Kamis, 03 April 2014

Makna "Persumpahan" Allah Swt. dengan "Nujum" (Bintang-bintang) & Makna "Hari yang Dijanjikan"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  187

     Makna   Persumpahan Allah Swt. dengan Nujum (Bintang-bintang)  & Makna “Hari yang Dijanjikan

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
P
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai  QS.3:8-9  tentang ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat dan mutasyābihat,  bahwa makna ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
     Ayat-ayat demikian (mutasyābihat) hendaknya jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas (muhkamat). Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan (ujian) yang tanpa itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan mungkin tercapai.

Makna Persumpahan Allah Swt. dengan Nujum (Bintang-bintang)

       Makna doa dalam  رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا  -- “Ya Rabb ( Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami  setelah Engkau  memberi kami petunjuk”, bahwa makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan kepada mereka yang berhati suci, firman-Nya:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka  Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan,  dan sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui,  sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia,   dalam suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.   (Al-Wāqi’ah [56]:80).
    Huruf   (tidak) pada umumnya dipergunakan untuk memberikan tekanan arti pada suatu sumpah, yang berarti, bahwa hal yang akan diterangkan lebih lanjut adalah begitu jelas, sehingga tidak diperlukan memanggil sesuatu yang lain untuk memberikan kesaksian atas kebenarannya. Bila yang dimaksudkan ialah sanggahan terhadap suatu praduga (hipotesa) tertentu, maka   (tidak) itu dipergunakan untuk menyatakan  bahwa apa yang tersebut sebelumnya tidak benar dan yang benar ialah yang berikutnya.
    Guna membuktikan kebenaran Al-Quran yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini Allah Swt.  bersumpah dengan dan berpegang kepada nujum yang berarti  bagian-bagian Al-Quran (Lexicon Lane), sebagai bukti untuk mendukung pengakuan bahwa Al-Quran luar-biasa cocoknya untuk memenuhi tujuan besar di balik kejadian (penciptaan) manusia (QS.51:57), demikian pula untuk membuktikan keberasalan Al-Quran sendiri dari Allah Swt..
   Jika kata mawāqi’ diambil dalam arti tempat-tempat dan waktu bintang-bintang (nujum) berjatuhan, maka ayat ini bermakna bahwa – sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya -- telah merupakan hukum Ilahi yang tidak pernah salah bahwa pada saat ketika seorang Mushlih rabbani (reformer) atau seorang nabi Allah muncul  bintang-bintang berjatuhan dalam jumlah luar biasa banyaknya, dan yang demikian itu telah terjadi juga di masa  Nabi Besar Muhammad saw..
   Dengan demikian persumpahan Allah Swt.  dalam ayat tersebut  dan  juga dalam ayat-ayat   Surah Al-Quran lainnya   berkenaan  dengan   nujum (bintang-bintang -  QS.56:76)   --مَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ  -- “berjatuhannya  bintang-bintang” berupa gejala meteorik  sehubungan pengutusan para Rasul Allah  maka ayat-ayat tersebut dapat disebut sebagai ayat-ayat yang muhkamat.
  Makna kata nujum (bintang-bintang) dalam  makna mutasyābihat  berikut beberapa contohnya,  firman-Nya:
فَاِذَا النُّجُوۡمُ  طُمِسَتۡ  
"Maka apabila cahaya bintang-bintang telah pudar"   (Al-Mursalāt [77]:9).
  Ayat ini berarti, ketika berbagai malapetaka hampir menimpa kaum itu. Orang-orang Arab menganggap lenyapnya bintang-bintang sebagai pertanda bencana hampir tiba. Firman-Nya lagi:
وَ  اِذَا  النُّجُوۡمُ  انۡکَدَرَتۡ ۪ۙ
"Dan apabila bintang-bintang menjadi suram"  (At-Takwīr [81]:3).
    An-nujūm (bintang-bintang) berarti para ‘ulama. Arti ini didukung oleh sebuah hadits termasyhur:  Sahabat-sahabat adalah laksana bintang-bintang, siapa pun dari antara mereka kamu ikuti, kamu akan mendapat pertunjuk yang benar” (Baihaqi). Maka  ayat itu dapat berarti: Ketika para pemimpin agama akan menjadi rusak dan kehilangan segala pengaruhnya.

Gejala Meteorik yang Luarbiasa

  Isyarat ini dapat pula ditujukan kepada  gejala meteorik berupa jatuhnya bintang-bintang dalam jumlah luar biasa besarnya, pada masa ketika seorang Mushlih rabbani (Pembaharu ruhani)  yakni Rasul Allah datang. Dengan demikian terjadinya gejala meteorik yang luar biasa pun merupakan isyarat mengenai terjadinya kegelapan atau kerusakan dalam dunia agama  (QS.30:42).
        Dalam firman-Nya berikut ini kata nujum (bintang-bintang) diganti dengan kata kawākib  yang juga artinya  bintang-bintang , firman-Nya lagi:
وَ  اِذَا الۡکَوَاکِبُ انۡتَثَرَتۡ ۙ﴿ ﴾
"Dan apabila bintang-bintang jatuh  berserakan"(Al-Infithār [82]:2).
   Berbicara dalam bahasa kiasan, ayat ini berarti bahwa di Akhir Zaman orang-orang yang memiliki ilmu dan tuntunan ruhani sejati akan hilang atau akan menjadi langka.
    Kembali kepada  persumpahan Allah Swt.  dengan nujum (bintang-bintang) berkenaan dengan kebenaran Nabi Besar Muhammad saw. dan wahyu Al-Quran, firman-Nya:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka  Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan,  dan sesungguhnya itu benar-benar  kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui,  sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia,   dalam suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.   (Al-Wāqi’ah [56]:80).
    Makna ayat  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ  -- “dalam suatu kitab yang sangat terpelihara”,  bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10) merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
    Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya, tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab suci yang disodorkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  kepada dunia 14 abad yang lalu, “telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun” demikian pengakuan   Williams Muir.
     Ada pun makna ayat   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ  -- yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan”,  bahwa Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih sajalah yang dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya.
      Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam. Seperti hukum alam, demikian juga  cita-cita dan asas-asas Al-Quran itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman (QS.4:83; QS.67:1-6).
     Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
     Jadi menurut ayat   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ  -- yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan”,    hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan  dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan  dengan karunia Allah Swt. dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa  hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik  tidak bersih

Mujaddid ‘Azham (Mujaddid Agung) di Akhir Zaman &  Makna “Hari yang Dijanjikan

    Ada pun yang dimaksud dengan  “Hari yang dijanjikan”  dalam ayat selanjutnya وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ  -- “dan demi Hari yang dijanjikan dapat berarti hari ketika muncul Mujaddid  yang ke 12   -- yang merupakan Mujaddid ‘azham (Mujaddid agung), sebab selain sebagai mujaddid abad ke  14  beliau pun juga sebagai Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau’ud a.s.  (Al-Masih yang Dijanjikan) untuk mewujudkan kebangkitan   Islam kedua kali di Akhir Zaman ini (QS.61:110)  yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s., firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ  رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ  الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ  عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (Ash-Shaff [61]:10).
  Kebanyakan ahli tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan Islam di atas semua agama akan menjadi kepastian,  dengan demikian  terjadinya “saat” itu merupakan الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ -- “Hari yang dijanjikan” pula.
     Pada hakikatnya banyak “hari” semacam itu dalam sejarah Islam yang dapat disebut  الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ -- “Hari yang dijanjikan”, seperti hari Pertempuran Badar, hari ketika Pertempuran Khandak berkesudahan dengan kejayaan besar, dan hari jatuhnya Mekkah. Tetapi “Hari yang dijanjikan” yang paripurna itu ialah masa kebangkitan kedua-kalinya Nabi Besar Muhammad saw.   dalam pribadi wakil atau khalifah beliau saw. pada abad ke-14 Hijrah, ketika agama Islam akan memperoleh kehidupan baru dan akan menang atas semua agama lainnya, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf  seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan juga Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mempunyai karunia yang besar.    (Al-Jumu’ah [62]:3-5).
     Hari yang dijanjikan” itu dapat pula berarti  hari ketika orang-orang bertakwa akan merasakan kelezatan nikmat pertemuan dengan Tuhan mereka ketika telah meraih derajat  nafs- al-muthmainnah (jiwa yang tentram - QS.89:28-31) setelah melewati tingkat nafs Ammarah (QS.12:54) dan nafs-al-Lawaamah (jiwa yang mencela diri sendiri  -- QS.75:3).

Saksi” dan “Yang Diberi  Kesaksian

   Selanjutnya makna ayat   وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ    --    dan demi saksi dan yang disaksikan”, pada hakikatnya tiap nabi Allah atau mushlih rabbani adalah syāhid, yaitu yang  memberi kesaksian, disebabkan beliau seorang saksi hidup akan adanya Allah Swt., dan beliau itu pun masyhud (yang diberi kesaksian) sebab Allah Swt.  memberi kesaksian akan kebenarannya dengan memperlihatkan Tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat di tangannya.
    Tetapi di sini, seperti nampak dari teks, syahid adalah  Al-Masih Mau’ud a.s. atau Rasul Akhir Zaman yang muncul di kalangan umat Islam, sedangkan masyhūd adalah Nabi Besar Muhammad saw.,  dan ayat ini mengandung arti bahwa Al-Masih Mau’ud a.s.  akan memberi kesaksian akan kebenaran  Nabi Besar Muhammad saw. dengan uraian-uraian, tabligh-tabligh, dan tulisan-tulisan beliau dan dengan Tanda-tanda yang akan ditampakkan Allah Swt. di tangan beliau.
    Beliau (Al-Masih Mau’ud a.s.) akan memberikan kesaksian pula dalam arti bahwa dalam wujud beliau nubuatan Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri  tentang kedatangan Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) telah memberi kesaksian akan kebenaran beliau. Dengan demikian Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Masih Mau’ud a.s.  itu bersama-sama merupakan syāhid (saksi) dan masyhūd (yang diberi kesaksian). Demikianlah berbagai makna yang terkandung dalam firman-Nya: 
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ السَّمَآءِ  ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ ۙ﴿﴾  وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ ۙ﴿﴾  وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ ؕ﴿﴾
Aku baca   Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Demi langit yang memiliki  gugusan-gugusan bintang,  dan demi Hari yang dijanjikan,  dan demi saksi dan yang disaksikan, (Al-Burūj [85]:1-4).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  18  Februari      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar