Minggu, 20 Oktober 2013

Kesejajaran Tatanan "Alam Semesta Jasmani" dan Tatanan "Tubuh Jasmani Manusia" Menolak Kemusyrikan




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 51

     Kesejajaran Tatanan Alam Semesta Jasmani dan Tatanan Tubuh Jasmani Manusia Menolak Kemusyrikan  

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam   akhir  Bab  53 sebelum ini telah dikemukakan  mengenai kesinambungan pengutusan  para rasul di kalangan para malaikat  dan juga dari kalangan manusia untuk kepentingan umat manusia, firman-Nya:
اَللّٰہُ یَصۡطَفِیۡ مِنَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ  رُسُلًا وَّ مِنَ النَّاسِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ سَمِیۡعٌۢ  بَصِیۡرٌ ﴿ۚ﴾    
Allah memilih rasul-rasul dari antara malaikat-malaikat dan dari antara manusia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (Al-Hajj [22]:76).
      Firman Allah Swt. itu pun, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS.7:35-37 mengenai kesinambungan pengutusan para Rasul Allah dari kalngan Bani Adam, hal tersebut menolak  faham keliru lā nabiyya ba’dahū – “tidak ada lagi nabi sesudahnya” (sesudah Nabi Besar Muhammad saw.).
     Kenapa demikian? Sebab  kalimat  یَصۡطَفِی   adalah bentuk fi’il mudhari   yakni  bentuk pekerjaan “telah, sedang, dan akan”, artinya adalah “senantiasa memilih”,  yakni Allah Swt. senantiasa memilih para rasul-Nya dari kalangan para malaikat maupun dari kalangan manusia.
  Ada pun mengenai kepatuh-taatan para malaikat  dalam melaksanakan kewajiban atau tugas yang telah ditetapkan Allah Swt. kepada mereka, Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا قُوۡۤا  اَنۡفُسَکُمۡ  وَ اَہۡلِیۡکُمۡ  نَارًا وَّ قُوۡدُہَا  النَّاسُ وَ الۡحِجَارَۃُ  عَلَیۡہَا مَلٰٓئِکَۃٌ  غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا یَعۡصُوۡنَ اللّٰہَ مَاۤ  اَمَرَہُمۡ وَ یَفۡعَلُوۡنَ مَا  یُؤۡمَرُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari Api, yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrīm [66]:7).

Macro Cosmos dan Micro Cosmos

       Dengan demikian jelaslah bahwa para malaikat itu pada hakikatnya  merupakan “ruh” bagi tatanan alam semesta,  yang menyebabkan  segala sesuatu dalam  tatanan alam semesta ini  melaksanakan fungsinya sebagaimana telah ditetapkan Allah Swt. tujuan diciptakannya,  sesuai dengan Kehendak-Nya. Sebagaimana halnya  hubungan antara  ruh” manusia dengan tubuh jasmaninya.
     Atau dengan kata lain,  bahwa para malaikat itu adalah para pelaksanaan Kehendak Allah Swt., apa pun yang dikehendaki atau yang diperintahkan Allah Swt.  mengenai sesuatu hal  maka sesuai dengan itu pulalah para malaikat melaksanakannya.
      Dengan demikian hubungan para malaikat dengan berfungsinya tatanan alam semesta jasmani tersebut memiliki kesejajaran dengan hubungan ruh manusia dengan berfungsinya seluruh bagian tubuh jasmaninya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tatanan alam semesta jasmani  itu merupakan macro cosmos sedangkan manusia itu merupakan micro cosmos.
     Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah, di dalam Al-Quran terdapat berbagai sumpah Allah Swt.  untuk mengemukakan suatu kebenaran  berkenaan dengan berbagai kemampuan sempurna yang telah ditanamkan Allah Swt. pada diri  setiap manusia  -- baik dari segi jasmani maupun dari segi akhlak dan ruhani – telah menjadikan beberapa benda di alam semesta jasmani ini sebagai “saksi” sumpahnya, firman-Nya: 
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا ۪ۙ﴿﴾   وَ الۡقَمَرِ  اِذَا  تَلٰىہَا ۪ۙ﴿﴾   وَ النَّہَارِ  اِذَا  جَلّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾   وَ الَّیۡلِ  اِذَا یَغۡشٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا طَحٰہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾  فَاَلۡہَمَہَا فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا ۪ۙ﴿﴾  قَدۡ  اَفۡلَحَ  مَنۡ  زَکّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ  قَدۡ خَابَ مَنۡ  دَسّٰىہَا ﴿ؕ﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Demi matahari dan sinarnya di pagi hari, dan demi bulan  apabila ia mengikutinya,   dan demi siang apabila ia menzahirkan kemegahannya,    dan demi malam  apabila ia menutupinya, dan demi langit dan pembinaannya, dan demi bumi dan penghamparannya, dan demi jiwa dan penyempur-naannya,  maka Dia mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya dan ketakwaannya.  Sungguh  beruntunglah orang yang mensucikannya, dan sungguh binasalah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams [91]:1-11).

Makna “Sumpah” Allah Swt. dalam Al-Quran

  Sumpah-sumpah Allah Swt. dalam Al-Quran mengandung makna yang mendalam. Hukum Allah menampakkan dua segi perbuatan-Nya,  yaitu yang nyata dan yang tersirat. Segi pertama (yang nyata) dapat diketahui dengan mudah, tetapi dalam memahami yang terakhir (yang tersirat) ada kemungkinan bisa keliru. Dalam sumpah-sumpah-Nya mengenai  hal-hal yang tersirat,  Allah Swt. menarik perhatian kita kepada apa yang dapat disimpulkan dan benda yang nyata.
   Dalam sumpah-sumpah tersebut pada ayat-ayat 2-7, matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi, termasuk “yang nyata” – karena khasiat-khasiat benda-benda tersebut pada ayat-ayat ini telah dimaklumi (diketahui) serta diakui secara umum. Namun khasiat-khasiat serupa yang terdapat pada ruh manusia “tidak nyata”. Untuk membawa kepada kesimpulan mengenal adanya khasiat-khasiat dalam ruh manusia  maka Allah Swt.   telah menyebut perbuatan-perbuatan-Nya yang nyata itu sebagai saksi.
  Huruf wau berarti:  juga; maka; sedangkan; sementara itu; pada waktu itu juga; bersama-sama; dengan; namun; tetapi. Huruf itu mempunyai arti yang sama dengan kata rubba, yaitu seringkali; kadang-kadang; barangkali. Huruf itu pun merupakan huruf persumpahan, yang berarti “demi” atau “aku bersumpah” atau “aku kemukakan sebagai saksi” (Aqrab-ul-Mawarid dan Lexicon Lane). Wau telah dipakai dalam ayat ini dan dalam dua ayat berikutnya dalam arti “demi,” atau “aku bersumpah,” atau “aku kemukakan sebagai saksi.”
  Dalam Al-Quran Allah Ta’ala telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda tertentu atau telah menyebut wujud-wujud dan benda-benda itu sebagai saksi. Biasanya, bila seseorang mengambil sumpah dan bersumpah dengan nama Allah maka tujuannya ialah mengisi kelemahan persaksian yang kurang cukup atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya.
  Dengan berbuat demikian ia memanggil Allah Swt. sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar bila tidak ada orang lain dapat memberikan persaksian atas kebenaran pernyataannya. Tetapi tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah Al-Quran. Bilamana Al-Quran mempergunakan bentuk demikian maka kebenaran pernyataan yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan belaka melainkan dengan dalil kuat yang terkandung dalam sumpah itu sendiri.
  Kadang-kadang sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan sendirinya menarik perhatian kepada apa yang dapat diambil arti, yaitu hukum-hukum ruhani dari apa yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan suatu nubuatan yang dengan menjadi sempurnanya membuktikan kebenaran Al-Quran.

Matahari dan Bulan Alam Ruhani

Demikianlah halnya dalam  firman-Nya sebelum  ini وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا  -- Demi matahari dan sinarnya di pagi hari”,  penyebutan  “matahari” dalam ayat ini dapat menunjuk kepada matahari alam ruhani – yaitu Nabi Besar Muhammad saw.  – yang merupakan sumber seluruh cahaya ruhani dan yang akan terus-menerus menyinari dunia sampai Akhir Zaman, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  اِنَّاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ  نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ  بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾  وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan  sebagai penyeru kepada Allāh dengan perintah-Nya, dan juga sebagai matahari yang memancarkan cahaya.  Dan berilah kabar gembira  kepada orang-orang beriman  bahwa sesungguhnya bagi mereka ada karu-nia yang besar dari Allah.  (Al-Ahzāb [33]:46-48).
     Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat alam semesta jasmani, begitulah pribadi Nabi Besar Muhammad saw. pun merupakan titik-pusat alam keruhanian. Beliau saw. merupakan matahari dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar Nabi Besar Muhammad saw. dan meminjam cahaya dari beliau saw..   Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak; siapa pun di antara mereka kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Tafsir Shaghir).
  Jika hubungannya dengan Allah Swt. sebagai Sumber “Nur” (Cahaya) yang hakiki  (QS.24:36), maka  “bulan” dapat juga menunjuk kepada Nabi Besar Muhammad saw..  sebab beliau saw. menerima cahaya dari Allah Swt. dan menyebarkan  cahaya itu ke persada alam ruhani yang gelap itu.
 Atau kata “bulan” itu dapat pula menunjuk kepada para wali Allah dan para Imam Zaman yang muncul disetiap abad – khususnya kepada wakil agung beliau saw. di Akhir Zaman ini yaitu  Al-Masih Mau’ud a.s.  – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad  saw. secara ruhani  (QS.62:3-4). – yang akan menerima cahaya kebenaran dari  Nabi Besar Muhammad saw. serta menyiarkannya ke dunia untuk menghilangkan kegelapan akhlak dan ruhani yang kembali terjadi di Akhir Zaman ini (QS.30:42).
 Pengutusan Rasul Akhir Zaman  -- yang merupakan “bulan purnama” alam keruhanian tersebut    terjadi pada akhir abad  13 dan awal abad 14,  sama seperti halnya kemunculan bulan purnama  di alam semesta jasmani yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15  setiap bulannya. 

Masa Kejayaan Islam    dan Kemunduran Islam yang Pertama

  “Siang” dapat menunjuk kepada masa tatkala Amanat Islam serta kebenaran Pendirinya, Nabi Besar Muhammad saw.,  ditegakkan serta dasar-dasar telah ditegakkan untuk  penyebarluasannya di dunia. Isyarat yang terkandung di dalam ayat ini mungkin tertuju kepada masa Khulafaur-Rasyidin, ketika cahaya Islam memancar dengan segala kemegahan dan kejayaannya yang pertama selama 3 abad.
   “Malam” dapat menunjuk kepada masa kemunduran dan kemerosotan akhlak dan ruhani orang-orang Islam ketika cahaya Islam telah tersembunyi dari mata dunia setelah  3 abad masa kejayaan yang pertama, firman-Nya:
یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ مِنَ السَّمَآءِ  اِلَی الۡاَرۡضِ ثُمَّ یَعۡرُجُ  اِلَیۡہِ  فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ مِقۡدَارُہٗۤ اَلۡفَ سَنَۃٍ  مِّمَّا تَعُدُّوۡنَ ﴿﴾
Dia mengatur perintah dari langit sampai bumi, kemudian perintah itu akan naik kepada-Nya dalam satu hari, yang hitungan lamanya seribu tahun dari apa yang kamu hitung.  (As-Sajdah [32]:6).
      Ayat ini menunjuk kepada suatu pancaroba sangat hebat, yang ditakdirkan akan menimpa Islam dalam perkembangannya yang penuh dengan perubahan itu. Islam akan melalui suatu masa kemajuan dan kesejahteraan yang mantap selama 3 abad pertama kehidupannya.
    Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah menyinggung secara jitu mengenai kenyataan itu dalam sabda beliau: “Abad terbaik ialah abad di kala aku hidup, kemudian abad berikutnya, kemudian abad sesudah itu” (Tirmidzi & Bukhari, Kitab-usy-Syahadat).
      Islam mulai mundur sesudah 3 abad pertama masa keunggulan dan keme-nangan yang tiada henti-hentinya. Peristiwa kemunduran dan kemerosotannya ber-langsung dalam masa 1000 tahun (10 abad) berikutnya. Kepada masa 1000 tahun inilah, telah diisyaratkan dengan kata-kata ثُمَّ یَعۡرُجُ  اِلَیۡہِ  فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ مِقۡدَارُہٗۤ اَلۡفَ سَنَۃٍ    -- “Kemudian perintah itu akan naik kepada-Nya dalam satu hari, yang hitungan lamanya seribu tahun.”
      Dalam hadits lain   -- sehubungan diwahyukan-Nya  Surah Al-Jumu’ah ayat 3-4 – sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,   Nabi Besar Muhammad saw.  pernah bersabda bahwa iman akan terbang ke Bintang Tsuraya, dan seseorang dari keturunan Parsi akan mengembalikannya ke bumi (Bukhari, Kitab-ut-Tafsir).
Dengan kedatangan Al- Masih Mau’ud a.s.  yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. pada abad ke-14 sesudah Hijrah, laju kemunduran umat Islam  telah terhenti dan kebangkitan Islam kembali mulai berlaku, firman-Nya:
     ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ  رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ  الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ  عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama, walaupun orang musyrik tidak menyukai. (Ash-Shad [61]:10).
   Kebanyakan ahli tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan Islam di atas semua agama akan menjadi kepastian.
 Jadi, keempat ayat ini (2-5) menunjuk kepada empat kurun masa perjalanan Islam yang penuh peristiwa itu, yaitu:
(1) masa  Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri, ketika Matahari Ruhani (Nabi Besar Muhammad saw.) sedang memancar dengan sangat megahnya di cakrawala ruhani;
(2) masa wakil agung beliau, yaitu, Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s., ketika nur (cahaya) yang diperoleh dari Nabi Besar Muhammad saw. di Akhir Zaman ini dipantulkan ke suatu dunia yang gelap guna mewujudkan kejayaan Islam yang kedua (QS.61:10).
(3) Masa para khalifah  (masa Khulafaur-Rasyidin,) Nabi Besar Muhammad saw. (ketika cahaya Islam masih tetap berkilau-kilauan dan,
(4) masa ketika kegelapan ruhani telah meluas ke seluruh dunia yang terjadi sesudah lewat 3  abad pertama kejayaan Islam.
  Huruf   dalam ayat وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا    -- “Demi langit dan binaannya”  ini dan dalam dua ayat berikutnya adalah masdariyah atau berarti alladzi, yakni  “ia yang”. Dengan demikian dalam ayat-ayat ini perhatian telah dipusatkan pada Sang Perencana dan Sang Arsitek Agung alam semesta ini atau pada penyempurnaan alam semesta serta kebebasannya yang penuh dari setiap macam cacat dan kekurangan.
Ayat  وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا  --  (Demi jiwa dan penyempurnaannya)   ini berarti  bahwa semua khasiat yang dipersembahkan benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan lain-lain dalam rangka melayani makhluk-makhluk Allāh dan yang mengenai kenyataan itu telah disebutkan dalam ayat 10, memberi kesaksian bahwa manusia telah dianugerahi sifat-sifat serupa itu dalam derajat lebih tinggi.

Kesejajaran Tatanan Alam Semesta Jasmani dan
Tatanan Tubuh Jasmani Manusia

 Jadi, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada  hakikatnya, manusia adalah micro cosmos ( alam semesta ukuran  kecil) dan dalam dirinya ditampilkan dalam skala kecil segala sesuatu yang terwujud di alam semesta, yakni:
(1) Bagaikan matahari ia memancarkan cahayanya ke alam dunia serta meneranginya dengan kilauan cahaya hikmah dan ilmu.
(2)  Penaka bulan ia memencarkan kembali  cahaya kasyaf, ilham, dan wahyu yang dipinjamnya dari Sumber Asli lagi agung, untuk ditujukan kepada mereka yang bermukim di dalam kegelapan.
(3) Ia terang benderang laksana siang hari dan menunjukkan jalan kebenaran dan kebajikan.
(4) Bagaikan malam ia menutupi keaiban dan kesalahan amal orang-orang lain, meringankan beban mereka, dan memberikan istirahat kepada si lelah dan si letih.
(5) Seperti langit ia menaungi setiap jiwa yang bersusah hati dan menghidupkan bumi yang telah mati dengan hujan yang member kesegaran.
(6) Laksana  bumi ia menyerahkan diri dengan segela kerendahan untuk diinjak-injak di bawah telapak kaki orang-orang, sebagai percobaan (ujian) bagi mereka, dan dari ruhnya yang telah disucikan itu  tumbuhlah dengan berlimpah-ruah bermacam-macam pohon nilmu pengetahuan dan kebenaran tempat lain untuk menyampaikan Amanat Ilahi.
        Itulah  beberapa bukti  mengenai adanya kesejajaran atau persamaan antara hubungan para malaikat sebagai “ruh” bagi tatanan alam semesta jasmani dengan   ruh manusia  sebagai  energi atau  “motor penggerak”  tubuh jasmani manusia.  Semoa komponen di alam semesta dan juga dalam tubuh manusia semuanya sama-sama “bertasbih” kepada Allah Swt. dengan puji-pujian-Nya --    yakni patuh-taat kepada ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah Swt., baik  berkenaan dengan tatanan alam semesta mau pun bagi tatanan tubuh mahusia, sebagaimana firman-Nya berikut ini: 
وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا فِیۡ ہٰذَا  الۡقُرۡاٰنِ  لِیَذَّکَّرُوۡا ؕ وَ  مَا  یَزِیۡدُہُمۡ   اِلَّا  نُفُوۡرًا ﴿﴾  قُلۡ  لَّوۡ کَانَ مَعَہٗۤ  اٰلِـہَۃٌ  کَمَا یَقُوۡلُوۡنَ اِذًا  لَّابۡتَغَوۡا اِلٰی ذِی الۡعَرۡشِ سَبِیۡلًا ﴿﴾  سُبۡحٰنَہٗ  وَ تَعٰلٰی عَمَّا یَقُوۡلُوۡنَ عُلُوًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾  تُسَبِّحُ  لَہُ  السَّمٰوٰتُ السَّبۡعُ  وَ الۡاَرۡضُ وَ مَنۡ فِیۡہِنَّ ؕ وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ  اِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمۡدِہٖ  وَ لٰکِنۡ لَّا تَفۡقَہُوۡنَ تَسۡبِیۡحَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  کَانَ حَلِیۡمًا غَفُوۡرًا ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah menerangkan segala sesuatu berulang-ulang dalam Al-Quran ini supaya mereka mengambil pelajaran, tetapi sama sekali tidaklah Al-Quran itu menambah bagi mereka, kecuali kebencian. Katakanlah: “Seandainya bersama-Nya ada tuhan-tuhan lain sebagaimana mereka katakan, jika demikian niscaya mereka mampu mencari jalan kepada Dzat Pemilik ‘Arasy itu”  Maha Suci Dia, dan Maha Luhur, jauh di atas apa yang mereka katakan.   Kepada-Nya bertasbih ketujuh langit dan bumi dan siapa pun  yang ada di dalam keduanya, dan tidak ada suatu benda pun melainkan  menyanjung Dia dengan puji-pujian-Nya, akan tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka itu. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. (Bani Israil [17]:42-45). 
      Makna ayat وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا فِیۡ ہٰذَا  الۡقُرۡاٰنِ  لِیَذَّکَّرُوۡا – “Dan sungguh Kami benar-benar telah menerangkan segala sesuatu berulang-ulang  dalam Al-Quran ini, supaya mereka mengambil pelajaran”, bahwa Al-Quran sebagai Kitab suci yang harus memecahkan segala masalah dan persoalan yang penting-penting, adalah wajar dan menjadi keharusan, supaya Kitab itu berulang kali mengupas kembali hal-hal yang bertalian erat dengan suatu masalah pokok.
     Bila pengulangan itu dimaksudkan untuk mengupas suatu masalah dari sudut yang baru atau untuk membantah suatu tuduhan baru, maka tiada orang yang waras otaknya lagi cerdas pikirannya dapat mengemukakan keberatan terhadap hal demikian. Namun demikian bagi orang-orang yang membenci haq (kebenaran) yang dikemukakan  Al-Quran وَ  مَا  یَزِیۡدُہُمۡ   اِلَّا  نُفُوۡرًا  --  “tetapi sama sekali tidaklah Al-Quran itu menambah bagi mereka  kecuali kebencian.
     Jika kata-kata  تُسَبِّحُ  لَہُ  السَّمٰوٰتُ السَّبۡعُ  وَ الۡاَرۡضُ وَ مَنۡ فِیۡہِنَّ -- “Kepada-Nya bertasbih ketujuh langit dan bumi dan siapa pun  yang ada di dalamnya, menunjuk kepada kesaksian bersama yang dikandung oleh seluruh alam mengenai ke-Esa-an Allah Swt.;  maka kata-kata  وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ  اِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمۡدِہٖ -- “dan tidak ada suatu benda pun, melainkan menyanjung Dia dengan puji-pujian-Nya” menunjuk kepada kesaksian yang diberikan oleh segala sesuatu secara perorangan (sendiri-sendiri) dan secara terpisah mengenai ke-Esa-an Dzat Ilahi.

Kesejajaran Tatanan Alam Semesta Jasmani dan
Tubuh Jasmani Manusia Menolak Kemusyrikan     

      Jadi, kata-kata yang pertama tersebut  berarti  bahwa pengaturan  dan tatanan indah yang ada di seluruh alam tidak ayal lagi menunjukkan bahwa penciptanya adalah Wujud Tunggal, sedang kata-kata yang tersebut belakangan وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ  اِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمۡدِہٖ   --  dan tidak ada suatu benda pun, melainkan menyanjung Dia dengan puji-pujian-Nya” berarti bahwa segala sesuatu di seluruh alam  ini, dalam ruangannya sendiri yang terbatas itu, dan dengan caranya sendiri yang tidak dapat ditiru itu  menampakkan berbagai macam Sifat  Allah Swt., وَ لٰکِنۡ لَّا تَفۡقَہُوۡنَ تَسۡبِیۡحَہُمۡ   --  akan tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka itu.”
       Dengan demikian bertasbihnya seluruh komponen tatanan alam semesta  kepada Allah Swt. dengan puji-pujian-Nya -- baik secara sendiri-sendiri mau pun secara bersama-sama (berjama’ah) --  menolak faham orang-orang   musyrik  mengnai adanya “tuhan-tuhan” sembahan lainnya  selain Allah Swt.  yang dikemukakan sebelumnya, firman-Nya:
   قُلۡ  لَّوۡ کَانَ مَعَہٗۤ  اٰلِـہَۃٌ  کَمَا یَقُوۡلُوۡنَ اِذًا  لَّابۡتَغَوۡا اِلٰی ذِی الۡعَرۡشِ سَبِیۡلًا ﴿﴾  سُبۡحٰنَہٗ  وَ تَعٰلٰی عَمَّا یَقُوۡلُوۡنَ عُلُوًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Katakanlah: “Seandainya bersama-Nya ada tuhan-tuhan lain sebagaimana mereka katakan, jika demikian niscaya mereka mampu mencari jalan kepada Dzat Pemilik ‘Arasy itu”  Maha Suci Dia, dan Maha Luhur, jauh di atas apa yang mereka katakan. (Bani Israil [17]:43-43).   
   Pada hakikatnya kata  (sebutan) 'Arasy (singgasana) dalam ayat tersebut dan  ayat-ayat Al-Quran lainnya menggambarkan Sifat-sifat Tanzihiyyah  Allah  Swt. --.   yakni Sifat-sifat Allah Swt.  yang tidak terdapat dalam wujud lain mana pun. Keempat sifat Allah Swt.  yang tersebut dalam Surah Ikhlas dan juga  dalam ayat Kursiy (QS.2:256 ) merupakan  contoh dari Sifat-sifat Tanzihiyyah  Allah Swt.
 Sifat-sifat Tanzihiyyah  tersebut abadi dan tidak bisa berubah,  dan berkenaan dengan “penciptaan” tatanan alam semesta  diwujudkan  (diperagakan) melalui Sifat-sifat Tasybihiyyah-Nya, yakni Sifat-sifat  Allah Swt. yang   sedikit-banyak terdapat  atau dapat dimiliki  oleh wujud-wujud lainnya. Sifat-sifat  Tasybihiyyah inilah yang dikatakan sebagai “pemikul-pemikul” 'Arasy Ilahi. Sifat-sifat tersebut  dikemukakan dalam Surah Al-Fatihah yaitu Rabbul-'Aalamin, Ar-Rahmān, Ar-Rahīm, dan Māliki Yaumid-Dīn.
  Bahwa ‘Arasy itu menggambarkan Sifat-sifat Tanzihiyyah  Allah Swt. nampak  juga dari QS.23:117 yang menunjukkan bahwa “Tauhid Ilahi” itu sangat erat hubungannya dengan 'Arasy-Nya, sebab hanya Sifat-sifat Tanzihiyyah itulah yang merupakan bukti yang sebenarnya mengenai Tauhid Ilahi, karena sifat-sifat   Allah Swt.  lainnya dimiliki oleh manusia dalam derajat-derajat yang berbeda, firman-Nya:
فَتَعٰلَی اللّٰہُ  الۡمَلِکُ الۡحَقُّ ۚ لَاۤ  اِلٰہَ   اِلَّا ہُوَ ۚ رَبُّ  الۡعَرۡشِ  الۡکَرِیۡمِ ﴿﴾
Maka Maha Luhur Allah, Raja Yang Haq. Tidak ada  tuhan kecuali Dia, Tuhan 'Arasy yang sangat mulia.  (Al-Mu’minūn [23]:117).

Hubungan ‘Arasy Ilahi  yakni Sifat-sifat Tanzihiyyah Allah Swt.
Dengan Sifat-sifat Tasbihiyyah-Nya

Kata-kata  ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ --  “kemudian Dia bersemayam di atas Singgasana” berarti bahwa sesudah alam semesta jasmani terwujud, Sifat-sifat Tanzihiyyah dan Sifat-sifat Tasybihiyyah mulai bekerja dan segala urusan dunia mulai diatur melalui perangkat hukum-hukum alam dan menjadi berada dalam lingkup tata kerja yang sempurna   dibawah “pengendalian” para malaikat sebagai “karyawan” atau sebagai “instrument” yang melaksanakan semua Kehendak Allah Swt.  yang “bersemayam” di atas ‘Arasy  atau  Singgasana” Sifat-sifat Tanzihiyyah-Nya. 
   Perbedaan antara khalq (penciptaan) dan amr (perintah) dalam ayat اَلَا لَہُ  الۡخَلۡقُ وَ الۡاَمۡرُ -- “Ingatlah, penciptaan dan perintah adalah wewenang-Nya” yaitu,  kata yang pertama (khalq) pada lazimnya berarti penciptaan atau pengembangan secara bertahap (peng-evolusian) suatu benda dari zat yang sudah ada lebih dahulu,  yaitu sesuai dengan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. (QS.1:2); sedang kata yang kedua (amr) berarti mewujudkan sesuatu dari tiada dengan hanya mengucapkan perintah  “Jadilah!”.
   Anak kalimat  ؕ اَلَا لَہُ  الۡخَلۡقُ وَ الۡاَمۡرُ  --  ingatlah, penciptaan dan perintah adalah wewenang-Nya”  dapat juga berarti bahwa Allah Swt.  bukan hanya menjadikan (menciptakan) alam semesta, tetapi Dia pun melaksanakan wewenang dan perintah atasnya.  Amr juga berarti pembuatan undang-undang atau hokum, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh para malaikat Allah, firman-Nya:
وَ تَرَی الۡمَلٰٓئِکَۃَ  حَآفِّیۡنَ مِنۡ حَوۡلِ الۡعَرۡشِ یُسَبِّحُوۡنَ بِحَمۡدِ رَبِّہِمۡ ۚ وَ قُضِیَ بَیۡنَہُمۡ  بِالۡحَقِّ وَ قِیۡلَ الۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat berkeliling di sekitar ‘Arasy seraya bertasbih dengan menyanjungkan puji-pujian kepada Rabb (Tuhan) mereka. Dan keputusan akan  diberikan (dijatuhkan) di antara mereka dengan adil, dan akan dikatakan: “Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam.”  (Az-Zumar [39]:76)
       Sifat-sifat Allah Swt. akan menampakkan penjelmaan yang paling sempurna pada Hari Pembalasan dan para malaikat yang bertugas akan mengumandangkan puji-pujian dan sanjungan kepada Dzat Yang Maha Suci. Atau, ayat ini dapat pula berarti bahwa Ke-Esa-an Tuhan akan berdiri mapan di Arabia, dan abdi-abdi (hamba-hamba) Allah yang benar di dunia,  bersama-sama dengan para malaikat di seluruh langit, akan menyanjungkan puji-pujian kepada Allah Swt. Rabb (Tuhan) seluruh alam.

Makna “Mereka yang  Memikul  ‘Arasy Ilahi”  dan
“Mereka yang Berada di Sekitar ‘Arasy Ilahi
 
      Dalam  firman Allah Swt. berikut  dijelaskan ada dua macam kedudukan yang menyanjungkan kesucian Allah Swt. dengan puji-pujian-Nya, yakni (1) yang “memikul” langsung ‘Arasy  (Singgasana) Allah Swt., dan (2) yang ada “di sekitar” ‘Arasy (Singgasana) Ilahi, firman-Nya:
اَلَّذِیۡنَ یَحۡمِلُوۡنَ الۡعَرۡشَ وَ مَنۡ حَوۡلَہٗ یُسَبِّحُوۡنَ بِحَمۡدِ  رَبِّہِمۡ وَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِہٖ وَ یَسۡتَغۡفِرُوۡنَ  لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا ۚ رَبَّنَا وَسِعۡتَ کُلَّ  شَیۡءٍ رَّحۡمَۃً  وَّ عِلۡمًا فَاغۡفِرۡ  لِلَّذِیۡنَ تَابُوۡا وَ اتَّبَعُوۡا سَبِیۡلَکَ وَ قِہِمۡ  عَذَابَ  الۡجَحِیۡمِ ﴿﴾  رَبَّنَا وَ اَدۡخِلۡہُمۡ جَنّٰتِ عَدۡنِۣ الَّتِیۡ وَعَدۡتَّہُمۡ وَ مَنۡ صَلَحَ مِنۡ اٰبَآئِہِمۡ وَ اَزۡوَاجِہِمۡ وَ  ذُرِّیّٰتِہِمۡ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ۙ﴿۸﴾  وَ قِہِمُ السَّیِّاٰتِ ؕ وَ مَنۡ تَقِ السَّیِّاٰتِ یَوۡمَئِذٍ  فَقَدۡ رَحِمۡتَہٗ ؕ وَ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیۡمُ ٪﴿﴾  
Wujud-wujud  yang memikul ‘Arasy  dan yang di sekitarnya, mereka bertasbih dengan pujian Rabb (Tuhan) mereka, mereka beriman kepada-Nya dan mereka memohon ampunan bagi orang-orang yang beriman: “Wahai Rabb (Tuhan) kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu maka ampunilah kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau, dan lindungilah mereka dari azab Jahannam.  Hai Rabb (Tuhan) kami karena itu masukkanlah mereka ke dalam surga-surga abadi yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan begitu pun orang-orang yang beramal saleh  dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka dan keturunan-keturunan mereka. Sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  Dan lindungilah mereka dari segala keburukan.  Dan barangsiapa Engkau pelihara dari keburukan-keburukan pada hari itu  maka sungguh  Engkau telah mengasihinya, dan yang demikian itu  kemenangan yang besar.” (Al-Mu’min [40]:8-10) 
     Karena ‘Arasy berarti Sifat-sifat Ilahi   yaitu  Sifat-sifat Tanzihiyyah Allah Swt.  maka kata-kata “para pemikul ‘Arasy” akan berarti makhluk-makhluk atau orang-orang yang dengan perantaraan mereka Sifat-sifat Ilahi itu diwujudkan melalui Sifat-sifat Tasybihiyyah.
      Karena hukum alam bekerja dengan perantaraan malaikat-malaikat, dan para nabi merupakan wahana (sarana)  yang dengan perantaraan mereka Kalamullāh (wahyu/firman Allah) disampaikan kepada umat manusia, maka kata-kata “para pemikul ‘Arasy” dapat berarti pula para malaikat dan para utusan (rasul) Tuhan, dan kata-kata “mereka yang ada di sekitarnya” dapat berarti para malaikat yang dibawahi dan membantu para malaikat yang utama dalam menyelenggarakan urusan-urusan dunia, atau para pengikut sejati para  rasul Allah yang menyampaikan dan menyebarkan ajaran nabi-nabi Allah itu.
     Pendek kata,  energi  atau ruh  yang membuat semua yang berada di dalam tatanan alam semesta jasmani – yang merupakan bagian dari “kerajaan” Allah Swty. – ini memiliki berbagai khasiat (kemampuan) yang tak terhingga tiada lain adalah para malaikat,   yang    tugasnya   telah ditetapkan  Allah Swt. bagi mereka masing-masing, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ فَاطِرِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ جَاعِلِ الۡمَلٰٓئِکَۃِ  رُسُلًا اُولِیۡۤ  اَجۡنِحَۃٍ مَّثۡنٰی وَ ثُلٰثَ وَ رُبٰعَ ؕ یَزِیۡدُ فِی الۡخَلۡقِ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Segala puji milik Allah Yang menciptakan seluruh langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan yang bersayap dua, tiga  dan empat. Dia menambahkan pada ciptaan-Nya  apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Fāthir [35]:2).
       Malā’ikah (malaikat-malaikat) yang adalah jamak dari malak,  diserap dari malaka, yang berarti: ia mengendalikan, mengawasi; atau dari alaka, artinya  ia me-ngirimkan. Para malaikat disebut demikian sebab mereka mengendalikan kekuatan-kekuatan alam atau mereka membawa wahyu Ilahi kepada utusan-utusan (rasul-rasul) Allah dan   para pembaharu samawi (mushlih Rabbani).

Makna  Perbedaan Banyaknya  Sayap” Para Malaikat &
Sifat yang Dimiliki Kilat dan Petir

 Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya, bahwa kepada malaikat-malaikat dipercayakan menjaga, mengatur, dan mengawasi segala urusan yang berlaku di alam jasmani (QS.79:6). Inilah tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada mereka. Tugas mereka yang lain dan yang lebih berat yaitu  melaksanakan perintah dan kehendak Allah Swt.   kepada rasul-rasul-Nya. Malaikat-malaikat pembawa wahyu Ilahi menampakkan serentak dua, tiga, atau empat sifat Ilahi, dan ada pula malaikat lain, yang bahkan menjelmakan lebih banyak lagi dari sifat-sifat Ilahi itu.
   Karena ajnihah merupakan lambang kekuatan dan kemampuan (Lexicon Lane), ayat ini mengandung arti,  bahwa malaikat-malaikat itu memiliki kekuatan dan sifat yang berbeda-beda derajatnya sesuai dengan kepentingan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing.
   Sebagian malaikat dianugerahi kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat yang lebih besar daripada yang lain. Malaikat Jibril a.s.  adalah penghulu semua malaikat  karena itu pekerjaan mahapenting  yakni  menyampaikan wahyu Ilahi kepada para rasul Allah, diserahkan kepadanya serta dilaksanakan di bawah asuhan dan pengawasannya.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  14 Oktober    2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar