Jumat, 25 Oktober 2013

Penciptaan Tatanan "Kerajaan" Alam Semesta Berdasarkan Empat Sifat Utama Rabbubiyyat Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah




ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 57

     Penciptaan Tatanan “Kerajaan  Alam Semesta Berdasarkan Empat Sifat Utama Rabbubiyyat Allah Swt. dalam   Surah Al-Fatihah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D

alam   akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  Surah   Al-Fātihah. Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa nama itu juga tercantum dalam nubuatan Perjanjian Baru:
     “Maka aku tampak seorang malaikat lain yang gagah, turun dari langit ......... dan di tangannya ada sebuah Kitab Kecil yang terbuka, maka kaki kanannya berpijak di laut, dan kaki kiri di darat” (Wahyu 10:1-2).
Kata dalam bahasa Ibrani untuk “terbuka”  adalah Fatoah, yang sama dengan kata Arab Fatihah. Kemudian lagi:
“dan tatkala ia (malaikat) berteriak, ketujuh guruh pun membunyikan bunyi masing-masing” (Wahyu 10:3).
“Tujuh guruh” mengisyaratkan kepada tujuh ayat Surah ini, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنٰکَ سَبۡعًا مِّنَ الۡمَثَانِیۡ وَ الۡقُرۡاٰنَ  الۡعَظِیۡمَ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar  telah memberikan  kepada engkau tujuh ayat  yang selalu diulang-ulang dan Al-Quran yang agung. (Al-Hijr [15]:88).

Kedatangan Kedua Kali Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.

    Para sarjana Kristen mengatakan bahwa nubuatan itu mengisyaratkan kepada kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya. Hal itu telah dibuktikan oleh kenyataan-kenyataan yang sebenarnya. Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang dalam wujudnya nubuatan tentang kedatangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  kedua kali atau Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) telah menjadi sempurna, beliau menulis tafsir mengenai Surah Al-Fatihah  ini dan menunjukkan bukti-bukti serta dalil-dalil mengenai kebenaran pendakwaan beliau  dari isi Surah ini, dan beliau senantiasa memakainya sebagai doa yang baku.
      Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- Imam Mahdi a.s. dan juga Al-Masih Mau'ud a.s. --  di Akhir Zaman ini menyimpulkan dari tujuh ayat yang pendek-pendek ini  ilmu-ilmu makrifat Ilahi dan kebenaran-kebenaran kekal abadi yang tidak diketahui sebelumnya. Seolah-olah Surah ini sebuah Kitab yang dimeterai hingga khazanah itu akhirnya dibukakan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Dengan demikian sempurnalah nubuatan yang terkandung dalam Wahyu 10:4, yakni:
 “Tatkala ketujuh guruh sudah berbunyi itu, sedang aku hendak menyuratkan, lalu aku dengar suatu suara dari langit, katanya: "Meteraikanlah barang apa yang ketujuh guruh itu sudah mengatakan dan jangan dituliskan.”
Nubuatan itu menunjuk kepada kenyataan bahwa Fatoah atau Al-Fātihah itu untuk sementara waktu akan tetap merupakan sebuah Kitab tertutup, tetapi suatu waktu akan tiba ketika khazanah ilmu ruhani yang dikandungnya akan dibukakan. Hal itu telah dilaksanakan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.., dalam rangka mewujudkan Kejayaan Islam yang kedua kali di Akhir Zaman ini (QS.62:3-4; QS.61:10).
  Surah Al-Fatihah ini seakan-akan merupakan pengantar kepada Al-Quran. Sesungguhnya Surah Al-Fatihah ini Al-Quran dalam bentuk miniatur, dengan demikian pembaca sejak  mulai mempelajarinya telah diperkenalkan secara garis besarnya kepada masalah-masalah yang akan dijumpainya dalam Kitab Suci itu. Diriwayatkan Nabi Besar Muhammad saw.  pernah bersabda bahwa Surah Al-Fātihah  adalah Surah Al-Quran yang terpenting (Bukhari).

Ikhtisar Surah

     Surah  Al-Fatihah   merupakan intisari seluruh ajaran Al-Quran. Secara garis besarnya Surah ini meliputi semua masalah yang diuraikan dengan panjang lebar dalam seluruh Al-Quran. Surah Al-Fatihah  mulai dengan uraian mengenai Sifat-sifat  Tasybihiyyah Allah Swt.  yang pokok  serta menjadi poros beredarnya Sifat-sifat-Nya yang  lain, dan merupakan dasar bekerjanya alam semesta  serta dasar  perhubungan antara Tuhan (Al-Khaliq) dengan manusia.
      Keempat sifat Allah Swt.  yang pokok    tersebut yakni:  Rabb (Pencipta, Yang Memelihara dan Mengembangkan), Rahmān (Maha Pemurah), Rahīm (Maha Penyayang) dan Māliki Yaum-id-Dīn (Pemilik Hari Pembalasan),  mengandung arti bahwa sesudah menciptakan manusia lalu Allah Swt. menganugerahinya kemampuan-kemampuan tabi’i (alami) yang terbaik serta melengkapinya dengan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan jasmani, kemasyarakatan, akhlak, dan ruhani. Selanjutnya Dia memberikan jaminan bahwa usaha dan upaya manusia itu akan diganjar sepenuhnya. 
     Kemudian Surah  Al-Fatihah mengatakan,  bahwa manusia diciptakan untuk beribadah  yakni menyembah Allah Swt. (QS.51:57). serta mencapai qurb-Nya (kedekatan-Nya – QS.53:1-11),  dan bahwa manusia  senantiasa memerlukan pertolongan-Nya untuk melaksanakan tujuannya yang agung itu.
       Disebutkannya keempat Sifat Allah Swt. tersebut diikuti oleh doa lengkap yang di dalamnya terungkap sepenuhnya segala dorongan ruh manusia. Doa  tersebut mengajarkan bahwa manusia  harus senantiasa  mencari dan memohon pertolongan  Allah Swt.  supaya Dia melengkapinya dengan sarana-sarana yang diperlukan olehnya untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat.
     Tetapi karena manusia cenderung memperoleh kekuatan dan semangat dari teladan baik wujud-wujud mulia dan agung dari zaman lampau,  yang telah mencapai tujuan hidup mereka maka ia  pun diajari untuk mendoa supaya Allah Swt.  membuka pula baginya jalan-jalan kemajuan akhlak dan ruhani yang tak terbatas  seperti yang telah dibukakan kepada mereka itu.
    Akhirnya doa itu mengandung peringatan bahwa jangan-jangan sesudah ia dibimbing kepada jalan lurus lalu ia sesat dari jalan itu, lalu kehilangan tujuannya dan menjadi asing terhadap Khāliq-nya (Pencipta-nya). Ia diajari untuk selalu mawas diri dan senantiasa mencari perlindungan  Allah Swt.  terhadap kemungkinan jadi asing terhadap Allah Swt.
      Itulah masalah yang dituangkan dalam beberapa ayat Surah  Al-Fatihah dan itulah masalah yang dibahas  sepenuhnya dan seluas-luasnya oleh Al-Quran, sambil menyebut contoh-contoh yang tidak terhingga banyaknya sebagai petunjuk bagi siapa yang membacanya.

Empat Sifat Utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah
Makna Lafaz “Allah”

       Orang-orang beriman  dianjurkan agar sebelum membaca Al-Quran terlebih dulu  memohon perlindungan Allah Swt. terhadap syaitan:
فَاِذَا  قَرَاۡتَ الۡقُرۡاٰنَ  فَاسۡتَعِذۡ بِاللّٰہِ مِنَ  الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿ ﴾
   Maka apabila engkau hendak membaca Al-Quran  maka mohonlah perlindungan  Allah dari syaitan yang terkutuk” (An-Nahl [16]:99).
Perlindungan dan penjagaan itu berarti: (1) bahwa jangan ada kejahatan menimpa kita; (2) bahwa jangan ada kebaikan terlepas dari kita dan (3) bahwa sesudah kita mencapai kebaikan, kita tidak terjerumus kembali ke dalam kejahatan. Doa yang diperintahkan untuk itu ialah: “Aku berlindung kepada Allāh dari syaitan yang terkutuk” yang harus mendahului tiap-tiap pembacaan Al-Quran.
        Bab-bab Al-Quran berjumlah 114 dan masing-masing disebut Surah. Lafaz (kata)  Surah   berarti: (1) pangkat atau kedudukan tinggi; (2) ciri atau tanda; (3) bangunan yang tinggi dan indah; (4) sesuatu yang lengkap dan sempurna (Aqrab dan Qurthubi). Bab-bab Al-Quran disebut Surah karena: (a) dengan membacanya martabat orang terangkat, dengan perantaraannya ia mencapai kemuliaan; (b) nama-nama Surah berlaku sebagai tanda pembukaan dan penutupan berbagai masalah yang dibahas dalam Al-Quran; (c) Surah-surah itu masing-masing laksana bangunan ruhani yang mulia dan (d) tiap-tiap Surah berisikan tema yang sempurna.
     Nama-nama Surah untuk pembagian demikian telah dipergunakan dalam Al-Quran sendiri (QS.2:24 dan QS.24:2). Nama ini dipakai juga dalam hadits, Rasulullāh saw. bersabda: “Baru saja sebuah Surah telah diwahyukan kepadaku dan bunyinya seperti berikut” (Muslim). Dari itu jelaslah, bahwa nama Surah untuk bagian-bagian Al-Quran telah biasa dipakai sejak permulaan Islam dan bukan ciptaan baru yang diadakan kemudian hari. 
    Ringkasan dari seluruh kandungan Al-Quran adalah Surah Al-Fatihah itulah sebabnya Surah tersebut disebut juga Umul-Kitab, yang di dalamnya dikemukakan secara ringkas mengenai Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah Swt., cara memperagakannya, serta hasil yang dapat diraih oleh orang yang melaksanakannya.
     Di dalam Surah Al-Fatihah, Allah Swt. telah menerangkan cara mengelola pemerintahan (kerajaan) berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,  berupa pengamalan  4 macam Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. yaitu: (1) Rabubiyyat, (2) Rahmāniyyat, (3) Rahīmiyyat, dan (4) Māliki yaumid-dīn, firman-Nya:
  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ      ۙ﴿﴾   الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala  puji  hanya bagi  Allah, Tuhan  seluruh alam,  Maha Pemurah,  Maha Penyayang,  Pemilik   Hari  Pembalasan. (Al-Fatihah [1]:2-4).
      Kata Allah dalam ayat    اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ  --    Segala  puji  hanya bagi  Allah” adalah nama Zat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua Sifat  sempurna, dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab  lafaz Allah  tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun. Tidak ada bahasa lain yang memiliki nama tertentu atau nama khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain semuanya nama-penunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan), dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak, sedangkan   lafaz Allah  tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak.
     Lafaz  Allah  adalah  ism zat (nama zat),   bukan  ism musytak, yakni  tidak diambil dari kata lain dan tidak pernah dipakai sebagai keterangan atau sifat. Karena tidak ada  lafaz lain yang sepadan maka  lafaz  Allah  dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Al-Quran.
     Pandangan ini didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat  lafaz    Allah   adalah nama Wujud bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya Sendiri, Pemilik segala sifat  sempurna, dan huruf al tidak terpisahkan dari lafaz Allāh (Lexicon Lane).

Makna Kalimat “Segala Puji bagi Allah” &
Makna Kata Rabb

      Dalam bahasa Arab, kata al   pada ayat   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ    --    Segala  puji  hanya bagi  Allah  itu lebih-kurang sama artinya dengan kata  “the” dalam bahasa Inggeris. Kata al dipergunakan untuk menunjukkan keluasan yang berarti meliputi semua segi atau jenis sesuatu pokok, atau untuk melukiskan kesempurnaan, yang juga suatu segi keluasan, karena meliputi semua tingkat dan derajat. Al dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telah disebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.
      Dalam bahasa Arab dua kata madah dan hamd dalam ayat    اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ    --    Segala puji  hanya bagi  Allah” dipakai dalam arti pujian atau syukur, tetapi kalau madah mungkin palsu, sedangkan hamd senantiasa benar. Lagi pula, madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak dikuasai oleh pelakunya, tetapi hamd hanya dipakai mengenai perbuatan yang dilakukan dengan kerelaan hati dan dengan kemauan sendiri (Al-Mufradat).
    Hamd mengandung pula arti: pengaguman, penyanjungan, dan penghormatan terhadap yang dituju oleh pujian itu, dan kerendahan, kehinaan, dan kepatuhan orang yang memberi pujian (Lexicon Lane).  Jadi hamd  adalah kata yang paling tepat dipakai di sini, untuk maksud mengutarakan kebaikan, dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak serta  sebagai sanjungan akan kemuliaan Allah  Swt.. Menurut kebiasaan, kata hamd kemudian menjadi khusus ditujukan hanya kepada  Allah Swt..
     Kata kerja rabba dalam ayat   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) berarti: ia mengelola urusan itu; ia memperbanyak, mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan urusan itu; ia memelihara dan menjaga. Jadi Rabb berarti: (a) Tuhan, Yang Dipertuan, Khāliq (Yang menciptakan); (b) Wujud Yang memelihara dan mengembangkan; (c) Wujud Yang menyempurnakan dengan cara setingkat demi setingkat (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
      Tetapi jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu dapat dipakai untuk orang atau wujud selain Allah Swt., misalnya Nabi Yusuf a.s.  ketika berbincang dengan utusan raja Mesir  dalam penjara telah menyebut  raja Mesir  dengan kalimat rabbika (rabb engkau), firman-Nya:
وَ  قَالَ الۡمَلِکُ ائۡتُوۡنِیۡ بِہٖ ۚ فَلَمَّا جَآءَہُ الرَّسُوۡلُ قَالَ ارۡجِعۡ  اِلٰی رَبِّکَ فَسۡـَٔلۡہُ مَا بَالُ النِّسۡوَۃِ  الّٰتِیۡ قَطَّعۡنَ اَیۡدِیَہُنَّ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ بِکَیۡدِہِنَّ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Dan raja itu berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepadanya, ia (Yusuf) berkata: “Kembalilah kepada rabb (majikan) engkau dan tanyakanlah kepadanya, bagaimana  keadaan para perempuan yang telah mengerat tangan mereka sendiri,  sesungguhnya Tuhan-ku Maha Mengetahui rencana tipu daya mereka.” (Yusuf [12]:51).

Tatanan Alam Semesta  Jasmani   dan  Kerajaan” yang Dibangun Nabi Besar Muhammad Saw. Ditopang Oleh “Tiang Penunjang” yang Tidak Kelihatan

      Allah Swt. memang berkuasa untuk menciptakan tatatan alam semesta ini melalui  kalimat  Kun fayakun (Jadilah, maka terjadilah – QS.2:118; QS.36:83), namun Allah Swt. tidak melakukan hal tersebut  karena kalimat itu termasuk pada Sifat Tanzihiyyah Allah Swt.  --  yakni Sifat-sifat yang hanya khusus dimiliki oleh Allah Swt. saja sebagaimana contohnya yang dikemukakan dalam  Surah Al-Ikhlas ayat dalam ayat dalam ayat Kursiy (QS.2:256).
      Sedangkan tujuan Allah Swt. menciptakan umat  manusia adalah untuk beribadah (menyembah) kepada-Nya (QS.57:51), yakni agar manusia melalui pengamalan  hukum-hukum syariat yang diwahyukan Allah Swt. kepada para Rasul  pembawa syariat – khususnya   Nabi Besar Muhammad saw. --  manusia akan dapat meniru Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah Swt. -- yakni Sifat-sifat Allah Swt. yang sedikit banyak  dapat ditiru dan  dimiliki oleh makhluknya, terutama manusia --  sehingga manusia benar-benar dapat melaksanakan kedudukannya yang mulia sebagai Khalifah (wakil) Allah di muka bumi (QS.2:31), baik secara perorangan mau pun secara kaum.
       Contoh yang  paling sempurna mengenai  kedudukan sebagai  Khalifah (wakil) Allah di muka bumi (QS.2:31) melalui pelaksanaan Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. adalah  adalah yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22; QS.3:32) dan para pengikut hakiki beliau saw., sehingga Allah Swt. menyebut  Nabi Besar Muhammad saw.sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) dan memberi gelar Khātaman-Nabiyyīn kepada beliau saw. (QS.33:41), serta menyebut pengikut sejati beliau saw. – yakni umat Islam --  di masa awal sebagai “umat yang terbaik” yang diciptakan bagi kepentingan seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111).
   Berbeda dengan tatanan kerajaan yang dibangun oleh raja-raja duniawi sebelumnya – termasuk  Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. -- tatanan “kerajaan” yang dibangun oleh Nabi Besar Muhammad saw.  benar-benar sama dengan tatanan “kerajaan” Allah Swt.,  yaitu tatanan alam semesta jasmani yang “tiang-tiang penunjangnya” tidak kelihatan oleh mata jasmani, firman-Nya:
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا ثُمَّ  اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh langit dengan tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya,  kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia  telah menundukkan bagi kamu matahari dan bulan, masing-masing beredar menurut arah perjalanannya  hingga suatu masa yang telah ditetapkan.  Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berke-yakinan teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Ar-Rā’d [13]:3). Lihat pula QS.31:11.
     Kata-kata بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا  -- “dengan tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya” itu berarti:  (1) Kamu  melihat bahwa seluruh langit berdiri tanpa tiang-tiang; (2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai pendukung (penopang), tetapi kamu tidak dapat melihatnya.
     Secara harfiah ayat itu berarti  bahwa seluruh langit berdiri tanpa ditunjang oleh tiang-tiang. Secara kiasan ayat itu berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak nampak kepada mata manusia, umpamanya daya tarik atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah menemukannya hingga saat ini atau yang mungkin akan ditemukan lagi di hari depan.

Komentar Bosworth Smith  dalam bukunya “Muhammad and Muhammadanism

     Begitu juga halnya dengan  tatanan “kerajaan Ilahi” yang dibangun  oleh Nabi Besar Muhammad saw.  ditopang dengan  tiang-tiang penunjang” yang tidak kelihatan oleh mata jasmani  yaitu  ketakwaan” kepada Allah Swt.” dan “ketaatan” kepada Nabi Besar Muhammad saw. (QS.26:109, 111; 127; 133; 145; 151;164;180), yang dilandasi dengan kecintaan hakiki (QS.3:32; QS.3:102-104; QS.4:60; QS.8:64).  
   Karena itu benarlah komentar Boswort  Smith  berikut ini mengenai Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “suri teladan terbaik    dalam bukunya “Muhammad  and Muhammadanisme sebagai bukti kebenaran   firman-Nya berikut ini:
لَقَدۡ کَانَ لَکُمۡ  فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ  اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ  لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ الۡیَوۡمَ  الۡاٰخِرَ  وَ ذَکَرَ  اللّٰہَ  کَثِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Sungguh dalam  diri Rasulullah benar-benar terdapat  suri teladan yang sebaik-baiknya  bagi kamu, yaitu bagi  orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab [33]:22). 
     Nabi Besar Muhammad saw.  bertempur sebagai prajurit gagah-berani dan memimpin pasukan-pasukan. Beliau saw. menghadapi kekalahan – misalnya dalam Perang Uhud – dan beliau saw. memperoleh kemenangan-kemenangan. Nabi Besar Muhammad saw. menghakimi dan mengambil serta menjatuhkan keputusan dalam berbagai perkara. Beliau saw. adalah seorang negarawan, seorang pendidik, dan seorang pemimpin. Sehubungan dengan hal tersebut  Boswort  Smith  menulis:
 Kepala negara merangkap Penghulu Agama, beliau adalah Kaisar dan Paus sekaligus. Tetapi beliau adalah Paus yang tidak berlaga Paus, dan Kaisar tanpa pasukan-pasukan yang megah, tanpa balatentara tetap, tanpa pengawal, tanpa istana yang megah, tanpa pungutan pajak tetap dan tertentu, sehingga jika ada orang berhak mengatakan bahwa ia memerintah dengan hak ketuhanan, maka orang itu hanyalah Muhammad, sebab beliau mempunyai kekuasaan tanpa alat-alat kekuasaan dan tanpa bantuan kekuasaan.
Beliau biasa melakukan pekerjaan rumah tangga dengan tangan beliau sendiri, biasa tidur di atas sehelai tikar kulit, dan makanan beliau terdiri dari kurma dan air putih atau roti jawawut, dan setelah melakukan bermacam-macam tugas sehari penuh, beliau biasa melewatkan malam hari dengan mendirikan shalat dan doa-doa hingga kedua belah kaki beliau bengkak-bengkak. Tidak ada orang yang dalam keadaan dan suasana yang begitu banyak berubah telah berubah begitu sedikitnya.”
  Pengepungan kota Madinah  oleh golongan  persekutuan (al-Ahzab) dalam Perang  Khandak mungkin merupakan percobaan paling pahit di dalam seluruh jenjang kehidupan  Nabi Besar Muhammad saw., tetapi beliau saw. keluar dari ujian yang paling berat itu dengan keadaan akhlak dan wibawa yang lebih tinggi lagi.
    Sesungguhnyalah pada saat yang sangat berbahayalah, yakni ketika di sekitar gelap gelita, atau dalam waktu mengenyam sukses dan kemenangan, yakni ketika musuh bertekuk lutut di hadapannya, watak dan perangai yang sesungguhnya seseorang diuji; dan sejarah memberi kesaksian yang jelas kepada kenyataan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. -- baik dalam keadaan dukacita karena dirundung kesengsaraan dan pada saat sukacita karena meraih kemenangan — tetap menunjukkan kepribadian agung lagi mulia.
  Pertempuran Khandak, Uhud, dan Hunain menjelaskan dengan seterang-seterangnya satu watak beliau yang indah, dan Fatah Mekkah (Kemenangan atas Mekkah) memperlihatkan watak  Nabi Besar Muhammad saw. lainnya. Mara bahaya tidak mengurangi semangat beliau saw. atau mengecutkan hati beliau saw., begitu pula kemenangan dan sukses tidak merusak watak beliau saw..
   Ketika  Nabi Besar Muhammad saw. ditinggalkan hampir seorang diri pada hari Pertempuran Hunain, -- setelah peristiwa  penaklukkan  kota Mekkah -- sedang nasib Islam berada di antara hidup dan mati, beliau saw. tanpa gentar sedikit pun dan seorang diri belaka maju ke tengah barisan musuh seraya berseru dengan kata-kata yang patut dikenang selama-lamanya: “Aku nabi Allah dan aku tidak berkata dusta. Aku anak Abdul Muthalib.”
   Demikian pula sebelumnya  tatkala kota Mekkah jatuh dan seluruh tanah Arab bertekuk lutut maka kekuasaan yang mutlak dan tak tersaingi itu tidak kuasa merusak  Nabi Besar Muhammad saw.. Beliau saw. menunjukkan keluhuran budi yang tiada taranya terhadap musuh-musuh beliau saw., yakni memaafkan   orang-orang yang telah berbuat zalim terhadap beliau saw. dan para sahabah beliau saw. di Mekkah selama 13 tahun.

Kesaksian Pribadi-pribadi yang Paling Akrab

  Kesaksian lebih besar mana lagi yang mungkin ada terhadap keagungan watak Nabi Besar Muhammad saw.  selain kenyataan bahwa pribadi-pribadi yang paling akrab dengan beliau dan yang paling mengenal beliau saw., mereka itulah yang paling mencintai Nabi Besar Muhammad saw.  dan merupakan yang pertama-tama percaya akan misi beliau saw., yakni, istri beliau yang tercinta, Sitti Khadijah r.a.; sahabat beliau sepanjang hayat, Abu Bakar r.a.; saudara sepupu yang juga menantu beliau saw., Ali bin Abu Thalib r.a., dan bekas budak beliau  saw. yang telah dimerdekakan, Zaid bin Haritsah r.a..   Nabi Besar Muhammad saw. merupakan contoh kemanusiaan yang paling mulia dan model yang paling sempurna dalam keindahan dan kebajikan.
  Dalam segala segi kehidupan dan watak  Nabi Besar Muhammad saw. yang beraneka ragam, tidak ada duanya dan merupakan contoh yang tiada bandingannya bagi umat manusia untuk ditiru dan diikuti. Seluruh kehidupan  Nabi Besar Muhammad saw. nampak dengan jelas dan nyata dalam cahaya lampu-sorot sejarah.
 Nabi Besar Muhammad saw. mengawali kehidupan beliau sebagai anak yatim dan mengakhirinya dengan berperan sebagai wasit yang menentukan nasib seluruh bangsa. Sebagai kanak-kanak  Nabi Besar Muhammad saw. penyabar lagi gagah, dan di ambang pintu usia remaja, beliau saw. tetap merupakan contoh yang sempurna dalam akhlak, ketakwaan, dan kesabaran. Pada usia setengah-baya  Nabi Besar Muhammad saw. mendapat julukan Al-Amin (si Jujur dan setia kepada amanat) dan selaku seorang niagawan beliau terbukti paling jujur dan cermat.
   Nabi Besar Muhammad saw. menikah dengan perempuan-perempuan yang di antaranya ada yang jauh lebih tua daripada beliau saw. sendiri dan ada juga yang jauh lebih muda, namun semua bersedia memberi kesaksian dengan mengangkat sumpah mengenai kesetiaan, kecintaan, dan kekudusan beliau saw..
  Sebagai ayah,  Nabi Besar Muhammad saw. penuh dengan kasih-sayang, dan sebagai sahabat beliau sangat setia dan murah hati. Ketika beliau diamanati tugas yang amat besar dan berat dalam usaha memperbaiki suatu masyarakat yang sudah rusak, beliau saw. menjadi sasaran derita aniaya dan pembuangan, namun beliau saw. memikul semua penderitaan itu dengan sikap agung dan budi luhur, dan hanya dalam waktu 23 tahun saja di jazirah Arabia telah muncul “langit baru dan bumi baru yang penuh cahaya (QS.14:49-53; QS.39:70-71),  menggantikan “langit lama dan bumi lama” yang penuh kegelapan zaman jahiliyah (QS.30:42).
  Ketika Ummul Muklminin Siti ‘Aisyah r.a. ditanya seolah sahabat mengenai akhlaq Nabi Besar Muhammad saw., beliau memberikan jawaban yang sangat pendek namun sangat tepat, yakni bahwa akhlak Nabi Besar Muhammad saw. adalah Al-Quran.

Makna Al-‘Ālamīn  (Seluruh Alam)
    
        Kembali kepada   ayat   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam), makna   kata rabb dalam Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. telah dijelaskan sebelumnya, ada pun  kalimat    al-’ālamīn  adalah jamak dari al-’alam, berasal dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata  al-’ālamīn  itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana (perantaraan) itu orang dapat mengetahui Al-Khāliq  --  Maha Pencipta (Aqrab-al-Mawarid), sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran (QS.2:165; QS.3:27-28 & 191-195; QS.10:7; QS.30:21-28;  QS.42:30; QS.45:4-7).
       Kata  al-’ālamīn   dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins, artinya  “alam manusia” atau ‘alam-ul-hayawan   yakni “alam binatang” atau  ‘alamul-nabat yakni “alam tumbuh-tumbuhan.”
     Kata al-’ālamīn tidak hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal — seperti manusia dan malaikat — saja, Al-Quran  pun mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (QS.26:24-29 dan QS.41:10). Akan tetapi tentu saja kadang-kadang kata itu dipakai dalam arti yang terbatas (QS.2:123). Di sini kata  al-’ālamīn itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah” yakni  benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit — matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.
      Dengan demikian  dalam ayat  ayat   اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) secara jelas terpisah antara Allah Swt. sebagai Rabb  dan  al-’ālamīn   (seluruh alam) sebagai ciptaan (makhluk) Allah Swt., sehingga tidak mungkin semua makhluk  ciptaan Allah Swt. yang diciptakan melalui sifat Rabbubiyyat-Nya dapat berubah berkedudukannya  menjadi Khaliq (Tuhan Pencipta), melainkan hanya sekedar meniru sifat Al-Khaliq (Maha Pencipta) Allah Swt. serta Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah Swt. lainnya.
     Ungkapan “Segala puji bagi Allah  lebih luas dan lebih mendalam artinya daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Allah Swt. menurut pengetahuannya yang terbatas,   sedangkan  anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia bahkan juga puji-pujian  yang tidak diketahuinya. Allah Swt.  layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran manusia yang tidak sempurna.
     Tambahan pula  kata al-hamd  adalah  masdar dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya, sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Al-hamdulillāhi berarti hanyalah Allah Swt. sajalah   Yang  berhak memberikan pujian sejati; dan diartikan secara tujuan kalimat, Alhamdulillāhi berarti bahwa segala pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi Allah Swt.  semata-mata.  

Hukum Evolusi  Merupakan  Rangkaian Hukum “Sebab-Akibat
Sesuai Sifat Rabbubiyyah Allah Swt.

      Ayat    اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam)   ini menunjuk kepada hukum evolusi di alam semesta, artinya bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus — dan terlaksana secara bertahap. Rabb  adalah Wujud Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang setingkat demi setingkat. Ayat itu menjelaskan pula bahwa prinsip evolusi  tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Allah Swt..   Tetapi proses evolusi yang disebut di sini, tidak sama dengan teori evolusi seperti biasanya diartikan sebagaimana faham  Charles Darwin  bahwa manusia berasal dari monyet. Kata-kata itu dipergunakan dalam arti umum.
      Selanjutnya  ayat ini menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia dijadikan untuk kemajuan tidak terbatas, sebab ungkapan Rabb-ul-’ālamīn itu mengandung arti bahwa Allah Swt. mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih tinggi, dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan lain dalam proses yang tidak ada henti-hentinya.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  20 Oktober    2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar