Minggu, 02 Februari 2014

Komentar Haji Agoes Salim tentang Tugas Departemen Agama dan Menteri Agama RI dalam Upaya "Menjaga Kesatuan dan Persatuan Bangsa" (NKRI)



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  145

    Komentar Haji Agoes Salim tentang Tugas Departemen Agama dan Menteri Agama  RI dalam Upaya “Menjaga Kesatuan dan Persatuan Bangsa” (NKRI)   

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

P
ada  akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai   hati   umumnya  umat beragama yang semakin keras, sehingga peringatan Allah Swt.  kepada umat Islam dalam Surah Ali ‘Imran ayat 103-104  dan Surah Ar-Rūm 31-33  kembali terjadi di Akhir Zaman ini,  seakan-akan  yang saat ini terjadi di kawasan orang-orang Muslim – baik itu di  Afrika Utara, di Jazirah Arabia,  di Iran, di Afghanistan mau pun di Pakistan   --  merupakan “reinkarnasi” dari  keadaan  zaman jahiliyah” di masa Nabi Besar Muhammad saw., hanya bedanya keadaan bangsa Arab, Iran,   Afghanistan dan  Pakistan    belum beragama Islam, tetapi  di Akhir Zaman  ini mereka semua umumnya telah menganut agama Islam   dan semuanya mengaku sebagai Muslim,  hanya saja berbeda sekte dan firqah atau mazhab.
        Oleh karena itu tidak keliru jika ada yang berpendapat,  bahwa  kejahiliyah” yang melanda umat Islam di Akhir Zaman ini  jauh lebih buruk daripada kejahiliyah di masa sebelum pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.30:42-QS.62:3-4), sebab pihak yang membunuh dan pihak yang dibunuh  di Akhir Zaman ini adalah sesama Muslim, sambil kedua belah pihak dengan penuh semangat kebencian mengumandangkan ALLAHU AKBAR!

Penyebab Hati Menjadi Keras

       Jadi, pada hakikatnya semua keburukan tersebut terjadi karena di dalam   diri (hati) masing-masing pihak yang bertikai  persaudaraan Muslim” yang hakiki telah hilang,  dan yang ada adalah   hati  yang keras  disertai  rasa dengki dan dendam. Benarlah firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ  لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اَنۡ  تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ  لِذِکۡرِ اللّٰہِ  وَ مَا  نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ  ۙ  وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾  اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk mengingat Allah dan mengingat  kebenaran yang telah turun kepada mereka, dan mereka tidak  menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, maka  zaman kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu   hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka?  Ketahuilah, bahwasanya  Allah  menghidupkan bumi sesudah matinya. Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
       Demikian juga, seperti keadaan permukaan bumi jika lama hujan tidak turun ke atasnya maka permukaan bumi akan menjadi keras dan menjadi retak-retak, seperti itu juga dalam masalah keruhanian (dunia agama), jika hati manusia sudah lama tidak pernah disirami oleh “hujan ruhani” berupa wahyu Ilahi   yang turun kepada seorang rasul Allah  yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37), maka bukan  saja hati mereka menjadi   keras membatu (QS.2:75; QS.5:14; QS.6:44; QS.17:50-53), mereka pun akan terpecah-belah menjadi berbagai firqah yang saling bertentangan, yang Allah menyebutnya sebagai “orang-orang musyrik”, firman-Nya:
فَاَقِمۡ  وَجۡہَکَ لِلدِّیۡنِ حَنِیۡفًا ؕ فِطۡرَتَ اللّٰہِ  الَّتِیۡ فَطَرَ  النَّاسَ عَلَیۡہَا ؕ لَا تَبۡدِیۡلَ  لِخَلۡقِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ الدِّیۡنُ الۡقَیِّمُ ٭ۙ وَ لٰکِنَّ  اَکۡثَرَ النَّاسِ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿٭ۙ﴾  مُنِیۡبِیۡنَ اِلَیۡہِ وَ اتَّقُوۡہُ  وَ اَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ لَا تَکُوۡنُوۡا مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۙ﴾  مِنَ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا دِیۡنَہُمۡ  وَ کَانُوۡا شِیَعًا ؕ کُلُّ  حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ فَرِحُوۡنَ ﴿﴾
Maka hadapkanlah wajah kamu kepada agama yang lurus, yaitu fitrat Allah, yang atas dasar itu  Dia menciptakan manusia, tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah, itulah agama yang lurus,  tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuiKembalilah kamu kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat,  dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik,     yaitu orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi golongan-golongan, tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Ar-Rūm [30]:31-33).

Pendapat Akhmad Sahal: “Iman dan Negara Hukum”

       Salah satu contoh   gambaran yang dikemukakan firman Allah Swt. mengenai “telah mengerasnya hati umat beragama  tersebut (QS.57:17-18), berikut adalah pendapat dari Akhmad Sahal yang dimuat dalam Koran Tempo, Sabtu, 1 Februari 2014, yang ada hubungannya dengan pendapat Menteri Agama RI, Suryadharma Ali  mengenai golongan minoritas di NKRI dengan judul:

Iman dan Negara Hukum

Akhmad Sahal,
Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

      Bagaimana negara mesti bersikap terhadap iman warganya? H Agoes Salim pernah menyoroti soal itu. Dalam artikelnya, "Kementerian Agama dalam Republik Indonesia" (1951), beliau bertanya apakah negara kita yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa "mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?"
     Tokoh kebangsaan yang kerap digelari "Orang Tua Besar" itu menjawab begini: "Tentu dan pasti! Sebab, UUD kita, sebagaimana UUD tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan, mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan beragama, asalkan jangan melanggar hak-hak pergaulan orang masing-masing. Jangan melanggar adab kesopanan pihak ramai, tertib keamanan, dan damai."
      Selanjutnya ia menulis: "Kementerian Urusan Agama tetap harus mengingat bahwa sekalipun bangsa kita sebagian besar beragama Islam, akan tetapi negara kita tidak menetapkan agama Islam sebagai agama yang diwajibkan segala rakyat… Bahkan kepada mereka yang meniadakan Tuhan dan yang beragama ketuhanan berbilangan atau berbagai-bagi, tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan, bahkan tidakpun dibenarkan kita menghadapkan celaan dan cacian."
      Bagi Agoes Salim, kebebasan beragama sifatnya mutlak, dan karena itu harus dilindungi konstitusi. Ia juga menegaskan Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang berperan merawat kebebasan berkeyakinan, termasuk keyakinan warga yang ateis maupun politeis, asal tak mengganggu ketenteraman publik. Di akhir artikelnya, ia menyebut tugas Kementerian Urusan Agama sebagai mulia karena pada lembaga inilah "bergantung pemeliharaan kesatuan kebangsaan kita".
      Ironisnya, Kementerian Agama kini semakin melenceng dari khitah yang dicanangkan Agoes Salim. Alih-alih sebagai "pemelihara kesatuan kebangsaan kita", Menteri Agama Suryadharma Ali justru mendukung intoleransi dan diskriminasi agama. Dan itu disokong oleh MUI dan ormas seperti FPI dan FUI.
      Ada upaya untuk mengubah karakter "negara hukum" NKRI menjadi "NKRI bersyariah." Tak jarang upaya tersebut berlindung di balik klaim demokrasi. Bagi mereka, demokrasi adalah melulu soal suara terbanyak. Kalau misalnya suara terbanyak menghendaki pelenyapan Syiah dan Ahmadiyah, kenapa tidak?
      Tapi, masih layakkah kehendak mayoritas disebut demokrasi kalau disertai pemberangusan kebebasan berkeyakinan minoritas? Perlu diingat, demokrasi modern bertumpu pada dua pilar: kesetaraan dan kemerdekaan. Pilar kesetaraan mendasari berkembangnya mekanisme seleksi pemimpin melalui pemilihan umum, sedangkan pilar kemerdekaan menjadi basis bagi ide negara hukum (rechtsaat).
      Begitulah, atas dasar kesetaraan, kepemimpinan dalam demokrasi tidak bertolak dari klaim superioritas keturunan seperti aristokrasi, atau klaim mandat keilahian ala teokrasi, melainkan melalui suara terbanyak dalam pemilu. Pemimpin dalam demokrasi merupakan primus inter pares, yang pertama dari yang setara.
       Namun, demokrasi modern juga bertumpu pada prinsip kemerdekaan warga, dalam arti bebas dari kesewenangan dominasi pihak lain. Kalaupun ia tunduk pada kuasa negara, itu karena ia memberi persetujuan (consent) terhadapnya, melalui kontrak sosial.
      Menurut Thomas Hobbes, negara modern lahir dari kontrak antarindividu-individu yang hendak melindungi diri dari situasi "perang semua lawan semua". Ini adalah gambaran perang saudara yang murub karena konflik agama di Eropa abad ke-17. Ketakutan itulah yang mendorong para individu untuk melakukan kontrak sosial untuk bersedia dipimpin oleh kedaulatan absolut ala Leviathan.
      Tapi, Sang Leviathan juga bisa menjadi tiran. Dari situlah pemikir politik semacam Locke, Montesquieu, dan Jefferson merumuskan strategi untuk "mengerangkeng" Leviathan, agar hak individu dalam kontrak sosial terlindungi. Inilah yang lalu berkembang menjadi sistem kontrol terhadap kekuasaan lewat rule of law, trias politika, dan check and balance, yang semuanya jadi ciri negara hukum.
      Asumsinya, negara bukan entitas yang mendahului individu, melainkan sebaliknya: ia muncul karena adanya kontrak antarindividu, demi melindungi kemerdekaan mereka. Pemerintah tak punya lisensi untuk memberangusnya karena hak tersebut bukan anugerah dari negara, tapi melekat dalam diri tiap manusia.
      Walhasil, prinsip kesetaraan dan kemerdekaan adalah dua sisi dari koin demokrasi yang tak bisa saling menafikan. Dengan begitu, mayoritas tak bisa mengebiri hak minoritas, karena itu sama artinya dengan menafikan sisi demokrasi yang lain, yakni rechstaat.
     Memang, ide negara hukum adalah produk tanah Eropa. Tapi para pendiri Republik ini mengadopsinya, karena hanya dengan negara hukumlah kemerdekaan tiap warga terlindungi, termasuk kemerdekaan berkeyakinan.
     Karena itulah Agoes Salim tegas menyatakan, meski negara kita berdasar Ketuhanan yang Maha Esa, warga yang ateis ataupun politeis sekalipun mendapat tempat. *
*) Kolom ini untuk Prof  Dawam Rahardjo atas Yap Thiam Hien Award 2013

Berbagai Pernyataan  Provokatif Menag RI Suryadharma Ali Mengenai  Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di NKRI  & Tuduhan Fir’aun

      Sesuai dengan pendapat Akhmad Sahal berkenaan dengan sikap intoleransi Menag RI Suryadharma  Ali, berkenaan dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah di NKRI ini, memang dalam berbagai kesempatan Menteri Agama RI Suryadharma Ali  -- yang seharusnya Departemen Agama yang dipimpinnya melaksanakan apa yang dikemukakan oleh H. Agoes Salim:   “…tugas Kementerian Urusan Agama sebagai mulia karena pada lembaga inilah "bergantung pemeliharaan kesatuan kebangsaan kita" --  justru melakukan berbagai   provokasi  agar pemerintah NKRI Pimpinan Presiden H. Susilo Bambang Yudhoyono  segera membubarkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
      Mengapa demikian? Sebab menurut  Menag RI  Suryadharma Ali,  semua peristiwa anarkis   yang dilakukan oleh berbagai Ormas Islam penganut “garis keras”   ­-- sehingga  terus menyalanya  parit api  di NKRI    terhadap Jemaat Ahmadiyah (QS.85:1-11)  --  adalah karena  belum dibubarkannya Jemaat Ahmadiyah” oleh Pemerintah Pusat.
       Pendapat  Menag Suryadharma Ali tersebut   gayung bersambut” dengan  cita-cita   RHoma Irama   -- si “Raja dangdut”   --  yang dalam wawancara   di salah satu  wawancara TV Swasta  menyatakan, bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden RI berikutnya maka prioritas   utamanya adalah “membubarkan Ahmadiyah.     
           Sungguh menakjubkan, karena  ternyata  pendapat-pendapat provokatif  yang  dikemukakan  oleh  berbagai tokoh  penentang Jemaat Ahmadiyah seperti itu, pada hakikatnya 1400 tahun yang lalu telah dikemukakan Allah Swt.  di dalam Al-Quran, bahwa hal tersebut merupakan “reinkarnasi” atau “pengulangan sejarah” yang  pernah dilakukan  dan dituduhkan  oleh para penentang Rasul Allah di setiap zaman, sekan-akan mereka itu telah saling mewasiyatkan   (QS.51:53-54). 
       Dari Kitab suci Al-Quran diketahui bahwa   sudah menjadi ijma’ (kesepakatan)   para penentang Rasul Allah,  bahwa penyebab  terjadinya berbagai kemalangan dan bala bencana  yang menimpa mereka  adalah  keberadaan Rasul Allah dan para pengikutnya -- yang selama itu mereka terus menerus melakukan penentangan secara zalim   dengan  membuat berbagai bentuk “parit api”, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ السَّمَآءِ  ذَاتِ الۡبُرُوۡجِ ۙ﴿۱﴾   وَ الۡیَوۡمِ الۡمَوۡعُوۡدِ ۙ﴿۲﴾  وَ شَاہِدٍ وَّ مَشۡہُوۡدٍ ؕ﴿﴾  قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِ ۙ﴿﴾  النَّارِ ذَاتِ الۡوَقُوۡدِ ۙ﴿﴾  اِذۡ ہُمۡ عَلَیۡہَا قُعُوۡدٌ ۙ﴿﴾  وَّ ہُمۡ عَلٰی مَا یَفۡعَلُوۡنَ بِالۡمُؤۡمِنِیۡنَ شُہُوۡدٌ  ؕ﴿۷  وَ مَا نَقَمُوۡا مِنۡہُمۡ  اِلَّاۤ  اَنۡ یُّؤۡمِنُوۡا بِاللّٰہِ الۡعَزِیۡزِ  الۡحَمِیۡدِ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡ لَہٗ  مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ  عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ ؕ﴿﴾  اِنَّ  الَّذِیۡنَ فَتَنُوا الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ثُمَّ  لَمۡ یَتُوۡبُوۡا فَلَہُمۡ عَذَابُ جَہَنَّمَ وَ لَہُمۡ عَذَابُ الۡحَرِیۡقِ ﴿ؕ﴾
 Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Demi langit yang memiliki  gugusan-gugusan bintang,  dan demi Hari yang dijanjikan,  dan demi saksi dan yang disaksikan. Binasalah para pemilik parit,    yaitu Api yang dinyalakan dengan bahan bakar,   ketika mereka duduk  di sekitarnya,   dan mereka menjadi saksi atas apa yang dilakukan mereka terhadap orang-orang beriman.    Dan mereka sekali-kali tidak menaruh dendam terhadap mereka itu melainkan hanya karena mereka beriman kepada Allah   Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji, Yang kepunyaan-Nya kerajaan seluruh langit dan bumi, dan Allah menjadi Saksi atas segala sesuatu.    Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa orang-orang beriman  laki-laki dan  perempuan  kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi me-reka azab yang membakar.  (Al-Burūj [85]:1-11).
       Penjelasan terinci mengenai ayat-ayat dalam firman Allah Swt. tersebut telah dibahas dalam Bab 138 sd Bab 140.

Tuduhan Provokatif  Fir’aun Terhadap Nabi Musa a.s.

      Berikut adalah beberapa firman Allah Swt. mengenai  kaum-kaum purbakala yang melakukan tuduhan keji  seperti  itu, di antaranya adalah tuduhan  Fir’aun dan kaumnya terhadap Nabi Musa a.s.:
وَ لَقَدۡ اَخَذۡنَاۤ  اٰلَ فِرۡعَوۡنَ بِالسِّنِیۡنَ وَ نَقۡصٍ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّہُمۡ یَذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾  فَاِذَا جَآءَتۡہُمُ الۡحَسَنَۃُ  قَالُوۡا  لَنَا ہٰذِہٖ ۚ وَ  اِنۡ  تُصِبۡہُمۡ سَیِّئَۃٌ  یَّطَّیَّرُوۡا بِمُوۡسٰی وَ مَنۡ مَّعَہٗ ؕ اَلَاۤ  اِنَّمَا طٰٓئِرُہُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ  اَکۡثَرَہُمۡ  لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Dan  sungguh    Kami benar-benar telah menghukum kaum Fir’aun dengan tahun-tahun paceklik  dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran.   Lalu apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini karena upaya kami.” Tetapi jika mereka ditimpa kesusahan, mereka menuduhkan penyebab  kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ingatlah, sesungguhnya penyebab kesialan mereka ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-A’rāf [7]:131-132).
       Sanah, mufrad dari kata sinīn maknanya peredaran bumi di sekitar matahari. Kata itu sama artinya dengan ām (dan juga dengan haul), tetapi kalau tiap sanah itu  ām maka tidak tiap-tiap  ām itu sanah. Dikatakan juga bahwa sanah itu lebih panjang dari aam yang dikenakan kepada kedua belas bulan penanggalan Arab secara kolektip, tetapi sanah itu dikenakan juga kepada dua belas peredaran bulan.
        Menurut Imam Raghib, sanah digunakan sebagai menyatakan tahun yang dilanda musim sukar, kekeringan air, atau gersang atau paceklik; sedangkan  ām menyatakan   tahun yang mendatangkan banyaknya sumber-sumber kehidupan dengan berlimpah-limpahnya sayur-mayur, tumbuh-tumbuhan, dan sebangsanya. Sanah berarti juga kekeringan. Ayat itu menyebut tentang kerugian jiwa dan harta-benda yang melanda  Fir’aun dan kaumnya akibat kedurhakaan mereka kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya   (Nabi Musa a.s. dan Nabi harun a.s.).
      Allah Swt. menjawab tuduhan Fir’aun terhadap Nabi Musa a.s. dan para pengikutnya tersebut: اَلَاۤ  اِنَّمَا طٰٓئِرُہُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ  اَکۡثَرَہُمۡ  لَا یَعۡلَمُوۡنَ -- “Ingatlah, sesungguhnya penyebab kesialan mereka ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuiTha’ir berarti: alamat, pertanda baik atau buruk, nasib malang atau kesialan (Lexicon Lane).

Tuduhan Provokatif  Para Pemuka Kaum Tsamud Terhadap Nabi Shaleh a.s. & Sembilan Orang Tokoh Pembuat Kerusakan

          Sebelumnya, para pemuka kaum Tsamud juga melakukan tuduhan keji  yang sama terhadap Nabi Shalih a.s. dan para pengikut beliau, firman-Nya: 
وَ لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَاۤ  اِلٰی ثَمُوۡدَ  اَخَاہُمۡ  صٰلِحًا اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ  فَاِذَا ہُمۡ فَرِیۡقٰنِ یَخۡتَصِمُوۡنَ ﴿﴾  قَالَ یٰقَوۡمِ لِمَ تَسۡتَعۡجِلُوۡنَ بِالسَّیِّئَۃِ قَبۡلَ الۡحَسَنَۃِ ۚ لَوۡ لَا تَسۡتَغۡفِرُوۡنَ اللّٰہَ لَعَلَّکُمۡ تُرۡحَمُوۡنَ﴿﴾  قَالُوا اطَّیَّرۡنَا بِکَ وَ بِمَنۡ مَّعَکَ ؕ قَالَ طٰٓئِرُکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ  بَلۡ  اَنۡتُمۡ قَوۡمٌ تُفۡتَنُوۡنَ﴿﴾ 
Dan sungguh Kami benar-benar telah mengutus kepada Tsamud, saudara mereka Shalih yang berkata: “Sembahlah Allah” maka tiba-tiba mereka menjadi dua golongan yang saling berbantah. Ia, Shalih, berkata: “Hai kaumku, mengapakah kamu minta disegerakan keburukan sebelum datang kebaikan?  Mengapakah kamu tidak memohon ampun kepada Allah, supaya kamu dikasihani?” Mereka berkata: “Hai Shalih,   kami telah mendapatkan nasib malang disebabkan engkau dan orang yang beserta engkau.” Ia, Shalih, berkata: “Nasib buruk kamu ada di sisi Allah, bahkan kamu  kaum yang diuji.” (An-Naml [27]:46-48).
        Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keberadaan 9 tokoh penentang Rasul Allah  di kalangan kaum Tsamud --  yang menjawab da’wah Nabi Shalih a.s.  dengan membuat  parit api” guna “membakar”   Nabi Shalih a.s.  dan orang-orang yang beriman kepada beliau -- firman-Nya:
وَ کَانَ فِی الۡمَدِیۡنَۃِ  تِسۡعَۃُ  رَہۡطٍ یُّفۡسِدُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ وَ لَا یُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾  قَالُوۡا تَقَاسَمُوۡا بِاللّٰہِ لَنُبَیِّتَنَّہٗ وَ اَہۡلَہٗ ثُمَّ لَنَقُوۡلَنَّ لِوَلِیِّہٖ مَا شَہِدۡنَا مَہۡلِکَ  اَہۡلِہٖ  وَ  اِنَّا  لَصٰدِقُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَکَرُوۡا مَکۡرًا وَّ  مَکَرۡنَا مَکۡرًا  وَّ ہُمۡ لَا  یَشۡعُرُوۡنَ﴿﴾فَانۡظُرۡ کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ مَکۡرِہِمۡ ۙ اَنَّا دَمَّرۡنٰہُمۡ  وَ  قَوۡمَہُمۡ  اَجۡمَعِیۡنَ ﴿﴾ فَتِلۡکَ بُیُوۡتُہُمۡ خَاوِیَۃًۢ بِمَا ظَلَمُوۡا ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً   لِّقَوۡمٍ  یَّعۡلَمُوۡنَ﴿﴾  وَ اَنۡجَیۡنَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ کَانُوۡا یَتَّقُوۡنَ ﴿﴾
Dan dalam kota itu ada  sembilan orang   yang  berbuat kerusakan di bumi  dan tidak mau mengadakan perbaikan.   Mereka berkata: “Hendaklah kamu sekalian bersumpah dengan nama Allah bahwa niscaya kami  akan menyerbu pada malam hari kepada dia dan keluarganya, kemudian kami niscaya akan berkata kepada pelindungnya:  Kami sekali-kali tidak menyaksikan keluarganya menjadi binasa dan sesungguhnya kami adalah  orang-orang yang benar.”   Dan mereka membuat makar buruk  dan Kami pun membuat makar tandingan, tetapi mereka tidak menyadari.   Maka perhatikanlah bagaimana buruknya akibat makar buruk mereka, sesungguhnya Kami memusnahkan mereka dan kaumnya semua.   Maka itulah rumah-rumah mereka yang telah runtuh karena mereka berbuat zalim. Sesungguhnya dalam yang demikian itu benar-benar ada Tanda untuk kaum yang menge-tahui.  Dan Kami menyelamatkan  orang-orang yang beriman dan bertak-wa.” (An-Naml [27]:49-54).

Nubuatan Tentang Makar Buruk Abu Jahal dkk
Terhadap   Nabi Besar Muhammad saw.

      Dengan sendirinya yang diisyaratkan dalam ayat-ayat  ini adalah kesembilan musuh  Nabi Besar Muhammad saw.   terkemuka.  Delapan di antaranya terbunuh dalam pertempuran Badar dan yang kesembilan, Abu Lahab --  yang terkenal keburukannya itu -- mati di Mekkah ketika sampai ke telinganya kabar tentang kekalahan pasukan Quarisy Mekkah pimpinan Abu Jahal di Badar.
       Kedelapan orang itu adalah Abu Jahal, Muthim bin Adiy, Syaibah bin Rabiah, Utbah bin Rabiah, Walid bin Utbah, Umayah  bin Khalf, Nadhr bin Harts, dan Aqbah bin Abi Mu’aith. Mereka bersekongkol untuk membunuh  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.8:31). 

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   10  Januari      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar