ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 45
Pendapat Mirza
Ghulam Ahmad a.s. Berkenaan Hakikat “Kecintaan”
Manusia terhadap “Segala Suatu yang Indah” dan Hubungannya dengan “Kerinduan”
Manusia kepada Allah Swt. “Yang Maha Gaib”
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai Surah Al-Hadīd ayat 4 yang mengemukakan Sifat-sifat Tanzihiyyah -- yakni Sifat-sifat
yang khusus dimiliki Allah Swt. – yakni:
ہُوَ الۡاَوَّلُ وَ الۡاٰخِرُ وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ ۚ وَ ہُوَ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ -- “Dia-lah Yang Awal dan
Yang Akhir serta Yang
Nyata dan Yang
Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”,
ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt. adalah Sebab Awal segala perkara dan Dia pun adalah Sebab Awal dan Akhir.
Demikian pula Dia nampak dengan nyata dalam karya-Nya,
atau Dia nampak lebih jelas daripada
apa pun lainnya.
Seperti “Lantai Kaca Bening” Istana Khusus Nabi Sulaiman a.s.
Mengisyaratkan kepada
ayat وَ الظَّاہِرُ وَ
الۡبَاطِنُ
-- yakni walau pun Allah Swt. itu
Yang Maha Nyata namun juga Maha
tersembunyi, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nabi Sulaiman a.s. dalam pembuatan
“istana” khusus yang berlantai kaca bening, yang di bawahnya mengalir air
yang deras, sehingga seolah-olah lantai
kaca bening tersebut aliran air yang
deras itu sendiri, dan Ratu Saba salah menduga kenyataan tersebut, firman-Nya:
قِیۡلَ لَہَا ادۡخُلِی الصَّرۡحَ ۚ
فَلَمَّا رَاَتۡہُ حَسِبَتۡہُ
لُجَّۃً وَّ کَشَفَتۡ عَنۡ
سَاقَیۡہَا ؕ قَالَ اِنَّہٗ صَرۡحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنۡ قَوَارِیۡرَ ۬ؕ
قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ
وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dikatakan
kepada dia: “Masuklah ke istana.”
Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.
Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang
berlantaikan ubin dari kaca.” Ia, ratu,
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri dan aku tunduk bersama
Sulaiman kepada Allah Tuhan seluruh alam.” (An-Naml
[27]:45).
Dengan demikian jelaslah,
bahwa tatanan alam semesta jasmani -- yang merupakan “kerajaan”
Allah Swt. -- yang demikian mengagumkan
serta sempurna tersebut serta
senantiasa bertasbih kepada Allah Swt.,
pada hakikatnya merupakan benda-benda
mati belaka seperti “lantai kaca
bening” istana yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s., dan hanya orang-orang
berakal (ulil albāb) seperti Ratu
Saba sajalah yang akan mampu “melihat”
keberadaan Allah Swt. -- Sang Maha
Pencipta yang berada “di balik/di belakang” tatanan alam semesta ciptaan-Nya, Yang bersemayam di atas ‘Arasy
(Singgasana-Nya) -- tersebut melalui berbagai
Tanda-tanda yang berada di
dalamnya.
Kesadaran Ratu
Saba & “Orang-orang yang Berakal”
(Ulil- Albāb)
Sehubungan hal tersebut Allah Swt.
berfirman mengenai orang-orang berakal (ulil albāb) seperti Ratu Saba tersebut:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ
النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی
الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ
وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ
ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ
اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta pertukaran
malam dan siang benar-benar terdapat
Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil
berbaring atas rusuk mereka,
dan mereka memikirkan mengenai
penciptaan seluruh langit dan bumi
seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia, Maha
Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali
‘Imran [3]:191-193).
Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh langit
dan bumi dan dalam pergantian malam
dan siang ialah: manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani yang
tak terhingga. Bila ia berbuat amal saleh
maka masa kegelapannya dan masa
kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa
terang benderang dan kebahagiaan.
Orang-orang yang “mempergunakan akal” (ulil albāb) tersebut
terus merenung bahwa tatanan agung
yang dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam
ini telah dijadikan untuk menghidmati
manusia, tentu saja kejadian manusia
sendiri mempunyai tujuan yang agung
dan mulia pula, yakni untuk beribadah
kepada Allah Swt. (QS.51:57), karena
manusia secara umum dibandingkan dengan seluruh makhluk lainnya -- adalah
merupakan khalifah Allah di muka bumi
(QS.17:71).
Bila orang merenungkan tentang
kandungan arti keruhanian yang diserap
dari gejala-gejala fisik di dalam
penciptaan seluruh alam dengan tatanan
sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh
kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan
serta-merta terlontar dari dasar lubuk
hatinya seruan: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ -- “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia, maka peliharalah kami dari azab Api.”
Ucapan
yang muncul dari lubuk hati orang-orang berakal (ulil albāb) tersebut mirip dengan kesadaran Ratu Saba mengenai kesesatan
kemusyrikan yang dilakukannya selama itu: قَالَتۡ رَبِّ
اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ -- “Ia (Ratu Saba) berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah
Tuhan seluruh alam.” (An-Naml [27]:45).
Namun demikian, berbeda dengan kesadaran dan kesaksian yang diucapkan oleh orang-orang
berakal (ulil albāb) yang benar-benar karena mereka memiliki bashirah (penglihatan
ruhani) yang baik, maka kesadaran
Ratu Saba dari kesesatannya kemusyrikan
yang dilakukan bersama kaumnya tidak lepas dari peran Nabi Sulaiman a.s. melalui “singgasana” yang lebih indah dan “istana khusus” yang beliau buat.
‘Ulama (Orang-orang
Berilmu) Hakiki
Allah Swt. dalam Surah Al-Quran lainnya menyebut “orang-orang
yang mempergunakan akal (bashirah)”
tersebut ‘ulama (orang-orang yang
berilmu) hakiki, berikut firman-Nya mengenai mereka:
اَلَمۡ تَرَ اَنَّ اللّٰہَ
اَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ مُّخۡتَلِفًا
اَلۡوَانُہَا ؕ وَ مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ بِیۡضٌ وَّ حُمۡرٌ مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ غَرَابِیۡبُ
سُوۡدٌ ﴿﴾ وَ مِنَ النَّاسِ وَ
الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ کَذٰلِکَ ؕ اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ
عِبَادِہِ الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ
عَزِیۡزٌ غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah
engkau tidak melihat bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan
Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan
yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung
ada garis-garis putih, merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada yang sehitam burung gagak? Dan demikian juga di antara manusia, hewan
berkaki empat dan binatang ternak
bermacam-macam warnanya.
Sesungguhnya dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ‘ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).
Ayat 28 bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun
di atas tanah yang kering dan gersang, maka air hujan itu menimbulkan
aneka ragam tanam-tanaman, bunga-bungaan,
dan buah-buahan yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk
serta corak yang berlainan.
Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang
dihasilkan sangat berbeda satu sama
lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah
dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat
dalam Al-Quran telah diibaratkan air
— turun kepada suatu kaum melalui Rasul
Allah, maka wahyu itu menimbulkan
berbagai-bagai akibat pada
bermacam-macam manusia menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
Dalam ayat selanjutnya keragaman yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang
telah dikemukakan dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah,
dan batu karang, akan tetapi juga pada manusia,
binatang buas dan ternak.
Kata an-nās (manusia), ad-dawāb
(binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan
manusia dengan bermacam-macam kesanggupan,
pembawaan, dan kecenderungan alami. Ungkapan اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ الۡعُلَمٰٓؤُا -- “Sesungguhnya dari antara
hamba-hambanya yang takut kepada Allah dari
adalah para ulama” memberikan bobot
arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia, yang di antara
mereka itu hanya mereka yang dikaruniai
ilmu saja yang takut kepada
Tuhan.
Tetapi di sini ilmu itu tidak seharusnya selalu berarti
ilmu keruhanian mau pun ilmu keagamaan saja akan tetapi juga pengetahuan
hukum alam. Sebab penyelidikan
yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya
niscaya membawa orang kepada makrifat
mengenai kekuasaan Maha Besar Allah
Ta’ala dan sebagai akibatnya mereka merasa
kagum dan takzim terhadap Allah Swt.
yang menciptakan tatanan alam semesta tersebut.
Perbedaan Kesimpulan Antara Para Filosof dengan Rasul Allah
Tentang Keberadaan “Wujud
Pencipta” di Balik Tatanan Alam Semesta
Namun walau pun demikian, menurut Mirza Ghulam Ahmad a.s. di dalam
buku beliau yang sangat terkenal, Islami Ushul Ki Filasafi (Falsafah
Ajaran Islam) bahwa terdapat perbedaan
besar antara kesimpulan menyelidiki kesempurnaan tatanan alam semesta yang dilakukan oleh para ahli
pengetahuan hukum alam (para filosof) tersebut berkenaan dengan keberadaan Wujud Pencipta tatanan alam
semesta jasmani yang sempurna ini, dengan pernyataan para Rasul Allah yang diutus oleh Sang Maha Pencipta tatanan alam semesta jasmani itu sendiri
Berikut ini adalah penjelasan
Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah tersebut mengenal hal tersebut dan hubungannya dengan “istana” khusus Nabi Sulaiman a.s. dalam sub judul: “Mencari Wujud Yang Maha Agung”:
“Di antara keadaan-keadaan thabi'i
(alami) manusia, yang merupakan bagian mutlak fitratnya ialah mencari
Wujud Yang Maha Agung. Untuk pencarian itulah di dalam lubuk
hati manusia terdapat suatu tarikan. Dan pengaruh pencarian
itu mulai terasa pada saat bayi lahir
dari kandungan ibu. Sebab begitu bayi
lahir, pertama-tama sifat ruhani yang ditampakkannya adalah lekat
pada ibunya dan secara thabi’i (alami) mencintai ibunya.
Kemudian
dengan terbukanya indera-indera yang
dia miliki dan semakin berkembang fitratnya
maka tarikan kecintaan yang semula tersembunyi di dalam dirinya kian
menampakkan warna dan bentuknya.
Kemudian keadaannya ialah ia tidak merasa
tentram di tempat lain
kecuali di pangkuan ibunya. Anugerah berada
di sisi ibunya itulah merupakan ketentraman sempurna yang dia miliki.
Apabila ia dipisahkan dan dijauhkan dari ibunya maka seluruh
ketentramannya akan
hilang. Walau pun di hadapannya
disodorkan banyak kenikmatan, tetap saja ia melihat (merasakan) kebahagiaan
sejatinya berada di dalam pangkuan ibunya, dan tanpa itu bagaimana
pun ia tidak memperoleh ketentraman.
Jadi, apakah sebenarnya tarikan kecintaan yang timbul di dalam dirinya
terhadap sang ibu? Pada hakikatnya tarikan itu jugalah yang telah ditanamkan dalam fitrat bayi untuk mencari Ma’bud
Hakiki (Tuhan Sejati yang disembah).
Bahkan hubungan kecintaan yang dijalin manusia di setiap tempat
pada hakikatnya tarikan itu
jugalah yang tengah bekerja. Dan di tempat mana pun manusia menampakkan gelora
kecintaan, pada hakikatnya itu
merupakan suatu pantulan kecintaan tersebut. Seakan-akan dia membongkar-bongkar
barang lain sedang mencari sesuatu
yang hilang, yang namanya
pun dia sudah lupa.
Jadi, kecintaan
manusia kepada hartanya, anak keturunan, istri, atau ketertarikan
hatinya terhadap suatu nyanyian
suara merdu, pada hakikatnya itu
merupakan pencarian terhadap Sang Kekasih yang telah hilang.
Dikarenakan manusia tidak mampu melihat
dengan mata jasmaninya sendiri Wujud Yang Maha Halus itu – yang
bagaikan api tersembunyi di
dalam setiap sesuatu dan tersembunyi dari semua orang, dan tidak pula akal manusia yang tidak sempurna
dapat menemukannya -- maka berkenaan
dengan makrifat Ilahi manusia telah melakukan kesalahan-kesalahan besar, dan dengan kesalahan-kesalahan itu hak-Nya
telah dialihkan manusia kepada yang selain-Nya.
Di dalam
Quran Syarif Allah Ta’ala telah memberikan tamsil
(perumpamaan) ini, bahwa dunia bagikan istana yang lantainya
terbuat dari kaca bening, dan kemudian di bawah lantai
kaca itu dialirkan air yang mengalir
sangat deras. Jadi, setiap
penglihatan yang tertuju
pada kaca itu dapat keliru
mengira bahwa kaca-kaca itu pun air. Kemudian manusia
demikian rupa takutnya berjalan
di atas kaca itu sebagaimana ia takut berjalan di atas air,
padahal sebenarnya itu adalah kaca bening yang tembus cahaya (tembus pandang).
Jadi, pada
hakikatnya benda-benda langit raksasa yang kelihatan -- seperti
matahari, bulan, dan sebagainya --
merupakan kaca-kaca bening yang dengan keliru telah disembah, dan di balik benda-benda itu
ada suatu kekuatan tinggi yang
sedang bekerja, bagaikan air
yang mengalir deras di bawah kaca. Dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh penglihatan jasmani para penyembah makhluk ialah mereka menganggap pekerjaan itu
dilakukan oleh kaca-kaca tersebut yang memperlihatkan kekuatan
bawahnya. Demikian tafsir ayat suci
ini:
إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ
“Sesungguhnya itu adalah istana yang
berlantaikan kaca” (An-Naml [27] 45).
Wahyu Suatu Bukti Yang
Perkasa Tentang Adanya Tuhan
Ringkasnya,
oleh karena Zat Allah Ta’ala yang kendati pun sangat cemerlang namun
tetap saja sangat tersembunyi, oleh karena
itu untuk mengenali-Nya tidak cukup hanya dengan menyaksikan tatanan
jasmani yang tampak di hadapan kita
saja. Itulah sebabnya kebanyakan
orang yang menggantungkan diri pada tatanan alam semesta jasmani ini tetap saja tidak dapat melepaskan diri
dari gelapnya keraguan dan kebimbangan. Dan kebanyakan mereka terperangkap dalam berbagai kekeliruan,
dan karena terjerat dalam syak wasangka
yang sia-sia maka mereka telah tersesat jauh.
Padahal
mereka merenungkan dengan
seksama gugusan sempurna dan kokoh
itu yang
mengandung ribuan keajaiban. Bahkan mereka telah menciptakan kemahiran-kemahiran di bidang astronomi, ilmu
alam, dan filsafat, seolah-olah mereka
telah menyatu dengan langit dan
bumi. Dan seandainya pun terpikirkan
juga sedikit oleh mereka tentang Sang
Pencipta, maka itu hanyalah
sekedar anggapan yang timbul setelah menyaksikan tatanan
yang tinggi dan sempurna, yakni di dalam hati
mereka muncul anggapan bahwa memang seharusnya ada suatu Wujud yang menciptakan
tatanan agung yang mengandung sistem
yang penuh hikmah ini.
Akan tetapi
jelas bahwa pemikiran demikian – yakni seharusnya ada Wujud yang
menciptakan -- tersebut tidak sempurna, dan itu merupakan makrifat
yang dangkal. Sebab mengatakan bahwa
“Tatanan yang sempurna ini seharunya ada satu Tuhan” sekali-kali tidak sama dengan ucapan bahwa, “Tuhan itu benar-benar ada!”
Ringkasnya,
itu hanyalah merupakan makrifat mereka
yang bersifat dugaan, yang tidak dapat memberikan ketenangan
dan ketentraman kepada hati serta sama sekali tidak dapat
menghapuskan kebimbangan kalbu. Dan itu bukanlah suatu mangkuk
yang dapat menghilangkan kedahagaan
akan makrifat sempurna yang telah
dipatrikan pada fitrat manusia. Justru makrifat dangkal demikian
itu sangat berbahaya, karena setelah heboh demikian rupa akhirnya tanpa
hasil dan tidak membuahkan apa-apa.
Pendek kata, selama Allah Ta'ala Sendiri belum menzahirkan keberadaan-Nya
melalui Kalam-Nya -- sebagaimana
telah Dia zahirkan melalui perbuatan-Nya
-- maka selama itu pula penelaahan
terhadap perbuatan-Nya semata tidak
akan memberikan kepuasan.
Misalnya, jika kita melihat sebuah kamar yang terasa mengherankan karena terkunci
dari dalam, maka dari perbuatan itu
pertama-tama yang pasti terpikirkan oleh kita adalah bahwa di dalam kamar
itu pasti ada seseorang telah
memasang rantai (kunci) dari dalam, sebab dari luar tidak
mungkin rantai (kunci) bagian dalam
itu dapat dipasangkan.
Akan tetapi apabila sampai masa tertentu
-- bahkan sampai bertahun-tahun -- kendati pun telah berulang-ulang dipanggil namun dari orang itu tidak juga ada sahutan maka akhirnya pikiran kita yang beranggapan bahwa ada orang di dalam akan berubah. Dan
kita akan berpikir bahwa di dalam tidak
ada orang, dan kunci itu telah
dipasang dari dalam melalui suatu hikmah
(keajaiban) tertentu.
Demikianlah keadaan para ahli filsafat
yang telah membatasi pengetahuan mereka hanya pada penelaahan
terhadap perbuatan Tuhan. Ini adalah suatu kekeliruan besar menganggap Tuhan
seperti sesuatu yang telah mati, yang
dapat dikeluarkan dari dalam kubur hanya oleh upaya manusia. Seandainya Tuhan itu benar demikian — yang hanya dapat diketahui oleh usaha manusia — saja maka seluruh harapan kita berkenaan dengan Tuhan yang demikian itu akan sia-sia.
Justru Tuhan itu
adalah Dia Yang selamanya dan sejak awal terus memanggil manusia ke arah-Nya dengan
menyatakannya sendiri: اَنَا الْمَوْجُوْدُ (Aku ada!).
Sungguh sangat lancang, apabila kita
berpikiran bahwa dalam mengetahui tentang Tuhan terdapat ihsan (kebajikan) manusia atas diri-Nya, dan jika para ahli filsafat tidak ada
maka Dia seakan-akan tetap tidak akan ditemukan. Dan mengatakan bahwa,
“Bagaimana Tuhan dapat berbicara? Apakah Dia memiliki lidah?” Itu pun suatu kekurang-ajaran. Tidakkah Dia telah menciptakan benda-benda langit dan
bumi tanpa tangan-tangan jasmani? Tidakkah Dia melihat seluruh alam semesta
tanpa mata jasmani? Tidakkah Dia
mendengar suara-suara kita tanpa telinga
jasmani? Jadi, tidakkah mutlak bahwa Dia juga berbicara dengan cara demikian?
Sungguh tidak benar, bahwa di masa mendatang
Tuhan tidak lagi bercakap-cakap
melainkan hanya di masa lampau saja. Kita tidak dapat menutup ucapan dan
percakapan-percakapan-Nya sebatas zaman tertentu saja. Tidak diragukan
lagi sekarang pun Dia siap mencurahkan mata
air ilham kepada orang-orang
yang mencari, sebagaimana sebelumnya
Dia siap. Dan sekarang juga pintu-pintu karunia-Nya tetap terbuka
seperti halnya dahulu. Ya, karena segala sesuatu telah sempurna maka syariat
serta hukum-hukum pun telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta
kenabian telah mencapai kesempurnaannya
pada titik akhir dalam wujud Junjungan kita Muhammad saw..”
Beriman kepada Penyeru
dari Allah &
Pengabulan
Doa
Orang-orang yang Beriman
Sesuai dengan penjelasan tersebut, kesadaran ruhani yang terjadi dalam diri
orang-orang yang mempergunakan akal (bashirah) atau ‘ulama
hakiki yang dikemukakan dalam Qs.3:191—193 sebelum ini, setelah melihat berbagai bentuk kobaran api kemurkaan Ilahi yang melanda kehidupan
umat manusia, maka dalam hatinya munculnya keyakinan mengenai kebenaran pendakwaan Rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
Allah Swt. kepada Bani Adam (QS. 7:35-37),
firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ
النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی
الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ
وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ
ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ
اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta pertukaran
malam dan siang benar-benar terdapat
Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka,
dan mereka memikirkan mengenai penciptaan
seluruh langit dan bumi seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha
Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali
‘Imran [3]:191-193).
Kenapa demikian? Sebab merupakan Sunatullah
bahwa Allah Swt. tidak pernah
menurunkan azab kepada manusia
sebelum terlebih dulu datang Rasul Allah
yang kedatangannya dijanjikan (QS.17:16; QS.20:134-136), itulah sebab “orang-orang
yang berakal” itu pun meyakini bahwa Rasul Allah yang dijanjikan tersebut telah datang dan
mereka beriman kepada seruannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ
رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ
تَوَفَّنَا مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿ۚ رَبَّنَا وَ اٰتِنَا
مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ
لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾
Wahai Tuhan
kami, sesungguhnya kami telah mendengar
seorang Penyeru menyeru kami kepada
keimanan seraya berkata: "Berimanlah
kamu kepada Tuhan-mu" maka kami
telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang berbuat kebajikan. Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah
Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan
rasul-rasul Engkau, dan janganlah
Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.” (Ali ‘Imran [3]:194-195).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar