بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 337
Makna “Pakaian”
Dalam Wahyu Ilahi Kepada Al-Masih Mau’ud a.s. “Raja-raja akan Mencari Berkat dari Pakaian Engkau”
& Makna Sebutan Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan berbagai firman Allah Swt. dalam Al-Quran
dan Bible mengenai Sunnatullah
bahwa ketika Allah Swt.
menjadikan suatu kaum (umat) sebagai “kaum
terpilih” (khalifah) yang menggantikan kedudukan “kaum terpilih” sebelumnya
yang kemudian durhaka kepada
Allah Swt. dan rasul Allah, maka Allah Swt. akan menganugrahkan rangkaian nikmat Allah Swt. yang telah dianugerahkan kepada “kaum” yang mereka gantikan kedudukannya sebagai “kaum
terpilih”, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ
جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ اَحَدًا مِّنَ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu,
menjadikan kamu raja-raja, dan
Dia memberikan kepada kamu apa yang
tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa. (Al-Māidah [5]:21).
Penggantian kata kum
(kamu) alih-alih kata fī-kum mengandung isyarat bahwa jikalau tiap-tiap
dan semua anggota suatu bangsa yang hidup di bawah kekuasaan seorang raja -- seakan-akan mempunyai kekuasaan dan kedaulatan -- maka pengikut-pengikut seorang nabi Allah tidak mempunyai bagian dalam kenabiannya.
Ada pun yang paling berbahaya dari rangkaian nikmat-nikmat Allah Swt. tersebut adalah
ketika berbagai bentuk keberhasilan
duniawi -- yang merupakan
rangkaian nikmat yang ketiga setelah nikmat kenabian
dan nikmat kerajaan (kekuasaan)
duniawi -- dianugerahkan kepada “kaum terpilih” maka generasi
selanjutnya dari “kaum terpilih”
tersebut akan menjadi para pecinta
atau para penyembah “kehidupan
duniawi” dan mereka menjadi pelaku berbagai bentuk “kemusyrikan”, firman-Nya:
اُولٰٓئِکَ
الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ مِنۡ ذُرِّیَّۃِ اٰدَمَ ٭ وَ مِمَّنۡ حَمَلۡنَا مَعَ نُوۡحٍ ۫
وَّ مِنۡ ذُرِّیَّۃِ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ
اِسۡرَآءِیۡلَ ۫ وَ مِمَّنۡ ہَدَیۡنَا وَ اجۡتَبَیۡنَا ؕ اِذَا تُتۡلٰی
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتُ الرَّحۡمٰنِ
خَرُّوۡا سُجَّدًا وَّ
بُکِیًّا ﴿ٛ﴾ فَخَلَفَ مِنۡۢ
بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ
یَلۡقَوۡنَ غَیًّا ﴿ۙ﴾
Mereka
inilah orang-orang yang Allah telah memberi nikmat atas
mereka dari antara nabi-nabi
dari keturunan Adam, dari antara keturunan orang-orang yang Kami angkut
dalam bahtera bersama Nuh, dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari antara orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتُ الرَّحۡمٰنِ خَرُّوۡا
سُجَّدًا وَّ بُکِیًّا
-- Tatkala Ayat-ayat Yang Maha Pemurah dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur bersujud dan menangis. فَخَلَفَ مِنۡۢ
بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ
یَلۡقَوۡنَ غَیًّا -- Lalu datang
menggantikan sesudah mereka pengganti
yang mengabaikan shalat dan mengikuti
hawa-nafsu maka segera mereka akan me-nemui kesesatan, (Maryam
[19]:59-60).
Munculnya “Generasi Penerus” Pencinta
Kehidupan Duniawi & Musim Kemarau
Panjang Dunia Ruhani
Sebagian
ahli tafsir Al-Quran berpendapat bahwa kata-kata "dari
keturunan Adam” menunjuk kepada Nabi
Idris a.s., kata-kata
"yang Kami angkut dalam bahtera bersama Nuh"
menunjuk kepada Nabi Ibrahim a.s., dan kata-kata "dari keturunan Ibrahim" menunjuk kepada Nabi Isma’il a.s.,
Nabi Ishaq a.s., dan Nabi Ya'qub a.s.; sedangkan kata-kata
"dari keturunan" telah
dihadzafkan (dipahami seolah-olah ada) sebelum kata Israil dan menunjuk kepada Nabi Musa a.s. , Nabi Harun
a.s., Nabi Zakaria a.s., Nabi
Yahya a.s., dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang kesemuanya telah disebut dalam ayat-ayat
sebelum ayat 59 ini.
Makna ayat فَخَلَفَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ
اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ یَلۡقَوۡنَ غَیًّا -- Lalu datang
menggantikan sesudah mereka pengganti
yang mengabaikan shalat dan mengikuti
hawa-nafsu maka segera mereka akan menemui kesesatan,” sebenarnya kealpaan dan kelalaian dalam menjalankan shalat
membuat orang menjadi jahil mengenai Sifat-sifat Allah Swt. serta memusnahkan
keinginannya untuk menegakkan hubungan dengan Khaliq-nya (Pencipta-nya), dengan demikian selanjutnya melemparkan dia ke dalam cengkeraman syaitan.
Dan di mana kealpaan dalam memohon rahmat Ilahi dan dalam mendoa
kepada-Nya membawa orang kepada kegagalan,
maka menuruti ajakan nafsu buruk mengakibatkan ada sikap tidak acuh terhadap ilmu hakiki dan bergelimang dengan perbuatan-perbuatan kotor serta usaha-usaha yang tidak berguna, dan bila
semua hal tersebut tergabung menjadi satu, maka hal itu akan mendatangkan kehancuran akhlak dan ruhani manusia secara total.
Mengisyaratkan
kepada periode “musim kemarau panjang keruhanian”
itu pulalah -- yang juga telah menimpa umat Islam selama 1000 tahun setelah 3 abad masa kejayaan Islam yang pertama (QS.32:6) -- firman-Nya berikut
ini:
اَلَمۡ
یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ
قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا
اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ
الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk mengingat Allah
dan mengingat kebenaran yang telah turun kepada mereka,
وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا
الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ -- dan mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab
sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ
فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang
atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ
-- dan kebanyakan dari mereka
menjadi durhaka? اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا -- Ketahuilah,
bahwasanya Allah menghidupkan
bumi sesudah matinya. قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ
-- sungguh Kami telah menjelaskan
Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu
mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Pertolongan Allah Swt. Kepada Al-Masih
Mau’ud a.s.
Sehubungan dengan ayat فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu
hati mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ
-- dan kebanyakan dari mereka
menjadi durhaka? Dalam Surah lain
Allah Swt. berfirman:
بَلۡ مَتَّعۡنَا ہٰۤؤُلَآءِ وَ
اٰبَآءَہُمۡ حَتّٰی طَالَ عَلَیۡہِمُ الۡعُمُرُ ؕ اَفَلَا یَرَوۡنَ اَنَّا
نَاۡتِی الۡاَرۡضَ نَنۡقُصُہَا مِنۡ اَطۡرَافِہَا ؕ اَفَہُمُ الۡغٰلِبُوۡنَ ﴿﴾
Bahkan Kami telah memberi mereka dan orangtua
mereka kenikmatan hidup sehingga umurnya menjadi panjang. Apakah mereka tidak melihat
bahwasanya Kami mendatangi bumi
dengan menguranginya dari segala tepinya?
Maka apakah mungkin mereka
menjadi orang-orang yang menang? (Al-Anbiyā [21]:45).
Apabila suatu kaum mengalami masa kesejahteraan nasional yang berlangsung lama, mereka mulai
mempunyai anggapan yang keliru bahwa kesejahteraan dan kemajuan duniawi mereka
sekali-kali tidak akan mengalami kemunduran,
dan sebagai akibatnya mereka menjadi sombong
dan hati mereka menjadi keras. Dengan demikian lamanya berlangsung masa kesejahteraan duniawi mereka menjadi penyebab kejatuhan mereka.
Ayat ini memperingatkan orang-orang
kafir para penentang rasul Allah terhadap khayalan dan rasa kepuasan palsu, bahwa kemajuan
dan kesejahteraan mereka akan
berlangsung untuk masa tidak terbatas,
dan mengatakan kepada mereka agar jangan menutup
mata terhadap kenyataan yang jelas
bahwa Allah Swt. -- dengan perlahan-lahan tetapi pasti -- akan
mengurangi dan memotong bumi dari segala sisinya,
yaitu agama Islam sedang masuk ke tiap rumah dan ke dalam semua
golongan serta lapisan masyarakat
mereka, termasuk di Akhir zaman ini
melalui perjuangan Al-Mmasih Mau’ud a.s.
dan Jama’ahnya yang dipimpin oleh
para Khalifatul Masih.
Jadi, nubuatan yang dikemukakan firman Allah Swt. itu pulalah yang terjadi di Akhir Zaman mengenai upaya Jemaat Muslim Ahmadiyah dalam mewujudkan
kejayaan Islam yang kedua kali, sebagaimana yang dijanjikan Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.61:10;
QS.62:3-5).
Sekitar satu abad yang lalu, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- yang atas perintah Allah Swt. mendakwakan sebagai Al-Masih
Mau’ud a.s. – beliau hanya seorang diri di Qadian, sebuah kampung yang terpencil
di wilayah Punjab di Hindustan (India)
-- tetapi sekarang dengan karunia Allah Swt. Jemaat Ahmadiyah telah tersebar
luas di lebih 300 negara di
dunia, sesuai wahyu Ilahi yang beliau
terima dalam bahasa Urdu, yakni:
Me teri tabligh ko zaminke kinarong tak phoncaungga
(Aku akan sampaikan tabligh engkau hingga ke pelosok-pelosok
dunia -- Tadzkirah).
Padahal dalam kenyataannya, sejak Pendiri
Jemaat Ahmadiyah mendakwakan sebagai Al-Masih
Mau’ud a.s. yang kedatangannya ditunggu-tunggu
oleh semua umat beragama di Akhir Zaman, sejak saat itu -- sesuai
dengan Sunnah Ilahi berkenaan para rasul
Allah -- beliau dan para pengikutnya
terus menerus mendapat berbagai bentuk penentangan
secara zalim disertai berbagai
tuduhan fitnah keji dari para penentangnya (QS.15:12-13; QS.36:33-35;
QS.43:8-9; QS.51:53-54).
Bahkan,
sesuai dengan Sunnah-Nya terhadap “umat-umat terpilih” sebelumnya,
sehubungan dengan penganugrahan
rangkaian nikmat Allah Swt. berupa kenabian, kerajaan, dan kemajuan
duniawi (QS.5:21) – kepada Pendiri Jemaat Ahmadiyah pun Allah Swt.
telah menurunkan wahyu-Nya berkenaan dengan akan bergabungnya “raja-raja” ke dalam Jemaat beliau:
“Aku akan melimpahkan berbagai keberkatan kepada engkau, sehingga badsyah tere kaprongse barkat dundengge -- raja-raja
akan mencari berkat dari pakaian engkau.” (Tadzkirah).
Jadi,
wahyu-wahyu Ilahi yang diterima oleh Al-Masih Mau’ud a.s. tersebut sesuai
dengan firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ
جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ اَحَدًا مِّنَ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu,
وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا --
dan menjadikan kamu raja-raja,
dan Dia memberikan kepada kamu apa
yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa. (Al-Māidah [5]:21).
Makna Sebutan Al-Muzzammil
(Orang yang Membungkus Diri dengan Jubah)
Agar tidak menimbulkan fitnah dari orang-orang yang berhati bengkok (QS.3:8-9)
berkenaan wahyu
Ilahi yang diterima oleh Al-Masih
Mau’ud a.s. tentang “pakaian” yakni:
“Badsyah tere kaprongse barkat dundengge -- raja-raja
akan mencari berkat dari pakaian engkau (Tadzkirah).
Allah Swt. dalam Al-Quran pun telah mempergunakan kata “pakaian” sebagai kiasan mengenai “ketakwaan” (QS.7:27) dan juga mengenai “suami-istri”
(QS.2:188). Dengan demikian kata “pakaian”
dalam Al-Quran dan juga dalam wahyu-wahyu Ilahi tidak selalu harus dimaknai secara harfiah.,
yakni pakaian yang terbuat dari kain
atau bahan lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut
firman Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad
saw. berkenaan dengan makna
lain pakaian: یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ --
wahai orang yang berselimut” (Al-Muzzammil
[73]:2). Zammalahu berarti: ia
menggendong dia di belakang punggungnya. Zammala, kecuali arti yang
diberikan dalam terjemahan, berarti: ia
lari dan pergi dengan cepat.
Tazammala, izzammala atau izzamala
berarti: ia membungkus diri; ia memikul atau menggendong sesuatu, yaitu
suatu beban pada suatu waktu. Muzzammil (atau mutazammil) berarti:
orang yang terbungkus di dalam busananya; seseorang yang memikul tanggung-jawab
besar (Aqrab-al-Mawarid; Fath-ul- Qadir; Ruh-ul-Ma’ani).
Sesudah pengalaman
ruhani pertama, ketika satu wujud malaikat (malaikat Jibril a.s.) datang kepada Nabi
Besar Muhammad saw. membawa wahyu Ilahi di gua Hira, beliau saw. serta-merta pulang dalam keadaan sangat ketakutan. Rasa takut yang dirasakan
beliau saw. itu wajar, karena pengalaman
itu sungguh-sungguh baru sekali.
Sesampainya di rumah lalu beliau saw. meminta kepada
istri beliau saw., Sitti Khadijah r.a., agar diselimuti dengan jubah.
Karena berselimut berarti pula rasa berpadu dan bersatu maka arti ayat ini kurang lebih demikian: “Wahai
engkau yang telah diutus supaya mempersatukan semua bangsa di seluruh
dunia di bawah satu panji!” Nabi
Besar Muhammad saw. telah dilukiskan dalam hadits sebagai Al-Hasyir,
yakni pemadu
dan pemersatu bangsa-bangsa di
seluruh dunia (Bukhari).
Ayat یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ -- wahai orang yang berselimut” (Al-Muzzammil [73]:2) mungkin berarti pula:
(1) Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang yang harus bepergian
dengan menempuh jarak jauh untuk membangunkan
umat manusia supaya menyadari takdirnya
yang tinggi lagi mulia, dan karena itu harus melangkah
dengan cepat, yaitu bekerja keras,
tidak putus-putus, dan cepat. Sejarah
membuktikan bahwa melalui perjuangan
suci Nabi Besar Muhammad saw., hanya dalam waktu 23 tahun saja bangsa Arab jahiliyah
telah berubah menjadi “umat yang terbaik”
(QS.2:144; QS.3:111).
(2) Nabi Besar Muhammad
saw. adalah seseorang yang harus memikul beban berat suatu tanggung-jawab
yang sangat berat, menyampaikan Amanat
Ilahi ke seluruh dunia. Beliau saw. mungkin telah diperingatkan akan tugas
yang mahaberat mempersiapkan suatu jemaat, terdiri dari pengikut-pengikut yang bertakwa dan disemangati oleh cita-cita agung lagi mulia yang sama dan dikobarkan oleh kegairahan bergelora dan pantang surut
seperti halnya beliau saw. sendiri, yaitu untuk membantu beliau saw. menyampaikan tabligh Islam kepada umat manusia (QS.62:3-4).
Kepada tugas dan tanggung-jawab yang sangat besar dan berat Nabi Besar Muhammad
saw. itulah yang diisyaratkan
dalam ayat یٰۤاَیُّہَا
الۡمُزَّمِّلُ -- wahai orang yang berselimut,” dan
bukan kepada keadaan beliau saw. membungkus diri (menyelimuti diri) di dalam selimut atau jubah
beliau saw. yang terbuat dari kain.
Makna Sebutan Al-Muddatstsir
(Orang yang Membungkus Diri dengan Jubah)
Kemudian dalam Surah
berikutnya selain adanya perubahan sebutan Al-Muzzammil
menjadi Al-Muddatstsir terhadap Nabi Besar Muhammad saw., juga
disinggung mengenai masalah pakaian
(tsiyab), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ
ۙ﴿﴾ قُمۡ
فَاَنۡذِرۡ ۪ۙ﴿﴾ وَ رَبَّکَ فَکَبِّرۡ ۪﴿ۙ﴾ وَ ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ ۪﴿ۙ﴾ وَ الرُّجۡزَ فَاہۡجُرۡ ۪﴿ۙ﴾ وَ لَا
تَمۡنُنۡ تَسۡتَکۡثِرُ ۪﴿ۙ﴾ وَ
لِرَبِّکَ فَاصۡبِرۡ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Peyayang. یٰۤاَیُّہَا
الۡمُدَّثِّرُ -- wahai orang yang berselimut jubah. قُمۡ فَاَنۡذِرۡ -- bangkitlah dan peringatkanlah, وَ رَبَّکَ فَکَبِّرۡ -- dan agungkanlah
Rabb
(Tuhan) engkau, وَ ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ -- dan sucikanlah
pakaian eng-kau, وَ الرُّجۡزَ فَاہۡجُرۡ -- dan
tinggalkan penyembahan berhala, ۪ وَ لَا
تَمۡنُنۡ تَسۡتَکۡثِرُ ۪ -- dan janganlah
engkau melakukan kebaikan dengan
niat meraih keuntungan lebih
banyak, وَ
لِرَبِّکَ فَاصۡبِرۡ -- Dan demi Rabb
(Tuhan) engkau maka bersabarlah. (Al-Muddatstsir [74]:1-6).
Dalam firman Allah Swt. tersebut ada dua macam “pakaian” berkenaan dengan Nabi Muhammad
saw., yakni “jubah” dan “pakaian”
(tsiyab). Makna ungkapan al-Muddatstsir
berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad
saw., kata tadatstsara atau Iddatstsara berarti:
ia membungkus diri sendiri dengan pakaian atau jubah.
Datstsara-hu berarti:
(1) ia membinasakan atau melenyapkan dia atau sesuatu; (2) ia menutupi dia
dengan pakaian hangat. Datstsara
ath-thairu artinya “burung itu mengemasi
atau membenahi sarangnya”; Tadatstsara
al-farasa berarti “ia melompat ke atas kuda dan menungganginya.” Tadatstsar
al-’aduwwa berarti “ia menaklukkan
musuh” (Lexicon Lane).
Menurut bermacam-macam arti
tadatstsar tersebut maka al-Muddatstsir dapat berarti: Penghapus atau pembasmi; pembaharu (reformer/mushlih);
atau orang yang mengemasi atau membenahi barang-barang; penakluk; orang yang hampir melompat ke atas kuda dan menungganginya.
Kata itu telah ditafsirkan pula berarti “orang
yang diserahi memikul tanggung-jawab yang
berat sebagai nabi Allah” (Fath
–ul-Qadir). Kata itu
berarti pula “seseorang yang dirinya dihiasi dengan kekuatan dan kemampuan alami
yang terbaik dan kemuliaan yang
dimiliki seorang nabi” (Ruh al-Ma’ani). Kata-kata sifat itu semua sangat tepat dikenakan
kepada Nabi Besar Muhammad saw.. yang
dalam ayat tersebut diseru oleh Allah Swt. dengan sebutan: یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ -- “Wahai orang yang berselimut jubah.”
Jadi, alangkah naifnya serta piciknya mengartikan ayat یٰۤاَیُّہَا
الۡمُدَّثِّرُ
-- “wahai orang yang berselimut
jubah” hanya secara harfiah,
yaitu bahwa karena merasa terkejut
mengalami pengalaman ruhani didatangi malaikat
Jibril a.s. di gua Hira sambil menyampaikan wahyu pertama Al-Quran dalam Surah
Al-A’laq, lalu Nabi Besar Muhammad saw. segera turun dari gua Hira dan bergegas pulang ke rumah
beliau saw. sambil berkata kepada istrinya, Sitti
Khadijah r.a.: “Zammiluni, zammiluni -- selimuti
aku, selimuti aku!” -- lalu istri beliau saw. menyelimuti tubuh beliau saw. dengan selimut
(jubah) agar rasa terkejut beliau saw. lenyap.
Walau pun peristiwa tersebut benar adanya, tetapi makna kata “orang yang berselimut” dalam ayat یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ -- “wahai
orang yang berselimut jubah,” sama sekali tidak berkaitan dengan selimut
atau jubah yang terbuat dari kain, melainkan mengisyaratkan kepada ketakwaan sempurna Nabi Besar Muhammad
saw. yang dalam Al-Quran disebut “pakaian
takwa” (QS.7:27).
Perbedaan “Jubah” dengan “Pakaian” & Beratnya Memikul Amanat Ajaran Islam (Al-Quran)
Walau pun jubah
termasuk kategori “pakaian”, tetapi jubah mengandung makna (pengertian) yang lebih
sempurna daripada pakaian
(tsiyab/libas), sebab sebutan pakaian
meliputi pakaian yang sangat sederhana
bentuknya dan fungsinya -- contohnya ”pakaian
dalam” -- sehingga pakaian
yang seperti itu tidak dapat disebut “jubah”, sedangkan “jubah”
termasuk ke dalam kategori pakaian, yakni pakaian yang sangat sempurna
dalam hal menutupi aurat, yang dalam
QS.33:60 disebut jilbab yakni pakaian luar atau “pakaian selubung” perempuan mukmin.
Dengan demikian seruan
Allah Swt. یٰۤاَیُّہَا
الۡمُدَّثِّرُ -- “wahai orang yang berselimut jubah,” sangat erat hubungannya dengan kesanggupan (kesediaan) Nabi Besar Muhammad saw. dalam hal ketakwaan kepada Allah Swt. untuk memikul
(mengamban) ajaran Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat terakhir dan tersempurna
(QS.5:4) -- padahal
yang lainnya menyatakan tidak
sanggup untuk “memikulnya”,
termasuk Nabi Musa a.s. (QS.7:144-145), firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung,
tetapi semuanya enggan memikulnya
dan mereka takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا
الۡاِنۡسَانُ -- akan
tetapi insan (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا --sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. (Al-Ahzāb
[33]73).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 22 September
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar