Rabu, 15 Oktober 2014

Makna "Pakaian Engkau" Dalam Wahyu Ilahi kepada Al-Masih Mau'ud a.s.: "Raja-raja akan Mencari Berkat dari Pakaian Engkau" & Makna Sebutan Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   337

  Makna “Pakaian” Dalam Wahyu Ilahi  Kepada Al-Masih Mau’ud a.s.   Raja-raja akan Mencari Berkat dari Pakaian Engkau” &  Makna Sebutan Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir   

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan berbagai firman Allah Swt.  dalam Al-Quran dan Bible mengenai  Sunnatullah bahwa ketika  Allah Swt. menjadikan  suatu kaum (umat) sebagai “kaum terpilih” (khalifah) yang menggantikan kedudukan “kaum terpilih” sebelumnya  yang kemudian durhaka kepada Allah Swt. dan rasul Allah, maka  Allah Swt. akan menganugrahkan  rangkaian nikmat Allah Swt. yang telah  dianugerahkan kepada  “kaum” yang mereka gantikan kedudukannya sebagai “kaum terpilih”,  firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ اَحَدًا مِّنَ الۡعٰلَمِیۡنَ  ﴿﴾
Dan ingatlah ketika  Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah  nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu, menjadikan kamu raja-raja, dan Dia memberikan kepada kamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa.  (Al-Māidah [5]:21).
      Penggantian kata kum (kamu) alih-alih kata fī-kum mengandung isyarat bahwa jikalau tiap-tiap dan semua anggota suatu bangsa yang hidup di bawah kekuasaan seorang raja -- seakan-akan mempunyai kekuasaan dan kedaulatan  --  maka pengikut-pengikut seorang nabi Allah tidak mempunyai bagian dalam kenabiannya.
      Ada pun yang paling berbahaya dari  rangkaian nikmat-nikmat Allah Swt. tersebut adalah ketika berbagai bentuk keberhasilan duniawi    -- yang merupakan rangkaian nikmat yang ketiga   setelah nikmat  kenabian dan nikmat kerajaan (kekuasaan) duniawi --  dianugerahkan kepada “kaum terpilih  maka generasi selanjutnya dari “kaum terpilih” tersebut    akan menjadi para  pecinta atau para penyembah “kehidupan duniawi” dan mereka menjadi  pelaku berbagai bentuk “kemusyrikan”, firman-Nya:
اُولٰٓئِکَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ مِنۡ ذُرِّیَّۃِ  اٰدَمَ ٭ وَ مِمَّنۡ حَمَلۡنَا مَعَ نُوۡحٍ ۫ وَّ مِنۡ ذُرِّیَّۃِ  اِبۡرٰہِیۡمَ وَ اِسۡرَآءِیۡلَ ۫ وَ مِمَّنۡ ہَدَیۡنَا وَ اجۡتَبَیۡنَا ؕ اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتُ الرَّحۡمٰنِ  خَرُّوۡا  سُجَّدًا  وَّ  بُکِیًّا ﴿ٛ﴾  فَخَلَفَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ یَلۡقَوۡنَ  غَیًّا ﴿ۙ﴾
Mereka inilah orang-orang  yang Allah telah memberi nikmat atas mereka dari antara nabi-nabi dari keturunan Adam, dari antara keturunan orang-orang yang Kami angkut dalam bahtera bersama Nuh,   dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan  dari antara orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتُ الرَّحۡمٰنِ  خَرُّوۡا  سُجَّدًا  وَّ  بُکِیًّا  --   Tat­kala Ayat-ayat Yang Maha Pemurah dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur bersujud dan menangis. فَخَلَفَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ یَلۡقَوۡنَ  غَیًّا  --  Lalu datang menggantikan sesudah mereka  pengganti yang mengabaikan shalat  dan meng­ikuti hawa-nafsu maka segera mereka  akan me-nemui kesesatan, (Maryam [19]:59-60).

Munculnya “Generasi Penerus”  Pencinta Kehidupan Duniawi &  Musim Kemarau Panjang Dunia Ruhani  

   Sebagian ahli tafsir Al-Quran berpendapat bahwa kata-kata  "dari keturunan Adam  menunjuk kepada Nabi Idris a.s.,    kata-kata "yang  Kami angkut dalam bahtera bersama Nuh" menunjuk kepada Nabi Ibrahim a.s.,  dan kata-kata "dari keturunan Ibrahim" menunjuk kepada Nabi Isma’il a.s.,  Nabi Ishaq a.s.,  dan Nabi Ya'qub a.s.; sedangkan kata-kata "dari keturunan" telah dihadzafkan (dipahami seolah-olah ada) sebelum kata Israil dan menunjuk kepada Nabi Musa a.s. , Nabi Harun a.s., Nabi Zakaria a.s.,  Nabi Yahya a.s., dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.,  yang kesemuanya telah disebut dalam ayat-ayat sebelum ayat 59 ini.
 Makna ayat  فَخَلَفَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ خَلۡفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوۃَ وَ اتَّبَعُوا الشَّہَوٰتِ فَسَوۡفَ یَلۡقَوۡنَ  غَیًّا  --  Lalu datang menggantikan sesudah mereka  pengganti yang mengabaikan shalat  dan meng­ikuti hawa-nafsu maka segera mereka  akan menemui kesesatan,” sebenarnya kealpaan dan kelalaian dalam menjalankan shalat membuat orang menjadi jahil mengenai Sifat-sifat Allah Swt. serta memusnahkan keinginannya untuk menegakkan hubungan dengan Khaliq-nya (Pencipta-nya),  dengan demikian selanjutnya melemparkan dia ke dalam cengkeraman syaitan.
   Dan di mana kealpaan dalam memohon rahmat Ilahi dan dalam mendoa kepada-Nya membawa orang kepada kegagalan, maka menuruti ajakan nafsu buruk mengakibatkan ada sikap tidak acuh terhadap ilmu hakiki dan bergelimang dengan perbuatan-perbuatan kotor serta usaha-usaha yang tidak berguna, dan bila semua hal tersebut tergabung  menjadi satu, maka hal itu akan mendatangkan kehancuran akhlak dan ruhani manusia secara total.
 Mengisyaratkan kepada  periode “musim kemarau panjang keruhanian  itu pulalah   --  yang juga telah menimpa umat Islam  selama 1000 tahun setelah 3 abad masa kejayaan Islam  yang pertama (QS.32:6) -- firman-Nya berikut ini:
اَلَمۡ یَاۡنِ  لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اَنۡ  تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ  لِذِکۡرِ اللّٰہِ  وَ مَا  نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ  ۙ  وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾  اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk mengingat Allah dan mengingat  kebenaran yang telah turun kepada mereka,  وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ  -- dan mereka tidak  menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ   -- maka  zaman kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu   hati mereka menjadi keras,  وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ  -- dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka?    اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا  --  Ketahuilah, bahwasanya  Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ  -- sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).

 Pertolongan Allah Swt.  Kepada Al-Masih Mau’ud a.s.

      Sehubungan dengan ayat    فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ   --  maka  zaman  kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu   hati mereka menjadi keras,  وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ  -- dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka? Dalam Surah lain Allah Swt. berfirman:    
بَلۡ مَتَّعۡنَا ہٰۤؤُلَآءِ  وَ اٰبَآءَہُمۡ حَتّٰی طَالَ عَلَیۡہِمُ الۡعُمُرُ ؕ اَفَلَا یَرَوۡنَ اَنَّا نَاۡتِی الۡاَرۡضَ نَنۡقُصُہَا مِنۡ اَطۡرَافِہَا ؕ اَفَہُمُ  الۡغٰلِبُوۡنَ ﴿﴾
Bahkan Kami telah memberi mereka  dan orangtua mereka kenikmatan hidup  sehingga umurnya menjadi  panjang.    Apakah mereka tidak  melihat bahwasanya Kami mendatangi bumi dengan menguranginya dari segala tepinya? Maka apakah mungkin mereka menjadi orang-orang yang menang? (Al-Anbiyā [21]:45). 
       Apabila suatu kaum mengalami masa kesejahteraan nasional yang berlangsung lama, mereka mulai mempunyai anggapan yang keliru bahwa kesejahteraan dan kemajuan duniawi  mereka sekali-kali tidak akan mengalami kemunduran, dan sebagai akibatnya mereka menjadi sombong dan hati mereka menjadi keras. Dengan demikian lamanya berlangsung masa kesejahteraan duniawi  mereka menjadi penyebab kejatuhan mereka.
       Ayat ini memperingatkan orang-orang kafir  para penentang rasul Allah terhadap khayalan dan rasa kepuasan palsu, bahwa kemajuan dan kesejahteraan mereka akan berlangsung untuk masa tidak terbatas, dan mengatakan kepada mereka agar jangan menutup mata terhadap kenyataan yang jelas bahwa Allah Swt. -- dengan perlahan-lahan tetapi pasti  --  akan mengurangi dan memotong bumi dari segala sisinya, yaitu agama Islam sedang masuk ke tiap rumah dan ke dalam semua golongan serta lapisan masyarakat mereka, termasuk di Akhir zaman ini melalui perjuangan Al-Mmasih Mau’ud a.s. dan Jama’ahnya yang dipimpin oleh para Khalifatul Masih.
       Jadi, nubuatan yang dikemukakan firman Allah Swt.  itu  pulalah yang terjadi di Akhir Zaman  mengenai upaya Jemaat Muslim Ahmadiyah dalam mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali,  sebagaimana yang dijanjikan Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.61:10; QS.62:3-5).
Sekitar satu abad yang lalu, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- yang atas perintah Allah Swt. mendakwakan sebagai Al-Masih Mau’ud a.s.   – beliau hanya seorang diri di Qadian, sebuah kampung yang terpencil di wilayah Punjab di Hindustan (India) --  tetapi sekarang dengan karunia Allah Swt. Jemaat Ahmadiyah telah tersebar luas di lebih 300 negara di dunia, sesuai wahyu Ilahi yang beliau terima dalam bahasa Urdu, yakni:
Me teri tabligh ko zaminke kinarong tak phoncaungga
 (Aku akan sampaikan tabligh engkau hingga ke pelosok-pelosok dunia -- Tadzkirah).
     Padahal dalam kenyataannya,  sejak Pendiri Jemaat Ahmadiyah mendakwakan sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama di Akhir Zaman, sejak saat itu -- sesuai dengan Sunnah Ilahi berkenaan para rasul  Allah --  beliau  dan para pengikutnya terus menerus mendapat berbagai bentuk penentangan secara zalim disertai berbagai tuduhan  fitnah keji dari para penentangnya (QS.15:12-13; QS.36:33-35; QS.43:8-9; QS.51:53-54).
        Bahkan, sesuai dengan  Sunnah-Nya  terhadap “umat-umat terpilih” sebelumnya, sehubungan dengan penganugrahan rangkaian nikmat Allah Swt. berupa kenabian, kerajaan, dan kemajuan duniawi (QS.5:21) – kepada  Pendiri Jemaat Ahmadiyah pun Allah Swt. telah menurunkan  wahyu-Nya  berkenaan  dengan  akan bergabungnya “raja-raja” ke dalam  Jemaat  beliau:
Aku akan melimpahkan berbagai  keberkatan kepada engkau, sehingga badsyah  tere kaprongse barkat dundengge --  raja-raja akan mencari berkat dari pakaian engkau.”  (Tadzkirah).
      Jadi, wahyu-wahyu  Ilahi yang diterima oleh Al-Masih Mau’ud a.s. tersebut sesuai dengan firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ اَحَدًا مِّنَ الۡعٰلَمِیۡنَ  ﴿﴾
Dan ingatlah ketika  Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah  nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu, وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا   --  dan menjadikan kamu raja-raja, dan Dia memberikan kepada kamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa.  (Al-Māidah [5]:21).

Makna  Sebutan Al-Muzzammil  (Orang yang Membungkus Diri dengan  Jubah)

     Agar tidak menimbulkan fitnah  dari orang-orang yang berhati  bengkok (QS.3:8-9) berkenaan   wahyu Ilahi  yang diterima oleh Al-Masih Mau’ud a.s. tentang  pakaian” yakni:
Badsyah  tere kaprongse barkat dundengge --  raja-raja akan mencari berkat dari pakaian engkau (Tadzkirah).
Allah Swt. dalam Al-Quran pun telah   mempergunakan kata “pakaian   sebagai kiasan mengenai “ketakwaan” (QS.7:27) dan juga mengenai  suami-istri” (QS.2:188). Dengan demikian  kata “pakaian  dalam Al-Quran dan juga dalam wahyu-wahyu Ilahi  tidak selalu harus dimaknai secara  harfiah., yakni pakaian yang terbuat dari kain atau bahan lainnya.
        Sehubungan dengan hal tersebut, berikut firman Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad  saw. berkenaan dengan  makna lain  pakaian:   یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ  --  wahai orang yang berselimut” (Al-Muzzammil [73]:2).  Zammalahu berarti: ia menggendong dia di belakang punggungnya. Zammala, kecuali arti yang diberikan dalam terjemahan, berarti:  ia lari dan pergi dengan cepat.
      Tazammala, izzammala atau izzamala berarti: ia membungkus diri; ia memikul atau menggendong sesuatu, yaitu suatu beban pada suatu waktu. Muzzammil (atau mutazammil) berarti: orang yang terbungkus di dalam busananya; seseorang yang memikul tanggung-jawab besar (Aqrab-al-Mawarid; Fath-ul- Qadir; Ruh-ul-Ma’ani).
    Sesudah pengalaman ruhani pertama, ketika satu wujud malaikat  (malaikat Jibril a.s.) datang kepada Nabi Besar Muhammad saw.  membawa wahyu Ilahi di gua Hira, beliau saw.  serta-merta pulang dalam keadaan sangat ketakutan. Rasa takut yang dirasakan beliau saw. itu wajar, karena pengalaman itu sungguh-sungguh baru sekali.
  Sesampainya di rumah lalu beliau saw. meminta kepada istri beliau saw., Sitti Khadijah r.a., agar diselimuti dengan jubah. Karena berselimut berarti pula rasa berpadu dan bersatu maka arti ayat ini kurang lebih demikian: “Wahai  engkau yang telah diutus supaya mempersatukan semua bangsa di seluruh dunia di bawah satu panji! Nabi Besar Muhammad saw.  telah dilukiskan dalam hadits sebagai Al-Hasyir, yakni   pemadu dan pemersatu bangsa-bangsa di seluruh dunia (Bukhari).
     Ayat     یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ  --  wahai orang yang berselimut” (Al-Muzzammil [73]:2)  mungkin berarti pula:
 (1)  Nabi Besar Muhammad saw.  adalah seorang yang harus bepergian dengan menempuh jarak jauh untuk membangunkan umat manusia supaya menyadari takdirnya yang tinggi lagi mulia, dan karena itu harus melangkah dengan cepat, yaitu bekerja keras, tidak putus-putus, dan cepat.  Sejarah membuktikan bahwa  melalui perjuangan suci Nabi Besar Muhammad saw., hanya dalam waktu 23 tahun saja bangsa Arab jahiliyah telah berubah menjadi “umat yang terbaik” (QS.2:144; QS.3:111).
(2)  Nabi Besar Muhammad saw.   adalah seseorang yang harus memikul beban berat  suatu tanggung-jawab yang sangat berat, menyampaikan Amanat Ilahi ke seluruh dunia.  Beliau saw.  mungkin telah diperingatkan akan tugas yang mahaberat mempersiapkan suatu jemaat, terdiri dari pengikut-pengikut yang bertakwa dan disemangati oleh cita-cita agung lagi mulia yang sama dan dikobarkan oleh kegairahan bergelora dan pantang surut seperti halnya beliau saw. sendiri, yaitu untuk membantu beliau saw. menyampaikan tabligh Islam kepada umat manusia (QS.62:3-4).
   Kepada tugas dan tanggung-jawab  yang sangat besar dan berat  Nabi Besar Muhammad saw.  itulah yang diisyaratkan  dalam ayat       یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ  --  wahai orang yang berselimut,”   dan bukan kepada keadaan beliau saw.  membungkus diri  (menyelimuti diri) di dalam selimut atau  jubah beliau saw. yang terbuat dari kain.

Makna  Sebutan Al-Muddatstsir (Orang yang Membungkus Diri dengan Jubah)

  Kemudian dalam Surah berikutnya selain adanya perubahan sebutan Al-Muzzammil menjadi Al-Muddatstsir  terhadap Nabi Besar Muhammad saw., juga disinggung mengenai masalah pakaian (tsiyab), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ ۙ﴿﴾   قُمۡ   فَاَنۡذِرۡ ۪ۙ﴿﴾   وَ  رَبَّکَ فَکَبِّرۡ ۪﴿ۙ   وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ ۪﴿ۙ﴾   وَ الرُّجۡزَ  فَاہۡجُرۡ ۪﴿ۙ﴾   وَ لَا  تَمۡنُنۡ  تَسۡتَکۡثِرُ ۪﴿ۙ﴾  وَ  لِرَبِّکَ  فَاصۡبِرۡ ؕ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Peyayang.  یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ  --  wahai orang yang berselimut  jubah. قُمۡ   فَاَنۡذِرۡ --   bangkitlah dan peringatkanlah,  وَ  رَبَّکَ فَکَبِّرۡ  -- dan agungkanlah  Rabb (Tuhan) engkau, وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ   --    dan sucikanlah  pakaian eng-kau,  وَ الرُّجۡزَ  فَاہۡجُرۡ    -- dan  tinggalkan  penyembahan berhala,    ۪  وَ لَا  تَمۡنُنۡ  تَسۡتَکۡثِرُ ۪   -- dan janganlah engkau melakukan kebaikan dengan niat meraih keuntungan lebih banyak,  وَ  لِرَبِّکَ  فَاصۡبِرۡ   --  Dan demi Rabb (Tuhan) engkau maka bersabarlah.    (Al-Muddatstsir [74]:1-6).
      Dalam   firman Allah Swt. tersebut ada dua macam “pakaian” berkenaan dengan Nabi Muhammad saw., yakni “jubah  dan “pakaian” (tsiyab). Makna ungkapan  al-Muddatstsir  berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw.,  kata tadatstsara atau Iddatstsara berarti: ia membungkus diri sendiri dengan pakaian atau jubah.
  Datstsara-hu berarti: (1) ia membinasakan atau melenyapkan dia atau sesuatu; (2) ia menutupi dia dengan pakaian hangat. Datstsara ath-thairu artinya “burung itu mengemasi atau membenahi sarangnya”; Tadatstsara al-farasa berarti “ia melompat ke atas kuda dan menungganginya.” Tadatstsar al-’aduwwa berarti  “ia menaklukkan musuh” (Lexicon Lane).
     Menurut bermacam-macam arti  tadatstsar tersebut maka   al-Muddatstsir dapat berarti: Penghapus atau pembasmi; pembaharu (reformer/mushlih); atau orang yang mengemasi atau membenahi barang-barang; penakluk; orang yang hampir melompat ke atas kuda dan menungganginya.
   Kata itu telah ditafsirkan pula berarti  orang yang diserahi memikul tanggung-jawab yang berat sebagai nabi Allah” (Fath –ul-Qadir). Kata itu berarti pula “seseorang yang dirinya dihiasi dengan kekuatan dan kemampuan alami yang terbaik dan kemuliaan yang dimiliki seorang nabi” (Ruh al-Ma’ani). Kata-kata sifat itu semua sangat tepat dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw.. yang dalam ayat tersebut diseru oleh Allah Swt. dengan sebutan:  یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ  --  “Wahai orang yang berselimut  jubah.” 
    Jadi, alangkah naifnya serta piciknya mengartikan ayat   یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ  --  “wahai orang yang berselimut  jubah”  hanya   secara harfiah, yaitu bahwa karena merasa terkejut mengalami pengalaman ruhani  didatangi malaikat Jibril a.s. di gua Hira sambil  menyampaikan wahyu pertama Al-Quran dalam Surah Al-A’laq, lalu Nabi Besar Muhammad saw. segera turun dari gua Hira dan bergegas pulang ke rumah beliau saw. sambil berkata kepada istrinya, Sitti Khadijah r.a.: “Zammiluni, zammiluni   -- selimuti  aku, selimuti aku!” --  lalu  istri beliau saw. menyelimuti tubuh beliau saw. dengan  selimut (jubah) agar rasa terkejut beliau saw. lenyap.
    Walau pun peristiwa tersebut benar adanya,  tetapi makna kata “orang yang berselimut” dalam ayat یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ     -- “wahai orang yang berselimut  jubah,” sama sekali tidak berkaitan dengan selimut atau jubah yang terbuat dari kain,  melainkan mengisyaratkan kepada ketakwaan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. yang dalam Al-Quran disebut “pakaian takwa” (QS.7:27).

Perbedaan “Jubah” dengan “Pakaian & Beratnya Memikul Amanat  Ajaran Islam (Al-Quran)

     Walau pun jubah   termasuk kategori “pakaian”, tetapi      jubah  mengandung makna (pengertian) yang lebih sempurna daripada pakaian (tsiyab/libas), sebab sebutan pakaian meliputi  pakaian yang    sangat sederhana bentuknya dan fungsinya   -- contohnya   pakaian dalam   -- sehingga  pakaian yang seperti itu tidak dapat disebut “jubah”,  sedangkan  jubah” termasuk ke dalam kategori  pakaian, yakni pakaian yang sangat  sempurna dalam hal menutupi aurat, yang dalam QS.33:60  disebut jilbab yakni  pakaian luar atau “pakaian selubung” perempuan mukmin.
   Dengan demikian  seruan Allah Swt.  یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ     -- “wahai orang yang berselimut  jubah,” sangat erat hubungannya dengan kesanggupan (kesediaan) Nabi Besar Muhammad saw. dalam hal ketakwaan kepada Allah Swt. untuk memikul  (mengamban)  ajaran Islam (Al-Quran)  --  yang merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4)  --  padahal    yang lainnya menyatakan tidak sanggup untuk “memikulnya”, termasuk Nabi Musa a.s. (QS.7:144-145), firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ  -- akan  tetapi insan  (manusia) memikulnya,  اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  --sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. (Al-Ahzāb [33]73). 

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  22  September     2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar