Sabtu, 12 Oktober 2013

Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. Berkenaan Hakikat "Kecintaan" Manusia kepada Segala Sesuatu yang Indah dan Hubungannya dengan "Kerinduan" Manusia kepada Allah Swt.





ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 45

   Pendapat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Berkenaan Hakikat “Kecintaan” Manusia terhadap “Segala Suatu yang Indah” dan Hubungannya dengan “Kerinduan” Manusia kepada Allah Swt. “Yang Maha Gaib”

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai Surah Al-Hadīd ayat 4  yang  mengemukakan Sifat-sifat Tanzihiyyah   --  yakni Sifat-sifat yang khusus dimiliki Allah Swt. – yakni:  ہُوَ الۡاَوَّلُ وَ الۡاٰخِرُ وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ ۚ  وَ ہُوَ   بِکُلِّ  شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ      -- “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir  serta Yang Nyata dan Yang Tersembunyi,  dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”, ayat-ayat tersebut  menjelaskan bahwa  Allah Swt. adalah Sebab Awal segala perkara dan  Dia pun adalah Sebab Awal dan Akhir. Demikian pula  Dia nampak dengan nyata dalam karya-Nya, atau Dia nampak lebih jelas daripada apa pun lainnya.

 Seperti  “Lantai Kaca Bening” Istana Khusus Nabi Sulaiman a.s.  

Mengisyaratkan kepada  ayat  وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ   --  yakni walau pun Allah Swt. itu Yang Maha Nyata  namun juga Maha tersembunyi, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nabi Sulaiman a.s. dalam pembuatan “istana” khusus yang berlantai kaca bening, yang di bawahnya  mengalir air yang deras, sehingga seolah-olah lantai kaca bening tersebut aliran air yang deras  itu sendiri,  dan  Ratu Saba salah menduga  kenyataan tersebut,  firman-Nya: 
قِیۡلَ  لَہَا ادۡخُلِی الصَّرۡحَ ۚ فَلَمَّا رَاَتۡہُ حَسِبَتۡہُ  لُجَّۃً  وَّ کَشَفَتۡ عَنۡ سَاقَیۡہَا ؕ قَالَ  اِنَّہٗ  صَرۡحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنۡ قَوَارِیۡرَ ۬ؕ قَالَتۡ رَبِّ  اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dikatakan kepada dia: “Masuklah ke istana.” Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.  Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang berlantaikan  ubin dari kaca.” Ia, ratu, berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah  Tuhan seluruh alam.” (An-Naml [27]:45).
     Dengan demikian  jelaslah,  bahwa   tatanan alam semesta jasmani  -- yang merupakan  kerajaan” Allah Swt. -- yang demikian mengagumkan serta sempurna tersebut serta senantiasa bertasbih kepada Allah Swt.,   pada hakikatnya merupakan benda-benda mati belaka  seperti “lantai kaca bening” istana  yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s.,  dan hanya orang-orang berakal (ulil albāb) seperti Ratu Saba sajalah yang akan mampu “melihat”  keberadaan Allah Swt. --  Sang Maha Pencipta  yang berada “di balik/di belakangtatanan alam semesta ciptaan-Nya,  Yang bersemayam  di atas ‘Arasy (Singgasana-Nya) -- tersebut melalui berbagai  Tanda-tanda yang berada di dalamnya.

Kesadaran    Ratu Saba & “Orang-orang yang Berakal” (Ulil- Albāb)

     Sehubungan hal tersebut Allah Swt. berfirman mengenai  orang-orang berakal (ulil albāb) seperti Ratu Saba tersebut:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ  قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta   pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.  Yaitu  orang-orang yang  mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil  berbaring atas rusuk mereka, dan mereka memikirkan mengenai penciptaan seluruh langit dan bumi  seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini  sia-sia,  Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali ‘Imran [3]:191-193).
      Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh  langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang ialah: manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani yang tak terhingga. Bila ia berbuat amal saleh maka masa kegelapannya dan masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagiaan.
     Orang-orang yang  “mempergunakan akal” (ulil albāb) tersebut terus merenung bahwa tatanan agung yang dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam ini telah dijadikan untuk menghidmati manusia, tentu saja kejadian manusia sendiri mempunyai tujuan yang agung dan mulia pula, yakni untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57), karena  manusia secara umum dibandingkan dengan seluruh makhluk lainnya --  adalah merupakan khalifah Allah di muka bumi (QS.17:71).
     Bila orang merenungkan tentang kandungan arti keruhanian yang diserap dari gejala-gejala fisik di dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta terlontar dari dasar lubuk hatinya seruan: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ   -- “Ya  Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini sia-sia, maka peliharalah kami dari azab Api.
     Ucapan yang muncul dari lubuk hati  orang-orang berakal (ulil albāb) tersebut mirip dengan kesadaran Ratu Saba mengenai kesesatan kemusyrikan yang dilakukannya selama itu:   قَالَتۡ رَبِّ  اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ    --Ia (Ratu Saba)  berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah  Tuhan seluruh alam.” (An-Naml [27]:45).
       Namun demikian, berbeda dengan kesadaran dan kesaksian yang diucapkan oleh orang-orang berakal (ulil albāb) yang benar-benar karena  mereka memiliki bashirah  (penglihatan ruhani) yang baik, maka kesadaran Ratu Saba dari kesesatannya kemusyrikan yang dilakukan bersama kaumnya tidak lepas dari peran Nabi Sulaiman a.s. melalui “singgasana” yang lebih indah dan “istana khusus” yang beliau buat.

‘Ulama (Orang-orang Berilmu) Hakiki

  Allah Swt. dalam Surah Al-Quran lainnya  menyebut “orang-orang yang mempergunakan akal  (bashirah)” tersebut    ‘ulama  (orang-orang yang berilmu)   hakiki, berikut firman-Nya mengenai mereka:
اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّ اللّٰہَ  اَنۡزَلَ مِنَ  السَّمَآءِ  مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ  مُّخۡتَلِفًا  اَلۡوَانُہَا ؕ وَ مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ  بِیۡضٌ وَّ حُمۡرٌ  مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾  وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ  کَذٰلِکَ ؕ اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ  الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ  غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah engkau tidak melihat  bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih, merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada yang sehitam burung gagak?  Dan demikian juga di antara manusia,  hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ‘ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).
       Ayat 28   bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun di atas tanah yang kering dan gersang, maka air hujan itu menimbulkan aneka ragam tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
      Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang dihasilkan sangat berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat dalam Al-Quran telah diibaratkan air — turun kepada suatu kaum melalui Rasul Allah, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat pada bermacam-macam manusia menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
       Dalam ayat selanjutnya keragaman yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang, akan tetapi juga pada manusia, binatang buas dan ternak.
       Kata an-nās (manusia), ad-dawāb (binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan manusia dengan bermacam-macam kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami. Ungkapan  اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ  الۡعُلَمٰٓؤُا   -- “Sesungguhnya dari antara hamba-hambanya yang takut kepada Allah dari  adalah para ulama” memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia, yang di antara mereka itu hanya mereka yang dikaruniai ilmu saja yang takut kepada Tuhan.
     Tetapi di sini ilmu itu tidak seharusnya selalu berarti ilmu keruhanian mau pun ilmu keagamaan saja akan tetapi juga pengetahuan  hukum alam. Sebab penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya niscaya membawa orang kepada makrifat mengenai kekuasaan Maha Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibatnya mereka merasa kagum dan takzim terhadap  Allah Swt. yang menciptakan tatanan alam semesta tersebut.

Perbedaan Kesimpulan  Antara Para Filosof dengan Rasul Allah
Tentang Keberadaan “Wujud Pencipta” di Balik Tatanan Alam Semesta

       Namun walau pun demikian,  menurut Mirza Ghulam Ahmad a.s. di dalam buku beliau yang sangat terkenal, Islami Ushul Ki Filasafi (Falsafah Ajaran Islam) bahwa terdapat perbedaan besar antara   kesimpulan menyelidiki kesempurnaan tatanan alam semesta yang dilakukan oleh  para  ahli pengetahuan  hukum alam (para filosof) tersebut  berkenaan dengan keberadaan Wujud Pencipta  tatanan alam semesta jasmani yang sempurna ini, dengan pernyataan  para Rasul Allah yang diutus oleh Sang Maha Pencipta tatanan alam semesta jasmani itu sendiri
      Berikut ini adalah penjelasan Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah tersebut mengenal hal tersebut dan hubungannya dengan “istana” khusus Nabi Sulaiman a.s.  dalam    sub judul:   Mencari Wujud Yang Maha Agung:
       “Di antara keadaan-keadaan thabi'i (alami) manusia, yang merupakan bagian mutlak fitratnya ialah mencari Wujud Yang Maha Agung. Untuk pencarian itulah  di dalam lubuk hati manusia   terdapat suatu   tarikan. Dan pengaruh pencarian itu mulai terasa pada saat bayi lahir dari kandungan ibu. Sebab begitu bayi lahir, pertama-tama sifat ruhani yang ditampakkannya adalah lekat pada ibunya dan secara thabi’i (alami) mencintai ibunya.
      Kemudian dengan terbukanya indera-indera yang dia miliki dan semakin berkembang fitratnya maka  tarikan kecintaan yang semula tersembunyi di dalam dirinya kian menampakkan  warna dan bentuknya. Kemudian keadaannya ialah ia tidak merasa  tentram  di tempat lain kecuali di pangkuan ibunya. Anugerah berada di sisi ibunya itulah merupakan   ketentraman  sempurna yang dia miliki. 
      Apabila ia dipisahkan dan dijauhkan dari ibunya maka seluruh  ketentramannya  akan hilang.  Walau pun di hadapannya disodorkan banyak kenikmatan,  tetap saja ia melihat (merasakan) kebahagiaan sejatinya berada  di dalam pangkuan ibunya, dan tanpa itu bagaimana pun ia tidak memperoleh  ketentraman.
         Jadi, apakah sebenarnya tarikan kecintaan yang timbul di dalam dirinya terhadap sang ibu?   Pada hakikatnya    tarikan itu jugalah  yang telah ditanamkan dalam fitrat   bayi untuk mencari Ma’bud Hakiki (Tuhan Sejati yang disembah).  Bahkan hubungan kecintaan yang dijalin manusia di setiap tempat pada hakikatnya  tarikan itu jugalah yang tengah bekerja. Dan di tempat mana pun manusia menampakkan gelora kecintaan,  pada hakikatnya itu merupakan suatu pantulan kecintaan tersebut. Seakan-akan dia membongkar-bongkar barang lain sedang mencari sesuatu yang hilang,  yang namanya pun dia sudah lupa.
     Jadi, kecintaan manusia kepada hartanya, anak keturunan, istri, atau  ketertarikan hatinya terhadap suatu nyanyian suara merdu,  pada hakikatnya itu merupakan pencarian terhadap Sang Kekasih yang telah hilang. Dikarenakan manusia  tidak mampu melihat dengan mata jasmaninya sendiri Wujud Yang Maha Halus itu – yang bagaikan   api tersembunyi di dalam setiap  sesuatu dan tersembunyi  dari semua orang,  dan  tidak  pula akal manusia yang tidak sempurna dapat menemukannya -- maka berkenaan dengan makrifat Ilahi manusia telah melakukan kesalahan-kesalahan besar, dan dengan kesalahan-kesalahan itu hak-Nya telah dialihkan manusia kepada yang selain-Nya.
      Di dalam Quran Syarif Allah Ta’ala telah memberikan tamsil (perumpamaan) ini, bahwa dunia   bagikan istana  yang lantainya terbuat dari kaca bening, dan kemudian   di bawah lantai kaca itu dialirkan air yang mengalir   sangat deras. Jadi, setiap  penglihatan  yang tertuju pada kaca itu dapat keliru  mengira bahwa kaca-kaca itu pun air. Kemudian manusia demikian rupa  takutnya berjalan di atas kaca itu sebagaimana ia takut berjalan di atas air, padahal sebenarnya itu adalah kaca bening yang tembus cahaya (tembus pandang).       
   Jadi, pada hakikatnya benda-benda langit raksasa yang kelihatan -- seperti matahari, bulan, dan sebagainya  -- merupakan kaca-kaca bening yang dengan keliru telah disembah, dan di balik benda-benda itu ada  suatu kekuatan tinggi yang sedang bekerja, bagaikan   air yang mengalir deras di   bawah kaca. Dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh penglihatan jasmani para penyembah makhluk  ialah mereka menganggap pekerjaan itu dilakukan oleh kaca-kaca tersebut yang memperlihatkan kekuatan bawahnya.  Demikian tafsir ayat suci ini:
إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ
“Sesungguhnya itu adalah istana yang berlantaikan kaca” (An-Naml [27] 45).

Wahyu Suatu Bukti Yang Perkasa Tentang Adanya Tuhan

       Ringkasnya, oleh karena  Zat Allah Ta’ala yang kendati pun sangat cemerlang namun tetap saja sangat  tersembunyi,  oleh karena  itu untuk mengenali-Nya tidak cukup hanya dengan menyaksikan tatanan jasmani yang tampak  di hadapan kita saja.  Itulah sebabnya  kebanyakan orang yang menggantungkan diri pada tatanan alam semesta jasmani  ini tetap saja tidak dapat melepaskan diri dari gelapnya keraguan dan kebimbangan. Dan kebanyakan mereka terperangkap dalam berbagai kekeliruan, dan karena terjerat dalam syak wasangka  yang sia-sia maka mereka telah tersesat jauh.
       Padahal mereka merenungkan dengan seksama   gugusan sempurna dan kokoh itu  yang  mengandung ribuan keajaiban. Bahkan mereka telah menciptakan kemahiran-kemahiran di bidang astronomi,  ilmu alam, dan   filsafat,   seolah-olah mereka telah menyatu  dengan langit dan bumi. Dan seandainya pun terpikirkan juga sedikit oleh mereka  tentang Sang Pencipta,  maka itu hanyalah sekedar anggapan yang timbul setelah menyaksikan  tatanan yang tinggi dan sempurna, yakni di dalam hati mereka muncul  anggapan bahwa   memang seharusnya ada suatu Wujud yang menciptakan tatanan agung yang mengandung sistem yang penuh hikmah ini.
       Akan tetapi  jelas bahwa pemikiran demikian – yakni seharusnya ada Wujud yang menciptakan --  tersebut tidak sempurna, dan itu merupakan makrifat yang dangkal. Sebab  mengatakan bahwa “Tatanan yang sempurna ini seharunya ada satu Tuhan” sekali-kali tidak sama dengan ucapan bahwa, “Tuhan itu benar-benar ada!
      Ringkasnya, itu hanyalah merupakan makrifat  mereka yang bersifat dugaan, yang tidak dapat memberikan ketenangan dan ketentraman   kepada hati serta sama sekali tidak dapat menghapuskan kebimbangan kalbu. Dan itu bukanlah suatu mangkuk yang   dapat menghilangkan kedahagaan akan   makrifat sempurna yang telah dipatrikan pada fitrat manusia. Justru makrifat dangkal demikian itu  sangat berbahaya, karena setelah heboh demikian rupa akhirnya tanpa hasil dan tidak membuahkan apa-apa.
     Pendek kata,  selama Allah Ta'ala Sendiri belum menzahirkan keberadaan-Nya melalui Kalam-Nya  -- sebagaimana telah Dia  zahirkan melalui perbuatan-Nya --  maka selama itu pula penelaahan terhadap  perbuatan-Nya semata tidak akan memberikan   kepuasan.
      Misalnya, jika kita melihat sebuah kamar yang terasa  mengherankan karena  terkunci dari dalam, maka dari perbuatan itu pertama-tama yang pasti terpikirkan oleh kita adalah bahwa  di dalam kamar itu pasti ada seseorang telah memasang rantai  (kunci) dari dalam, sebab dari luar tidak mungkin rantai (kunci) bagian dalam itu dapat dipasangkan. 
       Akan tetapi apabila sampai masa tertentu --   bahkan sampai bertahun-tahun --  kendati pun telah berulang-ulang dipanggil namun dari orang itu tidak juga ada sahutan maka akhirnya pikiran kita yang beranggapan bahwa ada orang di dalam akan berubah. Dan kita akan berpikir bahwa di dalam tidak ada orang, dan kunci itu telah dipasang dari dalam melalui suatu hikmah (keajaiban) tertentu. 
     Demikianlah keadaan para ahli filsafat yang telah membatasi pengetahuan mereka hanya pada penelaahan terhadap perbuatan Tuhan. Ini adalah suatu kekeliruan besar menganggap Tuhan seperti sesuatu yang telah mati, yang dapat dikeluarkan dari dalam kubur hanya oleh upaya manusia. Seandainya Tuhan itu benar demikian — yang  hanya dapat diketahui oleh usaha manusia — saja maka seluruh harapan kita berkenaan dengan Tuhan yang demikian itu akan sia-sia. Justru Tuhan itu adalah Dia Yang selamanya dan sejak awal terus memanggil manusia ke arah-Nya dengan menyatakannya sendiri:  اَنَا الْمَوْجُوْدُ  (Aku ada!).
     Sungguh sangat lancang,  apabila kita berpikiran bahwa dalam mengetahui tentang Tuhan terdapat  ihsan (kebajikan) manusia atas diri-Nya, dan jika para ahli filsafat tidak ada maka Dia seakan-akan tetap tidak akan ditemukan. Dan mengatakan bahwa, “Bagaimana Tuhan dapat berbicara? Apakah Dia memiliki lidah?” Itu pun suatu kekurang-ajaran. Tidakkah Dia telah menciptakan benda-benda langit dan bumi  tanpa tangan-tangan jasmani? Tidakkah Dia melihat seluruh alam semesta tanpa mata jasmani? Tidakkah Dia mendengar suara-suara kita tanpa telinga jasmani? Jadi, tidakkah mutlak bahwa Dia juga berbicara dengan cara demikian?
     Sungguh tidak benar, bahwa di masa mendatang Tuhan  tidak lagi  bercakap-cakap melainkan hanya di masa lampau saja. Kita tidak dapat menutup ucapan dan percakapan-percakapan-Nya sebatas zaman tertentu saja. Tidak diragukan lagi sekarang pun Dia siap mencurahkan  mata air ilham kepada orang-orang yang mencari, sebagaimana sebelumnya Dia siap. Dan sekarang juga pintu-pintu karunia-Nya tetap terbuka  seperti halnya dahulu. Ya, karena segala sesuatu telah sempurna maka syariat serta hukum-hukum pun telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta kenabian telah mencapai kesempurnaannya pada titik akhir dalam wujud Junjungan kita Muhammad saw..”

Beriman kepada Penyeru dari Allah &
Pengabulan Doa  Orang-orang yang Beriman

 Sesuai dengan penjelasan tersebut, kesadaran ruhani yang terjadi dalam diri orang-orang yang mempergunakan akal (bashirah)  atau ‘ulama hakiki yang dikemukakan dalam Qs.3:191—193  sebelum ini,  setelah melihat berbagai bentuk kobaran api kemurkaan Ilahi  yang melanda kehidupan umat manusia,  maka dalam hatinya munculnya keyakinan  mengenai kebenaran pendakwaan   Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt.  kepada Bani Adam  (QS. 7:35-37), firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ  قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta   pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu  orang-orang yang  mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka, dan mereka memikirkan mengenai penciptaan seluruh langit dan bumi  seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini  sia-sia,  Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali ‘Imran [3]:191-193).
   Kenapa demikian? Sebab  merupakan Sunatullah bahwa Allah Swt.   tidak pernah menurunkan azab kepada manusia sebelum terlebih dulu datang Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.17:16; QS.20:134-136), itulah sebab “orang-orang yang berakal” itu pun meyakini bahwa Rasul Allah yang     dijanjikan tersebut telah datang dan mereka beriman kepada seruannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ  فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ  الۡاَبۡرَارِ ﴿ۚ  رَبَّنَا وَ اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾
Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami kepada  keimanan seraya berkata:  "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu" maka kami telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama  orang-orang yang berbuat kebajikan. Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.” (Ali ‘Imran [3]:194-195).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  6 Oktober    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar