Sabtu, 08 Februari 2014

Keadaaan Memprihatinkan Umat Islam di Hindustan Dibawah Kekuasaan Kaum Sikh & Keperwiraan Para Leluhur Mirza Ghulam Ahmad a.s.



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  149

     Keadaan Memprihatinkan Umat Islam di Hindustan  Dibawah   Kekuasaan    Kaum Sikh &
Keperwiraan Para Leluhur Mirza Ghulam Ahmad a.s.       

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

P
ada  akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai   pengangkatan Thalut (Gideon) sebagai raja pertama  di kalangan  Bani Israil  (QS.2:247-253)  telah menyebut keperwiraan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. tersebut sebagai “tabut yang dipikul oleh para  malaikat   -- yang disalahartikan sebagai   sebuah kotak  (peti)  -- berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
 اَلَمۡ تَرَ  اِلَی الۡمَلَاِ مِنۡۢ بَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ مِنۡۢ بَعۡدِ مُوۡسٰی ۘ اِذۡ  قَالُوۡا لِنَبِیٍّ لَّہُمُ ابۡعَثۡ لَنَا مَلِکًا نُّقَاتِلۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ قَالَ ہَلۡ عَسَیۡتُمۡ  اِنۡ کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الۡقِتَالُ اَلَّا تُقَاتِلُوۡا ؕ قَالُوۡا وَ مَا لَنَاۤ  اَلَّا نُقَاتِلَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ قَدۡ اُخۡرِجۡنَا مِنۡ دِیَارِنَا وَ اَبۡنَآئِنَا ؕ فَلَمَّا کُتِبَ عَلَیۡہِمُ الۡقِتَالُ تَوَلَّوۡا اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ عَلِیۡمٌۢ  بِالظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾  وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ  اِنَّ اللّٰہَ قَدۡ بَعَثَ لَکُمۡ طَالُوۡتَ مَلِکًا ؕ قَالُوۡۤا  اَنّٰی یَکُوۡنُ لَہُ الۡمُلۡکُ عَلَیۡنَا وَ نَحۡنُ اَحَقُّ بِالۡمُلۡکِ مِنۡہُ وَ لَمۡ یُؤۡتَ سَعَۃً مِّنَ الۡمَالِ ؕ قَالَ  اِنَّ اللّٰہَ  اصۡطَفٰىہُ عَلَیۡکُمۡ وَ زَادَہٗ بَسۡطَۃً فِی الۡعِلۡمِ وَ الۡجِسۡمِ ؕ وَ اللّٰہُ یُؤۡتِیۡ مُلۡکَہٗ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ ﴿ ﴾
Apakah engkau tidak  melihat mengenai para pemuka Bani Israil sesudah Musa, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka: “Angkatlah bagi kami seorang raja, supaya kami dapat berperang di jalan Allah.” Ia berkata:  ”Mungkin saja kamu tidak akan berperang jika berperang itu diwajibkan atas kamu?” Mereka berkata: “Mengapa kami tidak akan berperang  di jalan Allah padahal sungguh  kami telah diusir dari rumah-rumah kami dan dipisahkan dari anak-anak kami?” Tetapi tatkala berperang ditetapkan atas mereka,  mereka berpaling  kecuali sedikit  dari mereka, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang  yang zalim.    Dan  nabi mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut  menjadi raja bagi kamu.” Mereka berkata:  Bagaimana ia bisa memiliki  kedaulatan atas kami, padahal kami lebih berhak memiliki kedaulatan  daripadanya, karena ia tidak pernah diberi harta yang berlimpah-ruah?” Ia berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya sebagai raja atas kamu dan melebihkannya dengan keluasan ilmu dan kekuatan badan.” Dan  Allah memberikan kedaulatan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Me-ngetahui. (Al-Baqarah [2]:147-148).
      Lebih lanjut Nabi Allah tersebut memberikan tanda-tanda mengenai “kedaulatan” dari Allah Swt. yang dianugerahkan-Nya kepada  Thalut atau Gideon tersebut, firman-Nya:
وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ اٰیَۃَ مُلۡکِہٖۤ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ التَّابُوۡتُ فِیۡہِ سَکِیۡنَۃٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَ بَقِیَّۃٌ   مِّمَّا تَرَکَ اٰلُ مُوۡسٰی وَ اٰلُ ہٰرُوۡنَ تَحۡمِلُہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً لَّکُمۡ  اِنۡ  کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾ 
Dan  nabi mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya tanda kedaulatannya ialah bahwa akan datang kepada kamu suatu Tabut,  yang di dalamnya mengandung ketenteraman dari Rabb (Tuhan) kamu dan  pusaka  peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dipikul oleh malai-kat-malaikat, sesungguhnya dalam hal ini benar-benar ada suatu Tanda bagi kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang  beriman.” (Al-Baqarah [2]:149).

Makna “Tabut” yang Diwarisi Thalut (Gideon) dan Para Pengikutnya

     Tabut berarti (1) peti atau kotak; (2) dada atau rusuk dengan apa-apa yang dikandungnya seperti jantung dan sebagainya (Lexicon Lane); (3) hati yang merupakan gudang ilmu, kebijakan, dan keamanan (Al-Mufradat). Para ahli tafsir berselisih tentang makna kata Tabut dan Bible menyebutnya sebagai sebuah perahu atau peti, sedangkan  gambaran yang      diberikan oleh Al-Quran tegas menunjukkan bahwa kata itu telah dipakai di sini dalam arti “hati” atau “dada.”
     Penjelasan tentang Tabut dalam ayat ini “yang di dalamnya mengandung ketenteraman dari Rabb (Tuhan) kamu” tidak dapat dikenakan kepada bahtera (perahu), sebab jauh daripada memberi ketenteraman dan kesejukan hati yang disebut oleh Bible,  terbukti barang tersebut  tidak dapat melindungi kaum Bani Israil terhadap kekalahan, pula tidak melindunginya sendiri, sebab perahu itu dibawa lari oleh musuh.  Bahkan Saul yang membawa perahu itu dalam peperangan menderita kekalahan-kekalahan yang parah sehingga bahkan musuhnya pun menaruh kasihan kepadanya dan  ia menemui ajalnya dengan penuh kehinaan.
     Perahu demikian tak mungkin merupakan sumber ketenangan bagi kaum Bani Israil. Apa yang dianugerahkan Allah Swt.  kepada mereka adalah  hati yang penuh dengan keberanian dan ketabahan, sehingga sesudah ketenangan tersebut turun kepada mereka, mereka  berhasil membalas serangan musuh dan menimpakan kekalahan berat kepada mereka (QS.2:150-252).
      Karunia lain yang diberikan Allah Swt.  kepada Bani Israil disinggung dalam kata “pusaka”,  yaitu Allah Swt. meresapi hati mereka   -- yakni para pengikut Thalut   -- dengan sifat-sifat mulia yang menjadi watak nenek-moyang mereka, keturunan Nabi Musa a.s.  dan Nabi Harun a.s..
    Dengan demikian jelaslah bahwa  pusaka yang ditinggalkan oleh anak-cucu Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.   tidak terdiri atas hal-hal kebendaan berupa benda, melainkan  yang dimaksudkan ialah akhlak-akhlak baik yang dengan itu mereka mendapat karunia menjadi ahli waris leluhur-leluhur agung mereka, yakni Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s..

“Seorang Laki-laki  yang Datang Berlari-lari dari dari Timur”

      Jadi, kembali kepada firman Allah Swt. mengenai penyebutan “seorang laki-laki yang datang berlrai-lari dari bagian terjauh kota itu berkenaan dengan Rasul Akjir Zaman --  yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.   -- dalam ayat: 
وَ جَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِیۡنَۃِ  رَجُلٌ یَّسۡعٰی قَالَ یٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿ۙ﴾  اتَّبِعُوۡا مَنۡ لَّا یَسۡـَٔلُکُمۡ اَجۡرًا وَّ ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾     
Dan datang dari bagian terjauh kota itu seorang laki-laki dengan berlari-lari, ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul  itu.  Ikutilah mereka yang tidak meminta upah dari kamu dan mereka yang telah mendapat petunjuk (Yā Sīn [36]:21-22).
       Jadi, sebutan “seorang laki-laki” tersebut mengandung makna “pujian” kepada beliau a.s. seperti halnya “pujian” Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s., yaitu guna membedakan dari kaum Bani Israil yang memperlihatkan sikap pengecut,   ketika kedua Rasul Allah tersebut mengajak Bani Israil untuk bersama-sama memasuki “negeri yang dijanjikan” (Kanaan/Palestina), tetapi mereka menjawab, firman-Nya:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ فِیۡہَا قَوۡمًا جَبَّارِیۡنَ ٭ۖ وَ اِنَّا لَنۡ نَّدۡخُلَہَا حَتّٰی یَخۡرُجُوۡا مِنۡہَا ۚ فَاِنۡ  یَّخۡرُجُوۡا مِنۡہَا فَاِنَّا دٰخِلُوۡنَ ﴿﴾
Mereka berkata: “Ya Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada suatu kaum  yang kuat lagi kejam, dan sesungguhnya kami tidak akan pernah memasukinya  hingga mereka keluar sendiri darinya, lalu  jika mereka keluar darinya maka kami    akan memasukinya.” (Al-Māidah [5]:23).
Selanjutnya mereka berkata lagi, firman-Nya:
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّا لَنۡ  نَّدۡخُلَہَاۤ  اَبَدًا مَّا دَامُوۡا فِیۡہَا فَاذۡہَبۡ اَنۡتَ وَ رَبُّکَ فَقَاتِلَاۤ  اِنَّا ہٰہُنَا قٰعِدُوۡنَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اِنِّیۡ  لَاۤ  اَمۡلِکُ اِلَّا نَفۡسِیۡ وَ اَخِیۡ فَافۡرُقۡ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ فَاِنَّہَا مُحَرَّمَۃٌ عَلَیۡہِمۡ اَرۡبَعِیۡنَ سَنَۃً ۚ یَتِیۡہُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ فَلَا تَاۡسَ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿٪﴾
Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya kami  tidak akan pernah memasuki negeri itu, selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Rabb (Tuhan) engkau, lalu berperanglah engkau berdua, sesungguhnya kami hendak duduk-duduk saja di sini!”  Musa berkata: “Ya Rabb-Ku (Tuhan-ku), sesungguhnya aku tidak berkuasa ke-cuali terhadap diriku dan saudara laki-lakiku, maka bedakanlah antara kami dengan  kaum yang fasik itu.”   Dia berfirman: “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan bagi mereka selama empat puluh tahun, mereka akan bertualang kebingungan di muka bumi  maka janganlah eng-kau bersedih atas kaum yang fasik itu.”  (Al-Māidah [5]:25-27).
     Jadi, betapa penyebutan “laki-laki” berkenaan dengan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. serta “seorang Laki-laki  yang datang berlari-lari dari  bagian terjauh kota itu” (QS.36:21) mengandung makna yang sangat dalam, yakni untuk membedakan mereka dengan “kaumnya” yang telah menjadi orang-orang yang sangat pengecut.

Keadaan Umat Islam di Hindustan pada Masa Kekuasaan  Kaum Sikh   
        Mirza Ghulam Ahmad a.s. – yakni “seorang laki-laki yang datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:21) --    adalah keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh, yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand, dan mulai menetap disana.
       Tetapi pada abad kesepuluh Hijriah atau abad keenambelas Masehi, seorang keturunan Haji Barlas, bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang pengikutnya hijrah dari Khorasan ke India karena beberapa hal, dan tinggal di kawasan sungai Bias dengan mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur, 9 km jauhnya dari  sungai tersebut.
       Mirza Hadi Beg adalah seorang cerdik pandai, karena beliau oleh pemerintah pusat Delhi diangkat sebagai qadhi (hakim) untuk daerah sekelilingnya. Oleh sebab kedudukan beliau sebagai qadhi itulah maka tempat tinggal beliau disebut Islampur Qadhi. lambat laun kata Islampur hilang, tinggal Qadhi saja. Dikarenakan logat daerah setempat, akhirnya disebut sebagai Qadi atau Qadian.
       Demikianlah keluarga Haji Barlas tersebut pindah dari Khorasan ke Qadian secara permanen. Selama kerajaan Moghul berkuasa, keluarga ini senantiasa memperoleh kedudukan mulia dan terpandang dalam pemerintahan negara. Setelah kejatuhan kerajaan Moghul, keluarga ini tetap menguasai kawasan 60 pal sekitar Qadian, sebagai kawasan otonomi.
      Tetapi lambat laun bangsa Sikh mulai berkuasa dan kuat, dan beberapa suku Sikh dari Ramgarhia setelah bersatu mulai menyerang keluarga ini. Selama itu buyut  Mirza Ghulam Ahmad a.s. tetap mempertahankan diri dari serangan musuh. Tetapi di zaman kakek beliau, daerah otonomi keluarga ini menjadi sangat lemah, dan hanya terbatas di dalam Qadian saja yang menyerupai benteng dengan tembok pertahanan di sekelilingnya.
       Daerah-daerah lain telah jatuh ke tangan musuh. Akhirnya bangsa Sikh dapat juga menguasai Qadian dengan jalan mengadakan kontak rahasia dengan beberapa penduduk Qadian, dan semua anggota keluarga ini ditawan oleh bangsa Sikh. Tetapi setelah beberapa hari, keluarga ini diizinkan meninggalkan Qadian, lalu mereka pergi ke Kesultanan Kapurtala dan menetap disana selama 12 tahun.
      Setelah itu tibalah zaman kekuasaan Maharaja Ranjit Singh yang berhasil menguasai semua raja kecil, dan beliau mengembalikan sebagian harta benda keluarga tersebut kepada ayah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang bekerja dalam tentara Maharaja itu beserta saudara-saudaranya.

Kedatangan Bangsa Inggris di Hindustan &
Dokumen Tentang Keluarga Mirza Ghulam Ahmad a.s.

        Kemudian datanglah bangsa Inggris yang mengalahkan pemerintah Sikh, dan merampas segala kekayaan keluarga ini, kecuali satu daerah Qadian yang amat kecil dibiarkan dalam kepemilikan keluarga tersebut.
      Baiklah sekarang kami cantumkan di bawah  ini apa yang ditulis oleh Sir Lepel Griffin dalam bukunya The Punjab Chiefs, tentang keluarga  Mirza Ghulam Ahmad a.s.:
      "Pada tahun 1530, tahun-tahun terakhir pemerintahan kaisar Babar, Hadi Beg, seorang Moghul dari Samarkand, hijrah ke Punjab dan menetap di daerah Gurdaspur. Ia adalah seorang terpelajar serta bijak, dan diangkat oleh pemerintah menjadi qazi atau magistrate untuk 70 kampung di sekitar Qadian. Dialah yang mendirikan Qadian, dan mula-mula dinamainya Islampur Qazi, yang lambat laun berubah menjadi Qadian. Keluarga ini tetap memegang kedudukan dan pangkat yang pantas serta terpandang dalam pemerintahan hingga beberapa turunan. Hanya waktu pemerintahan Sikh keluarga ini jatuh miskin."
       "Gul Muhammad dan puteranya yang bernama Ata Muhammad, terus menerus bertempur dengan Ramgarhia serta Kanahaya Misals yang menguasai kawasan-kawasan sekitar Qadian. Akhirnya semua daerah itu lepas dari tangan mereka, dan Ata Muhammad melarikan diri ke Begowal meminta perlindungan pada Sardar Fateh Singh Ahluwalia (buyut kepala suku penguasa kawasan Kapurtala sekarang), dan ia menetap disana selama 12 tahun. Ketika (Maharaja) Ranjit Singh menaklukkan seluruh kawasan Ramgarhia Misals, ia mengundang Ghulam Murtaza kembali ke Qadian dan mengembalikan sebagian warisan kekayaan nenek moyangnya kepadanya."
       "Kemudian Ghulam Murtaza dan saudaranya menjadi tentara Maharaja Ranjit Singh, dan menjalankan tugas-tugas pentingnya di tapal batas Kashmir serta tempat-tempat lainnya."
       "Pada zaman Nao Nihal Singh dan Darbar, Ghulam Murtaza rutin memegang jabatan (di ketentaraan). Pada tahun 1841, ia dikirim ke daerah Mandi dan Kulu beserta Jenderal Ventura. Pada tahun 1843 ia memimpin tentara yang dikirim ke Peshawar dan dalam kerusuhan di Hazarah ia berjasa besar.
       Dalam pemberontakan tahun 1848, ia tetap setia pada pemerintah dan bersama saudaranya, Ghulam Muhyiddin, ikut membantu pemerintah. Tatkala Bhai Maharaj Singh sedang membawa pasukannya ke Multan untuk menolong Diwan Mul Raj, waktu itu Ghulam Muhyiddin beserta kepala suku lainnya, Langer Khan Sahiwal dan Sahib Khan Tiwana menggerakkan orang-orang Islam, dan dengan tentara Misra Sahib Dayal menyerang kaum pemberontak dan mengalahkan mereka secara total; mengusir mereka sampai ke [sungai] Chenab, disana mereka 600 orang mati tenggelam."
        "[Ketika Inggris menguasai Punjab], harta benda dan tanah milik keluarga ini dirampas kembali. Hanya satu, pensiun sebesar 700 rupis, dan hak miliik untuk Qadian serta beberapa kampung sekitarnya ditetapkan bagi Ghulam Murtaza serta saudara-saudaranya.

Surat Penghargaan Jendral Nicholson kepada Mirza Ghulam Qadir

       Dalam pemberontakan tahun 1857, keluarga ini memainkan peran yang terpuji. Ghulam Murtaza memasukkan banyak orang ke dalam tentara, dan anaknya yang bernama Ghulam Qadir ikut dalam tentara Jendral Nicholson di Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak 46 Native Infantry melarikan diri dari Sialkot."
       "Jendral Nicholson telah memberikan sebuah surat penghargaan kepada Ghulam Qadir yang menyatakan bahwa dalam tahun 1857 keluarganya di Qadian distrik Gurdaspur betul-betul telah membantu dan setia kepada pemerintah, melebih keluarga-keluarga lain di kawasan itu."1
       Ghulam Murtaza adalah seorang tabib yang sangat mahir. Ia wafat pada tahun 1876, dan anaknya Ghulam Qadir senantiasa suka membantu para pejabat pemerintah dan ia mendapat banyak surat penghargaan dari pemerintah. Ghulam Qadir pernah bekerja sebagai superintendant di kantor pemerintah distrik di Gurdaspur. Anaknya meninggal waktu kecil, dan ia pungut keponakannya, Sultan Ahmad (putra Mirza Ghulam Ahmad a.s.), sebagai anak.
      Ghulam Qadir wafat pada tahun 1883. Mirza Sultan Ahmad pun mulai jadi pegawai pemerintah sebagai asisten wedana, dan menjadi collecteur serta kepala daerah Qadian. Saudara Nizamuddin yang bernama Isamuddin wafat pada tahun 1904, dan waktu pengepungan Delhi, ia menjadi kepala pasukan dalam tentara Hadson Horse, dan bapaknya yang bernama Ghulam Muhyiddin menjabat wedana.
       Perlu rasanya disebutkan disini, anak kedua Ghulam Murtaza, bernama Ghulam Ahmad adalah orang yang mendirikan Jemaat Ahmadiyah yang masyhur ini dalam Islam. Beliau lahir pada tahun 1835, dan memperoleh pelajaran serta pendidikan yang baik. Pada tahun 1891 beliau atas perintah Allah Swt. menda'wakan diri sebagai Imam Mahdi atau Masih Mau'ud menurut agama Islam.
      Beliau adalah seorang yang pandai dan alim, sehingga perlahan-lahan banyaklah orang yang mengikuti beliau. Dan sekarang Jemaat Ahmadiyah di Punjab serta kawasan-kawasan lainnya di India telah melebihi tiga ratus ribu orang. Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengarang banyak buku dalam bahasa Arab, Farsi dan Urdu, serta memberikan penjelasan yang benar tentang masalah jihad.
    Orang-orang berpendapat buku-buku itu sungguh telah menguntungkan orang-orang Islam. Lama beliau mengalami penderitaan karena perlawanan pihak lain. Acapkali beliau diseret ke pengadilan maupun ke dalam perdebatan-perdebatan. Akan tetapi sebelum beliau wafat pada tahun 1908, beliau telah memperoleh kedudukan yang demikian rupa sehingga orang-orang yang menentang pun menghormati beliau.
       Dengan demikian jelaslah bahwa    Mirza Ghulam Ahmad a.s. benar-benar adalah “seorang laki-laki” Muslim sejati sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah  Yā Sīn  yang sedang dibahas, firman-Nya:
وَ جَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِیۡنَۃِ  رَجُلٌ یَّسۡعٰی قَالَ یٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿ۙ﴾  اتَّبِعُوۡا مَنۡ لَّا یَسۡـَٔلُکُمۡ اَجۡرًا وَّ ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾     
Dan datang dari bagian terjauh kota itu seorang laki-laki dengan berlari-lari, ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul  itu.  Ikutilah mereka yang tidak meminta upah dari kamu dan mereka yang telah mendapat petunjuk (Yā Sīn [36]:21-22).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   14 Januari      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar