujum (Bintang-bintang)
Makna doa dalam رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا
بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا -- “Ya Rabb ( Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk”, bahwa makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan
kepada mereka yang berhati suci,
firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ بِمَوٰقِعِ
النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ اِنَّہٗ
لَقَسَمٌ لَّوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ
کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka Aku
benar-benar bersumpah demi bintang-bintang
berjatuhan, dan
sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung, seandainya kamu
mengetahui, sesungguhnya itu benar-benar Al-Quran yang mulia, dalam suatu kitab yang sangat terpelihara,
yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah [56]:80).
Huruf lā (tidak)
pada umumnya dipergunakan untuk memberikan tekanan arti pada suatu sumpah, yang berarti, bahwa hal yang
akan diterangkan lebih lanjut adalah begitu jelas, sehingga tidak diperlukan
memanggil sesuatu yang lain untuk memberikan kesaksian atas kebenarannya.
Bila yang dimaksudkan ialah sanggahan terhadap suatu praduga (hipotesa) tertentu, maka lā (tidak)
itu dipergunakan untuk menyatakan bahwa apa yang tersebut sebelumnya tidak benar dan yang benar ialah yang berikutnya.
Guna membuktikan kebenaran Al-Quran yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini Allah
Swt. bersumpah
dengan dan berpegang kepada nujum yang berarti bagian-bagian
Al-Quran (Lexicon Lane),
sebagai bukti untuk mendukung pengakuan bahwa Al-Quran luar-biasa cocoknya untuk memenuhi tujuan besar di balik kejadian (penciptaan) manusia (QS.51:57),
demikian pula untuk membuktikan keberasalan
Al-Quran sendiri dari Allah Swt..
Jika kata mawāqi’ diambil
dalam arti tempat-tempat dan waktu bintang-bintang
(nujum) berjatuhan, maka ayat ini
bermakna bahwa – sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya -- telah merupakan hukum Ilahi yang tidak pernah salah
bahwa pada saat ketika seorang Mushlih rabbani (reformer) atau seorang nabi Allah muncul bintang-bintang
berjatuhan dalam jumlah luar biasa banyaknya, dan yang demikian itu telah
terjadi juga di masa Nabi Besar Muhammad
saw..
Dengan demikian persumpahan Allah Swt. dalam
ayat tersebut dan juga dalam ayat-ayat Surah
Al-Quran lainnya berkenaan dengan
nujum (bintang-bintang - QS.56:76) --مَوٰقِعِ النُّجُوۡمِ -- “berjatuhannya
bintang-bintang” berupa gejala meteorik sehubungan pengutusan para Rasul Allah maka ayat-ayat tersebut dapat disebut sebagai
ayat-ayat yang muhkamat.
Makna kata nujum (bintang-bintang) dalam makna mutasyābihat berikut beberapa contohnya, firman-Nya:
فَاِذَا النُّجُوۡمُ طُمِسَتۡ
"Maka apabila cahaya bintang-bintang
telah pudar" (Al-Mursalāt [77]:9).
Ayat ini berarti, ketika berbagai malapetaka hampir menimpa kaum itu. Orang-orang Arab menganggap lenyapnya bintang-bintang sebagai
pertanda bencana hampir tiba.
Firman-Nya lagi:
وَ اِذَا النُّجُوۡمُ
انۡکَدَرَتۡ ۪ۙ
"Dan apabila bintang-bintang menjadi suram" (At-Takwīr [81]:3).
An-nujūm (bintang-bintang)
berarti para ‘ulama. Arti ini
didukung oleh sebuah hadits termasyhur: “Sahabat-sahabat adalah laksana
bintang-bintang, siapa pun dari antara mereka kamu ikuti, kamu akan mendapat
pertunjuk yang benar” (Baihaqi).
Maka ayat itu dapat berarti: Ketika para
pemimpin agama akan menjadi rusak dan kehilangan segala pengaruhnya.
Gejala Meteorik yang Luarbiasa
Isyarat ini dapat pula
ditujukan kepada gejala meteorik berupa jatuhnya bintang-bintang dalam jumlah luar biasa besarnya, pada
masa ketika seorang Mushlih rabbani (Pembaharu
ruhani) yakni Rasul Allah datang. Dengan demikian terjadinya gejala meteorik yang luar biasa pun merupakan isyarat mengenai terjadinya kegelapan atau kerusakan dalam dunia agama (QS.30:42).
Dalam firman-Nya berikut ini kata nujum (bintang-bintang) diganti dengan
kata kawākib yang juga artinya bintang-bintang
, firman-Nya lagi:
وَ اِذَا الۡکَوَاکِبُ انۡتَثَرَتۡ
ۙ﴿ ﴾
"Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan"(Al-Infithār
[82]:2).
Berbicara dalam bahasa kiasan, ayat ini berarti bahwa di
Akhir Zaman orang-orang yang memiliki
ilmu dan tuntunan ruhani sejati akan hilang atau akan menjadi langka.
Kembali kepada persumpahan
Allah Swt. dengan nujum (bintang-bintang) berkenaan dengan kebenaran Nabi Besar Muhammad saw. dan wahyu Al-Quran,
firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ بِمَوٰقِعِ
النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ اِنَّہٗ
لَقَسَمٌ لَّوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ
کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka Aku
benar-benar bersumpah demi bintang-bintang
berjatuhan, dan
sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung, seandainya kamu
mengetahui, sesungguhnya itu benar-benar Al-Quran yang mulia, dalam suatu kitab yang sangat terpelihara,
yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah [56]:80).
Makna ayat فِیۡ
کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- “dalam suatu kitab yang sangat terpelihara”, bahwa Al-Quran
itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang
terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10) merupakan tantangan terbuka kepada seluruh
dunia, tetapi selama 14 abad tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam
yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya, tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa
kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan
oleh musuh-musuh – bahwa kitab suci yang
disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.
kepada dunia 14 abad yang
lalu, “telah sampai kepada kita tanpa
perubahan barang satu huruf pun” demikian pengakuan Williams
Muir.
Ada pun makna ayat لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”, bahwa Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih sajalah yang dapat meraih
khazanah keruhanian seperti
diterangkan dalam ayat berikutnya.
Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas
itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, demikian juga cita-cita dan asas-asas Al-Quran itu juga kekal
dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman (QS.4:83; QS.67:1-6).
Atau,
ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara
dalam fitrat yang telah dianugerahkan
Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat
insani berlandaskan pada hakikat-hakikat
dasar dan telah dilimpahi kemampuan
untuk sampai kepada keputusan yang
benar. Orang yang secara jujur
bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
Jadi menurut ayat لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan”, hanya orang yang bernasib baik sajalah
yang diberi pengertian mengenai dan dapat
mendalami kandungan arti Al-Quran
yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan
bertakwa lalu meraih kebersihan hati
dan dengan karunia Allah Swt. dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya
tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa hendaknya jangan
menyentuh atau membaca Al-Quran
sementara keadaan fisik tidak bersih.
Mujaddid ‘Azham (Mujaddid Agung) di Akhir Zaman
& Makna “Hari yang Dijanjikan”
Ada
pun yang dimaksud dengan “Hari yang
dijanjikan” dalam ayat selanjutnya وَ الۡیَوۡمِ
الۡمَوۡعُوۡدِ -- “dan demi
Hari yang dijanjikan” dapat
berarti hari ketika muncul Mujaddid yang ke 12
-- yang merupakan Mujaddid ‘azham
(Mujaddid agung), sebab selain sebagai mujaddid
abad ke 14 beliau pun juga sebagai Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih
Mau’ud a.s. (Al-Masih yang
Dijanjikan) untuk mewujudkan kebangkitan
Islam kedua kali di Akhir Zaman ini (QS.61:110)
yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s., firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ
بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ
لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama, walaupun
orang-orang musyrik tidak menyukai.
(Ash-Shaff
[61]:10).
Kebanyakan ahli
tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan
Islam di atas semua agama akan
menjadi kepastian, dengan demikian terjadinya “saat” itu merupakan الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ -- “Hari yang dijanjikan”
pula.
Pada hakikatnya banyak “hari” semacam itu dalam sejarah Islam yang dapat disebut الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ -- “Hari yang dijanjikan”,
seperti hari Pertempuran Badar, hari
ketika Pertempuran Khandak berkesudahan
dengan kejayaan besar, dan hari jatuhnya Mekkah. Tetapi “Hari yang dijanjikan” yang paripurna itu
ialah masa kebangkitan kedua-kalinya Nabi
Besar Muhammad saw. dalam
pribadi wakil atau khalifah beliau saw. pada abad ke-14 Hijrah, ketika agama Islam
akan memperoleh kehidupan baru dan
akan menang atas semua agama lainnya, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata. Dan juga Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya
kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
“Hari
yang dijanjikan” itu dapat pula berarti
hari ketika orang-orang bertakwa
akan merasakan kelezatan nikmat pertemuan
dengan Tuhan mereka ketika telah
meraih derajat nafs- al-muthmainnah (jiwa yang tentram - QS.89:28-31) setelah
melewati tingkat nafs Ammarah
(QS.12:54) dan nafs-al-Lawaamah (jiwa
yang mencela diri sendiri -- QS.75:3).
“Saksi” dan “Yang Diberi Kesaksian”
Selanjutnya makna ayat وَ
شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ
-- “dan
demi saksi dan yang disaksikan”, pada hakikatnya tiap nabi Allah atau mushlih rabbani adalah syāhid, yaitu yang memberi kesaksian,
disebabkan beliau seorang saksi hidup
akan adanya Allah Swt., dan beliau
itu pun masyhud (yang diberi kesaksian) sebab Allah Swt. memberi
kesaksian akan kebenarannya dengan memperlihatkan
Tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat
di tangannya.
Tetapi di sini, seperti
nampak dari teks, syahid adalah Al-Masih
Mau’ud a.s. atau Rasul Akhir Zaman yang muncul di
kalangan umat Islam, sedangkan masyhūd
adalah Nabi Besar Muhammad saw., dan
ayat ini mengandung arti bahwa Al-Masih
Mau’ud a.s. akan memberi kesaksian akan kebenaran Nabi Besar
Muhammad saw. dengan uraian-uraian, tabligh-tabligh, dan tulisan-tulisan beliau dan dengan Tanda-tanda yang akan ditampakkan Allah Swt.
di tangan beliau.
Beliau (Al-Masih Mau’ud
a.s.) akan memberikan kesaksian pula
dalam arti bahwa dalam wujud beliau nubuatan Nabi Besar Muhammad saw. sendiri tentang kedatangan Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih
Mau’ud a.s. atau misal Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. (QS.43:58) telah memberi kesaksian
akan kebenaran beliau. Dengan
demikian Nabi Besar Muhammad saw. dan
Al-Masih Mau’ud a.s. itu bersama-sama merupakan syāhid (saksi) dan masyhūd (yang diberi kesaksian). Demikianlah berbagai
makna yang terkandung dalam firman-Nya:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ
السَّمَآءِ ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ ۙ﴿﴾ وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ ۙ﴿﴾ وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ ؕ﴿﴾
Aku baca Maha Pemurah, Maha Penyayang. Demi
langit yang memiliki gugusan-gugusan
bintang, dan demi Hari yang dijanjikan, dan demi
saksi dan yang disaksikan,
(Al-Burūj
[85]:1-4).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Februari
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar