Minggu, 13 Oktober 2013

Cara Mengalola Pemerintahan yang Baik oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.





ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab 46

   Cara  Mengelola Pemerintahan yang Baik oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. 

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
 alam akhir  Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai menurut Mirza Ghulam Ahmad a.s. di dalam buku beliau, Falsafah Ajaran Islam, terdapat perbedaan besar antara hasil perenungan  (tafakkur) yang dilakukan oleh  para  ahli pengetahuan  hukum alam tersebut  berkenaan dengan keberadaan Wujud Pencipta  tatanan alam semesta jasmani yang sempurna ini, dengan pernyataan  para Rasul Allah yang diutus oleh Sang Maha Pencipta tatanan alam semesta jasmani:
        “……Jadi, pada hakikatnya benda-benda langit raksasa yang kelihatan -- seperti matahari, bulan, dan sebagainya  -- merupakan kaca-kaca bening yang dengan keliru telah disembah, dan di balik benda-benda itu ada  suatu kekuatan tinggi yang sedang bekerja, bagaikan   air yang mengalir deras di   bawah kaca. Dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh penglihatan jasmani para penyembah makhluk  ialah mereka menganggap pekerjaan itu dilakukan oleh kaca-kaca tersebut yang memperlihatkan kekuatan bawahnya.  Demikian tafsir ayat suci ini:
إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ
“Sesungguhnya itu adalah istana yang berlantaikan kaca” (An-Naml [27] 45).

Wahyu Ilahi  Merupakan  Bukti yang Perkasa Tentang Adanya Tuhan

       Ringkasnya, oleh karena  Zat Allah Ta’ala yang kendati pun sangat cemerlang namun tetap saja sangat  tersembunyi,  oleh karena  itu untuk mengenali-Nya tidak cukup hanya dengan menyaksikan tatanan jasmani yang tampak  di hadapan kita saja.  Itulah sebabnya  kebanyakan orang yang menggantungkan diri pada tatanan alam semesta jasmani  ini tetap saja tidak dapat melepaskan diri dari gelapnya keraguan dan kebimbangan. Dan kebanyakan mereka terperangkap dalam berbagai kekeliruan, dan karena terjerat dalam syak wasangka  yang sia-sia maka mereka telah tersesat jauh.
       Padahal mereka merenungkan dengan seksama   gugusan sempurna dan kokoh itu  yang  mengandung ribuan keajaiban. Bahkan mereka telah menciptakan kemahiran-kemahiran di bidang astronomi,  ilmu alam, dan   filsafat,   seolah-olah mereka telah menyatu  dengan langit dan bumi. Dan seandainya pun terpikirkan juga sedikit oleh mereka  tentang Sang Pencipta,  maka itu hanyalah sekedar anggapan yang timbul setelah menyaksikan  tatanan yang tinggi dan sempurna, yakni di dalam hati mereka muncul  anggapan bahwa   memang seharusnya ada suatu Wujud yang menciptakan tatanan agung yang mengandung sistem yang penuh hikmah ini.
       Akan tetapi  jelas bahwa pemikiran demikian – yakni seharusnya ada Wujud yang menciptakan --  tersebut tidak sempurna, dan itu merupakan makrifat yang dangkal. Sebab  mengatakan bahwa “Tatanan yang sempurna ini seharunya ada satu Tuhan” sekali-kali tidak sama dengan ucapan bahwa, “Tuhan itu benar-benar ada!
      Ringkasnya, itu hanyalah merupakan makrifat  mereka yang bersifat dugaan, yang tidak dapat memberikan ketenangan dan ketentraman   kepada hati serta sama sekali tidak dapat menghapuskan kebimbangan kalbu. Dan itu bukanlah suatu mangkuk yang   dapat menghilangkan kedahagaan akan   makrifat sempurna yang telah dipatrikan pada fitrat manusia. Justru makrifat dangkal demikian itu  sangat berbahaya, karena setelah heboh demikian rupa akhirnya tanpa hasil dan tidak membuahkan apa-apa.
     Ringkasnya, selama Allah Ta'ala Sendiri belum menzahirkan keberadaan-Nya melalui Kalam-Nya  -- sebagaimana telah Dia  zahirkan melalui perbuatan-Nya --  maka selama itu pula penelaahan terhadap  perbuatan-Nya semata tidak akan memberikan   kepuasan.
      Misalnya, jika kita melihat sebuah kamar yang terasa  mengherankan karena  terkunci dari dalam, maka dari perbuatan itu pertama-tama yang pasti terpikirkan oleh kita adalah bahwa  di dalam kamar itu pasti ada seseorang telah memasang rantai  (kunci) dari dalam, sebab dari luar tidak mungkin rantai (kunci) bagian dalam itu dapat dipasangkan. 
       Akan tetapi apabila sampai masa tertentu --   bahkan sampai bertahun-tahun --  kendati pun telah berulang-ulang dipanggil namun dari orang itu tidak juga ada sahutan maka akhirnya pikiran kita yang beranggapan bahwa ada orang di dalam akan berubah. Dan kita akan berpikir bahwa di dalam tidak ada orang, dan kunci itu telah dipasang dari dalam melalui suatu hikmah (keajaiban) tertentu. 
     Demikianlah keadaan para ahli filsafat yang telah membatasi pengetahuan mereka hanya pada penelaahan terhadap perbuatan Tuhan. Ini adalah suatu kekeliruan besar menganggap Tuhan seperti sesuatu yang telah mati, yang dapat dikeluarkan dari dalam kubur hanya oleh upaya manusia. Seandainya Tuhan itu benar demikian — yang  hanya dapat diketahui oleh usaha manusia — saja maka seluruh harapan kita berkenaan dengan Tuhan yang demikian itu akan sia-sia. Justru Tuhan itu adalah Dia Yang selamanya dan sejak awal terus memanggil manusia ke arah-Nya dengan menyatakannya sendiri:  اَنَا الْمَوْجُوْدُ  (Aku ada!).
    Ini sungguh sangat lancang apabila kita berpikiran bahwa dalam mengetahui tentang Tuhan terdapat  ihsan (kebajikan) manusia atas diri-Nya, dan jika para ahli filsafat tidak ada maka Dia seakan-akan tetap tidak akan ditemukan. Dan mengatakan bahwa, “Bagaimana Tuhan dapat berbicara? Apakah Dia memiliki lidah?” Itu pun suatu kekurang-ajaran. Tidakkah Dia telah menciptakan benda-benda langit dan bumi  tanpa tangan-tangan jasmani? Tidakkah Dia melihat seluruh alam semesta tanpa mata jasmani? Tidakkah Dia mendengar suara-suara kita tanpa telinga jasmani? Jadi, tidakkah mutlak bahwa Dia juga berbicara dengan cara demikian?
     Sungguh tidak benar, bahwa di masa mendatang Tuhan  tidak lagi  bercakap-cakap melainkan hanya di masa lampau saja. Kita tidak dapat menutup ucapan dan percakapan-percakapan-Nya sebatas zaman tertentu saja. Tidak diragukan lagi sekarang pun Dia siap mencurahkan  mata air ilham kepada orang-orang yang mencari, sebagaimana sebelumnya Dia siap. Dan sekarang juga pintu-pintu karunia-Nya tetap terbuka  seperti halnya dahulu. Ya, karena segala sesuatu telah sempurna maka syariat serta hukum-hukum pun telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta kenabian telah mencapai kesempurnaannya pada titik akhir dalam wujud Junjungan kita Muhammad saw.”

Pentingnya Beriman kepada Penyeru dari Allah  Swt.

 Sesuai dengan penjelasan tersebut, kesadaran ruhani yang terjadi dalam diri orang-orang yang mempergunakan akal (bashirah)  atau ‘ulama hakiki yang dikemukakan dalam Qs.3:191—193  sebelum ini,  setelah melihat berbagai bentuk kobaran api kemurkaan Ilahi  yang melanda kehidupan umat manusia – termasuk di Akhir Zaman ini --  maka dalam hatinya munculnya keyakinan  mengenai kebenaran pendakwaan   Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt.  kepada Bani Adam  (QS. 7:35-37), firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ  قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta   pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu  orang-orang yang  mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring atas rusuk mereka, dan mereka memikirkan mengenai penciptaan seluruh langit dan bumi  seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini  sia-sia,  Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (Ali ‘Imran [3]:191-193).
  Kenapa demikian? Sebab  merupakan Sunatullah bahwa Allah Swt.   tidak pernah menurunkan azab kepada manusia sebelum terlebih dulu datang Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.17:16; QS.20:134-136), itulah sebabnya “orang-orang yang berakal” itu pun meyakini bahwa Rasul Allah yang     dijanjikan tersebut pasti telah datang dan mereka beriman kepada seruannya, firman-Nya:
رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ  فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ  الۡاَبۡرَارِ ﴿ۚ  رَبَّنَا وَ اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾
Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami kepada  keimanan seraya berkata:  "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu" maka kami telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama  orang-orang yang berbuat kebajikan. Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.” (Ali ‘Imran [3]:194-195).
      Jadi, betapa pentingnya keberadaan para Rasul Allah di kalangan umat manusia, contohnya adalah kasus Ratu Saba,  yang sekali pun melalui “singgasana” yang  dihadiahkannya kepada Nabi Sulaiman a.s.  – dan  “singgasana” itu pulalah yang direnovasi lebih indah dari sebelumnya (asli) oleh Nabi Sulaiman a.s.  utuk menerima kunjungan kehormatannya --  telah membuat Ratu Saba mengakui keunggulan SDA dan SDM milik Nabi Sulaiman a.s., namun ia tetap bertahan dalam kemusyrikannya, firman-Nya:
قَالَ نَکِّرُوۡا  لَہَا عَرۡشَہَا نَنۡظُرۡ اَتَہۡتَدِیۡۤ  اَمۡ تَکُوۡنُ مِنَ الَّذِیۡنَ لَا یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّا جَآءَتۡ قِیۡلَ  اَہٰکَذَا عَرۡشُکِ ؕ قَالَتۡ کَاَنَّہٗ ہُوَ ۚ وَ اُوۡتِیۡنَا الۡعِلۡمَ  مِنۡ قَبۡلِہَا  وَ کُنَّا مُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾  وَ  صَدَّہَا مَا کَانَتۡ تَّعۡبُدُ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ اِنَّہَا  کَانَتۡ مِنۡ  قَوۡمٍ  کٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Ia, Sulaiman,  berkata: “Buatlah tidak berharga untuk dia singgasana itu,  kita lihat apakah ia mendapat petunjuk ataukah ia termasuk orang-orang yang tidak mendapat petunjuk.”  Maka tatkala ia, ratu, datang dikatakan kepadanya: Serupa inikah singgasana engkau?” Ia menjawab, “Ini seolah-olah sama seperti itu, dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.  Dan apa yang senantiasa disembahnya  selain Allah  telah meng-halanginya beriman,  sesungguhnya ia termasuk  kaum kafir. (An-Naml [27]:42-44).

Rasul Allah  Merupakan “Cahaya Petujuk

    Tetapi ketika Nabi Sulaiman a.s. mengundang Ratu Saba  memasuki “istana” khusus yang dibangunnya,  lalu menjelaskan  kepada Ratu Saba yang  kebingungan melihat  keadaan lantai istana yang nampak kepadanya seperti  genangan air  yang mengalir deras,   barulah Ratu Saba menyadari kesesatan kemusyrikannya telah menjadikan benda-benda angkasa sebagai “tuhan-tuhan sembahannya”, firman-Nya:
قِیۡلَ  لَہَا ادۡخُلِی الصَّرۡحَ ۚ فَلَمَّا رَاَتۡہُ حَسِبَتۡہُ  لُجَّۃً  وَّ کَشَفَتۡ عَنۡ سَاقَیۡہَا ؕ قَالَ  اِنَّہٗ  صَرۡحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنۡ قَوَارِیۡرَ ۬ؕ قَالَتۡ رَبِّ  اِنِّیۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِیۡ وَ اَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَیۡمٰنَ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪﴾
Dikatakan kepada dia: “Masuklah ke istana.” Maka tatkala ia melihatnya ia menyangka itu air yang dalam, dan ia menyingkapkan kain dari betisnya.  Ia, Sulaiman, berkata: “Sesungguhnya ini istana yang berlantaikan  ubin dari kaca.” Ia, ratu, berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri dan aku tunduk bersama Sulaiman kepada Allah  Tuhan seluruh alam.” (An-Naml [27]:45).
    Mengenai pentingnya keberadaan Rasul Allah tersebut  yaitu  dalam rangka menjelaskan kepada manusia   rahasia-rahasia gaib  dari khazanah Ketuhanan yang tidak terbatas,  digambarkan pula dalam kisah monumental “Adam – Malaikat – Iblis,  dimana untuk mendukung “keberatan” mereka terhadap maksud Allah Swt. akan menjadi seorang “Khalifah” di muka bumi,  para malaikat telah menyatakan bahwa apakah tidak cukup   keberadaan mereka yang senantiasa “menyanjungkan kesucian Allah Swt. (bertasbih)  dengan puji-pujian-Nya).
     Allah Swt. menjawab  “keberatan” mereka:   اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ  --  “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, kemudian mereka   mereka bersujud kepada Adam (Khalifah Allah) yang telah diajari Allah Swt. rahasia-rahasia baru Al-Asmaa’ ul-Husna  yang tidak diketahui oleh para malaikat (QS.2:31-35).
    Dengan demikian  benarlah pernyataan Nabi Sulaiman a.s. mengenai alasan kesenangan beliau akan segala sesuatu yang indah,  dan mengapa beliau banyak membangun berbagai bangunan yang indah  dan memiliki nilai-nilai filosofi ruhani yang dalam -- termasuk pembuatan  istana” khusus yang telah membuat Ratu Saba melepaskan kemusyrikannya dan menjadi seorang Muslimah yakni  perempuan yang berserah diri kepada Allah Swt. bersama Nabi Sulaiman a.s., firman-Nya:
وَ وَہَبۡنَا لِدَاوٗدَ  سُلَیۡمٰنَ ؕ نِعۡمَ  الۡعَبۡدُ ؕ اِنَّہٗۤ  اَوَّابٌ ﴿ؕ﴾  اِذۡ عُرِضَ عَلَیۡہِ بِالۡعَشِیِّ الصّٰفِنٰتُ الۡجِیَادُ ﴿ۙ﴾  فَقَالَ  اِنِّیۡۤ  اَحۡبَبۡتُ حُبَّ الۡخَیۡرِ عَنۡ ذِکۡرِ  رَبِّیۡ ۚ حَتّٰی تَوَارَتۡ بِالۡحِجَابِ ﴿ٝ﴾  رُدُّوۡہَا عَلَیَّ ؕ فَطَفِقَ مَسۡحًۢا بِالسُّوۡقِ وَ الۡاَعۡنَاقِ ﴿﴾
Dan kepada Daud Kami menganugerahkan Sulaiman, seorang hamba yang sangat baik, sesungguhnya ia selalu kembali kepada Kami.  Ketika dihadapkan kepadanya kuda-kuda yang terbaik pada petang hari  maka ia berkata: “Sesungguhnya aku mencintai kesenangan akan barang yang baik karena mengingatkan kepada Tuhan-ku.” Hingga ketika kuda-kuda itu tersembunyi di belakang tabir, ia berkata: Bawalah kembali kuda-kuda itu kepadaku,” Kemudian ia mulai mengusap-usap kaki dan leher kuda-kuda itu. (Ash-Shād [38]:31-34).

Kedudukan  Sebagai “Khalifah  Allah & 
Cara Mengemban Amanat Kepemimpinan  yang Benar

      Jadi, dalam kisah Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. terkandung berbagai petunjuk mengenai cara mengelola pemerintahan atau kerajaan   berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan  yang hakiki, karena pada  hakikatnya seorang kepala pemerintahan – baik itu raja atau pun presiden   --  mereka itu mendapat amanat kekuasaan dari Allah Swt. sebagai  ulil amri  (pengelola urusan negara),  dan mereka  harus melaksanakannya dalam kedudukan sebagai “khalifah” (wakil) Allah di muka bumi, sebagaimana firman-Nya mengenai Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَا دَاوٗدَ  مِنَّا فَضۡلًا ؕ یٰجِبَالُ اَوِّبِیۡ  مَعَہٗ  وَ الطَّیۡرَ ۚ وَ اَلَنَّا لَہُ  الۡحَدِیۡدَ ﴿ۙ﴾  اَنِ اعۡمَلۡ سٰبِغٰتٍ وَّ قَدِّرۡ فِی السَّرۡدِ وَ اعۡمَلُوۡا صَالِحًا ؕ اِنِّیۡ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِیۡرٌ  ﴿﴾ وَ لِسُلَیۡمٰنَ الرِّیۡحَ غُدُوُّہَا شَہۡرٌ وَّ رَوَاحُہَا شَہۡرٌ ۚ وَ اَسَلۡنَا لَہٗ  عَیۡنَ الۡقِطۡرِ ؕ وَ مِنَ الۡجِنِّ مَنۡ یَّعۡمَلُ بَیۡنَ یَدَیۡہِ  بِاِذۡنِ رَبِّہٖ ؕ وَ مَنۡ یَّزِغۡ مِنۡہُمۡ عَنۡ اَمۡرِنَا نُذِقۡہُ  مِنۡ عَذَابِ السَّعِیۡرِ ﴿﴾  یَعۡمَلُوۡنَ لَہٗ  مَا یَشَآءُ  مِنۡ مَّحَارِیۡبَ وَ تَمَاثِیۡلَ وَ جِفَانٍ کَالۡجَوَابِ وَ قُدُوۡرٍ رّٰسِیٰتٍ ؕ اِعۡمَلُوۡۤا اٰلَ دَاوٗدَ شُکۡرًا ؕ وَ قَلِیۡلٌ  مِّنۡ عِبَادِیَ  الشَّکُوۡرُ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menganugerahkan karunia dari Kami kepada Daud  dan berfirman: ”Hai  gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama dia.”  Dan Kami menjadikan besi lunak baginya. Berfirman: “Buatlah baju rantai yang  cukup panjang serta ukurlah cincin-cincinnya secara tepat, dan berbuatlah amal saleh, sesungguhnya Aku melihat   apa pun yang kamu kerjakan.” Dan kepada Sulaiman Kami  menundukkan angin, perjalanan paginya sama dengan sebulan perjalanan darat dan perjalanan petangnya sama dengan sebulan. Dan Kami mengalirkan sumber cairan tembaga untuk dia. Dan dari jin-jin ada yang bekerja di bawah perintahnya dengan izin Tuhan-nya,  dan   barangsiapa dari mereka menyimpang dari perintah Kami, Kami membuat dia merasakan azab Api yang menyala-nyala.   Mereka mengerjakan untuknya apa yang dia kehendaki berupa  tempat-tempat ibadah, patung-patung, kolam-kolam bagaikan bendungan dan periuk-periuk besar yang tetap pada tungkunya. Hai keluarga Daud, beramallah sambil bersyukur. Tetapi sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (As-Sabā [34]:11-14). 
      Berikut firman-Nya mengenai   bagaimana seorang  raja  atau presiden sebagai kepala pemerintahan atau ulil-‘amri (pengelola urusan pemerintahan)   harus bertindak adil dan bijaksana dalam  melaksanakan  kekuasaan  yang diamanatkan Allah Swt. kepada mereka, sesuai situasi dan kondisi  yang ada, firman-Nya:
یٰدَاوٗدُ  اِنَّا جَعَلۡنٰکَ خَلِیۡفَۃً فِی الۡاَرۡضِ فَاحۡکُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ بِالۡحَقِّ وَ لَا تَتَّبِعِ الۡہَوٰی فَیُضِلَّکَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَضِلُّوۡنَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ  لَہُمۡ عَذَابٌ شَدِیۡدٌۢ بِمَا نَسُوۡا یَوۡمَ الۡحِسَابِ  ﴿٪﴾
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi maka hakimilah di antara manusia dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah bagi mereka ada azab yang sangat keras karena mereka  melupakan Hari Perhitungan. (Shād [38]:27).
    Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya kebijaksanaan dalam  menyelesaikan suatu  masalah yang  berhubungan dengan  menjaga kedaulatan negara:   
وَ دَاوٗدَ  وَ سُلَیۡمٰنَ  اِذۡ یَحۡکُمٰنِ فِی الۡحَرۡثِ  اِذۡ  نَفَشَتۡ فِیۡہِ غَنَمُ  الۡقَوۡمِ ۚ وَ کُنَّا  لِحُکۡمِہِمۡ  شٰہِدِیۡنَ﴿٭ۙ﴾
Dan ingatlah Daud dan Sulaiman ketika mereka berdua memberikan keputusan mengenai suatu ladang, ketika kambing-kambing suatu kaum merusak di dalamnya, dan Kami menjadi saksi atas benarnya keputusan mereka. (Al-Anbiya [21]:79).
Firman-Nya lagi:
فَفَہَّمۡنٰہَا سُلَیۡمٰنَ ۚ وَ کُلًّا  اٰتَیۡنَا حُکۡمًا وَّ عِلۡمًا ۫ وَّ سَخَّرۡنَا مَعَ دَاوٗدَ الۡجِبَالَ یُسَبِّحۡنَ وَ الطَّیۡرَ ؕ وَ کُنَّا فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾
Maka Kami memberikan pengertian  kepada Sulaiman, dan kepada masing-masing  Kami  berikan kebijaksanaan dan ilmu.  Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung untuk bertasbih bersama Daud,  dan Kami-lah Yang mengerja-kannya. (Al-Anbiyā [21]:80).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar,  7 Oktober    2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar