بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 338
Kesuksesan Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir” Menciptakan “Umat yang Terbaik” Hanya Dalam Waktu 23 Tahun
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan berbagai firman Allah Swt. dalam Al-Quran
dan Bible mengenai ayat یٰۤاَیُّہَا
الۡمُزَّمِّلُ -- wahai orang yang berselimut” (Al-Muzzammil [73]:2) dan ayat یٰۤاَیُّہَا
الۡمُدَّثِّرُ
-- “wahai orang yang berselimut
jubah” (Al-Muddatstsir
[74]:2) secara hanya secara harfiah,
yaitu bahwa karena merasa terkejut
mengalami pengalaman ruhani didatangi malaikat
Jibril a.s. di gua Hira
sambil menyampaikan wahyu pertama Al-Quran dalam Surah
Al-A’laq, lalu Nabi Besar Muhammad saw. segera turun dari gua Hira dan bergegas pulang ke rumah
beliau saw. sambil berkata kepada istrinya, Sitti
Khadijah r.a.: “Zammiluni, zammiluni -- selimuti
aku, selimuti aku!” -- lalu istri beliau saw. menyelimuti tubuh beliau saw. dengan selimut
(jubah) agar rasa terkejut beliau saw. lenyap.
Walau pun peristiwa tersebut benar adanya, tetapi makna kata “orang yang berselimut” dalam kedua ayat Al-Quran tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan selimut atau jubah yang terbuat dari kain,
melainkan mengisyaratkan kepada ketakwaan sempurna Nabi Besar Muhammad
saw. yang dalam Al-Quran disebut “pakaian
takwa, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡکُمۡ لِبَاسًا یُّوَارِیۡ سَوۡاٰتِکُمۡ وَ رِیۡشًا ؕ
وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ ؕ ذٰلِکَ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ لَعَلَّہُمۡ
یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Wahai
Bani Adam, sungguh
Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian
penutup auratmu dan sebagai perhiasan, وَ لِبَاسُ التَّقۡوٰی ۙ ذٰلِکَ خَیۡرٌ -- dan pakaian takwa itulah yang terbaik, yang demikian
itu adalah sebagian dari Tanda-tanda Allah,
supaya mereka mendapat nasihat. (Al-A’rāf [7]:27).
Dengan
pakaian “takwa” itulah Nabi Adam a.s. . menutupi “aurat” dalam “kebun” ketika
beliau dan “istrinya” atau “jama’ahnya” terpedaya oleh tipu-daya syaitan (QS.7:20-26). Ada pun yang dimaksud dengan “aurat” berkenaan dengan Nabi Adam a.s. dan “istrinya” salah satu
maknanya yaitu timbulnya permusuhan atau perpecahan dalam jamaah beliau, akibat tipu-daya
syaitan telah menimbulkan semangat pembangkangan
(ketidak-taatan) di kalangan sebagian jama’ah
Nabi Adam a.s.. sehingga di kalangan
mereka terjadi “perpecahan.”
Makna Auraq atau Waraq (Daun-daun Surga) & Jubah
atau Jilbab
Itulah sebabnya dalam rangka membina kembali kekompakan di kalangan para anggota jama’ahnya,
secara kiasan dikatakan bahwa
Nabi Adam a.s. dan “istrinya” menutupi
“aurat” keduanya dengan auraq
(waraq) atau “daun-daun surga”, yakni beliau
menghimpun jemaah yang baru yang terdiri dari para anggotanya yang
memiliki sifat seperti auraq (waraq) atau “daun-daun surga”,
firman-Nya:
فَدَلّٰىہُمَا
بِغُرُوۡرٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَۃَ بَدَتۡ لَہُمَا سَوۡاٰتُہُمَا وَ
طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ ؕ وَ نَادٰىہُمَا
رَبُّہُمَاۤ اَلَمۡ اَنۡہَکُمَا عَنۡ
تِلۡکُمَا الشَّجَرَۃِ وَ اَقُلۡ
لَّکُمَاۤ اِنَّ الشَّیۡطٰنَ لَکُمَا
عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Lalu
ia, syaitan, membujuk kedua
mereka itu dengan tipu-daya, maka
tatkala keduanya merasai buah pohon itu tampaklah kepada keduanya aurat mereka berdua وَ طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ
وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ -- dan mulailah keduanya menutupi
diri mereka dengan daun-daun kebun
itu. Dan keduanya diseru oleh Rabb (Tuhan) mereka: “Bukankah
Aku telah melarang kamu berdua dari mendekati pohon itu dan Aku telah
katakan kepada kamu berdua bahwa sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (Al-A’rāf
[7]:23).
Waraq berarti: bagian terbaik lagi segar dari sesuatu; kaum muda
dalam masyarakat (Lisan-ul-Arab), menunjukkan
bahwa tatkala syaitan berhasil menimbulkan perpecahan
dalam masyarakat Nabi Adam a.s. dan
beberapa anggota jemaat beliau yang lemah telah keluar dari lingkungan itu; maka, beliau menghimpun auraq
(daun-daun) dari taman itu,
yakni pemuda-pemuda dalam jemaat
itu, dan mulai mempersatukan serta menertibkan kembali kaumnya dengan
pertolongan mereka.
Pada umumnya para pemuda itulah yang, disebabkan kebanyakan mereka bebas dari prarasa-prarasa dan prasangka-prasangka,
mengikuti dan menolong nabi-nabi Allah,
sebagaimana yang terjadi di kalangan Bani Israil ketika mereka berada di Mesir, firman-Nya:
فَمَاۤ
اٰمَنَ لِمُوۡسٰۤی اِلَّا ذُرِّیَّۃٌ
مِّنۡ قَوۡمِہٖ عَلٰی خَوۡفٍ مِّنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ مَلَا۠ئِہِمۡ اَنۡ یَّفۡتِنَہُمۡ ؕ وَ اِنَّ فِرۡعَوۡنَ
لَعَالٍ فِی الۡاَرۡضِ ۚ وَ اِنَّہٗ لَمِنَ
الۡمُسۡرِفِیۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa kecuali
para
pemuda dari kaumnya, karena takut
kepada Fir’aun dan
para pembesarnya, bahwa ia akan menzalimi mereka. Dan sesungguhnya Fir’aun benar-benar berbuat sewenang-wenang
di muka bumi, dan sesungguhnya ia
benar-benar termasuk orang-orang yang melampaui batas. (Yunus [10]:84).
Walau pun jubah
termasuk kategori “pakaian”,
tetapi jubah mengandung makna
(pengertian) yang lebih sempurna dalam hal menutup “aurat” daripada pakaian (tsiyab/libas), sebab sebutan pakaian meliputi berbagai jenis pakaian yang sangat sederhana bentuknya dan fungsinya -- contohnya ”pakaian
dalam” -- karena itu pakaian
yang sederhana seperti itu tidak dapat disebut “jubah”, sedangkan “jubah”
adalah pakaian
yang sangat sempurna dalam hal menutupi aurat, pakaian seperti itu dalam QS.33:60 disebut jilbab,
yakni pakaian luar atau “pakaian
selubung” perempuan mukmin.
Ada pun posisi jubah atau jilbab ketika dipakai merupakan
pakaian lapis ketiga
setelah pakaian dalam dan pakaian luar. Dengan demikian seruan
Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad
saw.: یٰۤاَیُّہَا
الۡمُزَّمِّلُ -- wahai orang yang berselimut” (Al-Muzzammil [73]:2) dan یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ -- “wahai orang yang berselimut jubah” (Al-Muddatstsir [74]:2), sangat erat hubungannya dengan kesempurnaan pakaian takwa (ketakwaan) Nabi Besar Muhammad saw..
Beratnya Memikul Amanat Ajaran Islam (Al-Quran)
Ketakwaan
sempurna Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah
Swt. itulah yang membuat beliau saw. sanggup
untuk memikul (mengemban)
ajaran Islam (Al-Quran) --
yang merupakan syariat terakhir
dan tersempurna (QS.5:4) --
padahal yang lainnya menyatakan
tidak sanggup untuk “memikulnya”, termasuk Nabi Musa a.s.
(QS.7:144-145), firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung,
tetapi semuanya enggan memikulnya
dan mereka takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا
الۡاِنۡسَانُ -- akan
tetapi insan (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا --sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. (Al-Ahzāb
[33]73).
Berbagai Makna Kata Zalum dan Jahul
Hamala
al-amānata berarti: ia membebankan
atas dirinya atau menerima amanat; ia
mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim
yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan
benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri
sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan
pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang
berarti lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
(1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat
Ilahi untuk menayang citra
(bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia
sendiri dari seluruh isi jagat raya
ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda
lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama -- sekali tidak dapat menandinginya. Mereka
seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
Manusia (insan) menerima tanggungjawab ini, karena hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Sebabnya adalah – demi Wujud Allah Swt. yang dicintainya -- ia mampu menjadi zhalum (aniaya
terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri), dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya (zalim) terhadap dirinya sendiri, dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya,
dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa atau jahul, dalam arti bahwa
dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan
kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup demi mengemban
amanat Ilahi.
Atas dasar adanya kemampuan manusia untuk berlaku zalum dan jahul terhadap dirinya -- dalam makna yang positif -- itulah sebabnya
Allah Swt. telah menyatakan dalam Al-Quran bahwa tujuan utama diciptakan-Nya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57).
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran,
dan kata al-insan sebagai manusia
sempurna, yakni Nabi Besar Muhammad
saw. maka ayat ini akan berarti
bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah Nabi Besar
Muhammad saw. sendiri
saja yang mampu diamanati wahyu Ilahi yang mengandung syariat (aturan/hukum) yang paling sempurna dan terakhir, ialah syariat
Al-Quran (QS.5:4), sebab kecuali
Nabi Besar Muhammad saw., tidak ada orang
atau wujud lain yang pernah
dianugerahi sifat-sifat agung yang
mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab
besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya (QS.33:22 & 41; QS.53:1-19;
QS.68:5).
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti negative yakni mengkhianati
atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia
dan makhluk-makhluk lainnya yang ada
di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan
dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk, yakni mereka senantiasa bertasbih kepada Allah Swt. (QS.2:31; QS.17:45; QS.24:42; QS.57.2; QS.61:2; QS.62:2;
QS.64:2).
Seluruh alam setia kepada hukum-hukum-Nya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh
(QS.16:50-51; QS.66:7), hanya manusia
sajalah yang disebabkan telah dikaruniai
kebebasan bertindak dan berkemauan oleh Allah Swt. (QS.18:30)
sehingga manusia mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya
dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya
sebagai hamba Allah yang
diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya (QS.51:57). Arti demikian mengenai
ayat ini didukung oleh QS.41:12.
Makna Lain Kata Tsiyab
(Pakaian)
Jadi,
mengisyaratkan kepada ungkapan وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا -- “akan tetapi insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya” makna ayat یٰۤاَیُّہَا الۡمُزَّمِّلُ -- wahai
orang yang berselimut,” dan ayat یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ -- “wahai orang yang berselimut jubah,” berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw., dalam
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا الۡمُدَّثِّرُ
ۙ﴿﴾ قُمۡ
فَاَنۡذِرۡ ۪ۙ﴿﴾ وَ رَبَّکَ فَکَبِّرۡ ۪﴿ۙ﴾ وَ ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ ۪﴿ۙ﴾ وَ الرُّجۡزَ فَاہۡجُرۡ ۪﴿ۙ﴾ وَ لَا
تَمۡنُنۡ تَسۡتَکۡثِرُ ۪﴿ۙ﴾ وَ
لِرَبِّکَ فَاصۡبِرۡ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Peyayang. یٰۤاَیُّہَا
الۡمُدَّثِّرُ
-- Wahai orang yang berselimut
jubah. قُمۡ فَاَنۡذِرۡ -- bangkitlah
dan peringatkanlah, وَ رَبَّکَ فَکَبِّرۡ -- dan agungkanlah Rabb
(Tuhan) engkau, وَ ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ -- dan sucikanlah
pakaian eng-kau, وَ الرُّجۡزَ فَاہۡجُرۡ -- dan
tinggalkan penyembahan berhala, وَ لَا
تَمۡنُنۡ تَسۡتَکۡثِرُ ۪ -- dan janganlah
engkau melakukan kebaikan dengan
niat meraih keuntungan lebih
banyak, وَ
لِرَبِّکَ فَاصۡبِرۡ -- Dan demi Rabb
(Tuhan) engkau maka bersabarlah. (Al-Muddatstsir [74]:1-6).
Setelah Allah Swt. memerintahkan Nabi Besar Muhammad
saw. – Al-Muzzammil dan Al-Muddatstsir --
untuk bangkit melaksanakan tugas kerasulan
beliau saw. guna memberikan kabar gembira
dan peringatan kepada seluruh umat manusia (QS.33:46-48; QS.7:159;
QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29),
selanjutnya Allah Swt. mengingatkan beliau saw. untuk terus menerus membersihkan “pakaian” beliau saw., firman-Nya: وَ
ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ --
dan sucikanlah pakaian engkau.”
Tsiyāb
artinya: pakaian-pakaian atau pengikut-pengikut seseorang; badan/tubuh
atau pribadi si pemakai (Lexicon Lane dan Steingass). Nabi Besar Muhammad saw. diperintahkan agar sebelum menerima tugas agung itu menyiapkan suatu jemaat terdiri
dari para pengikut yang hatinya, kelakuannya, dan nama baiknya
murni. Atau, ayat ini dapat berarti pula bahwa beliau saw. sendiri harus
menjadi suri teladan sempurna dalam kesalehan, ketakwaan, dan
perilaku yang suci murni.
Bukti Keberhasilan Ta’lim dan Tarbiyat Nabi Besar Muhammad Saw. & Meninggalkan Semua jenis Kemusyrikan
Keberhasilan Nabi Besar
Muhammad saw. melaksanakan kedua tugas
utama ta’lim dan tarbiyat berkenaan dengan pribadi beliau saw. dan para pengikut beliau saw. tersebut
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata (Al-Jumu’ah [62]:3).
Tugas suci Nabi Besar Muhammad saw. meliputi penunaian keempat macam kewajiban mulia yang
disebut dalam ayat ini. Tugas agung dan mulia itulah yang dipercayakan kepada
beliau saw., sebab untuk kedatangan beliau saw. di tengah-tengah orang-orang Arab buta huruf itu leluhur
beliau saw., Nabi Ibrahim a.s. telah memanjatkan
doa beberapa ribu tahun yang lampau ketika beliau disertai
putranya, Nabi Isma’il a.s.. mendirikan dasar (pondasi) Ka’bah (QS.2:130).
Pada hakikatnya tidak
ada Pembaharu dapat benar-benar
berhasil dalam misinya bila ia tidak menyiapkan dengan contoh mulia dan quat-qudsiahnya
(daya pensuciannya), suatu jemaat
yang pengikut-pengikutnya terdiri
dari orang-orang mukhlis, patuh, dan bertakwa, yang kepada mereka itu mula-mula mengajarkan cita-cita dan asas-asas ajarannya serta mengajarkan falsafah, arti, dan kepentingan cita-cita dan asas-asas ajarannya itu, kemudian mengirimkan pengikut-pengikutnya ke luar negeri untuk mendakwahkan ajaran itu kepada bangsa lain.
Didikan yang Nabi Besar Muhammad saw. berikan kepada para pengikut beliau saw. telah memperluas
dan mempertajam kecerdasan mereka, dan falsafah
ajaran beliau saw. menimbulkan dalam diri mereka keyakinan iman, dan contoh
mulia beliau saw. menciptakan di dalam diri mereka kesucian hati. Kenyataan-dasar agama
itulah yang diisyaratkan oleh ayat
ini, dan sebagi hasilnya adalah terciptanya “umat terbaik” yang diciptakan untuk kemanfaatan seluruh umat
manusia (QS.2:144; QS.3:111).
Pendek kata sehubungan
dengan ayat وَ ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ --
dan sucikanlah pakaian engkau” maka tsiyab (pakaian)
-- yakni para pengikut Nabi Besar Muhammad saw. yang
disebut para sahabat beliau saw. – kesucian akhlak dan ruhani mereka benar-benar telah mencapai kesempurnaan yang tidak pernah diraih oleh para pengikut rasul-rasul Allah sebelumnya.
Demikian juga mengenai ayat selanjutnya الرُّجۡزَ فَاہۡجُرۡ -- “dan
tinggalkan penyembahan berhala,” ar-rujz berarti pula kemusyrikan (Lexicon Lane);
ayat ini dapat dianggap perintah
kepada Nabi Besar Muhammad saw. agar
tidak jemu-jemu membasmi kemusyrikan,
baik kemusyrikan yang nyata mau pun kemusyrikan yang tersembunyi,
seperti kecintaan berlebihan kepada keluarga (anak-istri) serta kepada
kesenangan hidup duniawi yang dapat
membuat lengah dari dzikr Ilahi (QS.63:10-12; QS.64:15-19).
Tidak Mencari Keuntungan Duniawi
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai pentingnya melakukan berbagai kebaikan semata-mata demi mencari keridhaan Allah Swt. وَ لَا تَمۡنُنۡ
تَسۡتَکۡثِرُ ۪ -- “dan janganlah
engkau melakukan kebaikan dengan
niat meraih keuntungan lebih
banyak”, benar-benar telah dilaksanakan
pula oleh para sahabat Nabi Besar
Muhammad saw..
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut
ini adalah firman Allah Swt. mengenai
para sahabat Nabi Besar
Muhammad saw. kalangan Anshar
dari Madinah:
لِلۡفُقَرَآءِ الۡمُہٰجِرِیۡنَ الَّذِیۡنَ
اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ وَ اَمۡوَالِہِمۡ یَبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰہِ وَ رِضۡوَانًا وَّ یَنۡصُرُوۡنَ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصّٰدِقُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ
تَبَوَّؤُ الدَّارَ وَ الۡاِیۡمَانَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ یُحِبُّوۡنَ مَنۡ ہَاجَرَ
اِلَیۡہِمۡ وَ لَا یَجِدُوۡنَ فِیۡ
صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا
وَ یُؤۡثِرُوۡنَ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ
ؕ۟ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ
فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا اغۡفِرۡ لَنَا وَ لِاِخۡوَانِنَا الَّذِیۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِیۡمَانِ وَ لَا
تَجۡعَلۡ فِیۡ قُلُوۡبِنَا غِلًّا لِّلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا رَبَّنَاۤ اِنَّکَ رَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿٪﴾
Harta rampasan itu untuk orang-orang
miskin yang berhijrah yang telah
diusir dari rumah mereka dan dari harta
mereka, mereka mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, dan
mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan harta
rampasan itu juga untuk orang-orang yang telah mendirikan rumah
di Medinah dan sudah beriman
sebelum mereka, mereka mencintai
orang-orang yang berhijrah kepada mereka, وَ لَا یَجِدُوۡنَ فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ حَاجَۃً مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ یُؤۡثِرُوۡنَ عَلٰۤی
اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ
-- dan mereka tidak mendapati
suatu keinginan dalam dada mereka terhadap
apa yang diberikan itu,
tetapi mereka mengutamakan para
muhajir di atas diri mereka sendiri
dan walaupun kemiskinan menyertai mereka. وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ -- dan barangsiapa
dapat mengatasi keserakahan dirinya maka mereka itulah yang
berhasil. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka,
mereka berkata: “Hai Rabb (Tuhan)
kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami
dalam keimanan, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian tinggal dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Hai Rabb
(Tuhan) kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun, Maha Penyayang.” (Al-Hasyr
[59]:9-11).
Kata-kata وَ لَا
یَجِدُوۡنَ فِیۡ صُدُوۡرِہِمۡ
حَاجَۃً مِّمَّاۤ اُوۡتُوۡا وَ
یُؤۡثِرُوۡنَ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ وَ لَوۡ کَانَ بِہِمۡ خَصَاصَۃٌ -- dan mereka tidak mendapati suatu keinginan dalam dada
mereka terhadap apa yang diberikan itu, tetapi mereka
mengutamakan para muhajir di atas diri mereka sendiri dan walaupun kemiskinan menyertai mereka itu,” ayat tersebut merupakan kesaksian besar mengenai jiwa pengorbanan, keramah-tamahan selaku tuan rumah, dan niat baik kaum Anshar.
Kaum Muhajirin datang dari Mekkah kepada
mereka dalam keadaan kehilangan segala
harta milik mereka, dan orang-orang Anshar
Madinah menerima mereka itu dengan tangan
terbuka, dan menjadikan mereka itu sama-sama memiliki harta benda mereka.
Ikatan cinta dan persaudaraan, yang dijalin oleh Nabi Besar Muhammad saw. antara kaum Muhajirin dari Mekkah dan kaum Anshar
di Medinah, dan mengenai jalinan persaudaraan ruhani tersebut ayat ini memberikan kesaksian begitu jelas, adalah tiada
tara bandingannya di dalam seluruh lembaran sejarah hubungan antar manusia.
Saling Mendoakan Kebaikan
Ayat 11:
وَ الَّذِیۡنَ جَآءُوۡ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا اغۡفِرۡ لَنَا وَ لِاِخۡوَانِنَا الَّذِیۡنَ سَبَقُوۡنَا بِالۡاِیۡمَانِ وَ لَا
تَجۡعَلۡ فِیۡ قُلُوۡبِنَا غِلًّا لِّلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا رَبَّنَاۤ اِنَّکَ رَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ --
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berkata:
“Hai Rabb (Tuhan) kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
tinggal dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman. Hai Rabb (Tuhan) kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” Ayat ini
dapat dikenakan kepada para Muhajirin
yang kemudian datang ke Medinah, atau kepada semua keturunan kaum Muslimin yang datang kemudian.
Jadi, keadaan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw. – baik
dari kalangan Muhajirin mau pun Anshar -- mereka benar-benar memperagakan semua
perintah Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam Surah Al-Muddatstsir, termasuk firman-Nya
berikut ini: وَ لِرَبِّکَ فَاصۡبِرۡ -- Dan demi Rabb (Tuhan) engkau maka bersabarlah. (Al-Muddatstsir [74]:1-6).
Pendek kata, Nabi
Besar Muhammad saw. sabagai “Al-Muddatstsir”
(orang yang berselimut dengan jubah), hanya dalam waktu 23 tahun saja beliau saw.
telah mampu menjadikan bangsa Arab
jahiliyah -- yang tenggelam selama ribuan tahun dalam kesesatan yang nyata -- menjadi “manusia-manusia
malaikat” atau “umat terbaik”
(QS.2:144; QS.3:111), sebagai bukti keberhasilan Nabi Besar Muhammad saw. melaksanakan perintah Allah Swt.: وَ ثِیَابَکَ فَطَہِّرۡ -- “dan
sucikanlah pakaian engkau.”
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 24 September
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar