ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 44
Makna “Bertasbih” kepada Allah Swt. Seluruh
Tatanan Alam Sementa dan Hubungannya dengan
“Istana” Khusus Nabi Sulaiman a.s.
“Berlantai Kaca Bening”
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai tak terhingganya berbagai khazanah
yang dikandung dalam setiap benda di
tatanan alam semesta jasmani ini,
firman-Nya:
قُلۡ لَّوۡ
کَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّکَلِمٰتِ رَبِّیۡ لَنَفِدَ
الۡبَحۡرُ قَبۡلَ اَنۡ تَنۡفَدَ کَلِمٰتُ رَبِّیۡ وَ
لَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِہٖ مَدَدًا ﴿﴾
Katakanlah: "Seandainya lautan menjadi tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Tuhan-ku,
niscaya lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Tuhan-ku habis dituliskan,
sekalipun Kami datangkan sebanyak itu
lagi sebagai tambahannya. (Al-Kahf
[18]:110).
Firman-Nya lagi:
وَ لَوۡ اَنَّ مَا فِی الۡاَرۡضِ مِنۡ شَجَرَۃٍ اَقۡلَامٌ
وَّ الۡبَحۡرُ یَمُدُّہٗ
مِنۡۢ بَعۡدِہٖ سَبۡعَۃُ
اَبۡحُرٍ مَّا نَفِدَتۡ کَلِمٰتُ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Dan seandainya
pohon-pohon di bumi ini menjadi pena
dan laut ditambahkan
kepadanya sesudahnya tujuh laut menjadi tinta,
kalimat
Allah sekali-kali tidak akan habis. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
(Luqman
[31]:28)
Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa bilangan 7 dan 70 digunakan dalam bahasa Arab adalah menyatakan jumlah besar, dan bukan benar-benar
“tujuh” dan “tujuh puluh” sebagai angka-angka bilangan lazim, dan sesuai dengan
hal tersebut Allah Swt. berfirman:
وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ ۫ وَ مَا
نُنَزِّلُہٗۤ اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعۡلُوۡمٍ ﴿﴾
Dan tidak
ada suatu pun benda melainkan pada
Kami ada khazanah-khazanahnya yang tidak terbatas, dan Kami
sama sekali tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran yang tertentu.
(Al-Hijr [15]:22).
Allah Swt. memiliki persediaan (khazanah) segala sesuatu dalam jumlah yang tidak
terbatas. Akan tetapi sesuai dengan rahmat-Nya
yang tidak berhingga, Dia mengarahkan pikiran
atau otak manusia kepada satu benda
yang tertentu, hanya bilamana timbul suatu
keperluan yang sesungguhnya akan benda
itu.
Apabila khazanah
berbagai pengetahuan serta fungsi
yang telah ditetapkan (ditakdirkan) Allah Swt. berkenaan berbagai
hal dalam tatanan alam semesta jasmani ini
-- yang merupakan makhluk -- demikian tidak terhingganya maka
terlebih lagi khazanah
Sifat-sifat sempurna Allah Swt., Al-Khāliq
(Yang Maha Pencipta).
Itukah sebabnya dalam kisah monumental “Adam – Malaikat – Iblis” hanya kepada “Khalifah Allah” yakni Rasul Allah sajalah Allah Swt.
mengajarkan atau membukakan khazanah
rahasia Sifat-sifat-Nya (al-Asmā-ul husna - QS.72:27-29)
sesuai keperluan zamannya, yang jauh
melebihi pengetahuan para malaikat
(QS.2:31-35).
Kesempurnaan Tatanan “Kerajaan” Alam Semesta Jasmani
Berikut adalah firman Allah Swt. mengenai kesempurnaan
tatanan alam semesta jasmani:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ تَبٰرَکَ الَّذِیۡ بِیَدِہِ
الۡمُلۡکُ ۫ وَ ہُوَ عَلٰی کُلِّ
شَیۡءٍ قَدِیۡرُۨ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَ
الۡحَیٰوۃَ لِیَبۡلُوَکُمۡ اَیُّکُمۡ اَحۡسَنُ عَمَلًا ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡغَفُوۡرُ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ خَلَقَ
سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا ؕ مَا تَرٰی فِیۡ خَلۡقِ الرَّحۡمٰنِ
مِنۡ تَفٰوُتٍ ؕ فَارۡجِعِ الۡبَصَرَ ۙ ہَلۡ تَرٰی مِنۡ فُطُوۡرٍ ﴿﴾ ثُمَّ ارۡجِعِ
الۡبَصَرَ کَرَّتَیۡنِ یَنۡقَلِبۡ
اِلَیۡکَ الۡبَصَرُ خَاسِئًا وَّ ہُوَ
حَسِیۡرٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Maha
Berbarkat Dia Yang di Tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menciptakan kematian dan kehidupan,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
terbaik amalnya, dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun, Yang telah menciptakan tujuh tingkat langit dengan serasi. Engkau tidak akan melihat ketidakselarasan di dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah, maka lihatlah
ber-ulang-ulang, apakah engkau
melihat sesuatu cacat? Kemudian pandanglah
untuk kedua kali, penglihatan engkau akan kembali kepada
engkau dengan tunduk dan ia letih, (Al-Mulk [67]:1-5).
Dalam ayat 2 Allah Swt. telah
menyatakan bahwa tatanan alam
semesta jasmani ini – dengan
berbagai hal yang berlaku di dalamnya –
merupakan tatanan “kerajaan” Allah
Swt., dan ayat 4-5 menerangkan
kesempurnaan tatanan “kerajaan” Allah Swt. tersebut.
Ada pun makna ayat 3 ۙ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَ
الۡحَیٰوۃَ لِیَبۡلُوَکُمۡ اَیُّکُمۡ اَحۡسَنُ عَمَلًا
-- “Yang menciptakan kematian dan kehidupan,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
terbaik amalnya,” yaitu bahwa hukum hidup dan mati berlaku di seluruh alam. Tiap-tiap makhluk-hidup tunduk kepada kehancuran
dan kematian.
Kata “kematian”
di sini seperti juga dalam ayat QS.2:29 dan QS.53:45, disebut sebelum kata “kehidupan.” Alasannya ialah,
rupa-rupanya kematian atau tanpa-wujud itu merupakan keadaan
sebelum ada kehidupan, atau mungkin
karena “mati” itu lebih penting dan
lebih besar artinya daripada “hidup,”
karena kematian membukakan kepada manusia pintu gerbang kehidupan kekal dan kemajuan
ruhani yang tidak berhingga di alam
akhirat, sedang kehidupan di dunia ini hanyalah suatu tempat persinggahan sementara dan merupakan suatu persiapan bagi kehidupan
kekal lagi abadi di balik kubur.
Itulah sebabnya selanjutnya dikatakan لِیَبۡلُوَکُمۡ اَیُّکُمۡ
اَحۡسَنُ عَمَلًا -- “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya”,
sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman kepada umat Islam, yang menggantikan kedudukan Bani Israil sebagai “khalifah”
(pengganti) di muka bumi:
وَ ہُوَ الَّذِیۡ جَعَلَکُمۡ خَلٰٓئِفَ الۡاَرۡضِ وَ رَفَعَ بَعۡضَکُمۡ
فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰکُمۡ ؕ اِنَّ رَبَّکَ سَرِیۡعُ الۡعِقَابِ ۫ۖ وَ اِنَّہٗ
لَغَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾٪
Dan Dia-lah Yang menjadikan kamu
penerus-penerus (khalā-ifa) di bumi,
dan Dia meninggikan sebagian kamu
dari sebagian yang lain dalam derajat supaya Dia menguji kamu dengan apa yang telah Dia berikan kepadamu. Sesungguhnya Tuhan
engkau sangat cepat dalam menghukum, dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang (Al-An’ām [6]:166).
Ayat ini
sekaligus merupakan anjuran dan peringatan
kepada kaum Muslimin. Mereka
diberitahu bahwa kepada mereka akan dianugerahkan kekuatan serta kekuasaan,
dan tugas mengatur urusan bangsa-bangsa
akan diserahkan ke tangan mereka. Mereka sebagai “umat
terbaik” yang dijadikan untuk kepentingan
seluruh umat manusia (QS.2:144;
QS.3:111) harus melaksanakan kewajiban
mereka dengan tidak-berat-sebelah dan
adil, sebab mereka harus mempertanggung-jawabkan tugas kewajiban
mereka kepada Wujud Yang Menjadikan
mereka – Al-Khāliq yaitu Allah Swt..
Makna Allah Swt. Bersemayam di Atas ‘Arasy
Kata thibāq dalam ayat الَّذِیۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا – “Yang telah menciptakan tujuh tingkat langit dengan serasi”, bersamaan arti dengan thabāq dan dengan
jamaknya athbāq. Orang mengatakan sesuatu ini thabāq atau thibāq
bagi sesuatu itu, yakni sesuatu ini berpasangan dengan itu atau sejenis itu dalam ukuran atau mutunya, dan
sebagainya. Thibāq berarti juga tingkat (Lexicon Lane).
Sungguh
menakjubkan ciptaan Allah Swt. itu. Tatasurya
yang di didalamnya bumi kita hanya merupakan anggota kecil itu sangat luas,
bermacam-macam dan teratur susunannya,
namun demikian tatasurya itu hanyalah
merupakan salah satu dari ratusan juta tatasurya
yang beberapa di antaranya jauh lebih besar lagi daripada tatasurya kita ini.
Jutaan matahari
dan bintang itu begitu rupa diatur dan disebar dalam hubungan satu sama lain, sehingga di mana-mana
menimbulkan keserasian dan keindahan. Tertib yang menutupi dan
meliputi seluruh tatanan alam itu, jelas nampak kepada mata tanpa
bantuan alat apa pun dan tersebar jauh melewati jangkauan pandangan yang
dibantu oleh segala macam alat dan perkakas yang dunia ilmu dan teknik telah
mampu menciptakannya. Benarlah firman-Nya:
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا
ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ
سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ
الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh
langit dengan tanpa suatu tiang pun
yang kamu melihatnya, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia telah menundukkan bagi kamu
matahari dan bulan,
masing-masing beredar menurut
arah perjalanannya hingga suatu masa yang telah ditetapkan. Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berke-yakinan teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Ar-Rā’d [13]:3).
Kata-kata بِغَیۡرِ عَمَدٍ
تَرَوۡنَہَا -- “dengan tanpa suatu tiang pun
yang kamu melihatnya” itu berarti:
(1) Kamu melihat bahwa
seluruh langit berdiri tanpa tiang-tiang;
(2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu
mempunyai pendukung (penopang),
tetapi kamu tidak dapat melihatnya.
Secara harfiah ayat itu
berarti bahwa seluruh langit berdiri
tanpa ditunjang oleh tiang-tiang. Secara kiasan ayat itu
berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak nampak kepada mata manusia, umpamanya daya tarik atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan
khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah menemukannya hingga saat ini atau yang
mungkin akan ditemukan lagi di hari depan.
Kata ‘Arsy
(singgasana) dalam ayat ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ -- “kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy” telah dipakai dalam Al-Quran untuk menyatakan proses membawa hukum-hukum ruhani atau jasmani
kepada kesempurnaannya. Penggunaan ungkapan itu selaras dengan kebiasaan raja-raja dunia, mereka itu menyatakan proklamasi-proklamasi penting “dari
singgasana”.
Sebagaimana halnya kesempurnaan tatanan alam semesta jasmani, demikian pula alam
semesta ruhani berupa Al-Quran pun tatanannya sangat sempurna pula,
firman-Nya:
اَفَلَا یَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَ ؕ وَ لَوۡ کَانَ مِنۡ عِنۡدِ غَیۡرِ اللّٰہِ لَوَجَدُوۡا
فِیۡہِ اخۡتِلَافًا کَثِیۡرًا ﴿﴾
Maka tidakkah
mereka ingin merenungkan Al-Quran? Dan seandainya Al-Quran ini berasal dari sisi yang bukan-Allah, niscaya mereka akan mendapati banyak pertentangan
di dalamnya. (An-Nisa
[4]:83).
“Pertentangan” dapat
mengacu kepada pertentangan-pertentangan dalam teks Al-Quran dan ajaran-ajaran
yang terkandung di dalamnya; atau kepada ketidakadaan persesuaian antara
nubuatan-nubuatan yang tersebut dalam Al-Quran dengan hasil atau penggenapan
nubuatan-nubuatan itu.
Makna Kata Sabbaha
Dikarenakan Sang Maha Pencipta tatanan alam semesta maupun Sumber Al-Quran adalah sama, yaitu Allah Swt., oleh karena itu kedua
tatanan alam semesta jasmani
dan ruhani tersebut sama-sama sempurna, sebab tidak mungkin firman
Allah Swt. – dalam hal ini Al-Quran
-- akan bertentangan dengan perbuatan-Nya yaitu tatanan alam semesta, firman-Nya:
لَوۡ کَانَ فِیۡہِمَاۤ اٰلِہَۃٌ
اِلَّا اللّٰہُ لَفَسَدَتَا ۚ
فَسُبۡحٰنَ اللّٰہِ رَبِّ الۡعَرۡشِ
عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿﴾ لَا
یُسۡـَٔلُ عَمَّا یَفۡعَلُ
وَ ہُمۡ یُسۡـَٔلُوۡنَ ﴿﴾
Seandainya
di dalam keduanya yakni langit dan bumi ada tuhan-tuhan
selain Allah pasti binasalah kedua-duanya, maka
Maha Suci Allah Tuhan ‘Arasy
itu, jauh di atas segala yang mereka
sifatkan. Dia tidak akan ditanya mengenai
apa yang Dia kerjakan, sedangkan
mereka akan ditanya. (Al-Anbiya
[21]:23-24).
Ayat
ini merupakan dalil yang jitu dan pasti untuk menolak kemusyrikan. Bahkan mereka yang tidak
percaya kepada Tuhan ( penganut atheisme) pun tidak dapat menolak kenyataan
mengenai suatu tertib yang sempurna melingkupi dan meliputi seluruh alam raya. Dan tertib
ini menunjukkan bahwa ada hukum yang
seragam mengaturnya, dan keseragaman
hukum-hukum tersebut membuktikan ke-Esa-an
Pencipta dan Pengatur alam raya atau Rabb al-‘ālamīn – QS.1:2).
Mengapa demikian? Sebab seandainya
ada Tuhan lebih dari satu tentu lebih
dari satu hukum akan mengatur alam —
sebab adalah perlu bagi suatu Wujud Tuhan
untuk menciptakan alam-semesta dengan
peraturan-peraturannya yang khusus —
dan dengan demikian sebagai akibatnya kekalutan
dan kekacauan niscaya akan terjadi
yang tidak dapat dielakkan, serta seluruh
alam akan menjadi hancur berantakan.
Karena itu sungguh janggal paham “Trinitas”
yang mengatakan bahwa tiga tuhan yang
sama-sama sempurna dalam segala segi, bersama-sama
merupakan pencipta dan pengawas bagi alam raya. Ayat
selanjutnya لَا
یُسۡـَٔلُ عَمَّا یَفۡعَلُ
وَ ہُمۡ یُسۡـَٔلُوۡنَ
-- “Dia tidak akan ditanya mengenai apa yang Dia kerjakan,
sedangkan mereka
akan ditanya” ini menunjuk kepada sempurnanya dan lengkapnya tata-tertib alam raya, sebab hal itu
mengisyaratkan kepada kesempurnaan Pencipta
dan Pengaturnya, dan mengisyaratkan
pula kepada ke-Esa-an-Nya.
Jadi ayat ini berarti bahwa kekuasaan Allah Swt. mengatasi segala
sesuatu, sedang semua wujud dan barang lainnya tunduk kepada kekuasaan-Nya. Hal ini merupakan dalil
lain yang menentang kemusyrikan.
Itulah sebabnya Allah Swt. dalam berbagai Surah Al-Quran menyatakan bahwa apa pun yang ada di seluruh langit dan bumi “bertasbih” – yakni menyanjungkan
kesucian Allah Swt. dengan puji-pujian-Nya yang hak – firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
سَبَّحَ لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ۚ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ لَہٗ
مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ۚ وَ ہُوَ عَلٰی کُلِّ
شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾ ہُوَ الۡاَوَّلُ وَ
الۡاٰخِرُ وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ ۚ
وَ ہُوَ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Menyanjung
kesucian Allah apa pun
yang ada di seluruh langit dan bumi, dan Dia
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nya
kerajaan seluruh langit dan bumi,
Dia menghidupkan dan Dia
mematikan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Dia-lah
Yang Awal dan Yang Akhir serta Yang
Nyata dan Yang
Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Hadīd [57]:1-4).
Sehubungan kata Sabbaha dalam ayat 2, kalimat Sabbaha
fī hawā’ijihi artinya: ia
menyibukkan diri dalam mencari nafkah, atau sibuk dalam urusannya. Sabh berarti:
mengerjakan pekerjaan, atau mengerjakannya dengan usaha sekeras-kerasnya serta
secepat-cepatnya, dan ungkapan subhānallāh me-nyatakan kecepatan pergi
berlindung kepada Allah dan kesigapan melayani dan menaati perintah-Nya.
Mengingat akan arti dasar kata
ini, masdar isim (kata benda infinitif) tasbih dari sabbaha, artinya
menyatakan bahwa Allah Swt. itu
jauh dari segala kekurangan
atau aib, atau cepat-cepat memohon bantuan ke hadirat Allah Swt. dan
sigap dalam menaati Dia sambil mengatakan Subhānallāh (Lexicon Lane). Itulah makna kalimat “bertasbih”
dalam ayat سَبَّحَ
لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ
-- “apa pun yang ada di seluruh
langit dan bumi.”
Oleh karena itu menurut ayat 2
tersebut berarti bahwa segala sesuatu
di alam semesta sedang melakukan tugasnya masing-masing dengan cermat dan teratur -- dan dengan
memanfaatkan kemampuan-kemampuan
serta kekuatan-kekuatan yang
dilimpahkan Allah Swt. kepadanya guna memenuhi tujuan ia diciptakan -- dengan cara
yang sangat ajaib, sehingga kita mau tidak mau
harus mengambil kesimpulan bahwa Sang
Perencana dan Arsitek alam
semesta ini, yakni Allah Swt, sungguh Maha
Kuasa dan Maha Bijaksana, dan
bahwa seluruh alam semesta secara
keseluruhan dan tiap-tiap makhluk
secara individu serta dalam batas
kemampuannya masing-masing, memberi kesaksian
mengenai kebenaran yang tidak dapat
dipungkiri, bahwa tatanan alam semesta karya Allah Swt. itu mutlak bebas
dari setiap kekurangan, aib atau ketidaksempurnaan dalam segala seginya yang beraneka ragam dan
banyak itu. Inilah maksud kata tasbih.
Ayat 4 mengemukakan
Sifat-sifat Tanzihiyyah -- yakni Sifat-sifat
yang khusus dimiliki Allah Swt. – yakni:
ہُوَ الۡاَوَّلُ وَ الۡاٰخِرُ وَ الظَّاہِرُ وَ الۡبَاطِنُ ۚ وَ ہُوَ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ -- “Dia-lah Yang Awal dan
Yang Akhir serta Yang
Nyata dan Yang
Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”
menjelaskan bahwa Allah Swt. adalah Sebab Awal segala perkara dan Dia pun adalah Sebab Awal dan Akhir.
Demikian pula Dia nampak dengan nyata dalam karya-Nya,
atau Dia nampak lebih jelas daripada
apa pun lainnya.
Seperti “Lantai Kaca Bening” Istana Khusus Nabi Sulaiman a.s.
Mengisyaratkan kepada
ayat وَ الظَّاہِرُ وَ
الۡبَاطِنُ -- yakni walau pun Allah Swt. itu Yang Maha Nyata namun juga Maha
tersembunyi, sebagaimana halnya keberadaan
air yang mengalir di bawah lantai kaca bening istana khusus yang
dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s., firman-Nya:
قِیۡلَ لَہَا ادۡخُلِی الصَّرۡحَ ۚ
فَلَمَّا رَاَتۡہُ حَسِبَتۡہُ
لُجَّۃً وَّ کَشَفَتۡ عَنۡ
سَاقَیۡہَا ؕ قَالَ اِنَّہٗ صَرۡحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنۡ قَوَارِیۡرَ ۬ؕ
قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ
وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dikatakan
kepada dia: “Masuklah ke istana.”
Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.
Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang
berlantaikan ubin dari kaca.” Ia, ratu,
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri dan aku tunduk bersama
Sulaiman kepada Allah Tuhan seluruh alam.” (An-Naml
[27]:45).
Dengan demikian jelaslah,
bahwa tatanan alam semesta jasmani -- yang merupakan “kerajaan”
Allah Swt. -- yang demikian mengagumkan
serta sempurna tersebut serta
senantiasa bertasbih kepada Allah Swt.,
pada hakikatnya merupakan benda-benda mati belaka seperti “lantai kaca bening” istana
yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s.,
dan hanya orang-orang berakal (ulil
albāb) seperti Ratu Saba sajalah yang
akan mampu “melihat” keberadaan Allah Swt. -- Sang Maha
Pencipta yang berada “di balik/di belakang” tatanan alam semesta ciptaan-Nya, Yang bersemayam di atas ‘Arasy
(Singgasana-Nya) -- tersebut melalui berbagai
Tanda-tanda yang berada di
dalamnya.
Kesadaran Ratu
Saba & “Orang-orang yang Berakal”
(Ulil- Albāb)
Sehubungan hal tersebut Allah Swt.
berfirman mengenai orang-orang berakal (ulil albāb) seperti Ratu Saba tersebut:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ
النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی
الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ
وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ
ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّکَ
مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ
اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta pertukaran
malam dan siang benar-benar terdapat
Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka,
dan mereka memikirkan mengenai
penciptaan seluruh langit dan bumi
seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia, Maha
Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali
‘Imran [3]:191-193).
Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh langit
dan bumi dan dalam pergantian malam
dan siang ialah: manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani yang
tak terhingga. Bila ia berbuat amal saleh
maka masa kegelapannya dan masa
kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa
terang benderang dan kebahagiaan.
Orang-orang yang “mempergunakan akal” (ulil albāb) tersebut
terus merenung bahwa tatanan agung yang
dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam
ini telah dijadikan untuk menghidmati
manusia, tentu saja kejadian manusia
sendiri mempunyai tujuan yang agung
dan mulia pula, yakni untuk beribadah
kepada Allah Swt. (QS.51:57), karena
manusia secara umum dibandingkan dengan seluruh makhluk lainnya -- adalah
merupakan khalifah Allah di muka bumi
(QS.17:71).
Apabila orang merenungkan tentang
kandungan arti keruhanian yang
diserap dari gejala-gejala fisik di
dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan
sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh
kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan
serta-merta terlontar dari dasar lubuk
hatinya seruan: رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ -- “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia, maka peliharalah kami dari azab Api.”
Ucapan
yang muncul dari lubuk hati orang-orang berakal (ulil albāb) tersebut mirip dengan kesadaran Ratu Saba mengenai kesesatan
kemusyrikan yang dilakukannya selama itu: قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ
سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- “Ia (Ratu Saba) berkata: “Ya Tuhan-ku,
sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri dan aku tunduk bersama
Sulaiman kepada Allah Tuhan seluruh alam.” (An-Naml
[27]:45).
Namun demikian, berbeda dengan kesadaran dan kesaksian yang diucapkan oleh orang-orang
berakal (ulil albāb) yang benar-benar karena mereka memiliki bashirah (penglihatan
ruhani) yang baik, maka kesadaran
Ratu Saba dari kesesatannya kemusyrikan
yang dilakukan bersama kaumnya tidak lepas dari peran Nabi Sulaiman a.s. melalui “singgasana” yang lebih indah dan “istana khusus” yang beliau buat.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 5 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar