بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
149
Keadaan Memprihatinkan Umat Islam di Hindustan
Dibawah Kekuasaan Kaum Sikh &
Keperwiraan
Para Leluhur Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pengangkatan Thalut (Gideon) sebagai raja
pertama di kalangan Bani
Israil (QS.2:247-253) telah menyebut keperwiraan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. tersebut sebagai “tabut yang dipikul oleh para malaikat”
-- yang disalahartikan
sebagai sebuah kotak (peti) -- berikut firman-Nya kepada Nabi Besar
Muhammad saw.:
اَلَمۡ تَرَ اِلَی الۡمَلَاِ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ مِنۡۢ بَعۡدِ مُوۡسٰی ۘ
اِذۡ قَالُوۡا لِنَبِیٍّ لَّہُمُ ابۡعَثۡ
لَنَا مَلِکًا نُّقَاتِلۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ قَالَ ہَلۡ عَسَیۡتُمۡ اِنۡ کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الۡقِتَالُ اَلَّا
تُقَاتِلُوۡا ؕ قَالُوۡا وَ مَا لَنَاۤ
اَلَّا نُقَاتِلَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ قَدۡ اُخۡرِجۡنَا مِنۡ
دِیَارِنَا وَ اَبۡنَآئِنَا ؕ فَلَمَّا کُتِبَ عَلَیۡہِمُ الۡقِتَالُ تَوَلَّوۡا
اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ عَلِیۡمٌۢ بِالظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾ وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ اللّٰہَ قَدۡ بَعَثَ لَکُمۡ طَالُوۡتَ
مَلِکًا ؕ قَالُوۡۤا اَنّٰی یَکُوۡنُ لَہُ
الۡمُلۡکُ عَلَیۡنَا وَ نَحۡنُ اَحَقُّ بِالۡمُلۡکِ مِنۡہُ وَ لَمۡ یُؤۡتَ سَعَۃً
مِّنَ الۡمَالِ ؕ قَالَ اِنَّ
اللّٰہَ اصۡطَفٰىہُ عَلَیۡکُمۡ وَ زَادَہٗ
بَسۡطَۃً فِی الۡعِلۡمِ وَ الۡجِسۡمِ ؕ وَ اللّٰہُ یُؤۡتِیۡ مُلۡکَہٗ مَنۡ
یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ
﴿ ﴾
Apakah engkau tidak melihat mengenai para pemuka Bani Israil sesudah Musa, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka: “Angkatlah
bagi kami seorang raja, supaya kami
dapat berperang di jalan Allah.” Ia berkata: ”Mungkin saja kamu tidak akan berperang jika berperang itu diwajibkan atas kamu?”
Mereka berkata: “Mengapa kami tidak akan
berperang di jalan Allah
padahal sungguh kami telah diusir dari rumah-rumah kami
dan dipisahkan dari anak-anak
kami?” Tetapi tatkala berperang
ditetapkan atas mereka, mereka berpaling kecuali sedikit dari mereka, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang zalim. Dan nabi mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi raja bagi kamu.” Mereka
berkata: “Bagaimana ia bisa memiliki kedaulatan
atas kami, padahal kami lebih berhak
memiliki kedaulatan daripadanya,
karena ia tidak pernah diberi harta yang
berlimpah-ruah?” Ia berkata: “Sesungguhnya
Allah telah memilihnya sebagai raja atas kamu dan melebihkannya
dengan keluasan ilmu dan kekuatan badan.” Dan Allah memberikan kedaulatan-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha Luas karunia-Nya, Maha
Me-ngetahui. (Al-Baqarah [2]:147-148).
Lebih lanjut Nabi Allah tersebut
memberikan tanda-tanda mengenai “kedaulatan” dari Allah Swt. yang dianugerahkan-Nya kepada Thalut
atau Gideon tersebut, firman-Nya:
وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ اٰیَۃَ مُلۡکِہٖۤ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ
التَّابُوۡتُ فِیۡہِ سَکِیۡنَۃٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَ بَقِیَّۃٌ مِّمَّا تَرَکَ اٰلُ مُوۡسٰی وَ اٰلُ ہٰرُوۡنَ
تَحۡمِلُہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً لَّکُمۡ اِنۡ
کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan nabi
mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya tanda kedaulatannya ialah bahwa akan datang kepada kamu suatu Tabut, yang di
dalamnya mengandung ketenteraman dari Rabb (Tuhan) kamu dan pusaka peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dipikul oleh malai-kat-malaikat,
sesungguhnya dalam hal ini benar-benar
ada suatu Tanda bagi kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah
[2]:149).
Makna “Tabut” yang Diwarisi Thalut
(Gideon) dan Para Pengikutnya
Tabut berarti (1)
peti atau kotak; (2) dada atau rusuk dengan apa-apa yang dikandungnya seperti
jantung dan sebagainya (Lexicon Lane);
(3) hati yang merupakan gudang ilmu, kebijakan, dan keamanan (Al-Mufradat). Para ahli tafsir
berselisih tentang makna kata Tabut dan Bible menyebutnya sebagai sebuah perahu atau peti, sedangkan
gambaran
yang diberikan oleh Al-Quran tegas menunjukkan bahwa kata
itu telah dipakai di sini dalam arti “hati”
atau “dada.”
Penjelasan tentang Tabut
dalam ayat ini “yang di dalamnya
mengandung ketenteraman dari Rabb (Tuhan) kamu” tidak dapat dikenakan
kepada bahtera (perahu), sebab jauh
daripada memberi ketenteraman dan kesejukan hati yang disebut oleh Bible, terbukti barang tersebut tidak dapat melindungi kaum Bani Israil
terhadap kekalahan, pula tidak
melindunginya sendiri, sebab perahu
itu dibawa lari oleh musuh. Bahkan Saul yang membawa perahu itu dalam peperangan menderita kekalahan-kekalahan yang
parah sehingga bahkan musuhnya pun menaruh kasihan kepadanya dan ia menemui ajalnya dengan penuh kehinaan.
Perahu
demikian tak mungkin merupakan sumber
ketenangan bagi kaum Bani Israil.
Apa yang dianugerahkan Allah Swt. kepada
mereka adalah hati yang penuh dengan keberanian
dan ketabahan, sehingga sesudah ketenangan tersebut turun kepada mereka,
mereka berhasil membalas serangan
musuh dan menimpakan kekalahan berat
kepada mereka (QS.2:150-252).
Karunia lain yang diberikan Allah Swt.
kepada Bani Israil disinggung dalam kata “pusaka”, yaitu Allah Swt. meresapi hati mereka --
yakni para pengikut Thalut -- dengan sifat-sifat
mulia yang menjadi watak
nenek-moyang mereka, keturunan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s..
Dengan demikian jelaslah bahwa pusaka
yang ditinggalkan oleh anak-cucu Nabi
Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. tidak
terdiri atas hal-hal kebendaan berupa
benda, melainkan yang dimaksudkan ialah akhlak-akhlak baik yang dengan itu
mereka mendapat karunia menjadi ahli waris leluhur-leluhur agung mereka,
yakni Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s..
“Seorang Laki-laki yang
Datang Berlari-lari dari dari Timur”
Jadi, kembali kepada firman Allah Swt.
mengenai penyebutan “seorang laki-laki
yang datang berlrai-lari dari bagian terjauh kota itu” berkenaan dengan Rasul Akjir Zaman -- yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- dalam ayat:
وَ جَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِیۡنَۃِ
رَجُلٌ یَّسۡعٰی قَالَ یٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿ۙ﴾ اتَّبِعُوۡا مَنۡ
لَّا یَسۡـَٔلُکُمۡ اَجۡرًا وَّ ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Dan datang dari bagian terjauh kota itu seorang laki-laki dengan berlari-lari,
ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul
itu. Ikutilah mereka
yang tidak meminta upah dari kamu dan mereka
yang telah mendapat petunjuk (Yā Sīn [36]:21-22).
Jadi, sebutan “seorang laki-laki”
tersebut mengandung makna “pujian”
kepada beliau a.s. seperti halnya “pujian”
Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s., yaitu guna membedakan
dari kaum Bani Israil yang
memperlihatkan sikap pengecut, ketika kedua Rasul Allah tersebut mengajak
Bani Israil untuk bersama-sama memasuki “negeri
yang dijanjikan” (Kanaan/Palestina), tetapi mereka menjawab, firman-Nya:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ فِیۡہَا قَوۡمًا جَبَّارِیۡنَ ٭ۖ وَ اِنَّا لَنۡ
نَّدۡخُلَہَا حَتّٰی یَخۡرُجُوۡا مِنۡہَا ۚ فَاِنۡ یَّخۡرُجُوۡا مِنۡہَا فَاِنَّا دٰخِلُوۡنَ ﴿﴾
Mereka
berkata: “Ya Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada suatu kaum yang kuat lagi
kejam, dan sesungguhnya
kami tidak akan pernah memasukinya
hingga mereka keluar sendiri
darinya, lalu jika mereka keluar darinya maka kami akan memasukinya.”
(Al-Māidah [5]:23).
Selanjutnya
mereka berkata lagi, firman-Nya:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّا لَنۡ
نَّدۡخُلَہَاۤ اَبَدًا مَّا
دَامُوۡا فِیۡہَا فَاذۡہَبۡ اَنۡتَ وَ رَبُّکَ فَقَاتِلَاۤ اِنَّا ہٰہُنَا قٰعِدُوۡنَ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ
اِنِّیۡ لَاۤ اَمۡلِکُ اِلَّا نَفۡسِیۡ وَ اَخِیۡ فَافۡرُقۡ
بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ فَاِنَّہَا مُحَرَّمَۃٌ عَلَیۡہِمۡ اَرۡبَعِیۡنَ
سَنَۃً ۚ یَتِیۡہُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ فَلَا تَاۡسَ عَلَی الۡقَوۡمِ
الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿٪﴾
Mereka
berkata: “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan pernah memasuki negeri
itu, selama mereka masih ada di dalamnya,
karena itu pergilah engkau bersama Rabb
(Tuhan) engkau, lalu berperanglah
engkau berdua, sesungguhnya kami
hendak duduk-duduk saja di sini!” Musa
berkata: “Ya Rabb-Ku (Tuhan-ku),
sesungguhnya aku tidak berkuasa ke-cuali
terhadap diriku dan saudara
laki-lakiku, maka bedakanlah antara
kami dengan kaum yang fasik itu.” Dia
berfirman: “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan
bagi mereka selama empat puluh tahun, mereka
akan bertualang kebingungan di muka bumi maka janganlah
eng-kau bersedih atas kaum yang fasik itu.”
(Al-Māidah [5]:25-27).
Jadi, betapa penyebutan “laki-laki” berkenaan dengan Nabi Musa
a.s. dan Nabi Harun a.s. serta “seorang
Laki-laki yang datang berlari-lari
dari bagian terjauh kota itu”
(QS.36:21) mengandung makna yang
sangat dalam, yakni untuk membedakan
mereka dengan “kaumnya” yang telah menjadi orang-orang
yang sangat pengecut.
Keadaan Umat Islam di Hindustan pada Masa Kekuasaan Kaum Sikh
Mirza Ghulam Ahmad a.s. –
yakni “seorang laki-laki yang datang
berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:21) -- adalah keturunan Haji Barlas, raja
kawasan Qesh, yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir
Temur menyerang Qesh, Haji Barlas
sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand, dan mulai menetap
disana.
Tetapi pada abad kesepuluh Hijriah atau
abad keenambelas Masehi, seorang keturunan Haji
Barlas, bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang pengikutnya hijrah dari Khorasan ke India karena beberapa hal, dan tinggal
di kawasan sungai Bias dengan mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur,
9 km jauhnya dari sungai tersebut.
Mirza Hadi Beg adalah seorang cerdik
pandai, karena beliau oleh pemerintah pusat Delhi diangkat sebagai qadhi
(hakim) untuk daerah sekelilingnya. Oleh sebab kedudukan beliau sebagai qadhi itulah maka tempat tinggal beliau
disebut Islampur Qadhi. lambat laun kata Islampur hilang, tinggal
Qadhi saja. Dikarenakan logat daerah setempat, akhirnya disebut sebagai Qadi
atau Qadian.
Demikianlah keluarga Haji Barlas
tersebut pindah dari Khorasan ke Qadian secara permanen. Selama kerajaan Moghul
berkuasa, keluarga ini senantiasa memperoleh kedudukan mulia dan
terpandang dalam pemerintahan negara. Setelah kejatuhan kerajaan Moghul,
keluarga ini tetap menguasai kawasan 60 pal sekitar Qadian, sebagai
kawasan otonomi.
Tetapi lambat laun bangsa Sikh
mulai berkuasa dan kuat, dan beberapa suku Sikh dari Ramgarhia setelah
bersatu mulai menyerang keluarga ini. Selama itu buyut Mirza Ghulam Ahmad a.s. tetap
mempertahankan diri dari serangan musuh. Tetapi di zaman kakek beliau, daerah
otonomi keluarga ini menjadi sangat lemah, dan hanya terbatas di dalam Qadian
saja yang menyerupai benteng dengan tembok pertahanan di sekelilingnya.
Daerah-daerah lain telah jatuh ke tangan
musuh. Akhirnya bangsa Sikh dapat juga menguasai Qadian dengan
jalan mengadakan kontak rahasia dengan beberapa penduduk Qadian,
dan semua anggota keluarga ini ditawan oleh bangsa Sikh. Tetapi setelah
beberapa hari, keluarga ini diizinkan meninggalkan Qadian, lalu mereka
pergi ke Kesultanan Kapurtala dan menetap disana selama 12 tahun.
Setelah itu tibalah zaman kekuasaan
Maharaja Ranjit Singh yang berhasil menguasai semua raja kecil, dan beliau
mengembalikan sebagian harta benda keluarga tersebut kepada ayah Hadhrat Mirza
Ghulam Ahmad a.s. yang bekerja dalam tentara Maharaja itu beserta
saudara-saudaranya.
Kedatangan Bangsa Inggris di Hindustan
&
Dokumen Tentang Keluarga Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Kemudian datanglah bangsa Inggris yang mengalahkan pemerintah
Sikh, dan merampas segala kekayaan keluarga ini, kecuali satu daerah Qadian yang amat kecil dibiarkan dalam
kepemilikan keluarga tersebut.
Baiklah sekarang kami cantumkan di bawah ini apa yang ditulis oleh Sir Lepel Griffin
dalam bukunya The Punjab Chiefs, tentang keluarga Mirza
Ghulam Ahmad a.s.:
"Pada tahun 1530, tahun-tahun
terakhir pemerintahan kaisar Babar, Hadi
Beg, seorang Moghul dari Samarkand, hijrah ke Punjab dan menetap di daerah
Gurdaspur. Ia adalah seorang terpelajar serta bijak, dan diangkat oleh
pemerintah menjadi qazi atau magistrate untuk 70 kampung di
sekitar Qadian. Dialah yang mendirikan Qadian, dan mula-mula dinamainya Islampur
Qazi, yang lambat laun berubah menjadi Qadian. Keluarga ini tetap memegang
kedudukan dan pangkat yang pantas serta terpandang dalam pemerintahan hingga
beberapa turunan. Hanya waktu pemerintahan
Sikh keluarga ini jatuh miskin."
"Gul Muhammad dan puteranya yang bernama Ata Muhammad, terus menerus bertempur dengan Ramgarhia serta Kanahaya
Misals yang menguasai kawasan-kawasan sekitar Qadian. Akhirnya semua daerah itu lepas dari tangan mereka, dan Ata Muhammad melarikan diri ke Begowal
meminta perlindungan pada Sardar Fateh
Singh Ahluwalia (buyut kepala suku penguasa kawasan Kapurtala sekarang),
dan ia menetap disana selama 12 tahun. Ketika (Maharaja) Ranjit Singh menaklukkan seluruh kawasan Ramgarhia Misals, ia mengundang Ghulam
Murtaza kembali ke Qadian dan
mengembalikan sebagian warisan kekayaan
nenek moyangnya kepadanya."
"Kemudian Ghulam Murtaza dan saudaranya menjadi
tentara Maharaja Ranjit Singh, dan
menjalankan tugas-tugas pentingnya di tapal batas Kashmir serta tempat-tempat
lainnya."
"Pada zaman Nao Nihal Singh dan
Darbar, Ghulam Murtaza rutin memegang
jabatan (di ketentaraan). Pada tahun 1841, ia dikirim ke daerah Mandi dan Kulu
beserta Jenderal Ventura. Pada tahun 1843 ia memimpin tentara yang dikirim ke
Peshawar dan dalam kerusuhan di
Hazarah ia berjasa besar.
Dalam pemberontakan tahun 1848, ia tetap
setia pada pemerintah dan bersama saudaranya, Ghulam Muhyiddin, ikut membantu pemerintah. Tatkala Bhai Maharaj Singh sedang membawa
pasukannya ke Multan untuk menolong Diwan Mul Raj, waktu itu Ghulam Muhyiddin beserta kepala suku
lainnya, Langer Khan Sahiwal dan Sahib Khan Tiwana menggerakkan orang-orang Islam, dan dengan tentara Misra Sahib Dayal menyerang kaum pemberontak dan mengalahkan mereka
secara total; mengusir mereka sampai ke [sungai] Chenab, disana mereka 600
orang mati tenggelam."
"[Ketika Inggris menguasai
Punjab], harta benda dan tanah milik keluarga ini dirampas kembali. Hanya satu,
pensiun sebesar 700 rupis, dan hak miliik untuk Qadian serta beberapa kampung sekitarnya ditetapkan bagi Ghulam Murtaza serta saudara-saudaranya.
Surat Penghargaan Jendral Nicholson kepada Mirza Ghulam Qadir
Dalam pemberontakan tahun 1857, keluarga
ini memainkan peran yang terpuji. Ghulam
Murtaza memasukkan banyak orang ke dalam tentara, dan anaknya yang bernama Ghulam Qadir ikut dalam tentara Jendral Nicholson di Trimughat ketika
menghancurkan para pemberontak 46 Native Infantry melarikan diri dari
Sialkot."
"Jendral Nicholson telah memberikan
sebuah surat penghargaan kepada Ghulam Qadir yang menyatakan bahwa dalam
tahun 1857 keluarganya di Qadian distrik Gurdaspur betul-betul telah membantu
dan setia kepada pemerintah, melebih keluarga-keluarga lain di kawasan
itu."1
Ghulam
Murtaza adalah seorang tabib yang sangat mahir. Ia wafat pada tahun 1876,
dan anaknya Ghulam Qadir senantiasa
suka membantu para pejabat pemerintah dan ia mendapat banyak surat penghargaan dari pemerintah. Ghulam Qadir pernah bekerja sebagai superintendant
di kantor pemerintah distrik di Gurdaspur. Anaknya meninggal waktu kecil, dan
ia pungut keponakannya, Sultan Ahmad
(putra Mirza Ghulam Ahmad a.s.), sebagai anak.
Ghulam
Qadir wafat pada tahun 1883. Mirza
Sultan Ahmad pun mulai jadi pegawai pemerintah sebagai asisten wedana, dan
menjadi collecteur serta kepala daerah Qadian. Saudara Nizamuddin yang bernama Isamuddin wafat pada tahun 1904, dan waktu pengepungan Delhi, ia
menjadi kepala pasukan dalam tentara Hadson Horse, dan bapaknya yang bernama Ghulam Muhyiddin menjabat wedana.
Perlu rasanya disebutkan disini, anak
kedua Ghulam Murtaza, bernama Ghulam Ahmad adalah orang yang
mendirikan Jemaat Ahmadiyah yang masyhur ini dalam Islam. Beliau lahir
pada tahun 1835, dan memperoleh
pelajaran serta pendidikan yang baik. Pada tahun 1891 beliau atas perintah Allah Swt. menda'wakan diri
sebagai Imam Mahdi atau Masih Mau'ud menurut agama Islam.
Beliau adalah seorang yang pandai dan
alim, sehingga perlahan-lahan banyaklah orang yang mengikuti beliau. Dan
sekarang Jemaat Ahmadiyah di Punjab serta kawasan-kawasan lainnya di
India telah melebihi tiga ratus ribu orang. Mirza
Ghulam Ahmad a.s. mengarang banyak buku
dalam bahasa Arab, Farsi dan Urdu, serta memberikan penjelasan yang benar tentang masalah jihad.
Orang-orang berpendapat buku-buku itu sungguh telah
menguntungkan orang-orang Islam. Lama
beliau mengalami penderitaan karena
perlawanan pihak lain. Acapkali beliau diseret ke pengadilan maupun ke dalam perdebatan-perdebatan.
Akan tetapi sebelum beliau wafat pada tahun 1908, beliau telah memperoleh kedudukan yang demikian rupa sehingga
orang-orang yang menentang pun menghormati beliau.
Dengan demikian jelaslah bahwa Mirza Ghulam Ahmad a.s. benar-benar
adalah “seorang laki-laki” Muslim
sejati sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Yā Sīn yang sedang dibahas, firman-Nya:
وَ جَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِیۡنَۃِ
رَجُلٌ یَّسۡعٰی قَالَ یٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿ۙ﴾ اتَّبِعُوۡا مَنۡ
لَّا یَسۡـَٔلُکُمۡ اَجۡرًا وَّ ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Dan datang dari bagian terjauh kota itu seorang laki-laki dengan berlari-lari,
ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul
itu. Ikutilah mereka
yang tidak meminta upah dari kamu dan mereka
yang telah mendapat petunjuk (Yā Sīn [36]:21-22).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 14
Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar