Rabu, 02 April 2014

Makna Ayat-ayat Al-Quran yang Muhkamat dan Mutasyaabihaat



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  186

     Makna  Ayat-ayat  Al-Quran yang Muhkamat dan  Mutasyābihāt   

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
P
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai  hukuman kedua kali  yang menimpa Bani Israil:
    فَاِذَا جَآءَ وَعۡدُ الۡاٰخِرَۃِ  لِیَسُوۡٓءٗا  وُجُوۡہَکُمۡ وَ لِیَدۡخُلُوا الۡمَسۡجِدَ کَمَا دَخَلُوۡہُ  اَوَّلَ مَرَّۃٍ  وَّ  لِیُتَبِّرُوۡا مَا عَلَوۡا تَتۡبِیۡرًا
Lalu bila datang saat sempurnanya janji yang kedua itu Kami membangkitkan lagi hamba-hamba Kami yang lain supaya mereka mendatangkan kesusahan kepada pemimpin-pemimpin kamu   dan supaya mereka memasuki masjid seperti pernah mereka memasukinya pada kali pertama, dan supaya mereka meng-hancurluluhkan segala yang telah mereka kuasai. (Bani Israil [17]:8).
     Ayat ini membicarakan jatuhnya kembali orang-orang Yahudi ke lembah keburukan, dan tentang azab Ilahi  yang menimpa mereka sebagai akibatnya. Mereka menentang dan menganiaya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  serta berusaha membunuh beliau pada palang salib dan memusnahkan pergerakan beliau.

Serbuan Dahsyat  Panglima Titus dari Kerajaan Romawi

        Oleh sebab itu Allah Swt. menimpakan kepada mereka azab yang sangat keras, ketika pada tahun 70 M. pasukan-pasukan Romawi di bawah pimpinan Titus melanda negeri itu, dan di tengah-tengah kejadian-kejadian mengerikan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah itu, kota Yerusalem kembali  dihancurkan dan rumah peribadatan yang dibangun Nabi Sulaiman a.s. dibumihanguskan (Encyclopaedia Biblica pada kata  Yerusalem). Malapetaka itu terjadi ketika Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. masih hidup di Kasymir (QS.23:51). Hal ini pun dinubuatkan oleh Nabi Musa a.s. (Ulangan 32: 18-26).
      Perlu pula dicatat di sini, bahwa nubuatan mengenai azab kedua kali itu telah disebut dalam Bible sesudah adanya nubuatan yang membicarakan hukuman pertama (Ulangan Bab 28). Lebih dari itu, bahkan nubuatan ini disebut sesudah nubuatan mengenai kembalinya orang-orang Yahudi ke Yerusalem (Ulangan 30:1-5). Hal ini menunjukkan, bahwa nubuatan ini (Ulangan 32:18-26) merujuk  kepada azab yang kedua, yang telah disinggung dalam Al-Quran, yaitu “Niscaya kamu akan melakukan kerusakan  besar di muka bumi ini dua kali.” (QS.17:5).
        Ayat ini mengandung peringatan bagi umat Islam, bahwa seperti orang Yahudi mereka pun akan dihukum dua kali, jika mereka tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka. Tetapi  umat Islam tidak memperoleh faedah dari peringatan yang tepat pada waktunya itu, serta tidak meninggalkan cara-cara yang buruk; dan oleh karena itu telah dihukum dua kali.
        Hukuman pertama menimpa mereka, ketika kota Baghdad jatuh pada tahun 1258 M. Pasukan-pasukan Hulaku Khan yang  biadab itu sama sekali memusnahkan pusat ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang agung itu, dan konon kabarnya 1.800.000 orang Islam telah terbunuh pada ketika itu.
      Tetapi dari malapetaka yang mengerikan itu akhirnya Islam keluar sebagai pemenang. Mereka yang menaklukkan menjadi yang ditaklukkan. Cucu Hulaku Khan bersama-sama sejumlah besar orang Moghul dan Tartar memeluk agama Islam. Hukuman kedua telah ditakdirkan akan menimpa umat Islam di Akhir Zaman ini.
       Pendek kata, terjadinya kedua hukuman Ilahi yang menimpa kedua silsilah  keturunan Nabi Ibrahim a.s.   – yakni Bani Israil dan Bani Ismai’I  (umat  Islam) --  tersebut  penyebabnya sama yaitu kedurhakaan mereka kepada Allah Swt. dan Rasul Allah  (QS.2:88-89) serta kepada  para Mujaddid dan para Wali Allah   yang  dibangkitkan di kalangan umat Islam, sebagai penggenapan sabda Nabi Besar Muhammad saw. mengenai  adanya persamaan antara umat Islam  dengan umat  sebelumnya  (Yahudi dan Nasrani)  bagaikan persamaan sepasang sepatu.

Hakikat Gugusan Bintang-bintang di Langit &  Dua  Sifat  Umum Ayat-ayat Al-Quran

        Kedua belas orang Mujaddid   -- yang  seperti para nabi Bani Israil   -- yang dibangkitkan di kalangan umat Islam tersebut  sesuai dengan isyarat dalam firman Allah Swt. berikut ini:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ السَّمَآءِ  ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ ۙ﴿﴾  وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ ۙ﴿﴾  وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ ؕ﴿﴾
Aku baca   Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Demi langit yang memiliki  gugusan-gugusan bintang,  dan demi Hari yang dijanjikan,  dan demi saksi dan yang disaksikan, (Al-Burūj [85]:1-4).
   Yang dimaksud dengan ayat  وَ السَّمَآءِ  ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ -- “Demi langit yang memiliki gugusan-gugusan bintang adalah Mujaddid-mujaddid atau 12  gugusan bintang di cakrawala ruhani Islam, yang akan membuat cahaya Islam berkilauan terus sesudah matahari ruhani terbenam, yaitu sesudah 3 abad Islam paling baik berlalu, sehingga membawa akibat tersebarnya kegelapan ruhani di seluruh dunia. Para mujaddid itu akan memberikan kesaksian mengenai kebesaran Islam, kebenaran Al-Quran dan kebenaran Nabi Besar Muhammad saw..
    Melalui para Mushlih rabbani  (pembaharu ruhani) yang muncul di setiap abad itulah  Allah Swt. menjaga agama Islam (Islam) dari segi ruhani  dari upaya-upaya penyimpangan  makna-makna  hakiki Al-Quran oleh orang-orang yang berhati bengkok,   yang cenderung menimbulkan  berbagai  fitnah  dalam ajaran Islam terutama berkenaan dengan ayat-ayat Al-Quran yang mutasyābihāt (QS.3:8-9), sehingga terjadi perpecahan dalam lingkungan umat Islam menjadi berbagai firqah dan sekte yang saling mengkafirkan (QS.30:31-33; QS.6:160), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ؃ وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾  رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ﴿﴾
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran  kepada engkau,  di antaranya ada aya-ayat yang muhkamat,  itulah pokok-pokok  Al-Kitab, sedangkan  yang lain ayat-ayat mutasyābihāt.  Adapun   orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt  karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya   kecuali Allah, وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ  --  dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal.   Mereka berdoa, “Ya Rabb ( Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami  setelah Engkau  memberi kami petunjuk, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Eng-kau benar-benar Maha Pemberi anugerah. (Ali ‘Imran [3]:8-9).

Makna Muhkamat dan Mutasyābihat

     Muhkam berarti: (1) hal yang telah terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
         Umm berarti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4) sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Aqrab-al-Mawarid dan Al-Mufradat).
     Mutasyābih dalam ayat  وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ  -- “sedangkan  yang lain  ayat-ayat mutasyābihāt  dipakai mengenai:
      (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda  meskipun selaras;
         (2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain;
        (3) hal yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam;
      (5) hal yang tidak dapat dipahami dengan segera  tanpa pengamatan yang berulang-ulang;
        (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu terlebih dahulu (Al-Mufradat).
          Kata  ta’wil dalam ayat  وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ   -- “padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang memiliki pe-ngetahuan mendalam” berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lexicon Lane). Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kal  pada tempat pertama,  kata itu mengandung arti yang kedua atau yang ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau yang kelima.
       Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal yang mengenainya terdapat perbedaan paham, bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas (muhkamat) harus diperhatikan. Bila bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud (mutasyābihat), maka kalimat itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas kata-katanya (muhkamat).
  Menurut ayat ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
   Namun demikian dalam QS.39:24  Allah Swt. meyatakan bahwa seluruh Al-Quran disebut mutasyābih dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak boleh dianggap bertentangan dengan ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam dan beberapa lainnya mutasyābih.
  Maksudnya adalah, bahwa sepanjang hal yang menyangkut maksud hakiki ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian bahwa ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran pasti dan kekal-abadi. Tetapi dalam pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu juga ayat itu mempunyai berbagai arti yang sama-sama benar dan baik.
 Dari beberapa sumber diketahui bahwa satu ayat Al-Quran memiliki  banyak arti (makna), itulah sebabnya Allah Swt. menyatakan bahwa sebagaimana tak terbatasnya khazanah pengetahuan alam semesta jasmani (QS.18:110; QS.31:28) demikian pula halnya dengan dengan  khazanah ruhani Al-Quran.
  Al-Quran itu mutasyābih pula (menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya,  berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu. Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
      Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan  dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena itu nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
         Untuk nubuatan-nubuatan muhkam para pembaca diingatkan kepada QS.58:22  mengenai kepastian kemenangan para Rasul Allah  atas para penentangnya,   sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih, yaitu mengenai hijrahnya Nabi Besar Muhammad Saw. dari Mekkah ke Madinah serta kembalinya beliau saw. dari  Madinah   ke Mekkah sebagai seorang “penakluk agung” kota Mekkah, yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun terhadap kota Mekkah.
     Istilah muhkam dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang memberikan bagian dari perintah tertentu dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan suatu perintah yang lengkap.
      Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
     Ayat-ayat demikian hendaknya jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas (muhkamat). Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan (ujian) yang tanpa itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan mungkin tercapai.

Makna Persumpahan Allah Swt. dengan Nujum (Bintang-bintang)

        Makna doa dalam  رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا  -- “Ya Rabb ( Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami  setelah Engkau  memberi kami petunjuk”, bahwa makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan kepada mereka yang berhati suci, firman-Nya:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾   لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka  Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan,  dan sesungguhnya itu benar-benar  kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui,  sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia,   dalam suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.   (Al-Wāqi’ah [56]:80).
    Huruf   (tidak) pada umumnya dipergunakan untuk memberikan tekanan arti pada suatu sumpah, yang berarti, bahwa hal yang akan diterangkan lebih lanjut adalah begitu jelas, sehingga tidak diperlukan memanggil sesuatu yang lain untuk memberikan kesaksian atas kebenarannya. Bila yang dimaksudkan ialah sanggahan terhadap suatu praduga (hipotesa) tertentu, maka   (tidak) itu dipergunakan untuk menyatakan  bahwa apa yang tersebut sebelumnya tidak benar dan yang benar ialah yang berikutnya.
    Guna membuktikan kebenaran Al-Quran yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini Allah Swt.  bersumpah dengan dan berpegang kepada nujum yang berarti  bagian-bagian Al-Quran (Lexicon Lane), sebagai bukti untuk mendukung pengakuan bahwa Al-Quran luar-biasa cocoknya untuk memenuhi tujuan besar di balik kejadian (penciptaan) manusia (QS.51:57), demikian pula untuk membuktikan keberasalan Al-Quran sendiri dari Allah Swt..

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  17  Februari      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar