ۡ
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 46
Cara Mengelola Pemerintahan yang Baik oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir
Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai menurut Mirza Ghulam Ahmad a.s.
di dalam buku beliau, Falsafah Ajaran Islam, terdapat perbedaan besar antara hasil perenungan (tafakkur) yang dilakukan oleh para
ahli pengetahuan hukum alam tersebut berkenaan dengan keberadaan Wujud Pencipta tatanan alam
semesta jasmani yang sempurna ini, dengan pernyataan para Rasul
Allah yang diutus oleh Sang Maha
Pencipta tatanan alam semesta jasmani:
“……Jadi,
pada hakikatnya benda-benda langit raksasa yang kelihatan -- seperti
matahari, bulan, dan sebagainya --
merupakan kaca-kaca bening yang dengan keliru telah disembah, dan di balik benda-benda itu
ada suatu kekuatan tinggi
yang sedang bekerja, bagaikan air
yang mengalir deras di bawah kaca. Dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh penglihatan jasmani para penyembah makhluk ialah mereka menganggap pekerjaan itu
dilakukan oleh kaca-kaca tersebut yang memperlihatkan kekuatan
bawahnya. Demikian tafsir ayat suci
ini:
إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ
قَوَارِيرَ
“Sesungguhnya itu adalah istana yang berlantaikan kaca” (An-Naml
[27] 45).
Wahyu
Ilahi Merupakan Bukti yang Perkasa Tentang Adanya
Tuhan
Ringkasnya, oleh
karena Zat Allah Ta’ala yang kendati pun sangat cemerlang namun
tetap saja sangat tersembunyi, oleh karena
itu untuk mengenali-Nya tidak cukup hanya dengan menyaksikan tatanan
jasmani yang tampak di hadapan kita
saja. Itulah sebabnya kebanyakan
orang yang menggantungkan diri pada tatanan alam semesta jasmani ini tetap saja tidak dapat melepaskan diri
dari gelapnya keraguan dan kebimbangan. Dan kebanyakan mereka terperangkap dalam berbagai kekeliruan,
dan karena terjerat dalam syak wasangka
yang sia-sia maka mereka telah tersesat jauh.
Padahal mereka merenungkan dengan seksama
gugusan sempurna dan kokoh itu
yang mengandung ribuan keajaiban.
Bahkan mereka telah menciptakan kemahiran-kemahiran
di bidang astronomi, ilmu
alam, dan filsafat, seolah-olah
mereka telah menyatu dengan
langit dan bumi. Dan seandainya pun terpikirkan
juga sedikit oleh mereka tentang Sang
Pencipta, maka itu hanyalah
sekedar anggapan yang timbul setelah menyaksikan tatanan
yang tinggi dan sempurna, yakni di dalam hati
mereka muncul anggapan bahwa memang seharusnya ada suatu Wujud yang menciptakan
tatanan agung yang mengandung sistem
yang penuh hikmah ini.
Akan tetapi
jelas bahwa pemikiran demikian – yakni seharusnya ada Wujud yang
menciptakan -- tersebut tidak sempurna, dan itu merupakan makrifat
yang dangkal. Sebab mengatakan bahwa
“Tatanan yang sempurna ini seharunya ada satu Tuhan” sekali-kali tidak sama dengan ucapan bahwa, “Tuhan itu benar-benar ada!”
Ringkasnya, itu hanyalah merupakan makrifat mereka yang bersifat dugaan,
yang tidak dapat memberikan ketenangan dan ketentraman kepada hati
serta sama sekali tidak dapat menghapuskan kebimbangan kalbu. Dan itu
bukanlah suatu mangkuk yang
dapat menghilangkan kedahagaan akan makrifat sempurna yang telah dipatrikan
pada fitrat manusia. Justru makrifat dangkal demikian itu sangat berbahaya,
karena setelah heboh demikian rupa akhirnya tanpa hasil dan tidak
membuahkan apa-apa.
Ringkasnya, selama Allah Ta'ala Sendiri belum menzahirkan keberadaan-Nya
melalui Kalam-Nya -- sebagaimana
telah Dia zahirkan melalui perbuatan-Nya
-- maka selama itu pula penelaahan
terhadap perbuatan-Nya semata tidak
akan memberikan kepuasan.
Misalnya, jika kita melihat sebuah kamar yang terasa mengherankan karena terkunci
dari dalam, maka dari perbuatan itu
pertama-tama yang pasti terpikirkan oleh kita adalah bahwa di dalam kamar
itu pasti ada seseorang telah
memasang rantai (kunci) dari dalam, sebab dari luar tidak
mungkin rantai (kunci) bagian dalam
itu dapat dipasangkan.
Akan tetapi apabila sampai masa tertentu
-- bahkan sampai bertahun-tahun -- kendati pun telah berulang-ulang dipanggil namun dari orang itu tidak juga ada sahutan maka akhirnya pikiran kita yang beranggapan bahwa ada orang di dalam akan berubah. Dan
kita akan berpikir bahwa di dalam tidak
ada orang, dan kunci itu telah
dipasang dari dalam melalui suatu hikmah
(keajaiban) tertentu.
Demikianlah keadaan para ahli filsafat
yang telah membatasi pengetahuan mereka hanya pada penelaahan
terhadap perbuatan Tuhan. Ini adalah suatu kekeliruan besar menganggap Tuhan
seperti sesuatu yang telah mati, yang
dapat dikeluarkan dari dalam kubur hanya oleh upaya manusia. Seandainya Tuhan itu benar demikian — yang hanya dapat diketahui oleh usaha manusia — saja maka seluruh harapan kita berkenaan dengan Tuhan yang demikian itu akan sia-sia.
Justru Tuhan itu
adalah Dia Yang selamanya dan sejak awal terus memanggil manusia ke arah-Nya dengan
menyatakannya sendiri: اَنَا الْمَوْجُوْدُ (Aku ada!).
Ini sungguh sangat lancang apabila kita berpikiran bahwa
dalam mengetahui tentang Tuhan terdapat
ihsan (kebajikan) manusia
atas diri-Nya, dan jika para ahli filsafat tidak ada maka Dia
seakan-akan tetap tidak akan ditemukan. Dan mengatakan bahwa, “Bagaimana
Tuhan dapat berbicara? Apakah Dia memiliki lidah?” Itu pun suatu kekurang-ajaran. Tidakkah Dia telah menciptakan benda-benda langit dan
bumi tanpa tangan-tangan jasmani? Tidakkah Dia melihat seluruh alam semesta tanpa
mata jasmani? Tidakkah Dia mendengar
suara-suara kita tanpa telinga
jasmani? Jadi, tidakkah mutlak bahwa Dia juga berbicara dengan cara demikian?
Sungguh tidak benar, bahwa di masa mendatang
Tuhan tidak lagi bercakap-cakap
melainkan hanya di masa lampau saja. Kita tidak dapat menutup ucapan dan
percakapan-percakapan-Nya sebatas zaman tertentu saja. Tidak diragukan
lagi sekarang pun Dia siap mencurahkan mata
air ilham kepada orang-orang
yang mencari, sebagaimana sebelumnya
Dia siap. Dan sekarang juga pintu-pintu karunia-Nya tetap terbuka
seperti halnya dahulu. Ya, karena segala sesuatu telah sempurna maka syariat
serta hukum-hukum pun telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta
kenabian telah mencapai kesempurnaannya
pada titik akhir dalam wujud Junjungan kita Muhammad saw.”
Pentingnya Beriman kepada Penyeru
dari Allah Swt.
Sesuai dengan penjelasan tersebut, kesadaran ruhani yang terjadi dalam diri
orang-orang yang mempergunakan akal (bashirah) atau ‘ulama
hakiki yang dikemukakan dalam Qs.3:191—193
sebelum ini, setelah melihat
berbagai bentuk kobaran api kemurkaan
Ilahi
yang melanda kehidupan umat manusia – termasuk di Akhir Zaman ini -- maka
dalam hatinya munculnya keyakinan mengenai kebenaran
pendakwaan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan
Allah Swt. kepada Bani Adam (QS. 7:35-37),
firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ
النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی
الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ
وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ
ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ
اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta pertukaran
malam dan siang benar-benar terdapat
Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka,
dan mereka memikirkan mengenai
penciptaan seluruh langit dan bumi
seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia, Maha
Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali
tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali
‘Imran [3]:191-193).
Kenapa demikian? Sebab merupakan Sunatullah
bahwa Allah Swt. tidak pernah
menurunkan azab kepada manusia
sebelum terlebih dulu datang Rasul Allah
yang kedatangannya dijanjikan (QS.17:16; QS.20:134-136), itulah sebabnya “orang-orang yang berakal” itu pun meyakini bahwa Rasul Allah yang dijanjikan tersebut pasti telah datang
dan mereka beriman kepada seruannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ
اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ
رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا
مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿ۚ رَبَّنَا وَ اٰتِنَا
مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ
لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾
Wahai Tuhan
kami, sesungguhnya kami telah mendengar
seorang Penyeru menyeru kami kepada
keimanan seraya berkata: "Berimanlah
kamu kepada Tuhan-mu" maka kami
telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang berbuat kebajikan. Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah
Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan
rasul-rasul Engkau, dan janganlah
Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.” (Ali ‘Imran [3]:194-195).
Jadi, betapa pentingnya keberadaan para Rasul Allah
di kalangan umat manusia, contohnya adalah kasus
Ratu Saba, yang sekali pun melalui “singgasana” yang dihadiahkannya kepada Nabi Sulaiman a.s. – dan
“singgasana” itu pulalah yang direnovasi
lebih indah dari sebelumnya (asli)
oleh Nabi Sulaiman a.s. utuk menerima
kunjungan kehormatannya -- telah membuat
Ratu Saba mengakui keunggulan SDA dan
SDM milik Nabi Sulaiman a.s., namun ia tetap bertahan dalam kemusyrikannya, firman-Nya:
قَالَ نَکِّرُوۡا لَہَا عَرۡشَہَا
نَنۡظُرۡ اَتَہۡتَدِیۡۤ اَمۡ تَکُوۡنُ
مِنَ الَّذِیۡنَ لَا یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
فَلَمَّا
جَآءَتۡ قِیۡلَ اَہٰکَذَا عَرۡشُکِ ؕ
قَالَتۡ کَاَنَّہٗ ہُوَ ۚ وَ اُوۡتِیۡنَا الۡعِلۡمَ مِنۡ قَبۡلِہَا وَ کُنَّا مُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾ وَ صَدَّہَا مَا کَانَتۡ تَّعۡبُدُ مِنۡ دُوۡنِ
اللّٰہِ ؕ اِنَّہَا کَانَتۡ مِنۡ قَوۡمٍ
کٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Ia, Sulaiman, berkata: “Buatlah tidak berharga untuk dia singgasana
itu, kita lihat apakah ia mendapat petunjuk ataukah ia termasuk orang-orang yang tidak mendapat
petunjuk.” Maka tatkala ia, ratu, datang
dikatakan kepadanya: “Serupa
inikah singgasana engkau?” Ia
menjawab, “Ini seolah-olah sama seperti
itu, dan kami telah diberi
pengetahuan sebelumnya dan kami
adalah orang-orang yang berserah diri.” Dan apa yang
senantiasa disembahnya selain Allah telah meng-halanginya
beriman, sesungguhnya ia termasuk
kaum kafir. (An-Naml [27]:42-44).
Rasul Allah Merupakan “Cahaya Petujuk”
Tetapi ketika Nabi Sulaiman a.s.
mengundang Ratu Saba memasuki “istana” khusus yang dibangunnya, lalu menjelaskan kepada Ratu Saba yang kebingungan
melihat keadaan lantai istana yang nampak kepadanya seperti genangan
air yang mengalir deras, barulah Ratu Saba menyadari kesesatan kemusyrikannya telah menjadikan benda-benda angkasa sebagai “tuhan-tuhan sembahannya”, firman-Nya:
قِیۡلَ لَہَا ادۡخُلِی الصَّرۡحَ ۚ
فَلَمَّا رَاَتۡہُ حَسِبَتۡہُ
لُجَّۃً وَّ کَشَفَتۡ عَنۡ
سَاقَیۡہَا ؕ قَالَ اِنَّہٗ صَرۡحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنۡ قَوَارِیۡرَ ۬ؕ
قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ
وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dikatakan
kepada dia: “Masuklah ke istana.”
Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.
Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang
berlantaikan ubin dari kaca.” Ia, ratu,
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri dan aku tunduk bersama
Sulaiman kepada Allah Tuhan seluruh alam.” (An-Naml
[27]:45).
Mengenai pentingnya keberadaan Rasul Allah tersebut yaitu dalam rangka menjelaskan kepada manusia rahasia-rahasia gaib dari khazanah
Ketuhanan yang tidak terbatas, digambarkan pula dalam kisah monumental “Adam – Malaikat – Iblis, dimana untuk mendukung “keberatan” mereka
terhadap maksud Allah Swt. akan
menjadi seorang “Khalifah” di muka
bumi, para malaikat telah menyatakan bahwa apakah tidak cukup keberadaan
mereka yang senantiasa “menyanjungkan kesucian
Allah Swt. (bertasbih) dengan puji-pujian-Nya).
Allah Swt. menjawab “keberatan” mereka: اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ
مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ --
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui”, kemudian mereka mereka bersujud
kepada Adam (Khalifah Allah) yang
telah diajari Allah Swt.
rahasia-rahasia baru Al-Asmaa’ ul-Husna yang tidak
diketahui oleh para malaikat (QS.2:31-35).
Dengan demikian benarlah pernyataan Nabi Sulaiman a.s.
mengenai alasan kesenangan beliau
akan segala sesuatu yang indah, dan mengapa beliau banyak membangun berbagai bangunan yang indah dan memiliki nilai-nilai filosofi ruhani yang dalam -- termasuk pembuatan “istana”
khusus yang telah membuat Ratu Saba melepaskan kemusyrikannya dan menjadi seorang Muslimah yakni perempuan
yang berserah diri kepada Allah Swt.
bersama Nabi Sulaiman a.s., firman-Nya:
وَ وَہَبۡنَا لِدَاوٗدَ سُلَیۡمٰنَ
ؕ نِعۡمَ الۡعَبۡدُ ؕ اِنَّہٗۤ اَوَّابٌ ﴿ؕ﴾ اِذۡ عُرِضَ عَلَیۡہِ بِالۡعَشِیِّ الصّٰفِنٰتُ
الۡجِیَادُ ﴿ۙ﴾ فَقَالَ اِنِّیۡۤ
اَحۡبَبۡتُ حُبَّ الۡخَیۡرِ عَنۡ ذِکۡرِ
رَبِّیۡ ۚ حَتّٰی تَوَارَتۡ بِالۡحِجَابِ ﴿ٝ﴾ رُدُّوۡہَا عَلَیَّ ؕ فَطَفِقَ مَسۡحًۢا بِالسُّوۡقِ
وَ الۡاَعۡنَاقِ ﴿﴾
Dan kepada Daud Kami menganugerahkan Sulaiman,
seorang hamba yang sangat baik,
sesungguhnya ia selalu kembali kepada
Kami. Ketika dihadapkan
kepadanya kuda-kuda yang terbaik pada petang hari maka ia berkata: “Sesungguhnya aku mencintai kesenangan akan barang yang baik karena
mengingatkan kepada
Tuhan-ku.” Hingga ketika kuda-kuda itu tersembunyi di belakang tabir, ia
berkata: “Bawalah kembali kuda-kuda
itu kepadaku,” Kemudian ia mulai
mengusap-usap kaki dan leher kuda-kuda itu. (Ash-Shād
[38]:31-34).
Kedudukan Sebagai “Khalifah” Allah &
Cara Mengemban Amanat Kepemimpinan yang Benar
Jadi, dalam kisah Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. terkandung berbagai petunjuk
mengenai cara mengelola pemerintahan atau
kerajaan berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan yang hakiki,
karena pada hakikatnya seorang kepala pemerintahan – baik itu raja atau pun presiden -- mereka itu mendapat amanat kekuasaan dari Allah Swt. sebagai ulil
amri (pengelola urusan negara), dan mereka harus melaksanakannya
dalam kedudukan sebagai “khalifah”
(wakil) Allah di muka bumi, sebagaimana firman-Nya mengenai Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَا دَاوٗدَ مِنَّا
فَضۡلًا ؕ یٰجِبَالُ اَوِّبِیۡ
مَعَہٗ وَ الطَّیۡرَ ۚ وَ اَلَنَّا
لَہُ الۡحَدِیۡدَ ﴿ۙ﴾ اَنِ اعۡمَلۡ
سٰبِغٰتٍ وَّ قَدِّرۡ فِی السَّرۡدِ وَ اعۡمَلُوۡا صَالِحًا ؕ اِنِّیۡ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِیۡرٌ ﴿﴾ وَ لِسُلَیۡمٰنَ الرِّیۡحَ غُدُوُّہَا شَہۡرٌ
وَّ رَوَاحُہَا شَہۡرٌ ۚ وَ اَسَلۡنَا لَہٗ
عَیۡنَ الۡقِطۡرِ ؕ وَ مِنَ الۡجِنِّ مَنۡ یَّعۡمَلُ بَیۡنَ یَدَیۡہِ بِاِذۡنِ رَبِّہٖ ؕ وَ مَنۡ یَّزِغۡ مِنۡہُمۡ
عَنۡ اَمۡرِنَا نُذِقۡہُ مِنۡ عَذَابِ
السَّعِیۡرِ ﴿﴾ یَعۡمَلُوۡنَ
لَہٗ مَا یَشَآءُ مِنۡ مَّحَارِیۡبَ وَ تَمَاثِیۡلَ وَ جِفَانٍ
کَالۡجَوَابِ وَ قُدُوۡرٍ رّٰسِیٰتٍ ؕ اِعۡمَلُوۡۤا اٰلَ دَاوٗدَ شُکۡرًا ؕ وَ
قَلِیۡلٌ مِّنۡ عِبَادِیَ الشَّکُوۡرُ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menganugerahkan
karunia dari Kami kepada Daud dan
berfirman: ”Hai
gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama dia.” Dan Kami
menjadikan besi lunak baginya. Berfirman: “Buatlah baju rantai yang cukup panjang serta ukurlah cincin-cincinnya secara tepat, dan berbuatlah amal saleh, sesungguhnya Aku melihat apa pun yang kamu
kerjakan.” Dan kepada Sulaiman Kami menundukkan angin, perjalanan paginya sama
dengan sebulan perjalanan darat
dan perjalanan petangnya sama dengan
sebulan. Dan Kami mengalirkan sumber cairan tembaga untuk dia. Dan dari jin-jin ada yang bekerja di bawah perintahnya dengan izin Tuhan-nya, dan barangsiapa dari mereka menyimpang dari perintah Kami, Kami membuat dia merasakan azab Api yang
menyala-nyala. Mereka mengerjakan
untuknya apa yang dia kehendaki berupa
tempat-tempat ibadah, patung-patung, kolam-kolam bagaikan bendungan
dan periuk-periuk besar yang
tetap pada tungkunya. Hai keluarga Daud, beramallah sambil bersyukur. Tetapi sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (As-Sabā
[34]:11-14).
Berikut firman-Nya mengenai bagaimana seorang raja atau presiden
sebagai kepala pemerintahan atau ulil-‘amri (pengelola urusan
pemerintahan) harus bertindak adil dan bijaksana
dalam melaksanakan kekuasaan
yang diamanatkan Allah Swt. kepada mereka, sesuai situasi dan kondisi yang ada, firman-Nya:
یٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلۡنٰکَ
خَلِیۡفَۃً فِی الۡاَرۡضِ فَاحۡکُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ بِالۡحَقِّ وَ لَا تَتَّبِعِ
الۡہَوٰی فَیُضِلَّکَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَضِلُّوۡنَ عَنۡ
سَبِیۡلِ اللّٰہِ لَہُمۡ عَذَابٌ
شَدِیۡدٌۢ بِمَا نَسُوۡا یَوۡمَ الۡحِسَابِ
﴿٪﴾
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi maka hakimilah di antara manusia dengan benar
dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena
ia akan menyesatkan engkau dari jalan
Allah.” Sesungguhnya orang-orang
yang tersesat dari jalan Allah bagi mereka ada azab yang sangat keras karena mereka melupakan Hari
Perhitungan. (Shād [38]:27).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
pentingnya kebijaksanaan dalam menyelesaikan suatu masalah
yang berhubungan dengan menjaga kedaulatan
negara:
وَ دَاوٗدَ وَ سُلَیۡمٰنَ اِذۡ یَحۡکُمٰنِ فِی الۡحَرۡثِ اِذۡ
نَفَشَتۡ فِیۡہِ غَنَمُ الۡقَوۡمِ
ۚ وَ کُنَّا لِحُکۡمِہِمۡ شٰہِدِیۡنَ﴿٭ۙ﴾
Dan ingatlah
Daud dan Sulaiman ketika mereka
berdua memberikan keputusan mengenai suatu ladang, ketika kambing-kambing suatu kaum merusak di
dalamnya, dan Kami menjadi saksi
atas benarnya keputusan
mereka. (Al-Anbiya [21]:79).
Firman-Nya
lagi:
فَفَہَّمۡنٰہَا سُلَیۡمٰنَ ۚ وَ کُلًّا
اٰتَیۡنَا حُکۡمًا وَّ عِلۡمًا ۫ وَّ سَخَّرۡنَا مَعَ دَاوٗدَ الۡجِبَالَ
یُسَبِّحۡنَ وَ الطَّیۡرَ ؕ وَ کُنَّا فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾
Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman, dan kepada masing-masing Kami berikan kebijaksanaan dan ilmu. Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung untuk bertasbih
bersama Daud, dan Kami-lah Yang mengerja-kannya. (Al-Anbiyā
[21]:80).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar