بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
186
Makna Ayat-ayat Al-Quran yang Muhkamat dan Mutasyābihāt
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai hukuman kedua kali yang menimpa Bani Israil:
فَاِذَا جَآءَ وَعۡدُ الۡاٰخِرَۃِ لِیَسُوۡٓءٗا وُجُوۡہَکُمۡ وَ لِیَدۡخُلُوا
الۡمَسۡجِدَ کَمَا دَخَلُوۡہُ اَوَّلَ مَرَّۃٍ وَّ لِیُتَبِّرُوۡا مَا عَلَوۡا تَتۡبِیۡرًا
Lalu bila datang saat sempurnanya janji yang kedua itu Kami
membangkitkan lagi hamba-hamba Kami yang lain supaya mereka mendatangkan kesusahan kepada pemimpin-pemimpin kamu
dan supaya mereka memasuki masjid seperti pernah mereka memasukinya pada kali
pertama, dan supaya mereka
meng-hancurluluhkan segala yang telah mereka kuasai. (Bani Israil [17]:8).
Ayat ini membicarakan jatuhnya
kembali orang-orang Yahudi ke lembah keburukan,
dan tentang azab Ilahi yang menimpa mereka sebagai akibatnya. Mereka
menentang dan menganiaya Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. serta
berusaha membunuh beliau pada palang salib dan memusnahkan pergerakan
beliau.
Serbuan Dahsyat Panglima
Titus dari Kerajaan Romawi
Oleh sebab itu Allah Swt. menimpakan
kepada mereka azab yang sangat keras, ketika pada tahun 70 M.
pasukan-pasukan Romawi di bawah pimpinan Titus melanda negeri itu, dan
di tengah-tengah kejadian-kejadian mengerikan yang tidak ada bandingannya dalam
sejarah itu, kota Yerusalem kembali dihancurkan
dan rumah peribadatan yang dibangun Nabi
Sulaiman a.s. dibumihanguskan (Encyclopaedia Biblica pada kata Yerusalem).
Malapetaka itu terjadi ketika Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. masih
hidup di Kasymir (QS.23:51). Hal ini pun dinubuatkan oleh Nabi Musa a.s. (Ulangan 32: 18-26).
Perlu pula dicatat di sini, bahwa
nubuatan mengenai azab kedua kali itu
telah disebut dalam Bible sesudah
adanya nubuatan yang membicarakan
hukuman pertama (Ulangan Bab
28). Lebih dari itu, bahkan nubuatan
ini disebut sesudah nubuatan mengenai
kembalinya orang-orang Yahudi ke
Yerusalem (Ulangan 30:1-5).
Hal ini menunjukkan, bahwa nubuatan
ini (Ulangan 32:18-26)
merujuk kepada azab yang kedua, yang telah disinggung dalam Al-Quran, yaitu “Niscaya
kamu akan melakukan kerusakan besar di
muka bumi ini dua kali.” (QS.17:5).
Ayat ini mengandung peringatan
bagi umat Islam, bahwa seperti orang Yahudi mereka pun akan dihukum dua kali, jika mereka tidak mau
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk
mereka. Tetapi umat Islam tidak memperoleh faedah dari peringatan yang
tepat pada waktunya itu, serta tidak meninggalkan cara-cara yang buruk; dan
oleh karena itu telah dihukum dua kali.
Hukuman pertama menimpa mereka,
ketika kota Baghdad jatuh pada tahun
1258 M. Pasukan-pasukan Hulaku Khan yang
biadab itu sama sekali
memusnahkan pusat ilmu pengetahuan
dan kekuasaan yang agung itu, dan
konon kabarnya 1.800.000 orang Islam telah terbunuh pada ketika itu.
Tetapi dari malapetaka yang mengerikan
itu akhirnya Islam keluar sebagai pemenang. Mereka yang menaklukkan menjadi yang ditaklukkan. Cucu Hulaku Khan bersama-sama sejumlah besar orang Moghul dan Tartar
memeluk agama Islam. Hukuman kedua telah ditakdirkan akan menimpa umat Islam di Akhir Zaman ini.
Pendek kata, terjadinya kedua hukuman Ilahi yang menimpa kedua
silsilah keturunan Nabi Ibrahim a.s.
– yakni Bani Israil dan Bani Ismai’I (umat
Islam) -- tersebut penyebabnya sama yaitu kedurhakaan mereka kepada Allah
Swt. dan Rasul Allah (QS.2:88-89) serta kepada para Mujaddid
dan para Wali Allah yang
dibangkitkan di kalangan umat Islam,
sebagai penggenapan sabda Nabi Besar
Muhammad saw. mengenai adanya persamaan antara umat Islam dengan umat
sebelumnya (Yahudi dan
Nasrani) bagaikan persamaan sepasang sepatu.
Hakikat Gugusan Bintang-bintang di Langit & Dua
Sifat Umum Ayat-ayat Al-Quran
Kedua
belas orang Mujaddid --
yang seperti
para nabi Bani Israil -- yang dibangkitkan di kalangan umat Islam tersebut sesuai dengan isyarat dalam firman Allah Swt.
berikut ini:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ
السَّمَآءِ ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ ۙ﴿﴾ وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ ۙ﴿﴾ وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ ؕ﴿﴾
Aku baca Maha Pemurah, Maha Penyayang. Demi
langit yang memiliki gugusan-gugusan
bintang, dan demi Hari yang dijanjikan, dan demi
saksi dan yang disaksikan,
(Al-Burūj
[85]:1-4).
Yang
dimaksud dengan ayat وَ السَّمَآءِ ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ -- “Demi langit yang memiliki gugusan-gugusan bintang” adalah Mujaddid-mujaddid
atau 12
gugusan bintang di cakrawala
ruhani Islam, yang akan membuat cahaya
Islam berkilauan terus sesudah matahari
ruhani terbenam, yaitu sesudah 3 abad
Islam paling baik berlalu, sehingga membawa akibat tersebarnya kegelapan ruhani di seluruh dunia. Para mujaddid itu akan memberikan kesaksian mengenai kebesaran Islam, kebenaran
Al-Quran dan kebenaran Nabi Besar Muhammad saw..
Melalui para Mushlih rabbani (pembaharu ruhani) yang muncul di setiap abad itulah Allah Swt. menjaga agama Islam (Islam) dari segi
ruhani dari upaya-upaya penyimpangan
makna-makna hakiki Al-Quran oleh orang-orang yang berhati bengkok, yang cenderung
menimbulkan berbagai fitnah dalam ajaran
Islam terutama berkenaan dengan ayat-ayat Al-Quran yang mutasyābihāt (QS.3:8-9), sehingga
terjadi perpecahan dalam lingkungan umat Islam menjadi berbagai firqah dan sekte yang saling
mengkafirkan (QS.30:31-33; QS.6:160), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad
saw.:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ
ہُنَّ اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ
مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا
تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا
یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
﴿﴾ رَبَّنَا لَا تُزِغۡ
قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ
ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ﴿﴾
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran kepada engkau, di antaranya ada aya-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Al-Kitab,
sedangkan yang
lain ayat-ayat mutasyābihāt. Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya
ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt karena
ingin menimbulkan fitnah dan ingin
mencari-cari takwilnya yang
salah, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah, وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ -- dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” Dan tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal. Mereka berdoa, “Ya Rabb ( Tuhan) kami, janganlah
Engkau menyimpangkan hati kami setelah Engkau
memberi kami petunjuk, dan
anugerahilah kami rahmat dari sisi
Engkau, sesungguhnya Eng-kau
benar-benar Maha Pemberi anugerah. (Ali ‘Imran [3]:8-9).
Makna Muhkamat dan Mutasyābihat
Muhkam berarti: (1) hal yang telah
terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung
arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti
dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
Umm berarti: (1) ibu; (2)
sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu
dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4)
sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Aqrab-al-Mawarid dan Al-Mufradat).
Mutasyābih dalam ayat وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ -- “sedangkan yang lain ayat-ayat mutasyābihāt” dipakai
mengenai:
(1) ucapan, kalimat atau ayat yang
memungkinkan adanya penafsiran yang
berbeda meskipun selaras;
(2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain;
(3) hal yang makna sebenarnya mengandung persamaan
dengan artian yang tidak dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui
hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam;
(5) hal yang tidak dapat dipahami
dengan segera tanpa pengamatan yang
berulang-ulang;
(6) sesuatu ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa
yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu
terlebih dahulu (Al-Mufradat).
Kata ta’wil dalam
ayat وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ -- “padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali
Allah, dan orang-orang yang memiliki pe-ngetahuan mendalam” berarti: (1)
penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato atau
tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang benar;
(4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lexicon Lane). Dalam ayat ini
kata itu dijumpai dua kal pada tempat
pertama, kata itu mengandung arti yang
kedua atau yang ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti
yang pertama atau yang kelima.
Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk
membuktikan sesuatu hal yang mengenainya terdapat perbedaan paham, bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas (muhkamat) harus diperhatikan. Bila
bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat
tertentu yang mengandung dua maksud (mutasyābihat),
maka kalimat itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras
dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas kata-katanya (muhkamat).
Menurut ayat ini Al-Quran mempunyai dua
perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam
artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat diberi penafsiran
berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih adalah
arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
Namun
demikian dalam QS.39:24 Allah Swt.
meyatakan bahwa seluruh Al-Quran disebut mutasyābih dan dalam QS.11:2
semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak boleh dianggap bertentangan dengan ayat yang sedang
dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam dan
beberapa lainnya mutasyābih.
Maksudnya adalah, bahwa sepanjang hal yang
menyangkut maksud hakiki ayat-ayat
Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian bahwa
ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran
pasti dan kekal-abadi. Tetapi
dalam pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada
waktu itu juga ayat itu mempunyai
berbagai arti yang sama-sama benar
dan baik.
Dari beberapa sumber diketahui bahwa satu ayat
Al-Quran memiliki banyak arti (makna),
itulah sebabnya Allah Swt. menyatakan bahwa sebagaimana tak terbatasnya khazanah pengetahuan alam semesta jasmani (QS.18:110; QS.31:28) demikian
pula halnya dengan dengan khazanah ruhani Al-Quran.
Al-Quran itu
mutasyābih pula (menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya, berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu. Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam,
dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan
dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus
dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz
(kiasan) dan mampu menyerap tafsiran
lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena itu nubuatan-nubuatan yang digambarkan
dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan
yang jelas dan secara harfiah menjadi
sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas
ajaran Islam yang pokok.
Untuk nubuatan-nubuatan muhkam para pembaca diingatkan kepada
QS.58:22 mengenai kepastian kemenangan para Rasul Allah atas para
penentangnya, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih, yaitu mengenai hijrahnya Nabi Besar Muhammad Saw. dari Mekkah
ke Madinah serta kembalinya beliau saw. dari Madinah ke Mekkah sebagai seorang “penakluk agung”
kota Mekkah, yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun terhadap kota Mekkah.
Istilah muhkam dapat pula dikenakan
kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan
yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang
memberikan bagian dari perintah tertentu
dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan suatu perintah yang lengkap.
Muhkamat (ayat-ayat
yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum
dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt
umumnya membahas pokok pembahasan
yang menduduki tingkat kedua menurut
pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat
demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa
(idiom) serta peribahasa-peribahasa
yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
Ayat-ayat demikian hendaknya
jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas (muhkamat). Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok
ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk
menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk
memberikan kepada manusia suatu percobaan
(ujian) yang tanpa itu perkembangan
dan penyempurnaan ruhaninya tidak
akan mungkin tercapai.
Makna Persumpahan Allah
Swt. dengan Nujum (Bintang-bintang)
Makna doa dalam رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا
بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا -- “Ya Rabb ( Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk”, bahwa makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan
kepada mereka yang berhati suci,
firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ بِمَوٰقِعِ
النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ اِنَّہٗ
لَقَسَمٌ لَّوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ
کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka Aku
benar-benar bersumpah demi bintang-bintang
berjatuhan, dan
sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung, seandainya kamu
mengetahui, sesungguhnya itu benar-benar Al-Quran yang mulia, dalam suatu kitab yang sangat terpelihara,
yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah [56]:80).
Huruf lā (tidak)
pada umumnya dipergunakan untuk memberikan tekanan arti pada suatu sumpah, yang berarti, bahwa hal yang
akan diterangkan lebih lanjut adalah begitu jelas, sehingga tidak diperlukan
memanggil sesuatu yang lain untuk memberikan kesaksian atas kebenarannya.
Bila yang dimaksudkan ialah sanggahan terhadap suatu praduga (hipotesa) tertentu, maka lā (tidak)
itu dipergunakan untuk menyatakan bahwa apa yang tersebut sebelumnya tidak benar dan yang benar ialah yang berikutnya.
Guna membuktikan kebenaran Al-Quran yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini Allah
Swt. bersumpah
dengan dan berpegang kepada nujum yang berarti bagian-bagian
Al-Quran (Lexicon Lane),
sebagai bukti untuk mendukung pengakuan bahwa Al-Quran luar-biasa cocoknya untuk memenuhi tujuan besar di balik kejadian (penciptaan) manusia (QS.51:57),
demikian pula untuk membuktikan keberasalan
Al-Quran sendiri dari Allah Swt..
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 17 Februari
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar