Kamis, 16 Oktober 2014

Kesuksesan Nabi Besar Muhammad Saw. Saw. Sebagai "Al-Muzzammil" dan "Al-Muddatstsir" Menciptakan "Umat yang Terbaik" Hanya Dalam Waktu 23 Tahun



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


 Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   338

   Kesuksesan   Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai  Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir”  Menciptakan “Umat yang Terbaik” Hanya Dalam Waktu 23 Tahun   

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan berbagai firman Allah Swt.  dalam Al-Quran dan Bible mengenai ayat   یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ  --  wahai orang yang berselimut”   (Al-Muzzammil [73]:2) dan  ayat   یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ  --  “wahai orang yang berselimut  jubah” (Al-Muddatstsir [74]:2) secara  hanya   secara harfiah, yaitu bahwa karena merasa terkejut mengalami pengalaman ruhani  didatangi malaikat Jibril a.s. di gua Hira sambil  menyampaikan wahyu pertama Al-Quran dalam Surah Al-A’laq, lalu Nabi Besar Muhammad saw. segera turun dari gua Hira dan bergegas pulang ke rumah beliau saw. sambil berkata kepada istrinya, Sitti Khadijah r.a.: “Zammiluni, zammiluni   -- selimuti  aku, selimuti aku!” --  lalu  istri beliau saw. menyelimuti tubuh beliau saw. dengan  selimut (jubah) agar rasa terkejut beliau saw. lenyap.
    Walau pun peristiwa tersebut benar adanya,  tetapi makna kata “orang yang berselimut” dalam  kedua ayat Al-Quran tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan selimut atau jubah yang terbuat dari kain,  melainkan mengisyaratkan kepada ketakwaan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. yang dalam Al-Quran disebut “pakaian takwa, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  قَدۡ  اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ  لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  لَعَلَّہُمۡ  یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Wahai Bani Adam,  sungguh  Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian penutup auratmu dan sebagai  perhiasan,  وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ  -- dan pakaian takwa  itulah yang terbaik, yang demikian itu adalah sebagian dari Tanda-tanda Allah, supaya  mereka mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).
   Dengan  pakaian “takwa” itulah  Nabi Adam a.s. .  menutupi “aurat” dalam “kebun” ketika beliau dan “istrinya”  atau “jama’ahnya” terpedaya oleh tipu-daya syaitan (QS.7:20-26). Ada pun yang dimaksud dengan “aurat” berkenaan dengan  Nabi Adam a.s. dan “istrinya” salah satu maknanya yaitu timbulnya  permusuhan atau perpecahan  dalam jamaah beliau, akibat    tipu-daya  syaitan telah menimbulkan semangat  pembangkangan (ketidak-taatan) di kalangan sebagian   jama’ah  Nabi Adam a.s.. sehingga di kalangan mereka terjadi “perpecahan.”

Makna Auraq atau Waraq  (Daun-daun Surga)  & Jubah atau  Jilbab

 Itulah sebabnya dalam rangka membina kembali kekompakan di kalangan para anggota  jama’ahnya, secara kiasan    dikatakan   bahwa Nabi Adam a.s. dan “istrinya”  menutupi “aurat” keduanya dengan auraq (waraq)  atau “daun-daun surga”, yakni  beliau  menghimpun  jemaah  yang baru  yang terdiri dari para anggotanya yang memiliki sifat  seperti auraq (waraq) atau “daun-daun surga”,  firman-Nya:
فَدَلّٰىہُمَا بِغُرُوۡرٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَۃَ بَدَتۡ لَہُمَا سَوۡاٰتُہُمَا وَ طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ ؕ وَ نَادٰىہُمَا رَبُّہُمَاۤ  اَلَمۡ اَنۡہَکُمَا عَنۡ تِلۡکُمَا الشَّجَرَۃِ  وَ اَقُلۡ لَّکُمَاۤ  اِنَّ الشَّیۡطٰنَ لَکُمَا عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Lalu ia, syaitan,  membujuk kedua mereka itu dengan tipu-daya, maka tatkala keduanya   merasai buah pohon itu  tampaklah kepada keduanya  aurat  mereka berdua  وَ طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ  -- dan mulailah keduanya  menutupi diri mereka dengan daun-daun kebun itu.  Dan keduanya  diseru oleh Rabb (Tuhan) mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari mendekati pohon itu dan Aku telah katakan kepada kamu berdua  bahwa sesungguhnya syaitan itu  musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (Al-A’rāf [7]:23).  
    Waraq berarti: bagian terbaik lagi segar dari sesuatu; kaum muda dalam masyarakat (Lisan-ul-Arab), menunjukkan bahwa tatkala  syaitan berhasil menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Nabi Adam a.s.   dan beberapa anggota jemaat beliau yang lemah telah keluar dari lingkungan itu; maka, beliau menghimpun auraq (daun-daun) dari taman itu, yakni  pemuda-pemuda dalam jemaat itu, dan mulai mempersatukan serta menertibkan kembali kaumnya dengan pertolongan mereka.
  Pada umumnya para pemuda itulah yang, disebabkan kebanyakan mereka bebas dari prarasa-prarasa dan prasangka-prasangka, mengikuti dan menolong nabi-nabi Allah, sebagaimana yang terjadi di  kalangan Bani Israil  ketika mereka berada di Mesir,  firman-Nya:
فَمَاۤ اٰمَنَ لِمُوۡسٰۤی اِلَّا ذُرِّیَّۃٌ  مِّنۡ قَوۡمِہٖ عَلٰی خَوۡفٍ مِّنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ مَلَا۠ئِہِمۡ  اَنۡ یَّفۡتِنَہُمۡ ؕ وَ اِنَّ فِرۡعَوۡنَ لَعَالٍ فِی الۡاَرۡضِ ۚ وَ  اِنَّہٗ   لَمِنَ  الۡمُسۡرِفِیۡنَ ﴿﴾
Maka   tidak ada yang beriman kepada Musa kecuali para  pemuda dari kaumnya, karena takut kepada  Fir’aun dan para pembesarnya, bahwa ia akan menzalimi  mereka. Dan sesungguhnya Fir’aun benar-benar berbuat sewenang-wenang di muka bumi, dan sesungguhnya ia benar-benar termasuk orang-orang yang melampaui batas.  (Yunus [10]:84).   
   Walau pun jubah   termasuk kategori “pakaian”, tetapi   jubah  mengandung makna (pengertian) yang lebih sempurna dalam hal menutup “aurat daripada pakaian (tsiyab/libas), sebab sebutan pakaian meliputi  berbagai jenis pakaian yang    sangat sederhana bentuknya dan fungsinya   -- contohnya   pakaian dalam   --  karena itu   pakaian yang sederhana seperti itu tidak dapat disebut “jubah”,  sedangkan  jubah adalah  pakaian yang sangat  sempurna dalam hal menutupi aurat, pakaian seperti itu  dalam QS.33:60  disebut jilbab, yakni  pakaian luar atau “pakaian selubung” perempuan mukmin.
     Ada pun posisi jubah atau jilbab  ketika dipakai  merupakan   pakaian lapis  ketiga setelah pakaian dalam dan pakaian luar.    Dengan demikian  seruan Allah Swt.  kepada Nabi Besar Muhammad saw.:      یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ  --  wahai orang yang berselimut”  (Al-Muzzammil [73]:2) dan     یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ  --  “wahai orang yang berselimut  jubah” (Al-Muddatstsir [74]:2),  sangat erat hubungannya dengan kesempurnaan pakaian takwa (ketakwaan)   Nabi Besar Muhammad saw..

Beratnya Memikul Amanat  Ajaran Islam (Al-Quran)

   Ketakwaan sempurna Nabi Besar Muhammad saw.  kepada Allah Swt. itulah yang membuat beliau saw. sanggup untuk memikul  (mengemban)  ajaran Islam (Al-Quran)  --  yang merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4)  --  padahal    yang lainnya menyatakan tidak sanggup untuk “memikulnya”, termasuk Nabi Musa a.s. (QS.7:144-145), firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ  -- akan  tetapi insan  (manusia) memikulnya,  اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  --sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. (Al-Ahzāb [33]73). 

Berbagai Makna Kata Zalum dan Jahul

     Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
        (1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama -- sekali tidak dapat menandinginya. Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
          Manusia (insan) menerima tanggungjawab ini,  karena hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Sebabnya adalah – demi Wujud Allah Swt. yang dicintainya -- ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri),  dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya (zalim) terhadap dirinya sendiri,  dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa atau  jahul, dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup  demi mengemban amanat Ilahi.
      Atas dasar adanya kemampuan  manusia untuk berlaku zalum dan jahul  terhadap dirinya   -- dalam makna yang positif  -- itulah sebabnya Allah Swt. telah menyatakan dalam Al-Quran bahwa tujuan utama diciptakan-Nya  manusia adalah untuk beribadah kepada  Allah Swt.  (QS.51:57).
       (2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran, dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni Nabi Besar Muhammad saw.  maka ayat ini akan berarti bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri saja yang mampu diamanati wahyu Ilahi yang mengandung syariat (aturan/hukum) yang paling sempurna dan terakhir, ialah syariat Al-Quran (QS.5:4), sebab  kecuali Nabi Besar Muhammad saw., tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya (QS.33:22 & 41; QS.53:1-19; QS.68:5).
         (3) Kalau kata hamala diambil dalam arti  negative yakni mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk, yakni mereka senantiasa bertasbih  kepada Allah Swt. (QS.2:31; QS.17:45;  QS.24:42; QS.57.2; QS.61:2; QS.62:2; QS.64:2).
      Seluruh alam setia kepada hukum-hukum-Nya  dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51; QS.66:7), hanya manusia sajalah  yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan oleh Allah Swt. (QS.18:30) sehingga manusia  mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt.,  sebab ia aniaya dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah yang diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya (QS.51:57). Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.

Makna Lain Kata Tsiyab (Pakaian)

         Jadi,  mengisyaratkan kepada ungkapan وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا   -- “akan tetapi insan  (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai  terhadap dirinya” makna      ayat       یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ  --  wahai orang yang berselimut,”  dan ayat   یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ     -- “wahai orang yang berselimut  jubah,” berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw., dalam firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ ۙ﴿﴾   قُمۡ   فَاَنۡذِرۡ ۪ۙ﴿﴾   وَ  رَبَّکَ فَکَبِّرۡ ۪﴿ۙ   وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ ۪﴿ۙ﴾   وَ الرُّجۡزَ  فَاہۡجُرۡ ۪﴿ۙ﴾   وَ لَا  تَمۡنُنۡ  تَسۡتَکۡثِرُ ۪﴿ۙ﴾  وَ  لِرَبِّکَ  فَاصۡبِرۡ ؕ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Peyayang.  یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ  --  Wahai orang yang berselimut  jubah. قُمۡ   فَاَنۡذِرۡ --   bangkitlah dan peringatkanlah,  وَ  رَبَّکَ فَکَبِّرۡ  -- dan agungkanlah  Rabb (Tuhan) engkau, وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ   --    dan sucikanlah  pakaian eng-kau,  وَ الرُّجۡزَ  فَاہۡجُرۡ    -- dan  tinggalkan  penyembahan berhala,     وَ لَا  تَمۡنُنۡ  تَسۡتَکۡثِرُ ۪   -- dan janganlah engkau melakukan kebaikan dengan niat meraih keuntungan lebih banyak,  وَ  لِرَبِّکَ  فَاصۡبِرۡ   --  Dan demi Rabb (Tuhan) engkau maka bersabarlah.    (Al-Muddatstsir [74]:1-6).
       Setelah Allah Swt. memerintahkan Nabi Besar Muhammad saw.   Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir   --  untuk bangkit melaksanakan tugas kerasulan beliau saw. guna memberikan kabar gembira dan peringatan kepada seluruh umat manusia (QS.33:46-48; QS.7:159; QS.21:108;  QS.25:2; QS.34:29), selanjutnya Allah Swt. mengingatkan beliau saw. untuk terus menerus  membersihkan “pakaian” beliau saw., firman-Nya: وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ   --    dan sucikanlah  pakaian engkau.”
    Tsiyāb artinya: pakaian-pakaian atau pengikut-pengikut seseorang; badan/tubuh atau pribadi si pemakai (Lexicon Lane dan Steingass).  Nabi Besar Muhammad saw.  diperintahkan agar sebelum menerima tugas agung itu menyiapkan suatu jemaat terdiri dari para pengikut yang hatinya, kelakuannya, dan nama baiknya murni. Atau, ayat ini dapat berarti pula bahwa beliau saw. sendiri harus menjadi suri teladan sempurna dalam kesalehan, ketakwaan, dan perilaku yang suci murni.

Bukti Keberhasilan Ta’lim dan Tarbiyat Nabi Besar Muhammad Saw. & Meninggalkan Semua jenis Kemusyrikan

    Keberhasilan Nabi Besar Muhammad saw. melaksanakan kedua tugas utama ta’lim dan tarbiyat berkenaan dengan pribadi beliau saw. dan para pengikut beliau saw. tersebut dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾    
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata (Al-Jumu’ah [62]:3).
    Tugas suci  Nabi Besar Muhammad saw. meliputi penunaian keempat macam kewajiban mulia yang disebut dalam ayat ini. Tugas agung dan mulia itulah yang dipercayakan kepada beliau saw., sebab untuk kedatangan beliau saw. di tengah-tengah orang-orang Arab buta huruf itu leluhur beliau saw., Nabi Ibrahim a.s.  telah memanjatkan doa beberapa ribu tahun yang lampau ketika  beliau  disertai putranya, Nabi Isma’il a.s..   mendirikan dasar (pondasi) Ka’bah (QS.2:130).
    Pada hakikatnya tidak ada Pembaharu dapat benar-benar berhasil dalam misinya bila ia tidak menyiapkan dengan contoh mulia dan quat-qudsiahnya (daya pensuciannya), suatu jemaat yang pengikut-pengikutnya terdiri dari orang-orang mukhlis, patuh, dan bertakwa, yang kepada mereka itu mula-mula mengajarkan cita-cita dan asas-asas ajarannya serta mengajarkan falsafah, arti, dan kepentingan cita-cita dan asas-asas ajarannya itu,  kemudian mengirimkan pengikut-pengikutnya ke luar negeri untuk mendakwahkan ajaran itu kepada bangsa lain.
  Didikan yang Nabi Besar Muhammad saw.  berikan kepada para pengikut beliau saw. telah memperluas dan mempertajam kecerdasan mereka, dan falsafah ajaran beliau saw. menimbulkan dalam diri mereka keyakinan iman, dan contoh mulia beliau saw. menciptakan di dalam diri mereka kesucian hati. Kenyataan-dasar agama itulah yang diisyaratkan oleh ayat ini, dan sebagi hasilnya adalah terciptanya “umat terbaik” yang diciptakan untuk kemanfaatan seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111).
    Pendek kata sehubungan dengan ayat  وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ   --    dan sucikanlah  pakaian engkau” maka   tsiyab  (pakaian)  -- yakni  para pengikut Nabi Besar Muhammad saw. yang disebut para sahabat beliau saw.     kesucian akhlak dan ruhani mereka benar-benar telah mencapai kesempurnaan yang tidak pernah diraih oleh para pengikut rasul-rasul Allah sebelumnya.
      Demikian juga mengenai ayat selanjutnya   الرُّجۡزَ  فَاہۡجُرۡ    -- “dan  tinggalkan  penyembahan berhala,   ar-rujz berarti pula kemusyrikan (Lexicon Lane); ayat ini dapat dianggap perintah kepada Nabi Besar Muhammad saw.   agar tidak jemu-jemu membasmi kemusyrikan, baik kemusyrikan yang nyata mau pun kemusyrikan yang tersembunyi, seperti kecintaan berlebihan kepada keluarga (anak-istri) serta kepada kesenangan hidup duniawi yang dapat membuat lengah dari dzikr Ilahi  (QS.63:10-12; QS.64:15-19).

Tidak Mencari Keuntungan Duniawi

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya melakukan berbagai  kebaikan semata-mata demi mencari keridhaan Allah Swt.  وَ لَا  تَمۡنُنۡ  تَسۡتَکۡثِرُ ۪   -- “dan janganlah engkau melakukan kebaikan dengan niat meraih keuntungan lebih banyak”,  benar-benar telah dilaksanakan pula oleh para sahabat Nabi Besar Muhammad saw..
        Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini adalah firman Allah Swt. mengenai  para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.    kalangan  Anshar  dari Madinah:
لِلۡفُقَرَآءِ  الۡمُہٰجِرِیۡنَ  الَّذِیۡنَ  اُخۡرِجُوۡا  مِنۡ  دِیَارِہِمۡ وَ اَمۡوَالِہِمۡ یَبۡتَغُوۡنَ  فَضۡلًا مِّنَ اللّٰہِ  وَ رِضۡوَانًا وَّ یَنۡصُرُوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصّٰدِقُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ  تَبَوَّؤُ الدَّارَ وَ الۡاِیۡمَانَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ یُحِبُّوۡنَ مَنۡ  ہَاجَرَ  اِلَیۡہِمۡ وَ لَا یَجِدُوۡنَ  فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً  مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ ؕ۟ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ  بَعۡدِہِمۡ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا  اغۡفِرۡ لَنَا وَ لِاِخۡوَانِنَا  الَّذِیۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِیۡمَانِ وَ لَا تَجۡعَلۡ  فِیۡ قُلُوۡبِنَا غِلًّا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا  رَبَّنَاۤ  اِنَّکَ رَءُوۡفٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿٪﴾
Harta rampasan itu untuk orang-orang miskin yang berhijrah yang telah diusir dari rumah mereka dan dari harta mereka, mereka mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.   Dan harta rampasan itu  juga untuk orang-orang yang telah mendirikan rumah di Medinah dan sudah beriman sebelum mereka, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka,  وَ لَا یَجِدُوۡنَ  فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً  مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ   -- dan mereka tidak mendapati suatu keinginan dalam dada mereka terhadap  apa yang diberikan itu, tetapi mereka mengutamakan para muhajir di atas diri mereka sendiri dan walaupun kemiskinan menyertai mereka. وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ  فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ --  dan barangsiapa dapat mengatasi keserakahan dirinya maka mereka itulah  yang berhasil.   Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berkata: “Hai Rabb (Tuhan) kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian tinggal dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Hai  Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Al-Hasyr [59]:9-11).
   Kata-kata   وَ لَا یَجِدُوۡنَ  فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً  مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ   -- dan mereka tidak mendapati suatu keinginan dalam dada mereka terhadap  apa yang diberikan itu, tetapi mereka mengutamakan para muhajir di atas diri mereka sendiri dan walaupun kemiskinan menyertai mereka itu,” ayat tersebut merupakan kesaksian besar mengenai jiwa pengorbanan, keramah-tamahan selaku tuan rumah, dan niat baik kaum Anshar.
     Kaum Muhajirin datang dari Mekkah kepada mereka dalam keadaan kehilangan segala harta milik mereka, dan orang-orang Anshar Madinah menerima mereka itu dengan tangan terbuka, dan  menjadikan mereka itu sama-sama memiliki harta benda mereka.
       Ikatan cinta dan persaudaraan, yang dijalin oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  antara kaum Muhajirin dari Mekkah dan kaum Anshar di Medinah, dan mengenai jalinan  persaudaraan ruhani  tersebut ayat ini memberikan kesaksian begitu jelas, adalah tiada tara bandingannya di dalam seluruh lembaran sejarah hubungan antar manusia.

Saling Mendoakan Kebaikan

     Ayat 11:       وَ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ  بَعۡدِہِمۡ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا  اغۡفِرۡ لَنَا وَ لِاِخۡوَانِنَا  الَّذِیۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِیۡمَانِ وَ لَا تَجۡعَلۡ  فِیۡ قُلُوۡبِنَا غِلًّا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا  رَبَّنَاۤ  اِنَّکَ رَءُوۡفٌ  رَّحِیۡمٌ         --    “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berkata: “Hai Rabb (Tuhan) kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian tinggal dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Hai  Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.”  Ayat ini  dapat dikenakan kepada para Muhajirin yang kemudian datang ke Medinah, atau kepada semua keturunan kaum Muslimin yang datang kemudian.
      Jadi, keadaan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw. – baik dari kalangan Muhajirin mau pun Anshar --  mereka benar-benar memperagakan semua perintah Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam Surah Al-Muddatstsir, termasuk firman-Nya berikut ini:    وَ  لِرَبِّکَ  فَاصۡبِرۡ   --  Dan demi Rabb (Tuhan) engkau maka bersabarlah.    (Al-Muddatstsir [74]:1-6).
        Pendek kata,   Nabi Besar Muhammad saw. sabagai “Al-Muddatstsir” (orang yang berselimut dengan jubah), hanya dalam waktu 23 tahun saja beliau saw.  telah mampu menjadikan bangsa Arab jahiliyah   -- yang tenggelam selama ribuan tahun dalam kesesatan yang nyata --  menjadi “manusia-manusia malaikat” atau “umat terbaik” (QS.2:144; QS.3:111), sebagai bukti keberhasilan  Nabi Besar Muhammad  saw. melaksanakan perintah Allah Swt.: وَ  ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ   --    “dan sucikanlah  pakaian engkau.”

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  24  September     2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar