بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab 145
Komentar Haji
Agoes Salim tentang Tugas Departemen
Agama dan Menteri Agama RI
dalam Upaya “Menjaga Kesatuan dan
Persatuan Bangsa” (NKRI)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai hati
umumnya umat beragama yang semakin keras, sehingga peringatan Allah Swt. kepada
umat Islam dalam Surah Ali ‘Imran
ayat 103-104 dan Surah Ar-Rūm 31-33 kembali terjadi di Akhir Zaman ini,
seakan-akan yang saat ini terjadi
di kawasan orang-orang Muslim – baik
itu di Afrika Utara, di Jazirah
Arabia, di Iran, di Afghanistan mau pun
di Pakistan -- merupakan “reinkarnasi” dari
keadaan zaman jahiliyah” di masa Nabi Besar Muhammad saw., hanya bedanya
keadaan bangsa Arab, Iran, Afghanistan dan Pakistan
belum beragama Islam,
tetapi di Akhir Zaman ini mereka semua
umumnya telah menganut agama Islam dan semuanya mengaku sebagai Muslim,
hanya saja berbeda sekte dan firqah atau mazhab.
Oleh karena itu tidak keliru jika ada yang berpendapat, bahwa
“kejahiliyah” yang melanda umat Islam di Akhir Zaman ini jauh lebih buruk daripada kejahiliyah di masa sebelum pengutusan
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.30:42-QS.62:3-4), sebab pihak yang membunuh dan pihak yang dibunuh
di Akhir Zaman ini adalah
sesama Muslim, sambil kedua belah
pihak dengan penuh semangat kebencian mengumandangkan ALLAHU AKBAR!
Penyebab Hati Menjadi Keras
Jadi, pada hakikatnya semua keburukan tersebut terjadi karena di
dalam diri (hati) masing-masing pihak yang bertikai “persaudaraan Muslim” yang hakiki telah hilang,
dan yang ada adalah hati
yang keras disertai
rasa dengki dan dendam. Benarlah firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ
قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ
الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi
orang-orang yang beriman, bahwa hati
mereka tunduk untuk mengingat Allah dan mengingat kebenaran
yang telah turun kepada mereka, dan mereka
tidak menjadi seperti orang-orang yang
diberi kitab sebelumnya, maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang
atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
Sungguh Kami telah menjelaskan
Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu
mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Demikian juga, seperti keadaan permukaan bumi jika lama hujan tidak turun ke atasnya maka permukaan bumi akan menjadi keras dan menjadi retak-retak, seperti itu juga dalam masalah keruhanian (dunia agama), jika hati
manusia sudah lama tidak pernah disirami
oleh “hujan ruhani” berupa wahyu Ilahi yang turun kepada seorang rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37),
maka bukan saja hati mereka menjadi keras membatu (QS.2:75; QS.5:14; QS.6:44; QS.17:50-53), mereka pun akan terpecah-belah menjadi berbagai firqah yang saling bertentangan, yang Allah menyebutnya sebagai “orang-orang musyrik”, firman-Nya:
فَاَقِمۡ وَجۡہَکَ لِلدِّیۡنِ حَنِیۡفًا ؕ فِطۡرَتَ
اللّٰہِ الَّتِیۡ فَطَرَ النَّاسَ عَلَیۡہَا ؕ لَا تَبۡدِیۡلَ لِخَلۡقِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ الدِّیۡنُ
الۡقَیِّمُ ٭ۙ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ
النَّاسِ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿٭ۙ﴾ مُنِیۡبِیۡنَ اِلَیۡہِ وَ اتَّقُوۡہُ
وَ اَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ لَا
تَکُوۡنُوۡا مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۙ﴾
مِنَ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا
دِیۡنَہُمۡ وَ کَانُوۡا شِیَعًا ؕ
کُلُّ حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ
فَرِحُوۡنَ ﴿﴾
Maka hadapkanlah wajah kamu kepada agama yang
lurus, yaitu fitrat Allah,
yang atas dasar itu Dia menciptakan manusia, tidak ada perubahan
dalam penciptaan Allah, itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Kembalilah kamu kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang musyrik,
yaitu orang-orang
yang memecah-belah agamanya dan mereka
menjadi golongan-golongan, tiap-tiap golongan bangga dengan apa
yang ada pada mereka. (Ar-Rūm [30]:31-33).
Pendapat Akhmad Sahal: “Iman dan
Negara Hukum”
Salah satu contoh gambaran
yang dikemukakan firman Allah Swt. mengenai “telah mengerasnya hati umat beragama” tersebut (QS.57:17-18), berikut adalah pendapat dari Akhmad Sahal yang dimuat dalam Koran
Tempo, Sabtu, 1 Februari 2014, yang ada hubungannya dengan pendapat Menteri Agama RI, Suryadharma Ali mengenai golongan
minoritas di NKRI dengan judul:
Iman
dan Negara Hukum
Akhmad
Sahal,
Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika
Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika
Bagaimana negara mesti bersikap terhadap iman
warganya? H Agoes Salim pernah menyoroti soal itu. Dalam artikelnya, "Kementerian Agama dalam Republik
Indonesia" (1951), beliau bertanya apakah negara kita yang berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa "mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang
meniadakan Tuhan? Atau keyakinan yang mengakui Tuhan berbilangan atau
berbagi-bagi?"
Tokoh kebangsaan yang kerap digelari
"Orang Tua Besar" itu menjawab begini: "Tentu dan pasti! Sebab, UUD
kita, sebagaimana UUD tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan,
mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan beragama, asalkan jangan melanggar
hak-hak pergaulan orang masing-masing. Jangan melanggar adab kesopanan pihak
ramai, tertib keamanan, dan damai."
Selanjutnya ia menulis: "Kementerian Urusan Agama tetap harus
mengingat bahwa sekalipun bangsa kita sebagian besar beragama Islam, akan
tetapi negara kita tidak menetapkan agama Islam sebagai agama yang diwajibkan
segala rakyat… Bahkan kepada mereka yang meniadakan Tuhan dan yang beragama
ketuhanan berbilangan atau berbagai-bagi, tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan, bahkan tidakpun
dibenarkan kita menghadapkan celaan dan cacian."
Bagi Agoes Salim, kebebasan beragama sifatnya mutlak,
dan karena itu harus dilindungi
konstitusi. Ia juga menegaskan Kementerian
Agama sebagai lembaga negara yang berperan merawat kebebasan berkeyakinan, termasuk keyakinan warga yang ateis maupun politeis, asal tak mengganggu
ketenteraman publik. Di akhir artikelnya, ia menyebut tugas Kementerian
Urusan Agama sebagai mulia karena pada lembaga inilah "bergantung pemeliharaan kesatuan kebangsaan
kita".
Ironisnya,
Kementerian Agama kini semakin melenceng dari khitah yang dicanangkan Agoes
Salim. Alih-alih sebagai "pemelihara
kesatuan kebangsaan kita", Menteri Agama Suryadharma Ali justru
mendukung intoleransi dan diskriminasi agama. Dan itu disokong
oleh MUI dan ormas seperti FPI dan FUI.
Ada upaya
untuk mengubah karakter "negara
hukum" NKRI menjadi "NKRI
bersyariah." Tak jarang upaya tersebut berlindung di balik klaim demokrasi. Bagi mereka, demokrasi adalah melulu soal suara terbanyak. Kalau misalnya suara
terbanyak menghendaki pelenyapan Syiah
dan Ahmadiyah, kenapa tidak?
Tapi,
masih layakkah kehendak mayoritas
disebut demokrasi kalau disertai pemberangusan kebebasan berkeyakinan
minoritas? Perlu diingat, demokrasi
modern bertumpu pada dua pilar: kesetaraan
dan kemerdekaan. Pilar kesetaraan mendasari berkembangnya
mekanisme seleksi pemimpin melalui pemilihan umum, sedangkan pilar kemerdekaan menjadi basis bagi ide
negara hukum (rechtsaat).
Begitulah, atas dasar kesetaraan, kepemimpinan dalam demokrasi tidak bertolak dari klaim superioritas keturunan seperti aristokrasi, atau klaim mandat keilahian ala teokrasi, melainkan melalui suara terbanyak dalam pemilu. Pemimpin dalam demokrasi merupakan primus inter pares, yang pertama dari yang setara.
Namun, demokrasi modern juga bertumpu pada prinsip kemerdekaan warga, dalam arti bebas
dari kesewenangan dominasi pihak lain. Kalaupun ia tunduk pada kuasa
negara, itu karena ia memberi persetujuan (consent) terhadapnya, melalui
kontrak sosial.
Menurut Thomas Hobbes, negara modern lahir dari kontrak antarindividu-individu yang
hendak melindungi diri dari situasi "perang
semua lawan semua". Ini adalah gambaran perang saudara yang murub karena konflik agama di Eropa abad ke-17. Ketakutan itulah yang mendorong para individu untuk melakukan kontrak
sosial untuk bersedia dipimpin oleh kedaulatan
absolut ala Leviathan.
Tapi, Sang
Leviathan juga bisa menjadi tiran.
Dari situlah pemikir politik semacam Locke, Montesquieu, dan Jefferson
merumuskan strategi untuk "mengerangkeng" Leviathan, agar hak individu dalam kontrak sosial terlindungi. Inilah yang lalu berkembang menjadi sistem kontrol terhadap kekuasaan lewat rule of law, trias politika,
dan check and balance, yang semuanya
jadi ciri negara hukum.
Asumsinya, negara bukan entitas yang
mendahului individu, melainkan sebaliknya: ia muncul karena adanya kontrak antarindividu, demi melindungi kemerdekaan mereka. Pemerintah tak punya
lisensi untuk memberangusnya karena hak
tersebut bukan anugerah dari negara,
tapi melekat dalam diri tiap manusia.
Walhasil, prinsip kesetaraan dan kemerdekaan
adalah dua sisi dari koin demokrasi
yang tak bisa saling menafikan.
Dengan begitu, mayoritas tak bisa
mengebiri hak minoritas, karena itu sama artinya dengan menafikan sisi demokrasi yang lain,
yakni rechstaat.
Memang, ide negara hukum adalah produk tanah Eropa. Tapi para pendiri Republik ini mengadopsinya,
karena hanya dengan negara hukumlah
kemerdekaan tiap warga terlindungi, termasuk kemerdekaan berkeyakinan.
Karena itulah Agoes Salim tegas
menyatakan, meski negara kita berdasar
Ketuhanan yang Maha Esa, warga yang ateis ataupun politeis sekalipun mendapat
tempat. *
*) Kolom
ini untuk Prof Dawam Rahardjo atas Yap
Thiam Hien Award 2013
Berbagai Pernyataan Provokatif
Menag RI Suryadharma Ali Mengenai Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di NKRI &
Tuduhan Fir’aun
Sesuai dengan pendapat Akhmad Sahal berkenaan dengan sikap intoleransi Menag RI Suryadharma Ali, berkenaan dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah di NKRI ini, memang
dalam berbagai kesempatan Menteri Agama
RI Suryadharma Ali -- yang seharusnya Departemen Agama yang dipimpinnya melaksanakan apa yang dikemukakan
oleh H. Agoes Salim: “…tugas Kementerian Urusan Agama sebagai mulia karena pada lembaga inilah
"bergantung pemeliharaan kesatuan
kebangsaan kita" -- justru melakukan berbagai provokasi agar pemerintah NKRI Pimpinan Presiden H. Susilo Bambang Yudhoyono segera membubarkan
Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab menurut Menag
RI Suryadharma Ali, semua peristiwa anarkis yang dilakukan oleh
berbagai Ormas Islam penganut “garis keras” -- sehingga terus menyalanya “parit
api” di NKRI terhadap Jemaat Ahmadiyah (QS.85:1-11)
-- adalah karena “belum
dibubarkannya Jemaat Ahmadiyah” oleh Pemerintah
Pusat.
Pendapat
Menag Suryadharma Ali tersebut “gayung
bersambut” dengan cita-cita RHoma
Irama -- si “Raja dangdut” -- yang dalam wawancara di salah satu wawancara TV Swasta menyatakan, bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden RI berikutnya maka prioritas utamanya adalah “membubarkan Ahmadiyah.”
Sungguh menakjubkan, karena
ternyata pendapat-pendapat provokatif yang
dikemukakan oleh berbagai tokoh penentang Jemaat Ahmadiyah seperti itu,
pada hakikatnya 1400 tahun yang lalu telah dikemukakan Allah Swt. di dalam Al-Quran,
bahwa hal tersebut merupakan “reinkarnasi”
atau “pengulangan sejarah” yang pernah dilakukan dan dituduhkan oleh para penentang
Rasul Allah di setiap zaman,
sekan-akan mereka itu telah saling
mewasiyatkan (QS.51:53-54).
Dari Kitab suci Al-Quran diketahui bahwa
sudah menjadi ijma’
(kesepakatan) para penentang Rasul Allah, bahwa penyebab terjadinya berbagai kemalangan dan bala bencana yang menimpa mereka adalah
keberadaan Rasul Allah dan para pengikutnya -- yang selama itu mereka
terus menerus melakukan penentangan
secara zalim dengan
membuat berbagai bentuk “parit api”,
firman-Nya:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ
السَّمَآءِ ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ ۙ﴿۱﴾ وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ ۙ﴿۲﴾
وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ ؕ﴿﴾ قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِ ۙ﴿﴾
النَّارِ ذَاتِ الۡوَقُوۡدِ ۙ﴿﴾ اِذۡ ہُمۡ عَلَیۡہَا قُعُوۡدٌ ۙ﴿﴾
وَّ ہُمۡ عَلٰی مَا یَفۡعَلُوۡنَ
بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ شُہُوۡدٌ ؕ﴿۷ وَ مَا نَقَمُوۡا مِنۡہُمۡ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّؤۡمِنُوۡا
بِاللّٰہِ الۡعَزِیۡزِ الۡحَمِیۡدِ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ لَہٗ مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ
وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی کُلِّ
شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ ؕ﴿﴾ اِنَّ الَّذِیۡنَ فَتَنُوا
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ثُمَّ
لَمۡ یَتُوۡبُوۡا فَلَہُمۡ عَذَابُ جَہَنَّمَ وَ لَہُمۡ عَذَابُ
الۡحَرِیۡقِ ﴿ؕ﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Demi langit
yang memiliki gugusan-gugusan
bintang, dan demi Hari yang dijanjikan, dan demi saksi
dan yang disaksikan. Binasalah para pemilik parit, yaitu Api yang dinyalakan dengan
bahan bakar, ketika mereka
duduk di sekitarnya, dan mereka
menjadi saksi atas apa yang dilakukan mereka terhadap orang-orang beriman.
Dan mereka sekali-kali tidak menaruh dendam terhadap mereka itu
melainkan hanya karena mereka
beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji, Yang kepunyaan-Nya
kerajaan seluruh langit dan bumi, dan Allah
menjadi Saksi atas segala sesuatu.
Sesungguhnya orang-orang yang
menyiksa orang-orang beriman laki-laki
dan perempuan kemudian mereka
tidak bertaubat, maka bagi mereka
azab Jahannam dan bagi me-reka azab
yang membakar. (Al-Burūj [85]:1-11).
Penjelasan terinci mengenai ayat-ayat
dalam firman Allah Swt. tersebut telah dibahas dalam Bab 138 sd Bab 140.
Tuduhan Provokatif Fir’aun Terhadap
Nabi Musa a.s.
Berikut adalah beberapa firman Allah Swt.
mengenai kaum-kaum purbakala yang melakukan tuduhan keji seperti itu, di antaranya adalah tuduhan Fir’aun
dan kaumnya terhadap Nabi Musa a.s.:
وَ لَقَدۡ اَخَذۡنَاۤ اٰلَ فِرۡعَوۡنَ
بِالسِّنِیۡنَ وَ نَقۡصٍ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّہُمۡ یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾
فَاِذَا جَآءَتۡہُمُ
الۡحَسَنَۃُ قَالُوۡا لَنَا ہٰذِہٖ ۚ وَ اِنۡ
تُصِبۡہُمۡ سَیِّئَۃٌ
یَّطَّیَّرُوۡا بِمُوۡسٰی وَ مَنۡ مَّعَہٗ ؕ اَلَاۤ اِنَّمَا طٰٓئِرُہُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ وَ
لٰکِنَّ اَکۡثَرَہُمۡ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah menghukum kaum
Fir’aun dengan tahun-tahun paceklik
dan kekurangan buah-buahan
supaya mereka mengambil pelajaran. Lalu apabila
datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini karena upaya kami.” Tetapi jika mereka ditimpa kesusahan, mereka menuduhkan penyebab kesialan itu
kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ingatlah, sesungguhnya penyebab kesialan mereka ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-A’rāf
[7]:131-132).
Sanah,
mufrad dari kata sinīn maknanya peredaran bumi di sekitar matahari. Kata
itu sama artinya dengan ām (dan juga dengan haul), tetapi kalau
tiap sanah itu ām maka
tidak tiap-tiap ām itu sanah.
Dikatakan juga bahwa sanah itu lebih panjang dari aam yang
dikenakan kepada kedua belas bulan penanggalan Arab secara kolektip, tetapi sanah
itu dikenakan juga kepada dua belas peredaran bulan.
Menurut Imam Raghib, sanah digunakan sebagai menyatakan tahun yang dilanda musim sukar, kekeringan air,
atau gersang atau paceklik; sedangkan ām menyatakan tahun yang mendatangkan banyaknya sumber-sumber kehidupan dengan
berlimpah-limpahnya sayur-mayur, tumbuh-tumbuhan, dan sebangsanya. Sanah
berarti juga kekeringan. Ayat itu menyebut tentang kerugian jiwa dan harta-benda
yang melanda Fir’aun dan kaumnya akibat kedurhakaan mereka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya (Nabi Musa a.s. dan Nabi harun a.s.).
Allah Swt. menjawab tuduhan Fir’aun
terhadap Nabi Musa a.s. dan para pengikutnya tersebut: اَلَاۤ
اِنَّمَا طٰٓئِرُہُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَہُمۡ
لَا یَعۡلَمُوۡنَ -- “Ingatlah, sesungguhnya
penyebab kesialan mereka ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui” Tha’ir berarti: alamat, pertanda baik atau
buruk, nasib malang atau kesialan (Lexicon
Lane).
Tuduhan Provokatif Para Pemuka Kaum Tsamud Terhadap Nabi Shaleh a.s.
& Sembilan Orang Tokoh Pembuat Kerusakan
Sebelumnya, para pemuka kaum Tsamud juga melakukan tuduhan keji yang sama terhadap Nabi Shalih a.s. dan para pengikut
beliau, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَاۤ اِلٰی ثَمُوۡدَ اَخَاہُمۡ
صٰلِحًا اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ
فَاِذَا ہُمۡ فَرِیۡقٰنِ یَخۡتَصِمُوۡنَ ﴿﴾
قَالَ یٰقَوۡمِ لِمَ
تَسۡتَعۡجِلُوۡنَ بِالسَّیِّئَۃِ قَبۡلَ الۡحَسَنَۃِ ۚ لَوۡ لَا تَسۡتَغۡفِرُوۡنَ
اللّٰہَ لَعَلَّکُمۡ تُرۡحَمُوۡنَ﴿﴾
قَالُوا اطَّیَّرۡنَا بِکَ وَ
بِمَنۡ مَّعَکَ ؕ قَالَ طٰٓئِرُکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ بَلۡ
اَنۡتُمۡ قَوۡمٌ تُفۡتَنُوۡنَ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah mengutus kepada
Tsamud, saudara mereka Shalih yang
berkata: “Sembahlah Allah” maka tiba-tiba mereka menjadi dua golongan
yang saling berbantah. Ia, Shalih,
berkata: “Hai kaumku, mengapakah kamu
minta disegerakan keburukan sebelum datang kebaikan? Mengapakah
kamu tidak memohon ampun kepada Allah,
supaya kamu dikasihani?” Mereka
berkata: “Hai Shalih, kami telah mendapatkan nasib malang
disebabkan engkau dan orang yang beserta engkau.” Ia, Shalih,
berkata: “Nasib buruk kamu ada di sisi
Allah, bahkan kamu kaum yang diuji.” (An-Naml [27]:46-48).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai keberadaan 9 tokoh penentang
Rasul Allah di kalangan kaum Tsamud -- yang menjawab da’wah Nabi Shalih a.s.
dengan membuat “parit api” guna “membakar” Nabi
Shalih a.s. dan orang-orang yang beriman kepada beliau -- firman-Nya:
وَ کَانَ فِی الۡمَدِیۡنَۃِ تِسۡعَۃُ
رَہۡطٍ یُّفۡسِدُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ وَ لَا یُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا تَقَاسَمُوۡا بِاللّٰہِ لَنُبَیِّتَنَّہٗ وَ اَہۡلَہٗ ثُمَّ
لَنَقُوۡلَنَّ لِوَلِیِّہٖ مَا شَہِدۡنَا مَہۡلِکَ اَہۡلِہٖ
وَ اِنَّا لَصٰدِقُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَکَرُوۡا مَکۡرًا وَّ مَکَرۡنَا مَکۡرًا وَّ ہُمۡ لَا
یَشۡعُرُوۡنَ﴿﴾فَانۡظُرۡ کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ مَکۡرِہِمۡ ۙ اَنَّا
دَمَّرۡنٰہُمۡ وَ قَوۡمَہُمۡ
اَجۡمَعِیۡنَ ﴿﴾
فَتِلۡکَ بُیُوۡتُہُمۡ
خَاوِیَۃًۢ بِمَا ظَلَمُوۡا ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً لِّقَوۡمٍ
یَّعۡلَمُوۡنَ﴿﴾ وَ اَنۡجَیۡنَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ کَانُوۡا یَتَّقُوۡنَ ﴿﴾
Dan dalam kota itu ada sembilan orang yang berbuat
kerusakan di bumi dan tidak mau mengadakan perbaikan. Mereka berkata: “Hendaklah kamu sekalian bersumpah dengan nama Allah bahwa niscaya kami akan menyerbu pada
malam hari kepada dia dan keluarganya, kemudian kami niscaya akan berkata kepada pelindungnya: “Kami
sekali-kali tidak menyaksikan keluarganya menjadi binasa dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.” Dan mereka membuat makar buruk dan Kami
pun membuat makar tandingan,
tetapi mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana buruknya akibat makar buruk mereka,
sesungguhnya Kami memusnahkan mereka dan
kaumnya semua. Maka itulah rumah-rumah mereka yang telah runtuh
karena mereka berbuat zalim.
Sesungguhnya dalam yang demikian itu
benar-benar ada Tanda untuk kaum yang menge-tahui. Dan Kami
menyelamatkan orang-orang yang beriman
dan bertak-wa.” (An-Naml
[27]:49-54).
Nubuatan Tentang Makar Buruk Abu Jahal dkk
Terhadap Nabi Besar Muhammad saw.
Dengan sendirinya yang diisyaratkan dalam
ayat-ayat ini adalah kesembilan
musuh Nabi Besar Muhammad saw. terkemuka. Delapan di antaranya terbunuh dalam pertempuran Badar
dan yang kesembilan, Abu Lahab
-- yang terkenal keburukannya itu -- mati di Mekkah ketika sampai ke telinganya kabar tentang kekalahan pasukan Quarisy Mekkah
pimpinan Abu Jahal di Badar.
Kedelapan orang itu adalah Abu Jahal, Muthim bin Adiy, Syaibah bin Rabiah,
Utbah bin Rabiah, Walid bin Utbah, Umayah
bin Khalf, Nadhr bin Harts, dan Aqbah bin Abi Mu’aith. Mereka
bersekongkol untuk membunuh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.8:31).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10
Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar