ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 57
Penciptaan Tatanan
“Kerajaan” Alam Semesta Berdasarkan Empat Sifat Utama Rabbubiyyat Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai Surah Al-Fātihah.
Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa nama itu juga tercantum dalam nubuatan Perjanjian
Baru:
“Maka aku tampak seorang malaikat lain yang
gagah, turun dari langit ......... dan di tangannya ada sebuah Kitab Kecil
yang terbuka, maka kaki kanannya berpijak di laut, dan kaki kiri di darat”
(Wahyu 10:1-2).
Kata dalam bahasa Ibrani untuk
“terbuka” adalah Fatoah, yang
sama dengan kata Arab Fatihah. Kemudian lagi:
“dan
tatkala ia (malaikat) berteriak, ketujuh guruh pun membunyikan bunyi masing-masing” (Wahyu 10:3).
“Tujuh
guruh” mengisyaratkan kepada tujuh ayat Surah ini, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنٰکَ سَبۡعًا مِّنَ الۡمَثَانِیۡ وَ الۡقُرۡاٰنَ الۡعَظِیۡمَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah memberikan kepada engkau tujuh ayat yang
selalu diulang-ulang dan Al-Quran
yang agung. (Al-Hijr [15]:88).
Kedatangan Kedua Kali Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s.
Para sarjana Kristen mengatakan
bahwa nubuatan itu mengisyaratkan
kepada kedatangan Yesus Kristus kedua
kalinya. Hal itu telah dibuktikan oleh kenyataan-kenyataan yang sebenarnya.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang dalam wujudnya nubuatan tentang kedatangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. kedua kali atau Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) telah menjadi sempurna, beliau menulis
tafsir mengenai Surah Al-Fatihah ini dan
menunjukkan bukti-bukti serta dalil-dalil mengenai kebenaran pendakwaan beliau dari isi Surah ini, dan beliau senantiasa
memakainya sebagai doa yang baku.
Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- Imam Mahdi a.s. dan juga Al-Masih Mau'ud a.s. -- di Akhir Zaman ini menyimpulkan
dari tujuh ayat yang pendek-pendek
ini ilmu-ilmu makrifat Ilahi dan kebenaran-kebenaran
kekal abadi yang tidak diketahui sebelumnya. Seolah-olah Surah ini sebuah Kitab yang dimeterai hingga khazanah
itu akhirnya dibukakan oleh Mirza
Ghulam Ahmad a.s.. Dengan demikian sempurnalah nubuatan yang terkandung dalam Wahyu
10:4, yakni:
“Tatkala ketujuh guruh sudah
berbunyi itu, sedang aku hendak menyuratkan, lalu aku dengar suatu suara dari
langit, katanya: "Meteraikanlah barang apa yang ketujuh guruh itu sudah
mengatakan dan jangan dituliskan.”
Nubuatan itu
menunjuk kepada kenyataan bahwa Fatoah atau Al-Fātihah itu untuk
sementara waktu akan tetap merupakan sebuah Kitab
tertutup, tetapi suatu waktu akan tiba ketika khazanah ilmu ruhani yang dikandungnya akan dibukakan. Hal itu telah dilaksanakan oleh Mirza Ghulam Ahmad
a.s.., dalam rangka mewujudkan Kejayaan
Islam yang kedua kali di Akhir Zaman
ini (QS.62:3-4; QS.61:10).
Surah Al-Fatihah ini seakan-akan merupakan pengantar kepada Al-Quran. Sesungguhnya Surah Al-Fatihah ini Al-Quran
dalam bentuk miniatur, dengan
demikian pembaca sejak mulai
mempelajarinya telah diperkenalkan secara garis
besarnya kepada masalah-masalah yang akan dijumpainya dalam Kitab Suci itu.
Diriwayatkan Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda bahwa Surah Al-Fātihah adalah Surah
Al-Quran yang terpenting (Bukhari).
Ikhtisar Surah
Surah Al-Fatihah merupakan intisari
seluruh ajaran Al-Quran. Secara garis besarnya Surah ini meliputi semua masalah
yang diuraikan dengan panjang lebar dalam seluruh Al-Quran. Surah Al-Fatihah mulai dengan uraian mengenai Sifat-sifat
Tasybihiyyah Allah Swt. yang
pokok serta menjadi poros beredarnya Sifat-sifat-Nya yang lain, dan merupakan dasar bekerjanya alam semesta serta dasar perhubungan antara Tuhan (Al-Khaliq) dengan manusia.
Keempat sifat Allah Swt. yang pokok tersebut yakni: Rabb (Pencipta, Yang Memelihara dan
Mengembangkan), Rahmān (Maha Pemurah), Rahīm (Maha Penyayang) dan
Māliki Yaum-id-Dīn (Pemilik Hari Pembalasan), mengandung arti bahwa sesudah menciptakan manusia lalu Allah Swt. menganugerahinya
kemampuan-kemampuan tabi’i
(alami) yang terbaik serta melengkapinya dengan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan jasmani, kemasyarakatan, akhlak, dan ruhani. Selanjutnya Dia memberikan jaminan bahwa usaha dan upaya manusia itu akan diganjar
sepenuhnya.
Kemudian Surah Al-Fatihah mengatakan, bahwa manusia diciptakan untuk beribadah yakni menyembah
Allah Swt. (QS.51:57). serta mencapai qurb-Nya (kedekatan-Nya
– QS.53:1-11), dan bahwa manusia senantiasa memerlukan pertolongan-Nya untuk
melaksanakan tujuannya yang agung
itu.
Disebutkannya keempat Sifat Allah
Swt. tersebut diikuti oleh doa
lengkap yang di dalamnya terungkap sepenuhnya segala dorongan ruh manusia. Doa tersebut mengajarkan bahwa manusia harus senantiasa mencari
dan memohon pertolongan Allah Swt. supaya Dia melengkapinya dengan sarana-sarana
yang diperlukan olehnya untuk mencapai kebahagiaan
dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat.
Tetapi karena manusia cenderung
memperoleh kekuatan dan semangat dari teladan baik wujud-wujud mulia dan agung dari zaman lampau, yang telah mencapai tujuan hidup mereka maka ia
pun diajari untuk mendoa supaya Allah Swt. membuka pula baginya jalan-jalan kemajuan akhlak dan ruhani yang tak terbatas
seperti yang telah dibukakan
kepada mereka itu.
Akhirnya doa itu mengandung peringatan
bahwa jangan-jangan sesudah ia dibimbing kepada
jalan lurus lalu ia sesat dari jalan itu, lalu kehilangan tujuannya dan menjadi asing terhadap Khāliq-nya
(Pencipta-nya). Ia diajari untuk selalu mawas
diri dan senantiasa mencari perlindungan Allah Swt. terhadap kemungkinan jadi asing
terhadap Allah Swt.
Itulah masalah yang dituangkan
dalam beberapa ayat Surah Al-Fatihah dan itulah masalah yang dibahas sepenuhnya dan seluas-luasnya oleh Al-Quran, sambil menyebut contoh-contoh yang tidak terhingga
banyaknya sebagai petunjuk bagi siapa
yang membacanya.
Empat Sifat Utama Tasybihiyyah
Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah
Makna Lafaz “Allah”
Orang-orang beriman dianjurkan agar
sebelum membaca Al-Quran terlebih
dulu memohon perlindungan Allah Swt.
terhadap syaitan:
فَاِذَا قَرَاۡتَ
الۡقُرۡاٰنَ فَاسۡتَعِذۡ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ ﴿ ﴾
“Maka apabila engkau hendak membaca
Al-Quran maka mohonlah perlindungan Allah dari syaitan yang terkutuk” (An-Nahl
[16]:99).
Perlindungan dan penjagaan itu
berarti: (1) bahwa jangan ada kejahatan menimpa kita; (2) bahwa jangan ada
kebaikan terlepas dari kita dan (3) bahwa sesudah kita mencapai kebaikan, kita
tidak terjerumus kembali ke dalam kejahatan. Doa yang diperintahkan untuk itu
ialah: “Aku berlindung kepada Allāh dari syaitan yang terkutuk” yang
harus mendahului tiap-tiap pembacaan Al-Quran.
Bab-bab Al-Quran berjumlah 114
dan masing-masing disebut Surah. Lafaz (kata) Surah
berarti: (1) pangkat atau kedudukan tinggi; (2) ciri atau tanda; (3)
bangunan yang tinggi dan indah; (4) sesuatu yang lengkap dan sempurna (Aqrab
dan Qurthubi). Bab-bab Al-Quran disebut Surah karena: (a) dengan
membacanya martabat orang terangkat, dengan perantaraannya ia mencapai
kemuliaan; (b) nama-nama Surah berlaku sebagai tanda pembukaan dan
penutupan berbagai masalah yang dibahas dalam Al-Quran; (c) Surah-surah itu
masing-masing laksana bangunan ruhani yang mulia dan (d) tiap-tiap Surah
berisikan tema yang sempurna.
Nama-nama Surah untuk
pembagian demikian telah dipergunakan dalam Al-Quran sendiri (QS.2:24 dan
QS.24:2). Nama ini dipakai juga dalam hadits, Rasulullāh saw. bersabda: “Baru
saja sebuah Surah telah diwahyukan kepadaku dan bunyinya seperti
berikut” (Muslim). Dari itu
jelaslah, bahwa nama Surah untuk bagian-bagian Al-Quran telah biasa
dipakai sejak permulaan Islam dan bukan ciptaan baru yang diadakan kemudian
hari.
Ringkasan
dari seluruh kandungan Al-Quran
adalah Surah Al-Fatihah itulah
sebabnya Surah tersebut disebut juga Umul-Kitab,
yang di dalamnya dikemukakan secara ringkas mengenai Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah Swt., cara memperagakannya, serta hasil
yang dapat diraih oleh orang yang
melaksanakannya.
Di dalam
Surah Al-Fatihah, Allah Swt. telah
menerangkan cara mengelola pemerintahan
(kerajaan) berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
berupa pengamalan 4 macam Sifat utama Tasybihiyyah Allah Swt. yaitu: (1) Rabubiyyat, (2) Rahmāniyyat,
(3) Rahīmiyyat, dan (4) Māliki yaumid-dīn, firman-Nya:
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ
الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala puji hanya bagi Allah,
Tuhan seluruh alam, Maha
Pemurah, Maha Penyayang, Pemilik
Hari Pembalasan. (Al-Fatihah [1]:2-4).
Kata Allah
dalam ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- “Segala puji hanya bagi Allah”
adalah nama Zat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua Sifat sempurna, dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab lafaz Allah tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun. Tidak ada bahasa lain yang memiliki nama tertentu
atau nama khusus untuk Dzat Yang
Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain semuanya
nama-penunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan), dan
seringkali dipakai dalam bentuk jamak,
sedangkan lafaz Allah
tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak.
Lafaz Allah adalah ism
zat (nama zat), bukan ism musytak, yakni tidak diambil dari kata lain dan tidak pernah
dipakai sebagai keterangan atau sifat. Karena tidak ada lafaz lain yang sepadan maka lafaz Allah dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat
Al-Quran.
Pandangan ini didukung oleh para
alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat lafaz
Allah adalah nama Wujud
bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya Sendiri, Pemilik segala
sifat sempurna, dan huruf al tidak terpisahkan dari lafaz Allāh (Lexicon Lane).
Makna Kalimat “Segala Puji
bagi Allah” &
Makna Kata Rabb
Dalam bahasa
Arab, kata al pada ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ -- “Segala puji hanya bagi Allah” itu lebih-kurang sama artinya dengan
kata “the” dalam bahasa Inggeris. Kata al
dipergunakan untuk menunjukkan keluasan
yang berarti meliputi semua segi atau
jenis sesuatu pokok, atau untuk
melukiskan kesempurnaan, yang juga
suatu segi keluasan, karena meliputi semua tingkat dan derajat. Al
dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telah disebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.
Dalam
bahasa Arab dua kata madah dan hamd dalam ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ -- “Segala puji hanya bagi Allah”
dipakai dalam arti pujian atau syukur, tetapi kalau madah mungkin palsu,
sedangkan hamd senantiasa benar.
Lagi pula, madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak
dikuasai oleh pelakunya, tetapi hamd
hanya dipakai mengenai perbuatan yang
dilakukan dengan kerelaan hati dan
dengan kemauan sendiri (Al-Mufradat).
Hamd mengandung pula arti:
pengaguman, penyanjungan, dan penghormatan terhadap yang dituju oleh pujian
itu, dan kerendahan, kehinaan, dan kepatuhan orang yang memberi pujian (Lexicon Lane). Jadi hamd adalah kata yang paling tepat dipakai di
sini, untuk maksud mengutarakan kebaikan,
dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak serta sebagai sanjungan akan kemuliaan Allah Swt.. Menurut
kebiasaan, kata hamd kemudian menjadi khusus ditujukan hanya kepada Allah Swt..
Kata kerja rabba dalam
ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) berarti: ia mengelola
urusan itu; ia memperbanyak, mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan
urusan itu; ia memelihara dan menjaga. Jadi Rabb berarti: (a) Tuhan,
Yang Dipertuan, Khāliq (Yang
menciptakan); (b) Wujud Yang memelihara
dan mengembangkan; (c) Wujud Yang menyempurnakan dengan cara setingkat
demi setingkat (Al-Mufradat
dan Lexicon Lane).
Tetapi jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu dapat dipakai untuk
orang atau wujud selain Allah Swt.,
misalnya Nabi Yusuf a.s. ketika
berbincang dengan utusan raja Mesir dalam penjara telah menyebut raja
Mesir dengan kalimat rabbika (rabb engkau), firman-Nya:
وَ قَالَ الۡمَلِکُ ائۡتُوۡنِیۡ
بِہٖ ۚ فَلَمَّا جَآءَہُ الرَّسُوۡلُ قَالَ ارۡجِعۡ اِلٰی رَبِّکَ فَسۡـَٔلۡہُ مَا بَالُ
النِّسۡوَۃِ الّٰتِیۡ قَطَّعۡنَ
اَیۡدِیَہُنَّ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ بِکَیۡدِہِنَّ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Dan raja itu berkata: “Bawalah dia
kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepadanya, ia (Yusuf) berkata: “Kembalilah kepada rabb (majikan) engkau dan tanyakanlah kepadanya,
bagaimana keadaan para perempuan yang
telah mengerat tangan mereka sendiri, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Mengetahui rencana tipu
daya mereka.” (Yusuf [12]:51).
Tatanan Alam Semesta Jasmani
dan “Kerajaan” yang Dibangun Nabi Besar Muhammad Saw. Ditopang Oleh “Tiang Penunjang” yang Tidak Kelihatan
Allah Swt. memang berkuasa untuk menciptakan tatatan
alam semesta ini melalui
kalimat Kun fayakun (Jadilah,
maka terjadilah – QS.2:118;
QS.36:83), namun Allah Swt. tidak melakukan hal tersebut karena kalimat
itu termasuk pada Sifat Tanzihiyyah Allah
Swt. -- yakni Sifat-sifat
yang hanya khusus dimiliki oleh Allah
Swt. saja sebagaimana contohnya yang dikemukakan dalam Surah Al-Ikhlas
ayat dalam ayat dalam ayat Kursiy
(QS.2:256).
Sedangkan tujuan Allah Swt. menciptakan umat manusia
adalah untuk beribadah (menyembah)
kepada-Nya (QS.57:51), yakni agar manusia melalui pengamalan hukum-hukum
syariat yang diwahyukan Allah
Swt. kepada para Rasul pembawa syariat – khususnya Nabi Besar Muhammad saw. -- manusia akan dapat meniru Sifat-sifat Tasybihiyyah
Allah Swt. -- yakni Sifat-sifat Allah
Swt. yang sedikit banyak dapat ditiru dan dimiliki
oleh makhluknya, terutama manusia -- sehingga manusia benar-benar dapat
melaksanakan kedudukannya yang mulia sebagai
Khalifah (wakil) Allah di muka bumi
(QS.2:31), baik secara perorangan mau
pun secara kaum.
Contoh yang paling sempurna mengenai kedudukan
sebagai Khalifah (wakil) Allah di
muka bumi (QS.2:31) melalui
pelaksanaan Sifat Tasybihiyyah Allah
Swt. adalah adalah yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22; QS.3:32) dan para pengikut hakiki
beliau saw., sehingga Allah Swt. menyebut Nabi
Besar Muhammad saw.sebagai “rahmat
bagi seluruh alam” (QS.21:108) dan memberi gelar Khātaman-Nabiyyīn kepada beliau saw. (QS.33:41), serta menyebut pengikut sejati beliau saw. – yakni umat Islam -- di masa awal sebagai “umat yang terbaik” yang diciptakan bagi kepentingan seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111).
Berbeda dengan tatanan kerajaan yang dibangun oleh raja-raja
duniawi sebelumnya – termasuk Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. -- tatanan “kerajaan”
yang dibangun oleh Nabi Besar Muhammad saw.
benar-benar sama dengan tatanan “kerajaan”
Allah Swt., yaitu tatanan alam semesta jasmani yang “tiang-tiang
penunjangnya” tidak kelihatan oleh mata jasmani, firman-Nya:
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا
ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ
سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ
الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh
langit dengan tanpa suatu tiang pun
yang kamu melihatnya, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia telah menundukkan bagi kamu
matahari dan bulan,
masing-masing beredar menurut
arah perjalanannya hingga suatu masa yang telah ditetapkan. Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berke-yakinan teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Ar-Rā’d [13]:3). Lihat pula
QS.31:11.
Kata-kata بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا -- “dengan tanpa suatu tiang pun
yang kamu melihatnya” itu berarti:
(1) Kamu melihat bahwa
seluruh langit berdiri tanpa tiang-tiang;
(2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai
pendukung (penopang), tetapi kamu
tidak dapat melihatnya.
Secara harfiah ayat itu
berarti bahwa seluruh langit berdiri
tanpa ditunjang oleh tiang-tiang. Secara kiasan ayat itu
berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak nampak kepada mata manusia, umpamanya daya tarik atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan
khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah menemukannya hingga saat ini atau yang
mungkin akan ditemukan lagi di hari depan.
Komentar Bosworth Smith dalam bukunya “Muhammad and Muhammadanism”
Begitu juga halnya dengan tatanan
“kerajaan Ilahi” yang dibangun oleh Nabi
Besar Muhammad saw. ditopang dengan “tiang-tiang
penunjang” yang tidak kelihatan
oleh mata jasmani yaitu “ketakwaan”
kepada Allah Swt.” dan “ketaatan”
kepada Nabi Besar Muhammad saw. (QS.26:109,
111; 127; 133; 145; 151;164;180), yang dilandasi dengan kecintaan hakiki (QS.3:32; QS.3:102-104; QS.4:60; QS.8:64).
Karena itu benarlah komentar Boswort
Smith berikut ini mengenai
Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “suri
teladan terbaik” dalam
bukunya “Muhammad and Muhammadanisme”
sebagai bukti kebenaran firman-Nya berikut ini:
لَقَدۡ کَانَ لَکُمۡ فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ الۡیَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَ ذَکَرَ اللّٰہَ کَثِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Sungguh dalam
diri Rasulullah benar-benar terdapat
suri teladan yang
sebaik-baiknya bagi kamu,
yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab [33]:22).
Nabi Besar Muhammad saw. bertempur
sebagai prajurit gagah-berani dan
memimpin pasukan-pasukan. Beliau saw. menghadapi kekalahan – misalnya dalam Perang
Uhud – dan beliau saw. memperoleh kemenangan-kemenangan.
Nabi Besar Muhammad saw. menghakimi
dan mengambil serta menjatuhkan keputusan
dalam berbagai perkara. Beliau saw. adalah seorang negarawan, seorang pendidik,
dan seorang pemimpin. Sehubungan
dengan hal tersebut Boswort Smith
menulis:
“Kepala
negara merangkap Penghulu Agama,
beliau adalah Kaisar dan Paus sekaligus. Tetapi beliau adalah Paus yang tidak berlaga Paus, dan Kaisar tanpa pasukan-pasukan yang megah, tanpa balatentara tetap, tanpa pengawal,
tanpa istana yang megah, tanpa
pungutan pajak tetap dan tertentu,
sehingga jika ada orang berhak mengatakan bahwa ia memerintah dengan hak ketuhanan, maka orang itu hanyalah Muhammad, sebab beliau mempunyai
kekuasaan tanpa alat-alat kekuasaan dan tanpa bantuan kekuasaan.
Beliau biasa melakukan pekerjaan
rumah tangga dengan tangan beliau sendiri, biasa tidur di atas sehelai tikar
kulit, dan makanan beliau terdiri dari kurma dan air putih atau roti jawawut,
dan setelah melakukan bermacam-macam tugas sehari penuh, beliau biasa
melewatkan malam hari dengan mendirikan shalat dan doa-doa hingga kedua belah
kaki beliau bengkak-bengkak. Tidak ada orang yang dalam keadaan dan suasana
yang begitu banyak berubah telah berubah begitu sedikitnya.”
Pengepungan kota Madinah oleh golongan persekutuan (al-Ahzab) dalam
Perang Khandak mungkin merupakan percobaan
paling pahit di dalam seluruh jenjang kehidupan Nabi Besar Muhammad saw., tetapi beliau saw. keluar
dari ujian yang paling berat itu
dengan keadaan akhlak dan wibawa yang lebih tinggi lagi.
Sesungguhnyalah pada saat yang sangat berbahayalah,
yakni ketika di sekitar gelap gelita, atau dalam waktu mengenyam sukses dan kemenangan, yakni ketika musuh bertekuk lutut di hadapannya, watak dan perangai yang sesungguhnya seseorang diuji; dan sejarah memberi kesaksian
yang jelas kepada kenyataan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. -- baik dalam keadaan dukacita
karena dirundung kesengsaraan dan
pada saat sukacita karena meraih kemenangan
— tetap menunjukkan kepribadian agung
lagi mulia.
Pertempuran Khandak, Uhud, dan Hunain
menjelaskan dengan seterang-seterangnya satu watak beliau yang indah, dan Fatah Mekkah (Kemenangan atas Mekkah)
memperlihatkan watak Nabi Besar Muhammad saw. lainnya. Mara bahaya
tidak mengurangi semangat beliau saw. atau mengecutkan hati beliau saw., begitu
pula kemenangan dan sukses tidak merusak watak beliau saw..
Ketika Nabi Besar Muhammad saw. ditinggalkan hampir
seorang diri pada hari Pertempuran Hunain,
-- setelah peristiwa penaklukkan kota Mekkah -- sedang nasib Islam berada di antara hidup dan mati,
beliau saw. tanpa gentar sedikit pun dan seorang diri belaka maju ke tengah barisan musuh seraya berseru dengan
kata-kata yang patut dikenang selama-lamanya: “Aku nabi Allah dan aku tidak
berkata dusta. Aku anak Abdul Muthalib.”
Demikian pula sebelumnya tatkala kota Mekkah jatuh dan seluruh tanah
Arab bertekuk lutut maka kekuasaan
yang mutlak dan tak tersaingi itu
tidak kuasa merusak Nabi Besar Muhammad saw.. Beliau saw. menunjukkan
keluhuran budi yang tiada taranya
terhadap musuh-musuh beliau saw.,
yakni memaafkan orang-orang yang telah berbuat zalim terhadap beliau saw. dan para sahabah beliau saw. di Mekkah selama 13 tahun.
Kesaksian Pribadi-pribadi yang Paling Akrab
Kesaksian lebih besar mana lagi yang mungkin
ada terhadap keagungan watak Nabi Besar Muhammad saw. selain kenyataan bahwa pribadi-pribadi
yang paling akrab dengan beliau dan
yang paling mengenal beliau saw., mereka itulah yang paling mencintai Nabi
Besar Muhammad saw. dan merupakan yang
pertama-tama percaya akan misi beliau saw., yakni, istri beliau yang tercinta,
Sitti Khadijah r.a.; sahabat beliau sepanjang hayat, Abu Bakar r.a.; saudara
sepupu yang juga menantu beliau saw., Ali bin Abu Thalib r.a., dan
bekas budak beliau saw. yang telah
dimerdekakan, Zaid bin Haritsah r.a.. Nabi
Besar Muhammad saw. merupakan contoh
kemanusiaan yang paling mulia dan model
yang paling sempurna dalam keindahan
dan kebajikan.
Dalam segala
segi kehidupan dan watak Nabi Besar Muhammad saw. yang beraneka ragam,
tidak ada duanya dan merupakan contoh
yang tiada bandingannya bagi umat manusia untuk ditiru dan diikuti.
Seluruh kehidupan Nabi Besar Muhammad
saw. nampak dengan jelas dan nyata dalam cahaya lampu-sorot sejarah.
Nabi Besar Muhammad saw. mengawali kehidupan
beliau sebagai anak yatim dan
mengakhirinya dengan berperan sebagai wasit
yang menentukan nasib seluruh bangsa.
Sebagai kanak-kanak Nabi Besar Muhammad
saw. penyabar lagi gagah, dan di ambang pintu usia remaja, beliau saw. tetap
merupakan contoh yang sempurna dalam akhlak, ketakwaan, dan kesabaran.
Pada usia setengah-baya Nabi Besar
Muhammad saw. mendapat julukan Al-Amin (si Jujur dan setia kepada
amanat) dan selaku seorang niagawan
beliau terbukti paling jujur dan cermat.
Nabi Besar Muhammad saw. menikah dengan perempuan-perempuan yang
di antaranya ada yang jauh lebih tua
daripada beliau saw. sendiri dan ada juga yang jauh lebih muda, namun semua bersedia memberi kesaksian dengan mengangkat sumpah mengenai kesetiaan, kecintaan, dan
kekudusan beliau saw..
Sebagai ayah,
Nabi Besar Muhammad saw. penuh dengan kasih-sayang, dan sebagai sahabat beliau sangat setia dan murah hati. Ketika beliau diamanati
tugas yang amat besar dan berat dalam usaha memperbaiki suatu masyarakat
yang sudah rusak, beliau saw. menjadi
sasaran derita aniaya dan pembuangan, namun beliau saw. memikul
semua penderitaan itu dengan sikap agung dan budi luhur, dan hanya dalam waktu 23 tahun saja di jazirah
Arabia telah muncul “langit baru
dan bumi baru” yang penuh cahaya
(QS.14:49-53; QS.39:70-71), menggantikan
“langit lama dan bumi lama” yang penuh kegelapan
zaman jahiliyah (QS.30:42).
Ketika Ummul Muklminin Siti ‘Aisyah r.a.
ditanya seolah sahabat mengenai akhlaq
Nabi Besar Muhammad saw., beliau memberikan jawaban
yang sangat pendek namun sangat tepat, yakni bahwa akhlak Nabi Besar Muhammad saw. adalah Al-Quran.
Makna Al-‘Ālamīn (Seluruh Alam)
Kembali kepada ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala
puji bagi Allah Rabb seluruh alam),
makna kata rabb dalam Sifat Rabbubiyyat
Allah Swt. telah dijelaskan sebelumnya, ada pun kalimat al-’ālamīn adalah jamak dari al-’alam, berasal
dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata al-’ālamīn itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana (perantaraan)
itu orang dapat mengetahui Al-Khāliq -- Maha Pencipta (Aqrab-al-Mawarid), sebagaimana
firman-Nya dalam Al-Quran (QS.2:165; QS.3:27-28 & 191-195; QS.10:7;
QS.30:21-28; QS.42:30; QS.45:4-7).
Kata al-’ālamīn dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins,
artinya “alam manusia” atau ‘alam-ul-hayawan yakni “alam binatang” atau ‘alamul-nabat yakni “alam tumbuh-tumbuhan.”
Kata al-’ālamīn tidak
hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal
— seperti manusia dan malaikat — saja, Al-Quran pun mengenakannya kepada semua benda yang
diciptakan (QS.26:24-29 dan QS.41:10). Akan tetapi tentu saja kadang-kadang
kata itu dipakai dalam arti yang terbatas (QS.2:123). Di sini kata al-’ālamīn itu dipakai dalam arti yang
seluas-luasnya dan mengandung arti “segala
sesuatu yang ada selain Allah” yakni
benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda
langit — matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.
Dengan demikian dalam ayat
ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) secara jelas terpisah antara Allah Swt. sebagai Rabb dan al-’ālamīn
(seluruh
alam) sebagai ciptaan (makhluk) Allah
Swt., sehingga tidak mungkin semua makhluk ciptaan Allah Swt. yang diciptakan
melalui sifat Rabbubiyyat-Nya dapat
berubah berkedudukannya menjadi Khaliq (Tuhan Pencipta), melainkan hanya
sekedar meniru sifat Al-Khaliq (Maha Pencipta) Allah Swt.
serta Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah
Swt. lainnya.
Ungkapan “Segala puji bagi Allah” lebih luas dan lebih mendalam artinya
daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Allah Swt. menurut pengetahuannya yang terbatas, sedangkan
anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia
bahkan juga puji-pujian yang tidak diketahuinya. Allah Swt. layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran
manusia yang tidak sempurna.
Tambahan pula kata al-hamd adalah
masdar dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya, sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok,
Al-hamdulillāhi berarti hanyalah Allah Swt. sajalah Yang
berhak memberikan pujian sejati;
dan diartikan secara tujuan kalimat, Alhamdulillāhi berarti bahwa segala
pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi
Allah Swt. semata-mata.
Hukum Evolusi Merupakan
Rangkaian Hukum “Sebab-Akibat”
Sesuai Sifat Rabbubiyyah
Allah Swt.
Ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) ini menunjuk kepada hukum evolusi di alam semesta, artinya bahwa segala sesuatu
mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus — dan
terlaksana secara bertahap. Rabb
adalah Wujud Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang setingkat
demi setingkat. Ayat itu menjelaskan pula bahwa prinsip evolusi tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada
Allah Swt.. Tetapi proses
evolusi yang disebut di sini, tidak sama dengan teori evolusi seperti biasanya
diartikan sebagaimana faham Charles Darwin bahwa manusia berasal dari monyet. Kata-kata itu dipergunakan dalam arti umum.
Selanjutnya ayat ini menunjuk kepada kenyataan bahwa
manusia dijadikan untuk kemajuan tidak terbatas, sebab ungkapan Rabb-ul-’ālamīn
itu mengandung arti bahwa Allah Swt. mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih
tinggi, dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan
lain dalam proses yang tidak ada henti-hentinya.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar