ۡ بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 58
Pengamalan Empat
Sifat Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
alam Bab sebelumnya
telah dijelaskan ayat 2 Surah Al-Fatihah
tentang
Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- “segala puji bagi Allah Rabb
(Pencipta) seluruh alam”, yang berdasarkan Sifat Rabbuibiyyat-Nya itulah Allah Swt. telah menciptakan tatanan alam semesta jasmani ini -- yang pada hakikatnyta merupakan bagian
dari “kerajaan” Allah Swt., firman-Nya:
|
اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ
الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾
Segala puji hanya bagi Allah,
Tuhan seluruh alam, Maha
Pemurah, Maha Pe-nyayang, Pemilik
Hari Pembalasan. (Al-Fatihah [1]:2-4).
Makna Nama “Allah”
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kata Allah dalam ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ -- “Segala puji hanya bagi Allah”
adalah nama Zat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua Sifat sempurna, dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab lafaz Allah tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun. Tidak ada bahasa lain yang memiliki nama tertentu
atau nama khusus untuk Dzat Yang
Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain semuanya
nama-penunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan), dan
seringkali dipakai dalam bentuk jamak,
sedangkan lafaz Allāh
tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak.
Lafaz Allah adalah ism
zat (nama zat), bukan ism musytak, yakni tidak diambil dari kata lain dan tidak pernah
dipakai sebagai keterangan atau sifat. Karena tidak ada lafaz lain yang sepadan maka lafaz Allah dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat
Al-Quran.
Pandangan ini didukung oleh para
alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat lafaz
Allah adalah nama Wujud
bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya Sendiri, Pemilik segala
sifat sempurna, dan huruf al tidak terpi-sahkan dari lafaz Allāh (Lexicon Lane).
Dalam bahasa
Arab, kata al pada ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ -- “Segala puji hanya bagi Allah” itu lebih-kurang sama artinya dengan
kata “the” dalam bahasa Inggeris. Kata al
dipergunakan untuk menunjukkan keluasan
yang berarti meliputi semua segi atau
jenis sesuatu pokok, atau untuk
melukiskan kesempurnaan, yang juga
suatu segi keluasan, karena meliputi semua tingkat dan derajat. Al
dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telah disebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.
Makna Kalimat “Segala Puji
bagi Allah” &
Makna al-’Ālamīn (Seluruh Alam)
Dalam
bahasa Arab dua kata madah dan hamd dalam ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ -- “Segala puji hanya bagi Allah”
dipakai dalam arti pujian atau syukur, tetapi kalau madah mungkin palsu,
sedangkan hamd senantiasa benar.
Lagi pula, madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak
dikuasai oleh pelakunya, tetapi hamd
hanya dipakai mengenai perbuatan yang
dilakukan dengan kerelaan hati dan
dengan kemauan sendiri (Al-Mufradat).
Hamd mengandung pula arti: pengaguman,
penyanjungan, dan penghormatan terhadap yang dituju oleh pujian itu, dan
kerendahan, kehinaan, dan kepatuhan orang yang memberi pujian (Lexicon Lane). Jadi hamd adalah kata yang paling tepat dipakai di
sini, untuk maksud mengutarakan kebaikan,
dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak serta sebagai sanjungan akan kemuliaan Allah Swt.. Menurut
kebiasaan, kata hamd kemudian menjadi khusus ditujukan hanya kepada Allah Swt.
Surah Al-Fatihah
ayat 2: اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam), dimana makna
kata rabb dalam Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. telah dijelaskan
sebelumnya, ada pun kalimat al-’ālamīn adalah jamak dari al-’alam, berasal
dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata al-’ālamīn itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana (perantaraan)
itu orang dapat mengetahui Al-Khāliq -- Maha Pencipta (Aqrab-al-Mawarid), sebagaimana
firman-Nya dalam Al-Quran (QS.2:165; QS.3:27-28 & 191-195; QS.10:7;
QS.30:21-28; QS.42:30; QS.45:4-7).
Kata al-’ālamīn
dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins,
artinya “alam manusia” atau ‘alam-ul-hayawan yakni “alam binatang” atau ‘alamul-nabat yakni “alam tumbuh-tumbuhan.”
Kata al-’ālamīn tidak
hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal
— seperti manusia dan malaikat — saja, Al-Quran pun mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (QS.26:24-29 dan QS.41:10).
Akan tetapi tentu saja kadang-kadang kata itu dipakai dalam arti yang terbatas
(QS.2:123). Di sini kata al-’ālamīn
itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah”
yakni benda-benda berjiwa dan tidak
berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit — matahari, bulan, bintang, dan
sebagainya.
Dengan demikian dalam ayat
ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam) secara jelas terpisah antara Allah Swt. sebagai Rabb dan al-’ālamīn (seluruh
alam) sebagai ciptaan (makhluk) Allah
Swt., sehingga tidak mungkin semua makhluk ciptaan Allah Swt. yang diciptakan
melalui sifat Rabbubiyyat-Nya dapat
berubah berkedudukannya menjadi Khaliq (Tuhan Pencipta), melainkan hanya
sekedar meniru sifat Al-Khaliq (Maha Pencipta) Allah Swt.
serta Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah
Swt. lainnya.
Ungkapan “Segala puji bagi Allah” lebih luas dan lebih mendalam artinya
daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Allah Swt. menurut pengetahuannya yang terbatas, sedangkan
anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia
bahkan juga puji-pujian yang tidak diketahuinya. Allah Swt. layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran
manusia yang tidak sempurna.
Tambahan pula kata al-hamd adalah
masdar dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya, sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok,
Alhamdulillāhi berarti hanyalah Allah Swt. sajalah Yang
berhak memberikan pujian sejati;
dan diartikan secara tujuan kalimat, Alhamdulillāhi berarti bahwa segala
pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi
Allah Swt. semata-mata.
Proses Evolusi Merupakan Rangkaian Hukum “Sebab-Akibat”
Sesuai Sifat Rabbubiyyat Allah Swt.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa ayat menunjuk kepada hukum evolusi di alam semesta, artinya
bahwa segala sesuatu di alam semesta jasmani ini mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan
itu terus-menerus — dan terlaksana secara bertahap.
Penggunaan ucapan Ya
Rabbiy (Ya Tuhan-ku) dan Rabbanā
(Ya Tuhan kami) dalam doa-doa yang dipanjatkan dalam Al-Quran
mengisyaratkan kepada Sifat Rabbubiyyat Allah Swt., yakni
mengisyaratkan kepada Sifat Allah Swt. Yang
membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang setingkat demi setingkat
menuju kepada tujuan penciptaan yang
telah ditetapkan-Nya.
Selanjutnya ayat ini menunjuk kepada kenyataan bahwa
manusia dijadikan untuk kemajuan
tidak terbatas, sebab ungkapan رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ (Rabb seluruh alam) itu mengandung arti bahwa Allah Swt. mengembangkan
segala sesuatu dari tingkatan rendah
kepada yang lebih tinggi, dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan lain dalam proses yang tidak ada henti-hentinya.
Mengisyaratkan kepada kenyataan
itu pulalah Allah Swt. telah berfirman mengenai pentingnya kesabaran dalam hal terkabulnya doa yang dipanjatkan kepada-Nya atau pun suatu upaya
(usaha) yang sedang dilakukan -- walau
Allah Swt. berkuasa mewujudkan segala
sesuatu dengan ucapan “Kun, fayakun”
(“Jadilah” maka terjadilah) --
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ الصَّلٰوۃِ
ؕ اِنَّ اللّٰہَ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(Al-Baqarah [2]:154)
Shabr (sabar) berarti: (1) tekun dalam
menjalankan sesuatu; (2) memikul kemalangan dengan ketabahan dan tanpa
berkeluh-kesah; (3) berpegang teguh kepada syariat
dan petunjuk akal; (4) menjauhi
perbuatan yang dilarang oleh syariat dan akal
(Al-Mufradat).
Ayat
ini mengandung satu asas yang hebat sekali untuk mencapai keberhasilan (kesuksesan). Pertama, seorang Muslim harus tekun dalam usahanya dan sedikit pun tidak boleh berputus asa. Di samping itu ia harus menjauhi apa-apa yang berbahaya dan berpegang teguh kepada
segala hal yang baik. Kedua, ia
hendaknya mendoa kepada Allah Swt. untuk keberhasilan, sebab hanya Allah Swt. sajalah Sumber segala kebaikan.
Kata shabr (sabar)
mendahului kata shalat dalam ayat ini dengan maksud untuk menekankan
pentingnya melaksanakan hukum Ilahi -- termasuk “hukum alam” atau “hukum
sebab-akibat” -- yang terkadang diremehkan karena tidak mengetahui.
Lazimnya doa akan terkabul hanya
bila didampingi oleh penggunaan
segala sarana yang diciptakan Allah Swt. untuk mencapai sesuatu tujuan.
Ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ – (Segala
puji bagi Allah Rabb seluruh alam) menjelaskan pula, bahwa prinsip evolusi
(perubahan secara bertahap) tidak
bertentangan dengan kepercayaan kepada Allah Swt., tetapi proses evolusi yang disebut di sini, tidak sama
dengan teori evolusi seperti biasanya
diartikan, sebagaimana teori Charles
Darwin yang mengatakan bahwa manusia
berasal dari kera. Kata-kata itu
dipergunakan dalam arti umum.
Pengamalan Empat Sifat
Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah
Oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
Jadi, sebagaimana halnya Allah
Swt. – Yang merupakan “Maharaja” hakiki dari “kerajaan” tatanan alam semesta -- demikian pula halnya kewajiban seorang Kepala Negara (Kepala Pemerintahan)
pun harus berusaha memperagakan Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. sehingga tercipta berbagai macam fasilitas kehidupan yang diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat (rakyat) yang
dipimpinnya.
Salah satu contoh yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran mengenai pelaksanaan Sifat Rabbubiyat Allah Swt. tersebut adalah yang dilakukan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s., sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
beberapa Bab sebelum ini.
Walau pun benar bahwa misi kerasulan kedua raja besar Bani Israil tersebut pada hakikatnya
hanya untuk kalangan Bani Israil saja
(QS.2:88-89; QS.61:7), tetapi dalam
kenyataannya Allah Swt, telah memberikan izin
kepada Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman
a.s. untuk “mengelola” atau “memanfaatkan” SDM (sumber
daya manusia) suku-suku asing yang telah mereka taklukan, karena mereka itu sebelumnya mendiami wilayah “negeri
yang dijanjikan” kepada Bani Israil (QS.5:21-27) dan mereka pun
senantiasa menyerang Bani Israil.
Bangsa-bangsa asing bukan Bani Israil yang menguasai “negeri
yang dijanjikan” tersebut mulai
dapat dikalahkan sejak masa tampilnya
Thalut (Gideon) sebagai raja Bani Israil dan kerajaan Bani
Israil mencapai puncaknya kejayaannya
pada masa pemerintahan Nabi Daud a.s.
dan Nabi Sulaiman a.s. ketika berhasil “membunuh Jalut” dan “bala tentaranya” (QS.2: 247-253).
Masalah ini telah dijelaskan
dalam Bab-bab sebelumnya, bahwa “kaum-kaum
asing” yang ditaklukan oleh Nabi Daud
a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. dalam Al-Quran secara
kiasan disebut jin
dan syaitan, serta berbagai kemampuan (SDM) mereka itu dimanfaatkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.
untuk kepentingan kerajaan Bani Israil.
Sesuai Sunnatullah,
kemudian tiba masanya ketika kerajaan
Bani Israil yang dibangun oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. tersebut mulai
mengalami masa keruntuhannya setelah Nabi
Sulaiman a.s. wafat, karena para pewaris
kerajaan Bani Israil selanjutnya
tidak mampu memperagakan Sifat-sifat
Utama Tasybihiyyah Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah, yang telah dilakukan (diamalkan) oleh Nabi Daud a.s.
dan Nabi Sulaiman a.s, yakni Sifat Rabbubiyyat,
Rahmāniyyat, Rahīmiyyat dan Māliki
yaumiddīn.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah Allah Swt. dalam Al-Quran
telah menyebut para pewaris kerajaan
sebagai “jasad tak bernyawa” yang “duduk di atas singgasana”, hal tersebut
mengisyaratkan kelemahan akhlak
dan ruhani para raja Bani
Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat,
firman-Nya:
وَ لَقَدۡ فَتَنَّا سُلَیۡمٰنَ وَ اَلۡقَیۡنَا عَلٰی کُرۡسِیِّہٖ جَسَدًا ثُمَّ
اَنَابَ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ اغۡفِرۡ
لِیۡ وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ ۚ اِنَّکَ
اَنۡتَ الۡوَہَّابُ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah menguji
Sulaiman serta Kami menempatkan di
atas singgasananya suatu tubuh belaka, kemudian ia
kembali kepada Tuhan-nya. Ia
berkata: “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku
dan anugerahkanlah kepadaku suatu
kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku. Sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anugerah.” (Shād
[38]:35-36).
“Rayap Bumi” Pemakan “Tongkat”
Nabi Sulaiman a.s.
Dalam QS.34:15 ungkapan
yang dipakai ialah, “rayap bumi,” yang dapat mengisyaratkan kepada putra dan ahli waris Nabi Sulaiman a.s. yaitu Rehoboam,
seorang-orang yang tidak berharga, atau kepada Jeroboam, oknum yang mengibarkan panji pemberontakan terhadap wangsa (dinasti) Nabi Daud a.s. (I Raja-raja 12:28).
Nabi Sulaiman a.s. telah menyadari bahwa sesudah beliau
wafat, kerajaan beliau tak akan dapat
mempertahankan keutuhannya di bawah para
penerus beliau yang tak cakap lagi tanpa berkemampuan itu. Oleh karena itu beliau
menghadap dan mendoa ke hadirat Allah
Swt. . Doa itu dicantumkan dalam ayat berikutnya وَ ہَبۡ لِیۡ مُلۡکًا لَّا یَنۡۢبَغِیۡ
لِاَحَدٍ مِّنۡۢ بَعۡدِیۡ – “Wahai Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah
kepadaku suatu kerajaan yang tidak layak diwarisi oleh seseorang sesudahku.”
Seperti nampak dari ayat sebelum ini Nabi
Sulaiman a.s. telah
mempunyai firasat bahwa kerajaan duniawi beliau akan menjadi terpecah-belah sesudah beliau wafat, disebabkan oleh kelemahan mental putra beliau yang tolol dan tidak berharga itu; maka beliau mendoa
supaya kerajaan ruhani yang telah
dianugerahkan Tuhan kepada keturunannya dapat berjalan terus.
Bila
kata-kata “suatu kerajaan yang tidak
layak diwarisi oleh seseorang sesudahku,” diartikan secara harfiah, maka
doa Nabi Sulaiman a.s. akan dipahami sudah terkabul dalam artian
bahwa sesudah wafat beliau tidak akan
ada raja di antara kaum Bani Israil yang memiliki kekuasaan dan pamor seperti beliau sendiri, karena itu keruntuhan kerajaan Bani Israil setelah Nabi Sulaiman a.s. wafat
diumpamakan seperti “tongkat yang dimakan rayap”, firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَیۡنَا عَلَیۡہِ
الۡمَوۡتَ مَا دَلَّہُمۡ عَلٰی مَوۡتِہٖۤ
اِلَّا دَآبَّۃُ الۡاَرۡضِ
تَاۡکُلُ مِنۡسَاَتَہٗ ۚ فَلَمَّا خَرَّ تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا
یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ ﴿ؕ﴾
Maka tatkala
Kami menentukan kematiannya,
sekali-kali tidak ada yang menunjukkan
kematiannya kepada mereka selain rayap
bumi yang memakan tongkatnya. Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib, mereka
sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan. (Saba
[34]:15).
Para Pewaris Kerajaan Bani Israil
yang Berakhlak Lemah
Putra
yang sia-sia sebagai penerus Nabi Sulaiman a.s., Rehoboam; di bawah pemerintahannya yang lemah itu kerajaan Nabi Sulaiman a.s. yang tadinya besar dan berkuasa telah
menjadi berantakan (I Raja-raja, fatsal 12, 13, 14
& Jewish Encyclopaedia di bawah “Rehoboam”).
Jadi, kehancuran dan keterpecahbelahan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. . mulai
berlaku pada masa pemerintahan Rehoboam
dan di masa raja-raja selanjutnya,
dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Zedekia dengan terjadinya
dua kali serangan balatentara raja
Nebukarnezar dari kerajaan Babilonia sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelum ini mengenai dihancurkannya kota
Yerusalem (QS.17:5-6; QS.2:103, 1 Raja-raja 25:1-21).
Ada yang menarik dari firman
Allah Swt. mengenai “jin-jin” yang
tidak mengetahui yang gaib mengenai keruntuhan kerajaan Nabi Sulaiman a.s. فَلَمَّا خَرَّ
تَبَیَّنَتِ الۡجِنُّ اَنۡ لَّوۡ کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ الۡغَیۡبَ مَا لَبِثُوۡا
فِی الۡعَذَابِ الۡمُہِیۡنِ -- “Lalu tatkala tongkat itu jatuh, jin-jin mengetahui dengan jelas bahwa seandainya mereka mengetahui yang gaib, mereka
sekali-kali tidak akan tetap dalam azab yang menghinakan.“
Dengan demikian jelaslah bahwa
penggunaan kata “jin” dan “syaitan” berkenaan dengan Nabi Sulaiman
a.s. sama sekali tidak berhubungan dengan golongan makhluk
harus yang disebut jin dan syaitan,
melainkan mengisyaratkan
kepada bangsa-bangsa asing
para penyembah berhala yang telah
ditaklukkan
oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.,
yang kemudian atas izin Allah
Swt. keahlian dan tenaga (SDM) mereka dimanfaatkan oleh kedua raja besar Bani Israil – yang juga sebagai
rasul Allah -- tersebut untuk kepentingan kerajaan Bani Israil.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***