Jumat, 11 Oktober 2013

Makna "Bertasbih" kepada Allah Swt. Seluruh Tatanan Alam Semesta dan Hubungannya dengan "Istana" Khusus Nabi Sulaiman a.s.




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 44

   Makna “Bertasbih” kepada Allah Swt. Seluruh Tatanan Alam Sementa dan Hubungannya dengan   Istana” Khusus Nabi Sulaiman a.s.  “Berlantai Kaca Bening”

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai tak terhingganya berbagai khazanah yang dikandung dalam setiap benda di tatanan alam semesta jasmani ini, firman-Nya:
قُلۡ لَّوۡ کَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّکَلِمٰتِ رَبِّیۡ لَنَفِدَ الۡبَحۡرُ  قَبۡلَ اَنۡ تَنۡفَدَ کَلِمٰتُ رَبِّیۡ وَ لَوۡ  جِئۡنَا بِمِثۡلِہٖ  مَدَدًا ﴿﴾
Katakanlah: "Seandainya lautan menjadi tinta untuk me­nuliskan kalimat-kalimat Tuhan-ku, niscaya  lautan itu akan habis se­belum kalimat-kalimat Tuhan-ku habis dituliskan, sekalipun Kami datangkan sebanyak itu lagi sebagai tambahannya. (Al-Kahf [18]:110).
Firman-Nya  lagi:
وَ لَوۡ اَنَّ مَا فِی الۡاَرۡضِ مِنۡ شَجَرَۃٍ  اَقۡلَامٌ  وَّ  الۡبَحۡرُ  یَمُدُّہٗ  مِنۡۢ بَعۡدِہٖ سَبۡعَۃُ  اَبۡحُرٍ  مَّا نَفِدَتۡ  کَلِمٰتُ اللّٰہِ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Dan  seandainya pohon-pohon  di bumi ini menjadi pena dan laut   ditambahkan kepadanya  sesudahnya tujuh laut menjadi tinta,  kalimat Allah sekali-kali tidak akan habis. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (Luqman [31]:28)
 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa bilangan  7  dan  70  digunakan dalam bahasa Arab adalah menyatakan jumlah besar, dan bukan benar-benar “tujuh” dan “tujuh puluh” sebagai angka-angka bilangan lazim, dan sesuai dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman:
وَ  اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ   اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ ۫ وَ  مَا  نُنَزِّلُہٗۤ  اِلَّا بِقَدَرٍ  مَّعۡلُوۡمٍ ﴿﴾
Dan  tidak ada suatu pun benda melainkan pada Kami ada khazanah-khazanahnya yang tidak terbatas, dan  Kami sama sekali tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran yang tertentu.    (Al-Hijr [15]:22).
        Allah Swt.   memiliki persediaan (khazanah) segala sesuatu dalam jumlah yang tidak terbatas. Akan tetapi sesuai dengan rahmat-Nya yang tidak berhingga, Dia mengarahkan pikiran atau otak manusia kepada satu benda yang tertentu, hanya bilamana timbul suatu keperluan yang sesungguhnya akan benda itu.
        Apabila   khazanah berbagai pengetahuan  serta   fungsi yang telah ditetapkan  (ditakdirkan) Allah Swt. berkenaan berbagai hal  dalam tatanan alam semesta jasmani ini  -- yang merupakan makhluk  -- demikian tidak terhingganya maka  terlebih lagi khazanah Sifat-sifat sempurna Allah Swt., Al-Khāliq (Yang Maha Pencipta).
      Itukah sebabnya dalam kisah monumental “Adam – Malaikat – Iblis” hanya kepada “Khalifah Allah” yakni Rasul Allah sajalah Allah Swt. mengajarkan  atau membukakan khazanah rahasia Sifat-sifat-Nya (al-Asmā-ul husna  - QS.72:27-29)  sesuai keperluan zamannya, yang jauh  melebihi pengetahuan para malaikat  (QS.2:31-35).

Kesempurnaan Tatanan  Kerajaan” Alam Semesta Jasmani

       Berikut adalah  firman Allah Swt.  mengenai kesempurnaan tatanan alam semesta jasmani:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ تَبٰرَکَ الَّذِیۡ  بِیَدِہِ  الۡمُلۡکُ ۫ وَ ہُوَ عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ قَدِیۡرُۨ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡ  خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَ الۡحَیٰوۃَ لِیَبۡلُوَکُمۡ  اَیُّکُمۡ  اَحۡسَنُ عَمَلًا ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ  الۡغَفُوۡرُ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا ؕ مَا تَرٰی فِیۡ  خَلۡقِ الرَّحۡمٰنِ مِنۡ  تَفٰوُتٍ ؕ فَارۡجِعِ  الۡبَصَرَ ۙ ہَلۡ  تَرٰی مِنۡ فُطُوۡرٍ ﴿﴾  ثُمَّ  ارۡجِعِ  الۡبَصَرَ کَرَّتَیۡنِ  یَنۡقَلِبۡ اِلَیۡکَ  الۡبَصَرُ خَاسِئًا وَّ ہُوَ حَسِیۡرٌ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Maha Berbarkat  Dia Yang di Tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,   Yang menciptakan kematian  dan kehidupan,  supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya, dan   Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun,   Yang telah menciptakan tujuh tingkat langit dengan serasi. Engkau tidak akan melihat ketidakselarasan di dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah,  maka lihatlah ber-ulang-ulang, apakah engkau melihat sesuatu  cacat?    Kemudian pandanglah untuk kedua kali,  penglihatan engkau akan kembali kepada engkau dengan tunduk dan ia letih, (Al-Mulk [67]:1-5).
        Dalam ayat 2 Allah Swt. telah menyatakan bahwa tatanan alam semesta  jasmani ini – dengan berbagai hal yang  berlaku di dalamnya – merupakan tatanan “kerajaan” Allah Swt., dan ayat 4-5  menerangkan kesempurnaan tatanan “kerajaan” Allah Swt. tersebut.
     Ada pun makna ayat 3 ۙ  الَّذِیۡ  خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَ الۡحَیٰوۃَ لِیَبۡلُوَکُمۡ  اَیُّکُمۡ  اَحۡسَنُ عَمَلًا  --  Yang menciptakan kematian  dan kehidupan,  supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya,”  yaitu bahwa hukum hidup dan mati berlaku di seluruh alam. Tiap-tiap makhluk-hidup tunduk kepada kehancuran dan kematian.
      Kata “kematian” di sini seperti juga dalam ayat QS.2:29 dan QS.53:45, disebut sebelum kata “kehidupan.” Alasannya ialah, rupa-rupanya kematian atau tanpa-wujud itu merupakan keadaan sebelum ada kehidupan, atau mungkin karena “mati” itu lebih penting dan lebih besar artinya daripada “hidup,” karena kematian membukakan kepada manusia pintu gerbang kehidupan kekal dan kemajuan ruhani yang tidak berhingga di alam akhirat,  sedang kehidupan di dunia ini hanyalah suatu tempat persinggahan sementara dan merupakan suatu persiapan bagi kehidupan kekal lagi abadi di balik kubur.
     Itulah sebabnya selanjutnya dikatakan  لِیَبۡلُوَکُمۡ  اَیُّکُمۡ  اَحۡسَنُ عَمَلًا  -- “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya”, sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman kepada umat Islam, yang menggantikan kedudukan Bani Israil sebagai “khalifah” (pengganti) di muka bumi:

وَ ہُوَ الَّذِیۡ جَعَلَکُمۡ خَلٰٓئِفَ الۡاَرۡضِ وَ رَفَعَ بَعۡضَکُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ  اٰتٰکُمۡ ؕ اِنَّ رَبَّکَ سَرِیۡعُ  الۡعِقَابِ ۫ۖ وَ  اِنَّہٗ  لَغَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾٪
Dan Dia-lah Yang menjadikan kamu penerus-penerus (khalā-ifa) di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam derajat  supaya Dia menguji kamu dengan apa yang telah Dia berikan kepadamu. Sesungguhnya  Tuhan engkau sangat cepat dalam menghukum, dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang (Al-An’ām [6]:166).
 Ayat ini  sekaligus merupakan anjuran dan peringatan kepada kaum Muslimin. Mereka diberitahu bahwa kepada mereka akan dianugerahkan kekuatan serta kekuasaan, dan tugas mengatur urusan bangsa-bangsa akan diserahkan ke tangan mereka. Mereka  sebagai “umat terbaik” yang dijadikan untuk kepentingan seluruh  umat manusia (QS.2:144; QS.3:111) harus melaksanakan kewajiban mereka dengan tidak-berat-sebelah dan adil, sebab mereka harus mempertanggung-jawabkan tugas kewajiban mereka kepada Wujud Yang Menjadikan mereka – Al-Khāliq yaitu Allah Swt..

Makna  Allah Swt. Bersemayam di Atas  ‘Arasy 
  
  Kata thibāq   dalam ayat الَّذِیۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا – “Yang telah menciptakan tujuh tingkat langit dengan serasi”,  bersamaan arti dengan thabāq dan dengan jamaknya athbāq. Orang mengatakan sesuatu ini thabāq atau thibāq bagi  sesuatu itu, yakni sesuatu ini berpasangan dengan itu atau sejenis itu dalam ukuran atau mutunya, dan sebagainya. Thibāq berarti juga tingkat (Lexicon Lane).
  Sungguh menakjubkan ciptaan Allah Swt. itu. Tatasurya yang di didalamnya bumi kita hanya merupakan anggota kecil itu sangat luas, bermacam-macam dan teratur susunannya, namun demikian tatasurya itu hanyalah merupakan salah satu dari ratusan juta tatasurya yang beberapa di antaranya jauh lebih besar lagi daripada tatasurya kita ini.
    Jutaan matahari dan bintang itu begitu rupa diatur dan disebar dalam hubungan satu sama lain, sehingga di mana-mana menimbulkan keserasian dan keindahan. Tertib yang menutupi dan meliputi seluruh tatanan alam itu, jelas nampak kepada mata tanpa bantuan alat apa pun dan tersebar jauh melewati jangkauan pandangan yang dibantu oleh segala macam alat dan perkakas yang dunia ilmu dan teknik telah mampu menciptakannya. Benarlah firman-Nya:
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا ثُمَّ  اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh langit dengan tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya,  kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia  telah menundukkan bagi kamu matahari dan bulan, masing-masing beredar menurut arah perjalanannya  hingga suatu masa yang telah ditetapkan.  Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berke-yakinan teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Ar-Rā’d [13]:3).
     Kata-kata بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا  -- “dengan tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya” itu berarti:  (1) Kamu  melihat bahwa seluruh langit berdiri tanpa tiang-tiang; (2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai pendukung (penopang), tetapi kamu tidak dapat melihatnya.
       Secara harfiah ayat itu berarti  bahwa seluruh langit berdiri tanpa ditunjang oleh tiang-tiang. Secara kiasan ayat itu berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak nampak kepada mata manusia, umpamanya daya tarik atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah menemukannya hingga saat ini atau yang mungkin akan ditemukan lagi di hari depan.
       Kata ‘Arsy (singgasana) dalam ayat ثُمَّ  اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ -- “kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy telah dipakai dalam Al-Quran untuk menyatakan proses membawa hukum-hukum ruhani atau jasmani kepada kesempurnaannya. Penggunaan ungkapan itu selaras dengan kebiasaan raja-raja dunia, mereka itu menyatakan proklamasi-proklamasi penting “dari singgasana”.
      Sebagaimana halnya kesempurnaan tatanan alam semesta jasmani, demikian pula  alam semesta ruhani  berupa Al-Quran pun tatanannya sangat sempurna pula, firman-Nya:
اَفَلَا یَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَ ؕ وَ لَوۡ  کَانَ مِنۡ عِنۡدِ غَیۡرِ اللّٰہِ لَوَجَدُوۡا فِیۡہِ اخۡتِلَافًا کَثِیۡرًا ﴿﴾
Maka  tidakkah mereka ingin merenungkan Al-Quran? Dan seandainya  Al-Quran ini  berasal dari sisi yang bukan-Allah, niscaya mereka akan mendapati banyak pertentangan  di dalamnya. (An-Nisa [4]:83).
      “Pertentangan” dapat mengacu kepada pertentangan-pertentangan dalam teks Al-Quran dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya; atau kepada ketidakadaan persesuaian antara nubuatan-nubuatan yang tersebut dalam Al-Quran dengan hasil atau penggenapan nubuatan-nubuatan itu.

Makna Kata Sabbaha

     Dikarenakan Sang Maha Pencipta tatanan alam semesta maupun Sumber Al-Quran adalah sama, yaitu Allah Swt.,  oleh karena itu  kedua  tatanan alam semesta jasmani dan ruhani  tersebut sama-sama sempurna,  sebab tidak mungkin  firman Allah Swt.  – dalam hal ini Al-Quran --  akan bertentangan dengan perbuatan-Nya  yaitu tatanan alam semesta, firman-Nya:
لَوۡ  کَانَ فِیۡہِمَاۤ  اٰلِہَۃٌ  اِلَّا اللّٰہُ  لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبۡحٰنَ اللّٰہِ  رَبِّ الۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿﴾  لَا  یُسۡـَٔلُ  عَمَّا  یَفۡعَلُ  وَ  ہُمۡ  یُسۡـَٔلُوۡنَ ﴿﴾
Seandainya di dalam keduanya yakni langit dan bumi   ada tuhan-tuhan selain Allah pasti binasalah kedua-duanya, maka Maha Suci Allah  Tuhan ‘Arasy itu, jauh di atas segala yang mereka sifatkan. Dia tidak akan ditanya mengenai apa yang Dia kerjakan,  sedangkan mereka  akan ditanya. (Al-Anbiya [21]:23-24).
       Ayat ini merupakan dalil yang jitu dan pasti untuk menolak kemusyrikan. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan ( penganut atheisme) pun tidak dapat menolak kenyataan mengenai  suatu tertib yang sempurna melingkupi dan meliputi seluruh alam raya.  Dan tertib ini menunjukkan bahwa ada hukum yang seragam mengaturnya, dan keseragaman hukum-hukum tersebut membuktikan ke-Esa-an Pencipta dan Pengatur alam raya atau   Rabb al-‘ālamīn – QS.1:2).
      Mengapa demikian? Sebab seandainya ada Tuhan lebih dari satu tentu lebih dari satu hukum akan mengatur alam — sebab adalah perlu bagi suatu Wujud Tuhan untuk menciptakan alam-semesta dengan peraturan-peraturannya yang khusus — dan dengan demikian sebagai akibatnya kekalutan dan kekacauan niscaya akan terjadi yang tidak dapat dielakkan, serta seluruh alam akan menjadi hancur berantakan.
        Karena itu sungguh janggal  paham “Trinitas” yang mengatakan bahwa tiga tuhan yang sama-sama sempurna dalam segala segi, bersama-sama merupakan pencipta dan pengawas bagi alam raya. Ayat selanjutnya   لَا  یُسۡـَٔلُ  عَمَّا  یَفۡعَلُ  وَ  ہُمۡ  یُسۡـَٔلُوۡنَ   --  “Dia tidak akan ditanya mengenai apa yang Dia kerjakan,  sedangkan mereka  akan ditanya” ini menunjuk kepada sempurnanya dan lengkapnya tata-tertib alam raya, sebab hal itu mengisyaratkan kepada kesempurnaan Pencipta dan Pengaturnya, dan mengisyaratkan pula kepada ke-Esa-an-Nya.
        Jadi ayat ini berarti bahwa kekuasaan Allah Swt. mengatasi segala sesuatu, sedang semua wujud dan barang lainnya tunduk kepada kekuasaan-Nya. Hal ini merupakan dalil lain yang menentang kemusyrikan. Itulah sebabnya Allah Swt. dalam berbagai Surah Al-Quran menyatakan bahwa apa pun yang ada di seluruh langit  dan bumi “bertasbih” – yakni menyanjungkan kesucian Allah Swt. dengan  puji-pujian-Nya yang hak – firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ سَبَّحَ  لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  لَہٗ  مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ۚ وَ ہُوَ  عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾  ہُوَ الۡاَوَّلُ وَ الۡاٰخِرُ وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ ۚ  وَ ہُوَ   بِکُلِّ  شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Menyanjung kesucian  Allah apa pun yang ada di seluruh langit dan bumi, dan Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  Kepunyaan-Nya kerajaan seluruh langit dan bumi, Dia menghidupkan dan  Dia mematikan,  dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.   Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir  serta Yang Nyata dan Yang Tersembunyi,  dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.   (Al-Hadīd [57]:1-4).
  Sehubungan kata Sabbaha dalam ayat 2,  kalimat       Sabbaha fī hawā’ijihi artinya:  ia menyibukkan diri dalam mencari nafkah, atau sibuk dalam urusannya. Sabh berarti: mengerjakan pekerjaan, atau mengerjakannya dengan usaha sekeras-kerasnya serta secepat-cepatnya, dan ungkapan subhānallāh me-nyatakan kecepatan pergi berlindung kepada Allah dan kesigapan melayani dan menaati perintah-Nya.
    Mengingat akan arti dasar kata ini, masdar isim (kata benda infinitif) tasbih dari sabbaha,  artinya  menyatakan bahwa Allah Swt.  itu  jauh dari segala kekurangan atau aib, atau cepat-cepat memohon bantuan ke hadirat Allah Swt. dan sigap dalam menaati Dia sambil mengatakan Subhānallāh (Lexicon Lane).   Itulah makna kalimat      bertasbih dalam ayat  سَبَّحَ  لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ  --  “apa pun yang ada di seluruh langit dan bumi.”
    Oleh karena itu menurut ayat 2 tersebut berarti bahwa segala sesuatu di alam semesta sedang melakukan tugasnya masing-masing dengan cermat dan teratur  -- dan dengan memanfaatkan kemampuan-kemampuan serta kekuatan-kekuatan yang dilimpahkan Allah Swt. kepadanya guna memenuhi tujuan ia diciptakan -- dengan cara yang sangat ajaib,  sehingga kita  mau tidak mau  harus mengambil kesimpulan bahwa Sang Perencana dan Arsitek alam semesta ini, yakni Allah Swt, sungguh Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, dan bahwa seluruh alam semesta secara keseluruhan dan tiap-tiap makhluk secara individu serta dalam batas kemampuannya masing-masing, memberi kesaksian mengenai kebenaran yang tidak dapat dipungkiri, bahwa  tatanan alam semesta karya Allah Swt.  itu mutlak bebas dari setiap kekurangan, aib atau ketidaksempurnaan dalam segala seginya yang beraneka ragam dan banyak itu. Inilah maksud kata tasbih.
 Ayat 4 mengemukakan Sifat-sifat Tanzihiyyah   --  yakni Sifat-sifat yang khusus dimiliki Allah Swt. – yakni:  ہُوَ الۡاَوَّلُ وَ الۡاٰخِرُ وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ ۚ  وَ ہُوَ   بِکُلِّ  شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ      -- “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir  serta Yang Nyata dan Yang Tersembunyi,  dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” menjelaskan bahwa  Allah Swt. adalah Sebab Awal segala perkara dan  Dia pun adalah Sebab Awal dan Akhir. Demikian pula  Dia nampak dengan nyata dalam karya-Nya, atau Dia nampak lebih jelas daripada apa pun lainnya.

 Seperti  “Lantai Kaca Bening” Istana Khusus Nabi Sulaiman a.s.  

   Mengisyaratkan kepada  ayat  وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ   --  yakni walau pun Allah Swt. itu Yang Maha Nyata  namun juga Maha tersembunyi, sebagaimana halnya keberadaan  air yang mengalir di bawah lantai kaca bening istana khusus yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s., firman-Nya: 
قِیۡلَ  لَہَا ادۡخُلِی الصَّرۡحَ ۚ فَلَمَّا رَاَتۡہُ حَسِبَتۡہُ  لُجَّۃً  وَّ کَشَفَتۡ عَنۡ سَاقَیۡہَا ؕ قَالَ  اِنَّہٗ  صَرۡحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنۡ قَوَارِیۡرَ ۬ؕ قَالَتۡ رَبِّ  اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dikatakan kepada dia: “Masuklah ke istana.” Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.  Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang berlantaikan  ubin dari kaca.” Ia, ratu, berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah  Tuhan seluruh alam.” (An-Naml [27]:45).
     Dengan demikian  jelaslah,  bahwa   tatanan alam semesta jasmani  -- yang merupakan  kerajaan” Allah Swt. -- yang demikian mengagumkan serta sempurna tersebut serta senantiasa bertasbih kepada Allah Swt.,   pada hakikatnya merupakan benda-benda mati belaka  seperti “lantai kaca bening” istana  yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s.,  dan hanya orang-orang berakal (ulil albāb) seperti Ratu Saba sajalah yang akan mampu “melihat”  keberadaan Allah Swt. --  Sang Maha Pencipta yang berada “di balik/di belakangtatanan alam semesta ciptaan-Nya,  Yang bersemayam  di atas ‘Arasy (Singgasana-Nya) -- tersebut melalui berbagai  Tanda-tanda yang berada di dalamnya.

Kesadaran    Ratu Saba & “Orang-orang yang Berakal” (Ulil- Albāb)

     Sehubungan hal tersebut Allah Swt. berfirman mengenai  orang-orang berakal (ulil albāb) seperti Ratu Saba tersebut:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ  قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta   pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu  orang-orang yang  mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka, dan mereka memikirkan mengenai penciptaan seluruh langit dan bumi  seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini  sia-sia,  Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali ‘Imran [3]:191-193).
       Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh  langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang ialah: manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani yang tak terhingga. Bila ia berbuat amal saleh maka masa kegelapannya dan masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagiaan.
      Orang-orang yang  mempergunakan akal” (ulil albāb) tersebut terus merenung bahwa tatanan agung yang dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam ini telah dijadikan untuk menghidmati manusia, tentu saja kejadian manusia sendiri mempunyai tujuan yang agung dan mulia pula, yakni untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57), karena  manusia secara umum dibandingkan dengan seluruh makhluk lainnya --  adalah merupakan khalifah Allah di muka bumi (QS.17:71).
        Apabila orang merenungkan tentang kandungan arti keruhanian yang diserap dari gejala-gejala fisik di dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta terlontar dari dasar lubuk hatinya seruan: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ   -- “Ya  Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini sia-sia, maka peliharalah kami dari azab Api.
     Ucapan yang muncul dari lubuk hati  orang-orang berakal (ulil albāb) tersebut mirip dengan kesadaran Ratu Saba mengenai kesesatan kemusyrikan yang dilakukannya selama itu:   قَالَتۡ رَبِّ  اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ    --Ia (Ratu Saba)  berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah  Tuhan seluruh alam.” (An-Naml [27]:45).
      Namun demikian, berbeda dengan kesadaran dan kesaksian yang diucapkan oleh orang-orang berakal (ulil albāb) yang benar-benar karena  mereka memiliki bashirah (penglihatan ruhani) yang baik, maka kesadaran Ratu Saba dari kesesatannya kemusyrikan yang dilakukan bersama kaumnya tidak lepas dari peran Nabi Sulaiman a.s. melalui “singgasana” yang lebih indah dan “istana khusus” yang beliau buat.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  5 Oktober    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar