Rabu, 19 Maret 2014

Kedudukan "Sunnah" dan "Hadits" Nabi Besar Muhammad Saw. dalam Syariat Islam & Pemberitahuan Rahasia Gaib Ilahiyah kepada Rasul Allah



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  180

Kedudukan   Sunnah dan Hadits  Nabi Besar Muhammad Saw. dalam  Syariat  Islam  & Pemberitahuan Rahasia Gaib Ilahiyah kepada Rasul Allah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
P
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai  pernyataan Mirza Ghulam Ahmad a.s. –  dalam kapasitasnya sebagai Imam Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau’ud a.s. -- berkenaan ketinggian kedudukan Al-Quran dalam syariat Islam, antara lain beliau menulis:
         Quran Syarif dapat membuat orang suci dalam  jangka-waktu seminggu asalkan saja ia tidak berusaha menjauhinya secara lahir maupun  batin. Quran Syarif dapat membuat diri kamu seperti para nabi asalkan saja kamu jangan mencoba melarikan diri darinya. Selain dari Quran Syarif,  kitab mana lagi yang semenjak semula mengajarkan kepada pembacanya doa:
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾   صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ
[“Tuntunlah kami pada jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” – Qs.1:6-7]. 
      Yakni, tunjukkanlah kepada kami jalan-jalan kenikmatan yang telah ditunjukkan kepada orang-orang dahulu seperti para nabi, para rasul, para shiddiq, para syuhada, dan para shalihin. Oleh karena itu julangkanlah tekad kamu tinggi-tinggi dan jangan menolak undangan (seruan)  Quran Syarif,  apabila ia menghendaki kamu beramal untuk mencapai nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada orang-orang dahulu.
        Allah Ta’ala pada hakikatnya cenderung untuk melimpahkan karunia lebih banyak dari itu. Tuhan  telah menciptakan kamu untuk menjadi ahli-waris untuk menerima kekayaan ruhani dan jasmani, tetapi sampai Hari Kiamat  kekayaan-kekayaan tersebut tidak akan diwariskan kepada orang lain.
       Tuhan tidak sekali-kali akan memahrumkan (meluputkan) kamu dari nikmat wahyu, ilham, mukallamah dan mukhatabah[1]. Dia akan menyempurnakan terhadap kamu semua nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada orang-orang dahulu itu.
       Akan tetapi barangsiapa yang karena keangkuhannya berdusta tentang Tuhan dengan mengatakan bahwa wahyu Ilahi telah turun kepadanya padahal tidak, atau mengatakan bahwa ia telah mendapat kehormatan dengan adanya perhubungan dengan Tuhan – yaitu mukallamah dan mukhatabah – padahal tidak, maka aku berkata dengan meminta kesaksian Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya bahwa dia pasti binasa, sebab dia telah berdusta dan kicu-menipu mengenai Khaliq-Nya serta memperlihatkan sikap kelancangan dan kecerobohan.”
      Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad a.s. berkenaan dengan para pendusta atas nama Allah Swt. tersebut sesuai dengan pembelaan  Allah Swt. dalam Al-Quran mengenai kebenaran pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai Rasul Allah, firman-Nya:
 فَلَاۤ  اُقۡسِمُ بِمَا  تُبۡصِرُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ مَا  لَا تُبۡصِرُوۡنَ ۙ ﴿ؕ﴾ اِنَّہٗ  لَقَوۡلُ رَسُوۡلٍ کَرِیۡمٍ ۚ  ﴿ؕ﴾   وَّ مَا ہُوَ بِقَوۡلِ شَاعِرٍ ؕ قَلِیۡلًا  مَّا تُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ۙ﴾    وَ لَا بِقَوۡلِ کَاہِنٍ ؕ قَلِیۡلًا مَّا تَذَکَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾   تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾   وَ لَوۡ تَقَوَّلَ عَلَیۡنَا بَعۡضَ الۡاَقَاوِیۡلِ ﴿ۙ﴾  لَاَخَذۡنَا مِنۡہُ  بِالۡیَمِیۡنِ ﴿ۙ﴾  ثُمَّ  لَقَطَعۡنَا مِنۡہُ  الۡوَتِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾  فَمَا مِنۡکُمۡ  مِّنۡ اَحَدٍ عَنۡہُ حٰجِزِیۡنَ ﴿﴾
Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat,  dan apa yang tidak kamu li-hat. Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman yang disampaikan seorang Rasul mulia,  dan  bukanlah Al-Quran itu perkataan seorang penyair, sedikit se-kali apa yang kamu percayaiDan bukanlah ini perkataan ahlinujum, sedikit sekali kamu meng-ambil nasihat. Al-Quran ini adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb (Tuhan) seluruh alamDan seandainya ia mengada-adakan sebagaian perkataan  atas nama Kami ,   niscaya Kami akan menangkap dia dengan tangan kanan,  kemudian niscaya Kami memotong urat nadinya, dan tidak ada seorang pun di antara kamu dapat mencegah itu darinya.  (Al-Hāqqah [69]:39-47).
         Hanya orang-orang Muslim yang mempercayai Al-Quran dengan benar sajalah yang  meyakini kebenaran Sunnatullah tersebut, sedangkan bagi mereka yang telah “melemparkan Al-Quran”  sebagai sesuatu yang tidak berharga (QS.25:31-32) akan terus menghujat pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s. dengan berbagai dalih yang didasari kedengkian dan kejahilan, seperti   kedengkian dan kejahilan yang dilakukan  Kain terhadap Habil  dalam kisah monumental “dua putra Adam” (QS.5:28:35).
     Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengenai  pentingnya umat Islam berpegang teguh serta beramal sesuai dengan petunjuk Al-Quran, hal tersebut  membuktikan bahwa  betapa dusta serta zalimnya fitnah yang dilontarkan para  penentang Jemaat Ahmadiyah bahwa Kitab Suci orang-orang Ahmadiyah bukan Al-Quran melainkan Tadzkirah, benarlah firman-Nya:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا  الۡقُرۡاٰنَ  مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾  
Dan  Rasul itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan   Dan demikianlah Kami telah menjadikan musuh bagi tiap-tiap nabi   dari antara orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai Pemberi petunjuk dan penolong (Al-Furqan [25]:31-32). 

Kedudukan Sunnah  dan Hadits Nabi Besar Muhammad saw.

        Setelah menjelaskan mengenai kesempurnaan Kitab Suci Al-Quran, selanjutnya MIrza Ghulam Ahmad  a.s. – dalam kedudukannya sebagai Imam Mahdi Hakaman ‘adlan (Hakim yang adil)   -- mengemukakan mengenai pentingnya  kedudukan Sunnah   Nabi Besar Muhammad saw., sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:  
   مَاۤ  اَفَآءَ  اللّٰہُ  عَلٰی رَسُوۡلِہٖ  مِنۡ  اَہۡلِ الۡقُرٰی  فَلِلّٰہِ  وَ لِلرَّسُوۡلِ وَ  لِذِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡیَتٰمٰی وَ الۡمَسٰکِیۡنِ وَ ابۡنِ السَّبِیۡلِ ۙ کَیۡ لَا یَکُوۡنَ  دُوۡلَۃًۢ  بَیۡنَ الۡاَغۡنِیَآءِ مِنۡکُمۡ ؕ وَ مَاۤ  اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ  فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ  عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا ۚ وَ  اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ ۘ﴿ ﴾
Harta  apa pun  yang Allah berikan kepada Rasul-Nya sebagai ghanimah dari warga kota, itu bagi Allah dan bagi Rasul dan bagi kaum kerabat dan anak yatim dan orang miskin dan orang musafir, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dari kamu. Dan apa yang diberikan Rasul kepada kamu maka ambillah itu,  dan apa   yang dia melarang kamu darinya  maka hindarilah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya  hukuman Allah sangat keras. (Al-Hasyr  [59]:8).
       Makna ayat وَ مَاۤ  اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ  فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ  عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا  --  dan apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah, dan apa   yang dia melarang kamu darinya  maka hindarilah” menunjukkan bahwa sunnah Nabi Besar Muhammad saw. merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam. Sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad a.s. menulis dalam buku Kishti Nuh (Bahtera Nuh):
         Petunjuk yang kedua bagi kaum Muslim ialah Sunnah, yaitu amal (perbuatan) Rasulullah saw. sebagai penjelasan dari hukum (peraturan) Quran Syarif, yang dituangkan dalam bentuk amalan. Secara pandangan lahir di dalam Quran Syarif tidak ada penjelasan terinci mengenai jumlah rakaat dalam tiap-tiap shalat wajib yang 5 waktu: berapa rakaat shalat Subuh dan shalat-shalat pada waktu lainnya, akan tetapi Sunnah Rasulullah saw. membuat semuanya itu menjadi jelas.
       Janganlah kita keliru bahwa seolah-olah Sunnah dan hadits itu sama, sebab hadits dikumpulkan orang sesudah 150 tahun kemudian, sedangkan Sunnah itu terwujud bersamaan dengan lahiran Quran Syarif. Tuhan dan Rasul-Nya mempunyai dua macam kewajiban, yaitu Dia menyampaikan kehendak-kehendak-Nya dengan mengirimkan Quran Syarif sebagai firman-Nya untuk memulai pelaksanaan hukum-Nya, sedangkan Rasulullah saw. berkewajiban memperagakan firman-firman Ilahi kepada umat manusia dengan amal (perbuatan). Karena itu beliau menterjemahkan dalam bentuk amalan apa-apa yang difirman Allah Ta’ala kepada beliau, dan dengan jalan Sunnah – yakni amal (perbuatan) – beliau memecahkan segala macam persoalan yang dihadapkan kepada umat manusia.
         Tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa tugas ini telah diserahkan kepada Hadits, sebab Islam telah berdiri lama sebelum Hadits terwujud. Tidakkah orang-orang sebelum hadits-hadits dihimpun senantiasa mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji dan mengetahui batas-batas halal dan haram?

Kedudukan Hadits  Nabi Besar Muhammad Saw.

        Petunjuk jalan yang ketiga tentu saja Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang berhubungan dengan tarikh (sejarah) Islam, akhlak, jurisprudensi (fiqqah) dibentangkan di dalam Hadits, dan faedahnya yang sangat besar dari hadits itu terletak pada kenyataan bahwa Hadits merupakan khadim (pengkhidmat/pelayan) dari Quran Syarif dan Sunnah. Ada sementara orang yang tidak mengerti akan kedudukan yang hakiki dari Quran Syarif, ia mengatakan bahwa kedudukan Hadits itu merupakan hakim bagi Quran Syarif, sebagaimana orang Yahudi punya anggapan terhadap hadits-hadits mereka.
        Akan tetapi kita memandang Hadits itu sebagai khadim dari Quran Syarif dan Sunnah,  dengan adanya khadim-khadim maka  kebesaran seorang majikan semakin bertambah. Quran Syarif adalah firman Allah Ta’ala dan Sunnah adalah amal (perbuatan) Rasulullah saw., sedangkan Hadits itu bagi Sunnah merupakan saksi penguat. Salah sekali jika dikatakan – na’uudzubillaah – bahwa Hadits itu menjadi hakim bagi Quran Syarif. Apabila harus ada hakim bagi Quran Syarif maka hakim itu adalah Quran Syarif sendiri.
      Hadits, yang dalam sesuatu hal mengandung unsur zhan (spekulasi) di dalamnya tidak dapat diberi kedudukan lebih tinggi, hanya boleh dianggap sebagai saksi penguat.  Quran Syarif dan Sunnah telah melakukan semua tugasnya  yang hakiki, dan Hadits tidak lebih dari hanya memberikan kesaksian-kesaksian tambahan.
       Bagaimana mungkin Hadits dapat berkedudukan sebagai hakim untuk Quran Syarif? Quran Syarif dan Sunnah waktu itu memberikan bimbingan, saat ketika apa yang dinamakan Hadits -- yang dianggap menghakimi Quran Syarif -- belum ada wujudnya. Bahkan katakanlah Hadits itu merupakan saksi penguat bagi Quran Syarif dan Sunnah.    
        Memang Sunnah itu tidak syak lagi adalah suatu  hal yang mempertunjukkan kehendak Quran Syarif, dan   Sunnah memberikan petunjuk jalan, yang di atasnya Rasulullah saw. telah membimbing para sahabat dengan teladan.   Sunnah bukanlah suatu hal yang ditulis dalam kitab-kitab 100 atau 150 tahun kemudian. Hal demikian itu adalah Hadits namanya, sedangkan Sunnah itu adalah contoh-contoh amal (perbuatan) yang semenjak mula-mula terus menerus dihidupkan di tengah-tengah umat Muslimin yang patuh, yang berjumlah ribuan.

Cara Terbaik Mensikapi Berbagai Derajat Hadits

        Walau pun di dalam Hadits juga ada sebagian besar yang bermartabat zhan (spekulasi) tetapi dimana hal itu tidak bertentangan dengan Quran Syarif dan Sunnah,  tetap Hadits tersebut  dapat diterima sebagai penunjang Quran Syarif dan Sunnah, serta di dalamnya terdapat perbendaharaan yang berlimpah-limpah mengenai masalah-masalah keislaman.
        Oleh karena itu tidak menghargai Hadits berarti  seakan-akan memenggal satu anggauta tubuh Islam. Tetapi sudah barang tentu jika ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan Shahih Bukhari maka Hadits tersebut tidak patut diterima, sebab kalau hadits tersebut diterima berarti menolak Quran Syarif dan menolak semua Hadits-hadits yang cocok dengan Quran Syarif.
       Aku maklum, bahwa tidak ada seorang pun dari antara orang-orang yang shalih akan berani mempercayai Hadits semacam itu. Betapa jua pun hargailah Hadits dan ambillah faedahnya, sebab sumbernya berasal dari Rasulullah saw., dan selama Quran Syarif dan Sunnah tidak mendustakannya kamu pun hendaknya jangan mendustakannya, malahan hendaknya kamu mentaati hadits sedemikian rupa, sehingga  tidak ada kegiatan kamu, istirahat kamu, tingkah-laku kamu, dan berhenti kamu dari sesuatu pekerjaan yang tidak dibenarkan oleh Hadits.
        Tetapi apabila ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan apa yang telah diterangkan di dalam Quran Syarif kamu harus mempergunakan akal kamu dengan memperbandingkannya, barangkali pertentangan itu adalah disebabkan oleh kekeliruan kamu belaka. Dan apabila sesudah kamu berusaha mencari titik persesuaiannya lalu tidak berhasil maka Hadits tersebut harus ditolak dan dikesampingkan. Sedangkan   Hadits yang dhaif (lemah) tetapi mempunyai  kecocokan dengan Quran Syarif maka terimalah Hadits itu, sebab Quran Syarif membenarkan Hadits tersebut.

Batu Ujian  Untuk  Menentukan  Keshahihan Hadits

        Tetapi kalau ada sebuah Hadits yang mengandung  suatu nubuwatan (kabar gaib), dan para Muhadditsin (ahli hadits) menganggapnya sebagai dha’if (lemah), sedang di zaman kamu atau di zaman sebelum kamu  nubuwatan yang terkandung dalam Hadits tersebut sudah menjadi kenyataan maka anggaplah Hadits itu benar, sebaliknya semua Muhaddits dan para perawi yang menetapkan Hadits tersebut dha’if (lemah) harus dianggap  keliru.
        Jumlah dari Hadits-hadits yang mengandung  nubuwatan (kabar gaib) ada beratus-ratus banyaknya, dan banyak pula di antara Hadits-hadits tersebut oleh para Muhaddits dianggap majruh (kurang sempurna), atau maudhu’ (dibuat-buat) atau dha’if (lemah). Karena itu apabila salah satu dari Hadits-hadits tersebut menjadi kenyataan dan kamu mencoba mengelakkan -- dengan mengatakan bahwa Hadits itu dha’if atau salah satu perawinya tidak mutadayyin (tidak menjalankan hukum-hukum agama) -- maka dalam hal demikian kamu menunjukkan kehampaan iman, karena  dengan itu kamu menolak Hadits  yang kebenarannya telah dibuktikan oleh Tuhan.
        Sekarang, perkirakanlah ada sejumlah 1000 Hadits semacam itu  yang menurut pandangan para Muhadditsin sebagai Hadits-hadits dha’if, tetapi 1000 nubuwatan yang terkandung di dalam Hadits-hadits tersebut ternyata terbukti, maka apakah kamu juga akan menetapkan semua Hadits-hadits itu sebagai dha’if (lemah) dan menyia-nyiakan ke-1000 bukti-bukti itu? Karena itu dalam hal demikian kamu akan menjadi seteru Islam, dan Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾    اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ
[ “Dia tidak akan menampakkan gaib-Nya kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai.”]   
       Oleh karena itu kepada siapakah  nubuwatan (kabar gaib) yang benar dapat dinisbahkan kecuali kepada seorang Rasul yang benar? Apakah tidak menyalahi kesadaran iman  pada saat  mengatakan bahwa Muhaddistnya salah? Pada tempatnyakah kita mengatakan -- dalam membenarkan sesuatu Hadits yang dha’if -- berdasarkan peristiwa yang sebenarnya? Ataukah Tuhan Sendiri telah keliru?
        Apabila ada sebuah Hadits yang dha’if (lemah) tetapi ia tidak bertentangan dengan  Quran Syarif, Sunnah dan Hadits-hadits lainnya yang sepakat dengan Quran Syarif, hendaknya kamu mengamalkan Hadits-hadits tersebut, akan tetapi hendaknya kamu berhati-hati dalam mengikuti Hadits-hadits tersebut, sebab ada fakta bahwa banyak Hadits-hadits  yang maudhu’ah (dibuat-dibuat) dan yang memasukkan unsur fitnah ke dalam tubuh agama Islam.
         Tiap-tiap firqah berpegang kepada Hadits yang sesuai dengan akidah masing-masing, sehingga dalam hal shalat yang begitu jelas dan tetap (mutawatir) pun timbul pendapat yang bermacam-macam bentuknya: ada yang menyebut “amin” dengan suara nyaring, ada yang mengucapkannya di dalam hati. Ada yang membaca Al-Fatihah bersama-sama dengan imam, ada pula yang menganggap bahwa pembacaan semacam itu akan mengacaukan shalatnya. Ada yang melipat kedua tangannya di atas dada sedangkan yang lainnya meletakkannya di atas pusarnya. Penyebab dari perbedaan ini sesungguhnya terletak dalam Hadits-hadits, dan hal ini cocok dengan firman Ilahi:
کُلُّ  حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ فَرِحُوۡنَ
[Tiap-tiap golongan bergembira dengan apa yang ada pada mereka).

Pemberitahuan Hal-hal Gaib Allah Swt. Melalui Melalui Rasul Allah

       Pendek kata, Mirza Ghulam Ahmad a.s.    – baik dalam kapasitasnya sebagai Imam Mahdi a.s. “Hakim yang adil” yang akan memberikan keputusan atas dasar petunjuk wahyu Ilahi mengenai perselisihan pendapat di kalangan umat Islam (QS.5:55); mau pun dalam kapasitasnya sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. yang menyeru seluruh umat beragama ke dalam agama hakiki  yakni agama Islam (Al-Quran) sebagaimana yang difahami dan diamalkan (disunnahkan) oleh Nabi Besar Muhammad saw. --  pengutusan beliau menggenapi firman-Nya berikut ini:
مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya   hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran  [3]:180).
   Ayat ini maksudnya adalah  bahwa percobaan dan kemalangan yang telah dialami kaum Muslimin hingga saat itu tidak akan segera berakhir. Masih banyak lagi percobaan yang tersedia bagi mereka, dan percobaan-percobaan itu akan terus-menerus datang, hingga orang-orang beriman  sejati, akan benar-benar dibedakan dari kaum munafik dan yang lemah iman (QS.9:16; QS.29:3).
  Kata-kata    وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ  -- “tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki” itu tidaklah berarti bahwa sebagian rasul-rasul terpilih dan sebagian lagi tidak. Kata-kata itu berarti bahwa dari orang-orang yang ditetapkan Allah Swt.    sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih yang paling sesuai untuk zaman tertentu, di zaman rasul Allah itu dibangkitkan  yang kepadanya Allah Swt. akan membukakan rahasia-rahasia gaib-Nya -- sebagaimana kepada Adam (Khalifah Allah) Swt. mengajari  rahasia  nama-nama-Nya (QS.2:31-35) – firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾   لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾  
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya baris-an pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat  Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
   Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.
 Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Allah dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang   beriman  yang bertakwa lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi  yang dianu-gerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
      Wahyu rasul-rasul Allah itu dijamin keamanannya terhadap pemutarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah  itu membawa tugas dari Allah Swt.  yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh mereka.
  
(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  12  Februari      2014




[1] Mukallamah dan mukhatabah  adalah wahyu yang turun dari Tuhan  dalam bentuk percakapan secara langsung kepada hamba-Nya (Pent.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar