بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
178
Kesinambungan Wahyu Ilahi Non-Syariat dan Turunnya Ruhulqudus (Malaikat Jibril a.s.)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada
akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan firman-Nya mengenai peringatan Allah Swt.
memperingatkan kepada umat Islam -- terutama di Akhir Zaman ini -- agar jangan terpedaya oleh kesuksesan
kehidupan duniawi kaum-kaum lain, berfirman:
لَا یَغُرَّنَّکَ تَقَلُّبُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فِی الۡبِلَادِ ﴿﴾ؕ
Janganlah
sekali-kali engkau terpedaya oleh lalu-lalang
orang-orang kafir di dalam negeri. (Ali ‘Imran [3]:197).
Ayat
ini, di samping mempunyai hubungan dengan zaman Nabi Besar Muhammad saw., juga kena benar kepada kemajuan
duniawi yang menakjubkan di kalangan bangsa-bangsa Kristen dalam segala bidang kehidupan dewasa ini. Ayat ini pun memperingatkan kaum Muslimin agar jangan tertipu atau terpukau
oleh kesilauan kemajuan sementara dan
fana ini.
Jangan “Membebek”
Kepada Kaum lain
Sehubungan dengan kemajuan duniawi kaum-kaum Non-Muslim tersebut selanjutnya Al-Masih
Mau’ud a.s. – yakni Pendiri Jemaat Ahmadiyah -- menulis dalam buku Kishti Nuh (Bahtera Nuh):
“Awas, demi
kamu melihat kaum lain -- betapa mereka telah mencapai kemajuan-kemajuan dan rencana-rencana duniawi mereka –
janganlah kemudian timbul kehendak di dalam diri kamu untuk mengikuti jejak mereka. Dengarlah dan
maklumilah, bahwa mereka itu terasing dan lengah dari Tuhan,
Yang memanggil kamu untuk datang ke
samping-Nya.
Apa artinya
tuhan mereka yang sekedar
berupa wujud insan yang sangat lemah. Oleh karenanya pantas mereka dibiarkan berlarut -larut dalam kesesatan
dan kelalaian. Aku tidak bermaksud
untuk mencegah kamu dari berusaha untuk mencari dan memperoleh kebaikan-kebaikan duniawi, melainkan kamu jangan hendaknya mengikuti cara-cara mereka yang memandang kehidupan dunia ini bagaikan
kehidupan yang mutlak.
Di dalam, tiap-tiap sesuatu yang kamu
kerjakan – baik yang bersangkut-paut dengan kehidupan dunia atau pun dengan akhirat -- hendaknya kamu memohon terus menerus kepada Tuhan supaya Dia menganugerahi kekuatan dan taufik,
tetapi dalam memohon pertolongan ini jangan hanya sekedar di bibir saja, melainkan hendaknya benar-benar keyakinan itu diresapkan bahwa tiap-tiap berkat turunnya dari langit.
Kamu akan benar-benar menjadi orang shalih hanya apabila pada setiap waktu jika kesulitan datang menimpa kamu, sebelum
kamu mengatur rencana untuk menanggulangi kesulitan itu, kamu menutup pintu kamar kamu dahulu lalu merebahkan diri kamu di hadapan singgasana
Ilahi, meratap di hadapan Dia bahwa kamu dihadapkan kepada suatu kesulitan dan kamu memohon karunia-Nya.
Maka niscaya Ruhulqudus akan menolong kamu, dan dengan jalan
gaib akan membukakan jalan-jalan
keluar bagi kamu.
Kasihanilah
jiwa kamu, dan janganlah mengikuti
jejak mereka yang begitu rupa
mengandalkan kepada usaha-usaha lahiriah, sehingga
untuk memohon pertolongan Ilahi mereka itu sukar untuk mengucapkan Insya Allah (jika Allah menghendaki), sehingga Allah membukakan mata kamu dan kamu
tahu bahwa Tuhan kamu itu adalah laksana
sokoguru dari segala rencana
kamu. Kalau sokoguru dari atap rumah jatuh apakah penunjang-penunjang lainnya dapat
bertahan? Tidak, bahkan pada suatu waktu akan rebah juga, dan boleh jadi
dengan robohnya bangunan itu akan jatuh beberapa korban.
Demikian pula halnya rencama-rencana kamu itu tanpa adanya pertolongan Ilahi tidak akan
dapat terwujud. Apabila kamu tidak meminta pertolongan,
dan memohon kekuatan dari Dia tidak kamu jadikan pegangan maka kamu tidak akan memperoleh sukses, dan kesudahannya kamu akan mati dengan membawa penyesalan yang amat besar.
Janganlah
kamu terheran-heran memikirkan bagaimana kaum-kaum yang lain bisa maju
padahal mereka tidak tahu menahu tentang
kamu punya Tuhan Yang Paripurna
dan Maha Perkasa.
Jawabannya ialah, bahwa karena mereka
telah meninggalkan Tuhan, mereka telah dihadapkan kepada ujian secara materi.
Kadangkala ujian dari Tuhan itu mengambil bentuk demikian, bahwa barangsiapa yang meninggalkan Tuhan, hatinya lekat kepada kemabukan dan kelezatan
dunia serta mendambakan kemewahan materi, maka kepadanya pintu keduniaan
dibukakan, tetapi ditilik dari segi agama orang itu miskin dan telanjang belaka. Akhirnya ia
tenggelam dalam khayalan-khyalan
duniawi dan dimasukkan ke dalam
kancah api jahannam yang abadi[1].
Kadangkala ujian itu mengambil bentuk demikian rupa, bahwa orang semacam itu tetap tidak akan berhasil dalam usahanya
menumpukkan harta. Tetapi ujian
yang disebut terakhir itu tidak seberapa
bahayanya dibandingkan dengan ujian yang disebut terdahulu, sebab yang
pertama itu menimbulkan di dalam diri orang itu suatu perasaan sombong dan tinggi-hati.
Betapa pun juga kedua corak manusia ini tergolong manusia yang dimurkai Tuhan.
Sumber
pokok dari kesejahteraan adalah Tuhan. Oleh karena itu apabila
orang-orang ini tidak mengetahui tentang Tuhan
Yang Hayyul-Qayyum – bahkan tidak mempedulikan dan membelakangi Dia -- maka bagaimanakah kesejahteraan yang hakiki akan
sampai kepada mereka? Berbahagialah orang yang mengerti akan
rahasia ini, dan sebaliknya binasalah
orang yang tidak mengerti akan rahasia ini.
Demikian pula hendaknya kamu jangan mengikuti jejak para ahli
filsafat dunia, dan jangan
hendaknya menjadi silau mata kamu dan terpesona
oleh ketenaran dan kehormatannya, sebab semuanya itu hanyalah bukti dari kebodohannya belaka. Filsafat yang sejati
ialah yang Tuhan telah ajarkan kepada kamu dalam Kitab
suci-Nya.
Binasalah
orang-orang yang tergila-gila oleh ahli-ahli filsafat duniawi, dan berbahagialah orang-orang yang mencari
ilmu filsafat yang sejati di
dalam lembaran-lembaran suci Kitab Allah. Mengapakah kamu mengikuti
jejak orang-orang yang bodoh? Apakah kamu
hendak berlari-lari di belakang orang buta, dengan harapan supaya dia menunjuki kamu jalan bagi kamu?
Wahai, orang yang bodoh! Betapakah dia
dapat membimbing kamu kalau dia
sendiri pun buta? Sesungguhnya filsafat yang sejati itu diperoleh hanya dengan perantaraan Ruhulqudus
yang telah dijanjikan kepada kamu.
Dengan perantaranan Ruh itu kamu akan menjangkau ilmu-ilmu yang kudus (suci), yang
orang lain tidak memperolehnya.
Kalau
kamu bermohon dengan kesungguhan
hati niscaya kamu akan memperoleh ilmu-ilmu tersebut, dan kemudian kamu akan menyadari bahwa itulah
sebenarnya ilmu yang
memberikan kesegaran dan kehidupan baru kepada hati-sanubari
serta menjulangkan kamu tinggi-tinggi ke
puncak menara keyakinan
yang sempurna.
Bagaimanakah
orang yang suka memakan bangkai akan
dapat menyuguhkan makanan yang bersih-murni? Bagaimanakah orang yang buta akan dapat memperlihatkan sesuatu? Segala sesuatu hikmah
yang suci datangnya dari langit, maka apakah yang dapat kamu cari dari orang-orang duniawi?
Orang-orang yang mewarisi hikmah
itu ialah mereka yang yang ruhnya lepas terbang menjurus ke langit. Bagaimanakah mereka
yang tidak berkepuasan di dalam
hatinya akan dapat memberikan ketentraman batin kepada kamu? Akan tetapi yang dan utama
ialah kelurusan dan kebersihan, kemudian sesudah itu kamu memperoleh segala sesuatu yang kamu
inginkan.”
Tiga Cara Berkomunikasi Allah Swt. dengan Manusia
Sehubungan
dengan firman Allah Swt. -- mengenai
pentingnya kesinambungan wahyu
Ilahi Non-Syariat -- Dia berfirman:
وَ مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ
یُّکَلِّمَہُ اللّٰہُ اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ
مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا
یَشَآءُ ؕ اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali
dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki, sesungguh-nya, Dia
Maha Tinggi, Maha Bijaksana.
(Asy-Syurā [42]:52).
Ayat
ini menyebut tiga cara Allah Swt.
berbicara kepada hamba-Nya
dan menampakkan Wujud-Nya kepada
mereka:
(a) Dia berfirman secara langsung
kepada mereka tanpa perantara dengan perantaraan وَحۡیًا (wahyu).
(b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu
mereka tidak melihat wujud yang
berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata مِنۡ وَّرَآیِٔ حِجَابٍ -- "dari belakang
tabir,"
(c) Allah menurunkan seorang utusan atau seorang malaikat yang menyampaikan Amanat
Ilahi یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا
فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ -- “mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan
dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki.”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman tentang pewahyuan Al-Quran yang diwahyukan secara bertahap dalam jangka
waktu 23 tahun kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ کَذٰلِکَ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا
کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا
الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ
نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ
نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ
لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ
مُّسۡتَقِیۡمٍ﴿ۙ﴾
Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepada engkau firman
ini dengan perintah Kami. Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu, tetapi Kami
telah menjadikan wahyu itu nur,
yang dengan itu Kami memberi petunjuk
kepada siapa yang Kami kehendaki
dari antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya engkau benar-benar memberi
petunjuk ke jalan lurus, (Asy-Syurā
[42]:53).
Dalam ayat tersebut Allah Swt. menyebut firman-Nya atau wahyu Al-Quran kepada Nabi Besar Muhammad saw. رُوۡحًا (ruh), dengan demikian jelaslah bahwa kata ruh tidak hanya berarti ruh manusia saja tetapi wahyu
Ilahi pun disebut pula ruh (رُوۡحًا),
sebab sebagaimana halnya dari segi
jasmani dengan keberadaan ruh itulah maka manusia secara jasmani
dapat hidup, demikian pula dari segi ruhani
pun manusia akan dapat hidup hanya
melalui wahyu Ilahi, bukan dengan
cara menempuh olah bathin hasil usaha dan rekayasa
manusia melalui latihan-latihan kebatinan
tertentu atau melalui ilmu sihir atau ilmu klenik (occultisme).
Allah Swt. Memberitahukan Hal-hal
Gaib kepada Rasul Allah Melalui Wahyu
Ilahi
Dalam ayat itu selanjutnya Allah Swt. menjelaskan bahwa sebelum Nabi Besar Muhammad saw.
menerima wahyu Ilahi beliau saw. sama
sekali tidak mengetahui mengenai Kitab
(Kitab suci) mau pun iman karena
beliau saw. adalah seorang ummiy
(butahuruf): مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ
مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا الۡاِیۡمَانُ -- “Engkau sekali-kali tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula apa iman itu.”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai manfaat besar keberadaan dan
langsungan wahyu Ilahi sebagai “ruh”
yang menghidupkan ruhani
manusia وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا -- “akan tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur, yang dengan itu Kami
memberi petunjuk kepada siapa yang
Kami kehendaki dari antara hamba-hamba
Kami.”
Akibat dari menerima wahyu Ilahi berupa wahyu-wahyu
Al-Quran tersebut, Nabi Besar
Muhammad saw. yang sebelumnya adalah seorang ummiy (butahurif) kemudian menjadi seorang “pemberi petunjuk terbesar dan tersempurna” bagi umat
manusia, firman-Nya: وَ اِنَّکَ
لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ -- “Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lurus.” Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
صِرَاطِ اللّٰہِ الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ
ؕ اَلَاۤ اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Jalan Allah Yang milik-Nya
apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali.
(Asy-Syurā [42]:54).
Menurut
Allah Swt. bahwa Islam atau Al-Quran adalah kehidupan, nur, dan jalan lurus yang membawa manusia yang menempuhnya kepada Allah Swt.
dan menyadarkan manusia akan tujuan agung dan luhur kejadiannya, yakni untuk beribadah
kepada Allah Swt. (QS.51:57).
Cara Allah Swt. “Menghidupkan Hati” yang Keras Membatu
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman ؕ اَلَاۤ
اِلَی اللّٰہِ تَصِیۡرُ
الۡاُمُوۡرُ - “kepada
Allah segala perkara kembali”, yakni permulaan dan akhir segala sesuatu
terletak di tangan Allah Swt.,
termasuk cara menghidupkan akhlak dan
ruhani umat manusia atau umat beragama jika secara ruhani telah mengalami kematian pun sepenuhnya merupakan wewenang
Allah Swt., firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اَنۡ تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ اللّٰہِ وَ مَا
نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا
الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ
الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا
اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ
الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk mengingat Allah dan mengingat kebenaran
yang telah turun kepada mereka, dan mereka
tidak menjadi seperti orang-orang yang
diberi kitab sebelumnya, maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang
atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
Sungguh Kami telah menjelaskan
Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu
mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Pendek kata, melalui diwahyukan-Nya Al-Quran kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka bangsa
Arab jahiliyah -- yang sejak dari zaman Nabi Ibrahim a.s. dan
Nabi Isma’il a.s. tidak pernah menerima siraman hujan ruhani dari langit berupa wahyu
Ilahi, sehingga mereka disebut berada dalam “kesesatan yang nyata” – hanya dalam waktu 23 tahun saja berubah menjadi “manusia-manusia malaikat” dan menjadi “guru-guru dunia” dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan ruhani dan duniawi.
Sunnatullah
tersebut kembali terjadi di Akhir Zaman
melalui pengutusan kedua kali secara
ruhani Nabi Besar Muhammad saw. dalam
wujud Rasul Akhir Zaman, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata. Dan juga Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya
kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
Kesinambungan Turunnya Ruhulqudus
Dalam rangka “menghidupkan” lagi hati
yang telah “keras membatu” melalui wahyu Ilahi itulah selanjutnya Mirza
Ghulam Ahmad a.s. menulis dalam buku Kishti Nuh (Bahtera Nuh):
Jangan hendaknya kamu punya prakiraan hahwa wahyu Ilahi itu tidak mungkin ada
di waktu yang akan datang dan bahwa wahyu
itu hanya berlaku pada masa yang telah lampau saja. Janganlah mengira bahwa Ruhulqudus
tidak dapat turun di waktu sekarang dan bahwa hal itu hanya berlaku di masa
dahulu saja. Aku berkata dengan sebenar-benarnya bahwa segala pintu dapat tertutup, akan tetapi pintu
untuk datangnya Ruhulqudus tidak pernah tertutup, bukakanlah lebar-lebar segala pintu hati-nurani kamu untuk
membiarkan Ruhulqudus masuk.
Wahai orang-orang yang dungu! Bangkitlah, bukakan jendela agar supaya
matahari dengan sendirinya (dengan bebas) akan menyelinap masuk ke
dalam kalbu kamu. Kalau pada zaman
ini Tuhan tidak menutup bagi kamu
karunia-Nya dari dunia – bahkan
melipatgandakan karunia-Nya – apakah
kamu punya sangkaan bahwa Dia telah menutup untuk kamu pintu-pintu
karunia dari langit yang justru pada
saat ini kamu memerlukannya?
Tidak, sama sekali tidak, bahkan Dia telah
membukakannya selebar-lebarnya. Kini jikalau Tuhan -- sesuai dengan apa yang diajarkan di dalam
surah Al-Fatihah – telah
membukakan bagi kamu segala nikmat-nikmat yang diberikan kepada
orang-orang dahulu, mengapakah kamu
menolak nikmat-nikmat itu?
Timbulkanlah kedahagaan untuk Sumber mata-air itu supaya dengan sendirinya air akan membersit
keluar.
Mulailah kamu menangis bagaikan bayi
yang meminta susu supaya air susu keluar dengan sendirinya dari dada ibu.
Buatlah diri kamu layak menerima kasih
supaya kamu dianugerahi kasih-sayang. Bergelisahlah supaya kamu memperoleh
ketentraman hati. Merataplah sepuas-puasnya sampai ada sebuah tangan meraih
kamu. Sungguh amat berbahaya jalan
menuju Tuhan itu, tetapi sungguh
mudahlah bagi mereka yang tidak ragu-ragu melompat ke dalam jurang yang
menganga, karena bertekad
menyongsong maut (kematian).
Pendeknya, berbahagialah mereka yang berperang melawan nafsu mereka,
dan malanglah mereka yang berperang dengan Tuhan demi untuk kemanjaan nafsunya dan tidak mengikuti kehendak-Nya. Barangsiapa
mengabaikan
hukum Tuhan untuk memanjakan nafsunya niscaya tidak akan masuk surga. Karena itu berusahalah
sekuat tenaga agar satu titik pun satu satu kata pun dari Quran Syarif tidak
menjadi saksi terhadap kamu, sehingga karena perkara itu kamu tidak akan ditindak. Sebab sesungguhnya keburukan walaupun sebesar
dzarrah layak mendapat hukuman.
Waktu sangatlah pendek, sedangkan tugas
hidup kamu belum lagi terpenuhi. Bergegas-gegaslah melangkahkan kaki karena hari sudah petang dan malam hampir
tiba. Apa-apa yang akan kamu
persembahkan ke hadapan Tuhan periksalah berulang-ulang, jangan-jangan ada kekurangan dan menyebabkan kerugian, atau jangan-jangan semua amal kamu tak ubahnya bagai kotoran dan
barang-barang rombengan, yang sekali-kali tak layak dipersembahkan di hadapan singgasana Maharaja.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 11 Februari
2014
[1]
Masih Mau’ud a.s. telah menjelaskan di tempat lain bahwa perkataan “abadi” di
sini berarti jangak-waktu yang lama sekali (Pent.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar