بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
180
Kedudukan Sunnah dan Hadits Nabi Besar Muhammad
Saw. dalam Syariat Islam & Pemberitahuan Rahasia Gaib Ilahiyah kepada Rasul
Allah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai
pernyataan Mirza Ghulam Ahmad a.s. –
dalam kapasitasnya sebagai Imam
Mahdi a.s. dan Al-Masih Mau’ud a.s.
-- berkenaan ketinggian kedudukan Al-Quran dalam syariat Islam, antara lain beliau menulis:
“Quran Syarif dapat membuat orang suci dalam jangka-waktu seminggu asalkan saja ia tidak
berusaha menjauhinya secara lahir maupun
batin. Quran Syarif dapat
membuat diri kamu seperti para nabi asalkan
saja kamu jangan mencoba melarikan diri darinya. Selain dari Quran Syarif, kitab mana lagi yang semenjak semula
mengajarkan kepada pembacanya doa:
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ
[“Tuntunlah
kami pada jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” –
Qs.1:6-7].
Yakni, tunjukkanlah kepada kami jalan-jalan
kenikmatan yang telah ditunjukkan kepada orang-orang dahulu seperti para
nabi, para rasul, para shiddiq, para syuhada,
dan para shalihin. Oleh
karena itu julangkanlah tekad kamu tinggi-tinggi dan jangan menolak undangan
(seruan) Quran Syarif, apabila ia menghendaki kamu beramal untuk
mencapai nikmat-nikmat yang
telah diberikan kepada orang-orang dahulu.
Allah Ta’ala pada hakikatnya cenderung
untuk melimpahkan karunia lebih banyak dari itu. Tuhan telah menciptakan kamu
untuk menjadi ahli-waris untuk menerima kekayaan
ruhani dan jasmani,
tetapi sampai Hari Kiamat kekayaan-kekayaan
tersebut tidak akan diwariskan kepada orang lain.
Tuhan
tidak sekali-kali akan memahrumkan (meluputkan) kamu dari nikmat wahyu, ilham, mukallamah
dan mukhatabah[1]. Dia akan
menyempurnakan terhadap kamu semua nikmat-nikmat
yang telah diberikan kepada orang-orang dahulu itu.
Akan tetapi barangsiapa yang karena keangkuhannya berdusta tentang Tuhan dengan mengatakan bahwa wahyu Ilahi telah turun kepadanya
padahal tidak, atau mengatakan bahwa ia telah mendapat kehormatan dengan adanya
perhubungan dengan Tuhan – yaitu mukallamah
dan mukhatabah – padahal tidak,
maka aku berkata dengan meminta
kesaksian Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya bahwa dia pasti binasa, sebab dia telah berdusta dan kicu-menipu mengenai
Khaliq-Nya serta memperlihatkan sikap kelancangan dan kecerobohan.”
Pernyataan Mirza
Ghulam Ahmad a.s. berkenaan dengan para pendusta
atas nama Allah Swt. tersebut sesuai dengan pembelaan
Allah Swt. dalam Al-Quran mengenai
kebenaran pendakwaan Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai Rasul Allah,
firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ بِمَا تُبۡصِرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَا لَا تُبۡصِرُوۡنَ ۙ ﴿ؕ﴾ اِنَّہٗ لَقَوۡلُ رَسُوۡلٍ کَرِیۡمٍ ۚ ﴿ؕ﴾ وَّ مَا
ہُوَ بِقَوۡلِ شَاعِرٍ ؕ قَلِیۡلًا مَّا
تُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا
بِقَوۡلِ کَاہِنٍ ؕ قَلِیۡلًا مَّا تَذَکَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ تَقَوَّلَ عَلَیۡنَا بَعۡضَ الۡاَقَاوِیۡلِ ﴿ۙ﴾ لَاَخَذۡنَا
مِنۡہُ بِالۡیَمِیۡنِ ﴿ۙ﴾ ثُمَّ لَقَطَعۡنَا مِنۡہُ الۡوَتِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ فَمَا مِنۡکُمۡ مِّنۡ اَحَدٍ عَنۡہُ
حٰجِزِیۡنَ ﴿﴾
Maka Aku bersumpah dengan apa
yang kamu lihat, dan apa yang tidak kamu
li-hat. Sesungguhnya Al-Quran itu
benar-benar firman yang disampaikan seorang Rasul mulia, dan bukanlah Al-Quran itu perkataan seorang penyair, sedikit
se-kali apa yang kamu percayai. Dan bukanlah ini perkataan ahlinujum, sedikit sekali kamu meng-ambil
nasihat. Al-Quran ini adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb (Tuhan)
seluruh alam. Dan
seandainya ia mengada-adakan sebagaian
perkataan atas nama Kami , niscaya
Kami akan menangkap dia dengan tangan kanan, kemudian niscaya
Kami memotong urat nadinya, dan tidak
ada seorang pun di antara kamu dapat mencegah itu darinya. (Al-Hāqqah [69]:39-47).
Hanya
orang-orang Muslim yang mempercayai Al-Quran dengan benar
sajalah yang meyakini kebenaran Sunnatullah tersebut, sedangkan bagi
mereka yang telah “melemparkan Al-Quran” sebagai sesuatu yang tidak berharga (QS.25:31-32)
akan terus menghujat pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s.
dengan berbagai dalih yang didasari kedengkian dan kejahilan, seperti kedengkian
dan kejahilan yang dilakukan Kain
terhadap Habil dalam kisah monumental “dua putra Adam” (QS.5:28:35).
Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s.
mengenai pentingnya umat Islam berpegang teguh
serta beramal sesuai dengan petunjuk Al-Quran,
hal tersebut membuktikan bahwa betapa dusta
serta zalimnya fitnah yang
dilontarkan para penentang Jemaat Ahmadiyah bahwa Kitab Suci orang-orang Ahmadiyah bukan Al-Quran melainkan Tadzkirah, benarlah
firman-Nya:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ
مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ
ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),
sesungguhnya kaumku telah menjadikan
Al-Quran ini sesuatu yang
telah ditinggalkan Dan demikianlah Kami telah menjadikan musuh bagi
tiap-tiap nabi dari antara orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai Pemberi petunjuk dan penolong (Al-Furqan [25]:31-32).
Kedudukan Sunnah dan Hadits
Nabi Besar Muhammad saw.
Setelah menjelaskan
mengenai kesempurnaan Kitab Suci Al-Quran, selanjutnya MIrza Ghulam Ahmad a.s. – dalam kedudukannya sebagai Imam
Mahdi Hakaman ‘adlan (Hakim
yang adil) -- mengemukakan mengenai
pentingnya kedudukan Sunnah
Nabi Besar Muhammad saw., sesuai dengan
firman Allah Swt. berikut ini:
مَاۤ اَفَآءَ
اللّٰہُ عَلٰی رَسُوۡلِہٖ مِنۡ
اَہۡلِ الۡقُرٰی فَلِلّٰہِ وَ لِلرَّسُوۡلِ وَ لِذِی الۡقُرۡبٰی وَ الۡیَتٰمٰی وَ
الۡمَسٰکِیۡنِ وَ ابۡنِ السَّبِیۡلِ ۙ کَیۡ لَا یَکُوۡنَ دُوۡلَۃًۢ
بَیۡنَ الۡاَغۡنِیَآءِ مِنۡکُمۡ ؕ وَ مَاۤ اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا ۚ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ شَدِیۡدُ
الۡعِقَابِ ۘ﴿ ﴾
Harta apa pun
yang Allah berikan kepada Rasul-Nya sebagai ghanimah dari warga kota,
itu bagi Allah dan bagi Rasul dan bagi kaum kerabat dan anak yatim dan orang
miskin dan orang musafir, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara
orang-orang kaya dari kamu. Dan apa yang
diberikan Rasul kepada kamu maka ambillah itu, dan apa yang dia melarang kamu darinya maka hindarilah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya hukuman
Allah sangat keras. (Al-Hasyr [59]:8).
Makna ayat وَ مَاۤ اٰتٰىکُمُ الرَّسُوۡلُ فَخُذُوۡہُ ٭ وَ مَا نَہٰىکُمۡ عَنۡہُ فَانۡتَہُوۡا -- “dan
apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah, dan apa yang dia melarang kamu
darinya maka hindarilah” menunjukkan
bahwa sunnah Nabi Besar Muhammad saw.
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam. Sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Mirza
Ghulam Ahmad a.s. menulis dalam buku Kishti Nuh (Bahtera Nuh):
Petunjuk yang kedua
bagi kaum Muslim ialah Sunnah, yaitu amal (perbuatan)
Rasulullah saw. sebagai penjelasan dari hukum
(peraturan) Quran Syarif, yang
dituangkan dalam bentuk amalan. Secara pandangan lahir di
dalam Quran Syarif tidak ada
penjelasan terinci mengenai jumlah
rakaat dalam tiap-tiap shalat
wajib yang 5 waktu: berapa rakaat shalat Subuh dan shalat-shalat pada waktu
lainnya, akan tetapi Sunnah Rasulullah saw. membuat semuanya itu
menjadi jelas.
Janganlah
kita keliru bahwa seolah-olah Sunnah
dan hadits itu sama, sebab hadits
dikumpulkan orang sesudah 150 tahun kemudian, sedangkan Sunnah
itu terwujud bersamaan dengan lahiran Quran Syarif. Tuhan dan Rasul-Nya
mempunyai dua macam kewajiban, yaitu Dia
menyampaikan kehendak-kehendak-Nya dengan mengirimkan Quran Syarif sebagai firman-Nya untuk memulai pelaksanaan
hukum-Nya, sedangkan Rasulullah saw.
berkewajiban memperagakan
firman-firman Ilahi kepada umat manusia dengan amal (perbuatan). Karena itu
beliau menterjemahkan dalam bentuk amalan
apa-apa yang difirman Allah Ta’ala kepada beliau, dan dengan jalan Sunnah – yakni amal (perbuatan) – beliau
memecahkan segala macam persoalan yang dihadapkan kepada umat manusia.
Tidaklah
tepat untuk mengatakan bahwa tugas ini telah diserahkan kepada Hadits, sebab Islam telah berdiri lama sebelum Hadits
terwujud. Tidakkah orang-orang sebelum hadits-hadits dihimpun senantiasa
mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji dan mengetahui
batas-batas halal dan haram?
Kedudukan Hadits Nabi Besar Muhammad Saw.
Petunjuk jalan yang ketiga tentu
saja Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang berhubungan
dengan tarikh (sejarah) Islam, akhlak, jurisprudensi (fiqqah) dibentangkan di
dalam Hadits, dan faedahnya yang sangat besar dari hadits itu terletak pada
kenyataan bahwa Hadits merupakan khadim
(pengkhidmat/pelayan) dari Quran Syarif
dan Sunnah. Ada sementara orang
yang tidak mengerti akan kedudukan yang hakiki dari Quran Syarif, ia mengatakan
bahwa kedudukan Hadits itu
merupakan hakim bagi Quran
Syarif, sebagaimana orang Yahudi punya anggapan terhadap hadits-hadits mereka.
Akan
tetapi kita memandang Hadits itu sebagai khadim dari Quran Syarif dan Sunnah, dengan adanya khadim-khadim maka
kebesaran seorang majikan semakin bertambah. Quran Syarif adalah firman
Allah Ta’ala dan Sunnah adalah amal (perbuatan) Rasulullah saw.,
sedangkan Hadits itu bagi Sunnah merupakan saksi penguat. Salah sekali jika
dikatakan – na’uudzubillaah –
bahwa Hadits itu
menjadi hakim bagi Quran
Syarif. Apabila harus ada hakim bagi Quran Syarif
maka hakim itu
adalah Quran Syarif sendiri.
Hadits,
yang dalam sesuatu hal mengandung unsur zhan (spekulasi) di dalamnya
tidak dapat diberi kedudukan lebih tinggi, hanya boleh dianggap sebagai saksi
penguat. Quran
Syarif dan Sunnah telah
melakukan semua tugasnya yang hakiki,
dan Hadits tidak lebih dari hanya
memberikan kesaksian-kesaksian
tambahan.
Bagaimana
mungkin Hadits dapat berkedudukan sebagai hakim untuk Quran Syarif? Quran Syarif
dan Sunnah waktu itu
memberikan bimbingan, saat ketika
apa yang dinamakan Hadits -- yang
dianggap menghakimi Quran Syarif -- belum
ada wujudnya. Bahkan katakanlah Hadits itu merupakan saksi penguat bagi Quran
Syarif dan Sunnah.
Memang Sunnah itu tidak syak lagi adalah
suatu hal yang mempertunjukkan kehendak Quran Syarif, dan Sunnah
memberikan petunjuk jalan, yang di atasnya Rasulullah saw. telah membimbing
para sahabat dengan teladan. Sunnah
bukanlah suatu hal yang ditulis dalam kitab-kitab 100 atau 150 tahun kemudian.
Hal demikian itu adalah Hadits namanya, sedangkan Sunnah
itu adalah contoh-contoh amal (perbuatan) yang semenjak
mula-mula terus menerus dihidupkan di tengah-tengah umat Muslimin yang patuh,
yang berjumlah ribuan.
Cara Terbaik
Mensikapi Berbagai Derajat Hadits
Walau
pun di dalam Hadits juga ada sebagian besar yang bermartabat zhan
(spekulasi) tetapi dimana hal itu tidak bertentangan dengan Quran
Syarif dan Sunnah, tetap Hadits
tersebut dapat diterima sebagai penunjang Quran Syarif dan Sunnah,
serta di dalamnya terdapat perbendaharaan
yang berlimpah-limpah mengenai masalah-masalah keislaman.
Oleh
karena itu tidak menghargai Hadits berarti seakan-akan memenggal satu anggauta tubuh Islam. Tetapi sudah barang tentu jika
ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan Shahih Bukhari maka Hadits tersebut tidak patut diterima,
sebab kalau hadits tersebut diterima berarti menolak Quran Syarif
dan menolak semua Hadits-hadits yang
cocok dengan Quran Syarif.
Aku maklum, bahwa tidak ada seorang pun dari
antara orang-orang yang shalih akan berani mempercayai Hadits semacam itu. Betapa jua pun hargailah Hadits dan ambillah faedahnya, sebab sumbernya berasal
dari Rasulullah saw., dan selama Quran Syarif dan Sunnah tidak mendustakannya kamu pun
hendaknya jangan mendustakannya, malahan hendaknya kamu mentaati hadits sedemikian rupa, sehingga tidak ada kegiatan kamu, istirahat kamu,
tingkah-laku kamu, dan berhenti kamu dari sesuatu pekerjaan yang tidak
dibenarkan oleh Hadits.
Tetapi
apabila ada sebuah Hadits yang bertentangan dengan apa yang telah diterangkan di dalam Quran Syarif kamu harus mempergunakan akal kamu dengan memperbandingkannya,
barangkali pertentangan itu adalah
disebabkan oleh kekeliruan kamu
belaka. Dan apabila sesudah kamu berusaha mencari titik persesuaiannya
lalu tidak berhasil maka Hadits tersebut harus ditolak dan dikesampingkan.
Sedangkan Hadits yang dhaif
(lemah) tetapi mempunyai kecocokan
dengan Quran Syarif maka terimalah Hadits itu, sebab Quran Syarif membenarkan Hadits
tersebut.
Batu
Ujian Untuk Menentukan
Keshahihan Hadits
Tetapi kalau ada sebuah Hadits yang
mengandung suatu nubuwatan (kabar
gaib), dan para Muhadditsin (ahli hadits) menganggapnya sebagai dha’if (lemah), sedang di zaman kamu atau
di zaman sebelum kamu nubuwatan
yang terkandung dalam Hadits tersebut sudah menjadi kenyataan
maka anggaplah Hadits itu benar,
sebaliknya semua Muhaddits dan para perawi yang menetapkan Hadits
tersebut dha’if (lemah)
harus dianggap keliru.
Jumlah
dari Hadits-hadits yang mengandung nubuwatan
(kabar gaib) ada beratus-ratus banyaknya, dan banyak pula di antara Hadits-hadits tersebut oleh para Muhaddits dianggap majruh
(kurang sempurna), atau maudhu’ (dibuat-buat) atau dha’if
(lemah). Karena itu apabila salah satu dari Hadits-hadits tersebut menjadi kenyataan dan kamu
mencoba mengelakkan -- dengan mengatakan bahwa Hadits itu dha’if atau salah satu perawinya
tidak mutadayyin (tidak menjalankan hukum-hukum agama) -- maka
dalam hal demikian kamu menunjukkan kehampaan iman, karena dengan itu kamu menolak Hadits yang kebenarannya telah dibuktikan oleh Tuhan.
Sekarang, perkirakanlah ada sejumlah 1000 Hadits semacam itu yang menurut pandangan para Muhadditsin sebagai Hadits-hadits dha’if, tetapi 1000 nubuwatan yang terkandung di dalam Hadits-hadits tersebut
ternyata terbukti, maka apakah
kamu juga akan menetapkan semua Hadits-hadits itu sebagai dha’if (lemah) dan menyia-nyiakan ke-1000 bukti-bukti
itu? Karena itu dalam hal demikian kamu akan menjadi seteru Islam, dan Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ
[ “Dia tidak akan menampakkan gaib-Nya kecuali
kepada Rasul yang Dia ridhai.”]
Oleh karena itu kepada siapakah nubuwatan (kabar gaib) yang benar
dapat dinisbahkan kecuali kepada seorang Rasul
yang benar? Apakah tidak menyalahi kesadaran iman pada saat
mengatakan bahwa Muhaddistnya
salah? Pada tempatnyakah kita mengatakan -- dalam membenarkan sesuatu Hadits yang dha’if --
berdasarkan peristiwa yang sebenarnya? Ataukah Tuhan Sendiri telah keliru?
Apabila ada sebuah Hadits yang dha’if (lemah) tetapi ia tidak bertentangan dengan Quran
Syarif, Sunnah dan Hadits-hadits lainnya yang sepakat
dengan Quran Syarif, hendaknya kamu
mengamalkan Hadits-hadits tersebut, akan tetapi hendaknya
kamu berhati-hati dalam mengikuti Hadits-hadits tersebut, sebab ada fakta bahwa
banyak Hadits-hadits yang maudhu’ah
(dibuat-dibuat) dan yang memasukkan unsur fitnah ke dalam tubuh agama
Islam.
Tiap-tiap
firqah berpegang kepada Hadits
yang sesuai dengan akidah
masing-masing, sehingga dalam hal shalat
yang begitu jelas dan tetap (mutawatir) pun timbul pendapat yang bermacam-macam
bentuknya: ada yang menyebut “amin”
dengan suara nyaring, ada yang mengucapkannya di dalam hati. Ada yang
membaca Al-Fatihah bersama-sama dengan imam, ada pula yang menganggap bahwa pembacaan semacam itu akan
mengacaukan shalatnya. Ada yang melipat
kedua tangannya di atas dada sedangkan yang lainnya meletakkannya di atas pusarnya. Penyebab dari perbedaan ini sesungguhnya terletak dalam Hadits-hadits, dan hal ini cocok dengan firman Ilahi:
کُلُّ حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ
فَرِحُوۡنَ
[Tiap-tiap golongan bergembira
dengan apa yang ada pada mereka).
Pemberitahuan
Hal-hal Gaib Allah Swt. Melalui
Melalui Rasul Allah
Pendek kata, Mirza Ghulam Ahmad a.s. – baik dalam kapasitasnya sebagai Imam
Mahdi a.s. “Hakim yang adil” yang akan memberikan keputusan atas dasar petunjuk wahyu
Ilahi mengenai perselisihan pendapat
di kalangan umat Islam (QS.5:55); mau
pun dalam kapasitasnya sebagai Al-Masih
Mau’ud a.s. yang menyeru seluruh umat beragama ke dalam agama hakiki yakni agama
Islam (Al-Quran) sebagaimana yang difahami
dan diamalkan (disunnahkan) oleh Nabi
Besar Muhammad saw. -- pengutusan beliau
menggenapi firman-Nya berikut ini:
مَا کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی
مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ
لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ
مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di dalam
keadaan kamu berada di dalamnya hingga Dia
memisahkan yang buruk dari yang baik.
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara
rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu
ganjaran yang besar. (Ali ‘Imran [3]:180).
Ayat ini maksudnya adalah bahwa percobaan
dan kemalangan yang telah dialami
kaum Muslimin hingga saat itu tidak
akan segera berakhir. Masih banyak lagi percobaan
yang tersedia bagi mereka, dan percobaan-percobaan
itu akan terus-menerus datang, hingga orang-orang
beriman sejati, akan benar-benar
dibedakan dari kaum munafik dan yang lemah iman (QS.9:16; QS.29:3).
Kata-kata وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ -- “tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia
kehendaki” itu tidaklah berarti bahwa sebagian rasul-rasul terpilih dan sebagian lagi tidak. Kata-kata itu berarti
bahwa dari orang-orang yang ditetapkan Allah Swt. sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih
yang paling sesuai untuk zaman tertentu,
di zaman rasul Allah itu
dibangkitkan yang kepadanya Allah Swt.
akan membukakan rahasia-rahasia gaib-Nya
-- sebagaimana kepada Adam (Khalifah
Allah) Swt. mengajari rahasia nama-nama-Nya
(QS.2:31-35) – firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ
ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ اَنۡ
قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ
رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya baris-an pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya
Dia mengetahui bahwa sungguh
mereka telah menyampaikan
Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka,
dan Dia meliputi semua yang ada
pada mereka dan Dia membuat
perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Ungkapan, “izhhar
‘ala al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan
dengan sering dan secara berlimpah-limpah
mengenai rahasia gaib bertalian
dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.
Ayat ini merupakan ukuran
yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia
gaib yang dibukakan kepada seorang rasul
Allah dan rahasia-rahasia gaib
yang dibukakan kepada orang-orang beriman
yang bertakwa lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar
‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas
yang gaib, maka rahasia-rahasia
yang diturunkan kepada orang-orang
bertakwa dan orang-orang suci
lainnya tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi
yang dianu-gerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan
oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan
kepada orang-orang bertakwa lainnya
tidak begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah
itu dijamin keamanannya terhadap pemutarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah itu membawa tugas dari Allah Swt. yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh
mereka.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 12 Februari
2014
[1]
Mukallamah dan mukhatabah adalah wahyu
yang turun dari Tuhan dalam bentuk
percakapan secara langsung kepada hamba-Nya (Pent.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar