بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 171
Pemberi Syafaat di Akhir Zaman
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai rahasia makrifat pertama Mengenai Alam Akhirat yakni makna
ketiga tingkatan yaqin. Berikut adalah penjelasan “laki-laki pemberani” yang muncul di Akhir Zaman ini -- yakni Mirza
Ghulam Ahmad a.s. – dalam buku beliau
dalam bahasa Urdu yang sangat terkenal, Islami Ushul ki Filasafi atau “Falsafah Ajaran Islam” yang sangat
memberikan pencerahan bagi para pencari kebenaran, Beliau menjelaskan:
Rahasia
Makrifat Pertama tentang Akhirat
“Rahasia makrifat pertama ialah,
Quran Syarif berulang-ulang mengatakan bahwa alam akhirat
bukanlah suatu barang baru, melainkan segala pemandangannya merupakan pantulan
dan dampak-dampak kehidupan di dunia ini juga, sebagaimana Dia
berfirman:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا
(Dan amalan
tiap-tiap manusia Kami mengikatnya pada
lehernya, dan pada Hari Kiamat Kami akan mengeluarkan baginya kitab yang
akan didapatinya terbuka lebar).
Yakni, di
dunia ini juga Kami telah mengikat
dampak amal perbuatan setiap orang pada
lehernya, dan dampak-dampak terselubung itulah yang akan Kami zahirkan
(jelmakan/munculkan) pada Hari Kiamat, dan Kami akan memperlihatkan dalam bentuk
sebuah daftar amal perbuatan yang terbuka
(Bani Israil,14).
Di
dalam ayat ini terdapat kata thāirun,
maka hendaklah jelas bahwa sebenarnya thāirun
itu berarti burung, lalu secara kiasan
diartikan juga sebagai amal perbuatan. Sebab setiap amal – yang baik maupun yang buruk – setelah dilakukan akan terbang seperti burung.
Jerih-payahnya ataupun kelezatan amal itu akan sirna
sedangkan kekotoran atau pun kebaikannya akan membekas di hati.
Ini
merupakan kaidah Quran Syarif bahwa
setiap amal terus membekas jejak-jejaknya secara terselubung.
Bagaimana pun bentuk amal perbuatan manusia sesuai dengan itu Allah
Ta'ala akan memperlihatkan perbuatan-Nya. Dan perbuatan Ilahi itu
tidak akan membiarkan dosa atau kebaikan tersebut menjadi sia-sia, melainkan jejak-jejaknya
akan dituliskan pada hati, wajah, mata, tangan, kaki. Inilah yang secara terselubung
merupakan daftar suatu amal perbuatan, yang akan zahir secara terbuka pada kehidupan akhirat.
Kemudian berkenaan dengan para penghuni
surga di tempat lain Dia berfirman:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
(Pada hari
ketika engkau melihat laki-laki beriman dan perempuan beriman, cahaya mereka
akan berlari-lari di hadapan mereka
dan di sebelah kanan mereka -- Al-Hadīd,
13).
Yakni, pada hari itu pun cahaya keimanan yang
diperoleh orang-orang mukmin secara terselubung akan tampak berlari-lari secara
terbuka di depan dan di kanan mereka.
Di tempat lain
dalam Al-Quran Dia berfirman kepada orang-orang yang berbuat buruk:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اَلۡہٰکُمُ التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾ حَتّٰی زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾ کَلَّا
سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ﴿﴾ ثُمَّ کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ
ؕ﴿﴾ کَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ الۡیَقِیۡنِ ؕ﴿﴾ لَتَرَوُنَّ الۡجَحِیۡمَ ۙ﴿﴾ ثُمَّ
لَتَرَوُنَّہَا عَیۡنَ الۡیَقِیۡنِ ۙ﴿﴾ ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَئِذٍ عَنِ النَّعِیۡمِ ٪﴿﴾
(Aku baca dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Dalam upaya memperbanyak kekayaan
telah melalaikan kamu, hingga kamu
sampai di kuburan. Sekali-kali tidak, segera
kamu akan mengetahui. Kemudian, sekali-kali tidak demikian, segera kamu akan mengetahui.
Sekali-kali tidak! Jika kamu mengetahui
hakikat itu dengan ilmu yakin.
Niscaya kamu akan melihat Jahannam,
kemudian kamu niscaya akan
melihatnya dengan mata yakin.
Kemudian pada hari itu kamu pasti
akan ditanya mengenai kenikmatan -- At-Takātsur
[102]:1-9).
Yakni, keinginan dan ketamakan berlebih-lebihan akan dunia
telah merintangi kamu mencari akhirat
hingga kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah lekatkan hati kamu kepada dunia. Kamu segera akan mengetahui bahwa
melekatkan hati pada dunia tidaklah baik. Sekali lagi Aku mengatakan bahwa
segera kamu akan mengetahui melekatkan hati
pada dunia tidaklah baik. Jikalau kamu memperoleh ilmu yang pasti niscaya di dunia ini juga kamu akan melihat neraka, kemudian di alam
barzakh kamu akan melihat dengan
penglihatan-penglihatan yang pasti, lalu kamu akan diminta pertanggungjawaban
sepenuhnya pada Hari Kebangkitan, dan azab dalam bentuk penuh akan menimpa diri kamu. Dan bukan hanya
melalui ucapan saja melainkan melalui kondisi itu sendiri kamu akan memperoleh
pengetahuan tentang neraka”.
Tiga Macam Ilmu
Di
dalam ayat-ayat ini Allah Ta'ala menerangkan dengan jelas bahwa bagi
orang-orang jahat di dunia ini ada kehidupan neraka terselubung.
Dan jika mereka memperhatikannya mereka
akan melihat nerakanya masing-masing di dunia ini juga. Dan di sini
Allah Ta'ala membagi ilmu dalam tiga tingkat, yakni: 'ilmul-yaqin,
'ainul yaqin dan haqqul-yaqin.
Agar umum memahami berikut ini adalah
contoh-contoh ketiga ilmu tersebut. Misalnya, jika seseorang melihat
dari jauh kepulan asap tebal di suatu tempat maka pikirannya
menghubungkan kenyataan tersebut kepada api dan ia yakin bahwa di
sana ada api, karena antara asap dan api ada hubungan yang
tidak terpisahkan. Di mana ada asap di sana pasti ada api.
Ringkasnya, pengetahuan yang
demikian dinamakan 'ilmul-yaqin. Kemudian ketika dilihatnya nyala api
maka pengetahuan demikian dinamakan 'ainul-yaqin,
sedangkan jika ia sendiri masuk ke dalam api, pengetahuan
demikian dinamakan haqqul-yaqin.
Jadi,
Allah Ta'ala berfirman bahwa 'ilmul-yaqin tentang adanya neraka
dapat diperoleh di dunia ini juga, kemudian di alam barzakh akan
diperoleh 'ainul-yaqin, dan pada Hari Kebangkitan pengetahuan itu
juga yang akan sampai pada tingkat sempurna yaitu haqqul-yaqin.”
Demikianlah penjelasan yang dikemukakan Pendiri Jemaat Ahmadiyah berkenaan dengan rahasia yang terkandung dalam Surah At-Takātsur ayat 1-9, betapa
penuh pencerahan penjelasan yang
dikemukakan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.
atau “seorang
laki-laki yang datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu”,
firman-Nya:
وَ جَآءَ مِنۡ اَقۡصَا
الۡمَدِیۡنَۃِ رَجُلٌ یَّسۡعٰی قَالَ
یٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿ۙ﴾ اتَّبِعُوۡا مَنۡ لَّا یَسۡـَٔلُکُمۡ اَجۡرًا وَّ
ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَا لِیَ لَاۤ اَعۡبُدُ الَّذِیۡ فَطَرَنِیۡ وَ اِلَیۡہِ تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾ ءَاَتَّخِذُ مِنۡ
دُوۡنِہٖۤ اٰلِہَۃً اِنۡ یُّرِدۡنِ الرَّحۡمٰنُ
بِضُرٍّ لَّا تُغۡنِ عَنِّیۡ شَفَاعَتُہُمۡ شَیۡئًا وَّ لَا
یُنۡقِذُوۡنِ ﴿ۚ﴾
اِنِّیۡۤ اِذًا
لَّفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ اِنِّیۡۤ اٰمَنۡتُ بِرَبِّکُمۡ فَاسۡمَعُوۡنِ ﴿ؕ﴾
Dan datang dari bagian terjauh kota itu seorang laki-laki dengan berlari-lari,
ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah
rasul-rasul itu. Ikutilah mereka
yang tidak meminta upah dari kamu dan mereka
yang telah mendapat petunjuk. Dan mengapakah aku tidak menyembah Tuhan
Yang menciptakan diriku dan Yang
kepada-Nya kamu akan dikembalikan? Apakah aku
akan mengambil selain Dia sebagai sembahan-sembahan, padahal
jika Tuhan Yang Maha Pemurah
menghendaki sesuatu kemudaratan bagiku
syafaat mereka itu tidak akan
bermanfaat bagiku sedikit pun, dan mereka
tidak dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya jika aku berbuat demikian
niscaya berada dalam kesesatan yang
nyata. Sesungguhnya aku beriman kepada Rabb (Tuhan) kamu
maka dengarlah aku.” (Yā
Sīn [36]:21-25).
Makna Perintah “Masuk Surga” & Misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Ucapan
“laki-laki pemberani” dari kalangan umat Islam tersebut dalam ayat selanjutnya
ءَاَتَّخِذُ
مِنۡ دُوۡنِہٖۤ اٰلِہَۃً اِنۡ یُّرِدۡنِ
الرَّحۡمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغۡنِ عَنِّیۡ شَفَاعَتُہُمۡ شَیۡئًا وَّ لَا
یُنۡقِذُوۡنِ -- “Apakah aku
akan mengambil selain Dia sebagai sembahan-sembahan, padahal
jika Tuhan Yang Maha Pemurah
menghendaki sesuatu kemudaratan bagiku
syafaat mereka itu tidak akan bermanfaat bagiku sedikit pun, dan mereka tidak dapat menyelamatkanku?” (Yā Sīn [36]:26).
Maknanya adalah bahwa orang-orang pada masa pengutusan
Al-Masih Mau’ud a.s. atau Rasul
Akhir Zaman, akan menyembah
berbagai berhala yaitu Mammon,
kekuasaan kebendaan, filsafat politik yang palsu, dan teori ekonomi yang tidak terpraktekkan, dan
sebagainya, dengan demikian terdapat kemiripan dengan kemusyrikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh a.s. dalam firman Allah sebelumnya.
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai “seorang
laki-laki pemberani” di Akhir Zaman tersebut:
قِیۡلَ
ادۡخُلِ الۡجَنَّۃَ ؕ قَالَ یٰلَیۡتَ قَوۡمِیۡ یَعۡلَمُوۡنَ ﴿ۙ﴾ بِمَا غَفَرَ لِیۡ رَبِّیۡ وَ جَعَلَنِیۡ مِنَ
الۡمُکۡرَمِیۡنَ ﴿﴾
Dikatakan kepadanya: “Masuklah
ke dalam surga.” Ia
berkata: “Wahai alangkah baiknya
jika kaumku mengetahui, karena apa Rabb-ku (Tuhan-ku) telah mengampuniku dan telah
menjadikan aku dari antara orang-orang yang di-muliakan.” (Yā
Sīn [36]:27-28).
Namun dalam kenyataannya, sesuai dengan Sunnatullah, sebagaimana tiga orang rasul Allah yang datang sebelumnya telah
didustakan, demikian juga halnya
ketika atas perintah Allah Swt. Mirza
Ghulam Ahmad a.s. mendawakan diri sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. atau sebagai misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58), serentak kaum beliau melakukan penentangan
keras terhadapnya, firman-Nya:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ
مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ
مَا ضَرَبُوۡہُ لَکَ اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ
﴿﴾ اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ
جَعَلۡنٰہُ مَثَلًا لِّبَنِیۡۤ
اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Dan apabila
Ibnu Maryam dikemukakan
sebagai misal (perumpamaan)
tiba-tiba kaum engkau meneriakkan penentangan terhadapnya, dan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik
ataukah dia?" Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau
melainkan perbantahan semata. Bahkan
mereka adalah kaum yang biasa berbantah.
Ia (Isa) tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu misal (perumpamaan)
bagi Bani Israil. (Az-Zukhruf [43]:58-60).
Azab Ilahi Berupa Meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II
Shadda (yashuddu) berarti: ia
menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia
mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-al-Mawarid). Kedatangan
Al-Masih a.s. – yang dilahirkan
tanpa ayah -- adalah tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan dan direndahkan
serta akan kehilangan kenabian untuk
selama-lamanya. Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau sejenis
dengan yang lain (QS.6:39).
Ayat ini, di samping arti yang diberikan dalam
ayat ini, dapat pula berarti bahwa bila kaum Nabi Besar Muhammad saw. — yaitu kaum Muslimin — diberitahu bahwa orang lain seperti dan merupakan sesama
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan dibangkitkan
di antara mereka untuk memperbaharui
mereka dan mengembalikan kejayaan ruhani
mereka yang telah hilang, maka dari bergembira
atas kabar gembira itu malah mereka berteriak mengajukan protes.
Jadi, ayat ini dapat dianggap mengisyaratkan kepada kedatangan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. untuk kedua kalinya, sehingga genaplah sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa
keadaan umat Islam akan sama dengan
keadaan umat sebelumnya seperti persamaan sepasang sepatu, dan mengisyaratkan
kepada kenyataan itulah Allah Swt. telah memperingatkan
umat Islam dalam firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡۤا اَنۡصَارَ
اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی ابۡنُ
مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ مَنۡ
اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ
قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ اَنۡصَارُ
اللّٰہِ فَاٰمَنَتۡ طَّآئِفَۃٌ مِّنۡۢ
بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ وَ
کَفَرَتۡ طَّآئِفَۃٌ ۚ فَاَیَّدۡنَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ ﴿٪ ﴾
Hai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong
Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam
berkata kepada hawāriyyīn (pengikut-pengikutnya), “Siapakah penolong-penolongku di jalan Allah?” Berkata pengikut-pengikut yang setia itu: “Kamilah penolong-penolong Allah.” Maka segolongan dari Bani Israil beriman sedangkan
segolongan lagi kafir,
kemudian Kami membantu orang-orang yang
beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash-Shaff
[61]:15).
Pendustaan dan kezaliman terhadap para Rasul Allah tidak pernah dibiarkan Allah
Swt. tanpa akibat buruk berupa
turunnya azab Ilahi (QS.6:132;
QS.11:118; QS.17:16; QS.20:135-136; QS.26:209; QS.28:60), demikian pula
terhadap “seorang laki-laki yang datang berlari-lari
dari bagian terjauh kota itu”, firman-Nya:
وَ
مَاۤ اَنۡزَلۡنَا عَلٰی قَوۡمِہٖ
مِنۡۢ بَعۡدِہٖ مِنۡ جُنۡدٍ مِّنَ
السَّمَآءِ وَ مَا کُنَّا مُنۡزِلِیۡنَ ﴿﴾ اِنۡ کَانَتۡ
اِلَّا صَیۡحَۃً وَّاحِدَۃً
فَاِذَا ہُمۡ خٰمِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami sekali-kali tidak menurunkan suatu
lasykar dari langit atas kaumnya sesudah
dia, dan Kami sekali-kali tidak
pernah menurunkannya. Itu tidak lain melainkan suatu ledakan dahsyat, tiba-tiba musnahlah mereka. (Yā Sīn [36]:29-30).
Lukisan
tersebut agaknya bertalian dengan
berjatuhannya granat-granat, bom-bom bakar dan bom-bom atom dengan suara menggelegar dalam Perang Dunia I dan Perang
Dunia II. Api yang ditimbulkan oleh bom-bom
itu membinasakan segala sesuatu yang ditimpanya sehingga menjadi puing-puing,
dan segala kehidupan sejauh bermil-mil di sekitarnya menjadi lenyap.
“Kemasygulan”Allah Swt. Terhadap Kedegilan Hati Manusia
Di tempat lain Alquran melukiskan azab
Ilahi di Akhir Zaman tersebut dengan kata-kata, “Dan sesungguhnya akan
Kami jadikan segala yang ada di atasnya menjadi tanah rata yang tandus”
(QS.18:9). Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai persamaan sikap
buruk terhadap para Rasul Allah
tersebut:
یٰحَسۡرَۃً عَلَی الۡعِبَادِ ۚؑ مَا
یَاۡتِیۡہِمۡ مِّنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا کَانُوۡا بِہٖ
یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿﴾ اَلَمۡ یَرَوۡا کَمۡ اَہۡلَکۡنَا
قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ
اَنَّہُمۡ اِلَیۡہِمۡ لَا
یَرۡجِعُوۡنَ ﴿ؕ﴾
وَ اِنۡ
کُلٌّ لَّمَّا جَمِیۡعٌ لَّدَیۡنَا
مُحۡضَرُوۡنَ ﴿٪﴾
Wahai sangat disesalkan atas hamba-hamba itu,
sekali-kali tidak pernah datang kepada
mereka seorang rasul melainkan mereka
senantiasa mencemoohkannya. Apakah mereka
tidak melihat berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum
mereka, bahwasanya mereka itu tidak
kembali lagi kepada mereka? Dan setiap mereka semua niscaya akan dihadirkan kepada Kami. (Yā Sīn
[36]:31-33).
Kata-kata dalam ayat ini penuh dengan
kerawanan. Tuhan Yang Maha Kuasa Sendiri agaknya seolah-olah sangat masygul
atas penolakan dan ejekan manusia terhadap para nabi-Nya. Sementara para nabi Allah menanggung kesedihan dan derita untuk kaumnya, maka
kaumnya itu membalas kesedihan mereka
itu dengan penghinaan dan ejekan.
Isyarat
ayat اَلَمۡ
یَرَوۡا کَمۡ اَہۡلَکۡنَا قَبۡلَہُمۡ
مِّنَ الۡقُرُوۡنِ اَنَّہُمۡ اِلَیۡہِمۡ لَا یَرۡجِعُوۡنَ --
“Apakah mereka tidak melihat berapa
banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, bahwasanya mereka itu tidak kembali lagi kepada mereka?” agaknya tertuju kepada azab Ilahi yang akan bersifat semesta (universal).
Dengan
demikian benarlah peringatan Allah
Swt. dalam firman-Nya berikut ini mengenai zaman
yang digambarkan dalam kisah monumental “pengorbanan dua putra Adam” atau yaumut taghābūn (hari keuntungan dan kerugian) yang dikemukakan
dalam Bab-bab sebelum ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ
لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ الۡکٰفِرُوۡنَ
ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah apa yang telah Kami
rezekikan kepada kamu sebelum datang hari
yang tidak ada jual-beli di dalamnya, tidak ada persahabatan,
dan tidak pula
syafaat, dan orang-orang yang kafir mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah
[2]:255).
Pemberi Syafaat yang Hakiki adalah Rasul Allah
Syafā’ah (syafaat) diserap dari syafa’a
yang berarti: ia memberikan sesuatu yang mandiri bersama yang lainnya;
menggabungkan sesuatu dengan sesamanya (Al-Mufradat).
Jadi kata itu mempunyai arti kesamaan
atau persamaan, kata itu juga berarti menjadi perantara atau mendoa untuk seseorang agar orang itu diberi karunia dan dosa-dosanya
dimaafkan karena ia mempunyai hubungan dengan si perantara (pemberi syafaat).
Hal ini mengandung pula arti bahwa yang
mengajukan permohonan adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada orang
yang diperjuangkan nasibnya, dan pula
mempunyai hubungan yang mendalam dengan orang yang baginya ia menjadi
perantara (Al-Mufradat dan Lisan-al-‘Arab). Syafā’ah
(perantaraan) ditentukan oleh syarat-syarat berikut:
(1) pemberi syafaat harus mempunyai hubungan
istimewa dengan orang yang baginya ia mau menjadi perantara dan menikmati kebaikan hatinya yang istimewa, sebab
tanpa hubungan demikian ia tidak akan berani memberikan syafaat
dan tidak pula syafaatnya akan berhasil;
(2) orang yang diperantarai (diberi
syafaat) harus mempunyai hubungan yang sejati dan nyata dengan
pemberi syafaat itu, sebab tidak ada yang orang mau memperantarai seseorang sekiranya yang diperantarai itu tidak mempunyai
hubungan yang sungguh-sungguh
dengan perantara itu;
(3) orang yang meminta syafaat pada
umumnya harus orang baik dan telah berusaha sungguh-sungguh untuk
mendapatkan ridha Ilahi (QS.21:29),
hanya telah terjatuh ke dalam kancah dosa
pada saat ia dikuasai kelemahan;
(4) syafaat
itu hanya dapat dilakukan dengan izin
khusus dari Allah Swt. (QS.2:256; QS.10:4).
Syafaat sebagaimana
dipahami oleh Islam, pada hakikatnya hanya merupakan bentuk lain dari
permohonan pengampunan, sebab taubat (mohon pengampunan) berarti memperbaiki kembali perhubungan yang terputus
atau mengencangkan apa yang sudah longgar. Maka bila pintu taubat tertutup oleh kematian, pintu syafaat tetap terbuka.
Orang-orang yang Mata
Ruhaninya Buta
Tambahan pula syafaat adalah suatu cara untuk menjelmakan kasih-sayang Allah Swt. dan karena Allah Swt. bukanlah hakim, melainkan Mālik (Pemilik
dan Majikan), maka tidak ada yang dapat mencegah Dia dari memperlihatkan kasih-sayang-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya, dalam
hal ini adalah melalui Rasul Allah,
firman-Nya:
اَللّٰہُ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا
ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا
فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ عِنۡدَہٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ ۚ وَ لَا
یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ
الۡعَلِیُّ الۡعَظِیۡمُ ﴿﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang
Maha Hidup, Yang Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan
Penegak segala sesuatu. Kantuk tidak menyentuh-Nya dan tidak pula
tidur. Milik-Nya apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi. Siapakah
yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin Nya? Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan
mereka dan apa pun di belakang
mereka, dan mereka tidak meliputi
sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa
yang Dia kehendaki. Singgasana ilmu-Nya
meliputi seluruh langit dan bumi, dan tidak
memberatkan-Nya menjaga keduanya, dan Dia
Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah
[2]:256).
Firman-Nya
lagi:
ہَلۡ
یَنۡظُرُوۡنَ اِلَّا تَاۡوِیۡلَہٗ ؕ
یَوۡمَ یَاۡتِیۡ تَاۡوِیۡلُہٗ یَقُوۡلُ الَّذِیۡنَ نَسُوۡہُ مِنۡ قَبۡلُ قَدۡ
جَآءَتۡ رُسُلُ رَبِّنَا بِالۡحَقِّ ۚ فَہَلۡ لَّنَا مِنۡ شُفَعَآءَ فَیَشۡفَعُوۡا
لَنَاۤ اَوۡ نُرَدُّ فَنَعۡمَلَ غَیۡرَ الَّذِیۡ کُنَّا
نَعۡمَلُ ؕ قَدۡ خَسِرُوۡۤا اَنۡفُسَہُمۡ وَ ضَلَّ عَنۡہُمۡ مَّا کَانُوۡا یَفۡتَرُوۡنَ ﴿٪﴾
Tidaklah yang
mereka tunggu-tunggu kecuali menjadi genap takwilnya yakni kenyataannya. Pada hari kenyataan itu datang, berkata orang-orang
yang dahulu melupakannya: “Sungguh rasul-rasul Rabb (Tuhan) kami telah datang
dengan haq, maka adakah bagi kami pemberi-pemberi
syafaat supaya mereka dapat memberi
syafaat untuk kami? Atau dapatkah
kami dikembalikan supaya kami
berbuat bukan seperti apa
yang senantiasa kami perbuat?” Sungguh mereka
telah merugikan dirinya sendiri dan lenyaplah
dari mereka apa yang senantiasa mereka ada-adakan itu. (Al-‘Arāf [7]:54).
Ta’wiluhu dapat diartikan menjadi “genapnya apa
yang diperingatkan kepada mereka”,
yakni azab Ilahi. Di Akhir Zaman ini Allah Swt. telah
membangkitkan seorang pemberi syafaat,
yakni Rasul Akhir Zaman, tetapi
umumnya umat beragama mendustakan dan menentangnya, sehingga akibatnya peringatan Allah Swt. tentang kedatangan azab-Nya menjadi genap berupa terjadinya berbagai bencana dahsyat yang saat ini terus
menerus melanda berbagai kawasan dunia, firman-Nya:
فَکَاَیِّنۡ
مِّنۡ قَرۡیَۃٍ اَہۡلَکۡنٰہَا وَ ہِیَ
ظَالِمَۃٌ فَہِیَ خَاوِیَۃٌ عَلٰی
عُرُوۡشِہَا وَ بِئۡرٍ مُّعَطَّلَۃٍ وَّ
قَصۡرٍ مَّشِیۡدٍ ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَتَکُوۡنَ
لَہُمۡ قُلُوۡبٌ یَّعۡقِلُوۡنَ بِہَاۤ
اَوۡ اٰذَانٌ یَّسۡمَعُوۡنَ بِہَا ۚ فَاِنَّہَا لَا تَعۡمَی
الۡاَبۡصَارُ وَ لٰکِنۡ تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ
﴿﴾ وَ
یَسۡتَعۡجِلُوۡنَکَ بِالۡعَذَابِ وَ لَنۡ یُّخۡلِفَ اللّٰہُ وَعۡدَہٗ ؕ وَ
اِنَّ یَوۡمًا عِنۡدَ رَبِّکَ
کَاَلۡفِ سَنَۃٍ مِّمَّا
تَعُدُّوۡنَ ﴿﴾ وَ کَاَیِّنۡ مِّنۡ قَرۡیَۃٍ
اَمۡلَیۡتُ لَہَا وَ ہِیَ ظَالِمَۃٌ
ثُمَّ اَخَذۡتُہَا ۚ وَ اِلَیَّ الۡمَصِیۡرُ ﴿٪﴾
Dan berapa
banyak kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya
sedang berbuat zalim lalu dinding-dindingnya jatuh atas atapnya, dan sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang menjulang tinggi. Maka apakah mereka tidak berpesiar di bumi,
lalu
menjadikan hati mereka memahami dengannya atau menjadikan telinga mereka
mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukan
mata yang buta tetapi yang buta adalah hati yang ada dalam dada.
Dan mereka meminta kepada engkau untuk mempercepat
azab, tetapi Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.
Dan sesungguhnya satu hari di sisi Rabb
(Tuhan) engkau seperti seribu tahun
menurut perhitungan kamu. Dan berapa banyaknya kota telah Aku memberi tangguh baginya padahal dia berlaku zalim, kemudian Aku
menangkapnya dan kepada Aku-lah
kembali mereka. (Al-Hājj [22]:46-49).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 4 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar