بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah
Shād
Bab
156
Jemaat Muslim
Ahmadiyah adalah Anshaarullaah (Para
Penolong Allah) dan Hawaariyyuun Al-Masih
Mau’ud a.s. di Akhir Zaman
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan komentar
Mirza Ghulam Ahmad a.s.. – yakni Al-Masih
Akhir Zaman atau misal Isa Ibnu
Maryam a.s. (QS.43:58) -- mengenai persamaan dan perbedaan dua orang “Pilatus” yang memutuskan perkara tuduhan dusta yang menimpa dua “Al-Masih” pada zamannya masing-masing –
sesuai dengan perbedaan sifat kedua
“Pilatus” tersebut -- maka keputusan yang dijatuhkan kedua hakim
itu pun berbeda pula akibatnya:
“…..Kemudian ada satu
lagi perbandingan antara Pilatus pertama dan “Pilatus” ini yang patut
diperingati: Ketika Masih Ibnu Maryam
dihadapkan ke muka pengadilan, Pilatus
pertama berkata kepada orang-orang Yahudi,
bahwa ia tidak melihat di dalam diri
Al-Masih suatu kesalahan. Begitu pula ketika Al-Masih terakhir ini di hadapkan kepada “Pilatus” terakhir tersebut,
dan ketika Al-Masih ini berkata, “Seyogianya
kepada saya diberikan tenggang waktu selama beberapa hari untuk memberikan
jawaban atas tuduhan pembunuhan itu”, maka “Pilatus” terakhir ini berkata
bahwa ia tidak menuduh apa pun kepadaku.
Ucapan kedua-dua Pilatus ini benar-benar mengandung persamaan
di antara satu dengan yang lain. Seandainya pun ada perbedaan maka hal itu hanyalah bahwa Pilatus pertama tidak dapat memegang teguh ucapannya, sehingga
ketika dikatakan kepadanya bahwa mereka akan mengadukan halnya kepada Kaisar
lalu ia menjadi ketakutan dan ia
dengan sengaja menyerahkan Hadhrat
Al-Masih a.s. kepada orang-orang Yahudi yang haus darah itu, walaupun penyerahan yang
dilakukannya itu dilakukan dengan hati
yang sedih, dan istrinya pun
berduka-cita pula, sebab kedua-duanya sangat
percaya kepada Al-Masih. Akan
tetapi ketika dilihatnya orang-orang
Yahudi sangat gaduh dan ribut ia dikuasai oleh sifat pengecut.
Ya, memang secara sembunyi-sembunyi ia berusaha keras
untuk menyelamatkan nyawa Al-Masih
dari tiang salib, dan ia pun telah berhasil dari usahanya itu. Akan tetapi
setelah itu Al-Masih telah dinaikkan
di atas kayu salib dan dari sakitnya
yang bukan alang kepalang ia sampai kepada keadaan pingsan yang demikian
rupa parahnya, sehingga ia seakan-akan merupakan maut (kematian) juga keadaannya.
Namun bagaimana pun
juga, karena upaya Pilatus Romawi tersebut maka jiwa Al-Masih Ibnu Maryam telah selamat. Sedangkan guna keselamatan jiwanya sedah
sejak sebelumnya doa Al-Masih terkabul. Silakan lihat Perjanjian Baru,
Surat kiriman kepada orang-orang Iberani, bab 5 ayat 7.[1] Setelah itu Al-Masih a.s. melarikan diri dari
wilayah itu secara sembunyi-sembunyi dan sampailah di Kasymir, di sanalah beliau wafat
(QS.23:51).
Anda sekalian telah
mendengar bahwa kuburan beliau
terletak di desa Khan Yar, Srinagar.
Semua itu adalah hasil upaya Pilatus.
Kendati pun aktivitas Pilatus pertama
tidak luput dari aneka-ragam kepengecutan, akan tetapi jika ia
menghargai ucapannya sendiri yang menyatakan ia tidak melihat suatu kesalahan
pada diri orang ini (Al-Masih) maka baginya tidaklah sulit untuk membebaskan Al-Masih, sementara ia
berkewenangan untuk membebaskannya.
Akan tetapi ketika mendengar teriakan
orang-orang akan mengadukannya kepada Kaisar
ia menjadi ketakutan.
Namun “Pilatus” terakhir ini tidak takut kepada para pendeta, padahal pada peristiwa ini pun
yang memegang tahta adalah seorang kaisar perempuan, tetapi kaisar perempuan ini jauh lebih baik daripada kaisar yang dahulu. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi siapa pun
untuk menekan seorang hakim dan melepaskan keadilan menghantui kaisar
perempuan itu.
“Duel Makar” dengan "Makar Tandingan" Allah Swt.
Bagaimana pun dibandingkan dengan peristiwa Al-Masih
pertama, terhadap Al-Masih terakhir ini kegaduhan dan makar
(konspirasi) banyak ditimbulkan. Sedangkan lawan saya dan segala pemimpin bangsa telah berkumpul. Akan
tetapi “Pilatus” terakhir ini cinta
kebenaran, dan ia memperlihatkan keteguhan
dalam memegang pernyataannya dengan mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak
menuduh saya melakukan pembunuhan.
Jadi, ia telah membebaskan saya dengan sangat mulus dan jantan, sedangkan Pilatus pertama telah bekerja dengan memakai kelihaian untuk menyelamatkan Al-Masih. Akan tetapi “Pilatus” ini pada hari ketika saya dibebaskan telah memenuhi tuntutan yang seyogianya dikehendaki
dalam sidang pengadilan, dengan cara yang tidak diwarnai kepengecutan.
Pada hari itu pun seorang
pencuri – yang adalah seorang anggota
Bala Keselamatan – di hadapkan ke muka pengadilan. Hal demikian terjadi karena
berbarengan dengan Al-Masih pertama
pun ada seorang pencuri yang
dihadapkan. Pencuri yang tertangkap
bersamaaan dengan Al-Masih terakhir
ini tidak dinaikkan ke palang salib dan tulang-tulangnya tidak
dipatahkan seperti dialami oleh pencuri
yang ditangkap bersama-sama dengan Al-Masih
pertama, melainkan dipenjarakan tiga bulan.” (Kisyti Nuh – Bahtera
Nuh).
Jadi, betapa “seorang
laki-laki pemberani” dari kalangan umat
Islam yang “datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu”
– yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.
-- telah dibebaskan secara murni
dari segala tuduhan dusta melakukan upaya pembunuhan oleh “seorang
laki-laki pemberani” dari kalangan lawan agamanya, yakni Kapten Dauglas. Benarlah firman Allah
Swt. berikut ini tentang makar buruk para penentang
terhadap Al-Masih Ibnu Maryam a.s.:
فَلَمَّاۤ اَحَسَّ
عِیۡسٰی مِنۡہُمُ الۡکُفۡرَ قَالَ مَنۡ اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ
الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ اَنۡصَارُ اللّٰہِ ۚ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ ۚ وَ اشۡہَدۡ
بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اٰمَنَّا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتَ وَ اتَّبَعۡنَا
الرَّسُوۡلَ فَاکۡتُبۡنَا مَعَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَکَرُوۡا وَ مَکَرَ اللّٰہُ ؕ وَ اللّٰہُ خَیۡرُ الۡمٰکِرِیۡنَ ﴿٪﴾
Maka tatkala Isa merasa
ada kekafiran pada mereka yakni
kaumnya ia berkata: ”Siapakah penolong-penolongku dalam urusan Allah?” Para hawari
berkata: “Kamilah para penolong urusan Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. “Ya Rabb (Tuhan) kami, kami beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti Rasul ini maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi.” Dan
mereka, yakni musuh
Al-Masih, merancang makar buruk dan Allah
pun merancang makar tandingan dan Allah
sebaik-baik Perancang makar. (Ali
‘Imrān [3]:53-55).
Hawariyyin (Pengikut Setia) Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Akhir Zaman
Sehubungan ucapan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili mengenai adanya kekafiran dari Bani Israil terhadap pendakwaan beliau
sebagai Al-Masih (Mesias/Mesiah)
dalam firman Allah Swt. sebelumnya, ternyata topik yang sama dikemukakan pula dalam Surah lainnya berkenaan umat Islam di Akhir Zaman ini, yaitu berupa perintah
Allah Swt. kepada mereka agar menjadi hawariyyin (pengikut sejati) yang menolong
perjuangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israilli, bukannya meniru sikap buruk para pemuka agama Yahudi yang merangcang makar-buruk terhadap beliau, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡۤا اَنۡصَارَ اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی
ابۡنُ مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ
مَنۡ اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ
نَحۡنُ اَنۡصَارُ اللّٰہِ فَاٰمَنَتۡ طَّآئِفَۃٌ مِّنۡۢ
بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ وَ
کَفَرَتۡ طَّآئِفَۃٌ ۚ فَاَیَّدۡنَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا عَلٰی
عَدُوِّہِمۡ فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ ﴿٪
﴾
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong Allah sebagaimana Isa ibnu Mar-yam berkata kepada hawāriyyīn (pengikut-pengikutnya), “Siapakah penolong-penolongku di jalan Allah?” Berkata pengikut-pengikut yang setia itu: “Kamilah
penolong-penolong Allah.” Maka segolongan
dari Bani Israil beriman sedangkan segolongan
lagi kafir, kemudian Kami
membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka menjadi orang-orang yang
menang. (Ash-Shaff [61]:15).
Dari ketiga golongan agama di antara kaum Yahudi, yang terhadap mereka Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. menyampaikan
tablighnya – kaum Parisi, kaum Saduki, dan kaum Essenes
– Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. sebelum
beliau diutus sebagai rasul Allah termasuk
golongan kaum Essenes.
Kaum Essenes adalah kaum yang sangat bertakwa,
hidup jauh dari kesibukan dan keramaian dunia, dan melewatkan waktu
mereka dalam berzikir dan berdoa, dan berbakti kepada sesama manusia. Dari kaum inilah berasal bagian
besar dari para pengikut beliau di
masa permulaan (“The Dead Sea
Community,” oleh Kurt Schubert, dan “The Crucifixion by an
Eye-Witness”). Mereka disebut “Para Penolong”
oleh Eusephus yakni Ansharullāh.
Kata-kata penutup Surah ini فَاَیَّدۡنَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ
فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ -- “kemudian Kami membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka
lalu mereka menjadi orang-orang
yang menang” sungguh sarat dengan nubuatan.
Sepanjang zaman para pengikut Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. – walau pun dari
segi akidah mereka telah menyeleweng dari Tauhid Ilahi menjadi para
penyembah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.5:117-119; QS.7:170) – tetapi mereka telah menikmati kekuatan dan kekuasaan atas musuh abadi
mereka – kaum Yahudi.
Orang-orang Nasrani telah menegakkan dan
memerintah kerajaan-kerajaan luas dan
perkasa, sedang kaum Yahudi tetap
merupakan kaum yang cerai-berai selama 2000 tahun sehingga mendapat julukan “the Wandering Jew” (“Yahudi
Pengembara”).
Nubuatan Keunggulan yang Akan Terjadi Lagi Di Akhir Zaman & Seruan MIrza
Ghulam Ahmad a.s. Kepada Ratu Victoria
Untuk Menerima Islam
Ketika Allah Swt. di Akhir Zaman ini benar-benar telah mengutus Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai
Al-Masih Mau’ud a.s. atau sebagai misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58), maka dari kalangan umat
Islam yang melaksanakan perintah Allah Swt. tersebut
-- yakni yang beriman kepada “seorang laki-laki yang datang berlari-lari
dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:31-28) -- hanyalah segolongan umat Islam yang tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah saja, sedangkan yang lainnya lebih suka mengikuti jejak para pemuka
agama Yahudi dengan berbagai makar-buruk yang dilakukannya, sehingga akibat akhirnya pun akan kembali terulang di Akhir Zaman ini, yakni فَاَیَّدۡنَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ
فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ -- “kemudian Kami membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka
lalu mereka menjadi orang-orang
yang menang.”
Keberanian Mirza Ghulam Ahmad
a.s. sebagai “seorang laki-laki yang
datang berlar-lari dari bagian terjauh kota itu” beliau
-- sebagaimana yang juga dilakukan oleh Junjunan beliau, Nabi Besar
Muhammad saw. – telah mengirimkan surat seruan kepada Ratu Victoria, penguasa kerajaan Inggris Raya, untuk masuk Islam.
Berikut adalah seruan
(ajakan) kepada Islam yang terdapat dalam karya Mirza Ghulam Ahmad a.s. "Aina Kamalti Islam" (Cermin
Kesempurnaan Islam) yang terbit tahun
1893, berisi uraian-uraian yang mencerminkan keindahan dan keluhuran agama
Islam dan di dalamnya juga termuat ajakan
dan dakwah beliau kepada kepada Ratu Victoria dari Inggeris dan seruan
kepada Ratu Inggeris itu untuk memeluk agama
Islam. Dengan kata-kata yang penuh keberanian
Mirza Ghulam Ahmad menulis:
"Wahai Sri Baginda Ratu, Berlimpah-limpah
kebajikan Tuhan telah dianugerahkan Tuhan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan
duniawi. Kini dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah dan taatilah Dia yang
tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat dalam KerajaanNya dan
sanjunglah Dia.......Wahai Sri Baginda Ratu, terimalah Islam dan Baginda akan
selamat....."(Dard, Life of Ahmad, 1960:9).
Namun bagai para “perempuan tua” di Akhir Zaman ini yang lebih menyenangi
melontarkan fitnah dan ghibat (gunjing – QS.49:12-13), semua
bentuk keberanian yang diperagakan
oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam
membela agama Islam (Al-Quran) dan
Nabi Besar Muhammad saw. mereka anggap sebagai suatu “kepura-puraan” atau “kemunafikan.”
Berikut adalah beberapa firman Allah Swt.
dalam Al-Quran yang menggugurkan semua tudingan negative dari fitnah
dan gunjingan para “perempuan tua” seperti itu:
(1) Diperbolehkan-Nya orang-orang beriman
bekerja di suatu negara
(kerajaan) yang dipimpin oleh seorang kafir, yang memberikan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda dengan yang dianut di wilayah kekuasaannya. Berikut firman Allah Swt. mengenai
Nabi Yusuf a.s. yang oleh raja Mesir
telah diangkat sebagai seorang pejabat
tinggi kepercayaannya:
وَ قَالَ الۡمَلِکُ ائۡتُوۡنِیۡ بِہٖۤ
اَسۡتَخۡلِصۡہُ لِنَفۡسِیۡ ۚ فَلَمَّا
کَلَّمَہٗ قَالَ اِنَّکَ الۡیَوۡمَ لَدَیۡنَا مَکِیۡنٌ اَمِیۡنٌ ﴿﴾ قَالَ اجۡعَلۡنِیۡ عَلٰی خَزَآئِنِ الۡاَرۡضِ ۚ
اِنِّیۡ حَفِیۡظٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ مَکَّنَّا لِیُوۡسُفَ فِی الۡاَرۡضِ ۚ
یَتَبَوَّاُ مِنۡہَا حَیۡثُ یَشَآءُ ؕ نُصِیۡبُ بِرَحۡمَتِنَا مَنۡ
نَّشَآءُ وَ لَا نُضِیۡعُ اَجۡرَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَاَجۡرُ
الۡاٰخِرَۃِ خَیۡرٌ لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ کَانُوۡا یَتَّقُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan raja itu berkata: “Bawalah dia kepadaku, supaya aku
memilih dia untuk tugas-tugas pribadiku.”
Maka tatkala ia berbicara dengannya ia
berkata: “Sesungguhnya engkau, Yusuf,
hari ini seseorang yang berkedudukan tinggi di sisi kami lagi
ter-percaya.” Ia, Yusuf,
berkata: “Jadikanlah aku bendahara
negeri ini, karena aku seorang penjaga yang baik serta memahami urusan
itu.” Dan demikianlah Kami telah memberikan kepada Yusuf kedudukan di negeri itu, ia tinggal dimana saja yang ia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan Kami
tidak menghilangkan ganjaran orang-orang yang berbuat ihsan. Dan
sesungguhnya ganjaran di akhirat itu
lebih baik bagi orang-orang yang
beriman dan bertakwa. (Yusuf
[12]:55-58).
(2) Nabi Musa a.s. sebelum diangkat sebagai Rasul Allah beliau telah bekerja selama 10 tahun di satu keluarga
yang bukan dari Bani Israil, yaitu di Midian,
bahkan beliau sebelumnya telah menikahi
salah seorang dari dua putri pemuka kaum tersebut, firman-Nya:
وَ جَآءَ رَجُلٌ مِّنۡ اَقۡصَا الۡمَدِیۡنَۃِ یَسۡعٰی ۫ قَالَ
یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ الۡمَلَاَ
یَاۡتَمِرُوۡنَ بِکَ لِیَقۡتُلُوۡکَ فَاخۡرُجۡ
اِنِّیۡ لَکَ مِنَ النّٰصِحِیۡنَ ﴿﴾ فَخَرَجَ مِنۡہَا خَآئِفًا یَّتَرَقَّبُ ۫ قَالَ رَبِّ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿٪﴾ وَ لَمَّا تَوَجَّہَ
تِلۡقَآءَ مَدۡیَنَ قَالَ عَسٰی رَبِّیۡۤ اَنۡ
یَّہۡدِیَنِیۡ سَوَآءَ السَّبِیۡلِ ﴿﴾ وَ لَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدۡیَنَ وَجَدَ عَلَیۡہِ
اُمَّۃً مِّنَ النَّاسِ یَسۡقُوۡنَ ۬۫ وَ
وَجَدَ مِنۡ دُوۡنِہِمُ
امۡرَاَتَیۡنِ تَذُوۡدٰنِ ۚ قَالَ مَا خَطۡبُکُمَا ؕ قَالَتَا لَا نَسۡقِیۡ
حَتّٰی یُصۡدِرَ الرِّعَآءُ ٜ وَ اَبُوۡنَا شَیۡخٌ کَبِیۡرٌ ﴿﴾ فَسَقٰی لَہُمَا ثُمَّ تَوَلّٰۤی اِلَی الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ اِنِّیۡ
لِمَاۤ اَنۡزَلۡتَ اِلَیَّ مِنۡ
خَیۡرٍ فَقِیۡرٌ ﴿﴾ فَجَآءَتۡہُ اِحۡدٰىہُمَا تَمۡشِیۡ عَلَی
اسۡتِحۡیَآءٍ ۫ قَالَتۡ اِنَّ اَبِیۡ
یَدۡعُوۡکَ لِیَجۡزِیَکَ اَجۡرَ مَا سَقَیۡتَ لَنَا ؕ فَلَمَّا جَآءَہٗ وَ قَصَّ عَلَیۡہِ الۡقَصَصَ ۙ قَالَ لَا تَخَفۡ ٝ۟ نَجَوۡتَ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ قَالَتۡ
اِحۡدٰىہُمَا یٰۤاَبَتِ اسۡتَاۡجِرۡہُ ۫ اِنَّ خَیۡرَ مَنِ اسۡتَاۡجَرۡتَ
الۡقَوِیُّ الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ قَالَ اِنِّیۡۤ اُرِیۡدُ اَنۡ اُنۡکِحَکَ اِحۡدَی ابۡنَتَیَّ
ہٰتَیۡنِ عَلٰۤی اَنۡ تَاۡجُرَنِیۡ ثَمٰنِیَ حِجَجٍ ۚ فَاِنۡ اَتۡمَمۡتَ عَشۡرًا فَمِنۡ عِنۡدِکَ ۚ وَ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ اَشُقَّ عَلَیۡکَ ؕ
سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ
مِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ ذٰلِکَ
بَیۡنِیۡ وَ بَیۡنَکَ ؕ اَیَّمَا الۡاَجَلَیۡنِ قَضَیۡتُ فَلَا عُدۡوَانَ عَلَیَّ
ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی مَا
نَقُوۡلُ وَکِیۡلٌ ﴿٪﴾
Dan seorang laki-laki datang dari bagian yang
jauh kota itu dengan berlari-lari, ia berkata: “Hai Musa,
sesungguhnya pemuka-pemuka sedang
berunding mengenai diri engkau untuk membunuh
engkau maka keluarlah engkau, sesungguhnya aku bagi engkau termasuk orang-orang yang memberi nasihat yang
tulus.” Maka ia (Musa) keluar darinya dalam keadaan takut sambil waspada.
Ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” Dan tatkala ia menghadap ke arah Midian
ia berkata: “Mudah-mudahan Rabb-ku (Tuhan-ku) akan membimbingku pada jalan yang lurus.” Dan
tatkala ia sampai ke sumber air Midian
ia mendapati di sana sekumpulan orang sedang memberi minum ternaknya,
dan ia mendapati selain mereka itu dua perempuan yang menahan ternaknya.
Ia berkata: “Apakah urusan kamu berdua?” Keduanya berkata: “Kami tidak dapat
memberi minum ternak kami hingga
gembala-gembala itu pergi, sedang ayah kami seorang yang berusia sangat tua.” Lalu ia (Musa) memberi minum ternak kedua mereka itu, kemudian ia pergi berteduh
dan berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),
sesungguhnya aku selalu me-merlukan
kebaikan apa pun yang Engkau turunkan kepadaku.” Maka salah seorang dari kedua perempuan itu
datang kepadanya berjalan dengan malu-malu. Ia berkata. “Sesungguhnya ayahku memanggil engkau, supaya ia membalas kepada engkau jasa, yang engkau telah memberi minum bagi ternak
kami.” Maka tatkala ia datang kepadanya dan menceriterakan kepadanya
seluruh kisah, ia, orang tua itu, berkata: “Jangan engkau takut, engkau telah selamat dari kaum yang zalim itu.”
Salah seorang dari kedua perempuan
itu berkata: “Ya ayahku, jadikanlah
dia pegawai, sesungguhnya sebaik-baik
orang yang engkau jadi-kan pegawai adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”
Ia berkata: “Sesungguhnya aku hendak menikahkan engkau dengan salah
seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan syarat bahwa engkau bekerja
untukku delapan tahun. Tetapi jika engkau
menggenapkannya sepuluh tahun
maka itu kebaikan dari engkau. Dan aku sekali-kali tidak menginginkan bahwa
aku memberatkan engkau. Pasti engkau akan mendapatiku, insya Allah, termasuk
orang-orang yang saleh.” Ia, Musa, berkata: “Itulah perjanjian di antara aku dan engkau,
yang manapun dari kedua jangka waktu itu
yang aku sempurnakan, tidak akan ada sesuatu tuduhan pada diriku. Dan Allah
menjadi saksi atas apa yang kita
katakan.” (Al-Qashash [28]:20-29).
Pentingnya Berlaku Santun Dalam Melakukan Da’wah Islam
& Perbedaan Keberanian Nagus
Abessinia dengan Kaisar Hiraclius
(3) Pentingnya berlaku
santun kepada para penguasa -- walau pun mereka itu dikatagorikan
“orang-orang kafir” yang zalim -- berikut firman-Nya kepada Nabi Musa a.s. ketika
diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun:
اِذۡہَبَاۤ اِلٰی فِرۡعَوۡنَ
اِنَّہٗ طَغٰی ﴿ۚۖ ﴾ فَقُوۡلَا لَہٗ قَوۡلًا لَّیِّنًا لَّعَلَّہٗ یَتَذَکَّرُ اَوۡ یَخۡشٰی ﴿ ﴾
"Pergilah kamu berdua, kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah
melampaui batas, maka hendaklah kamu berdua berkata kepadanya dengan
perkataan lemah-lembut supaya ia mendapat peringatan atau takut." (Thā Hā [20]:44-45).
Ayat ini mengemukakan dua nasihat bagi seorang
penganjur atau penyiar agama. la haruslah mempergunakan bahasa lemah-lembut waktu menyampaikan da'wahnya. Ia harus pula memberi penghormatan yang wajar terhadap mereka yang oleh Allah Swt. telah diberi kehormatan duniawi atau diberi kedudukan
tinggi.
Dengan demikian jelaslah bahwa perkataan,
sikap dan tindakan apa pun yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. terhadap pemerintah
Inggris di Hindustan atau pun terhadap Ratu
Victoria, penguasa kerajaan Inggris Raya, bukanlah sikap pura-pura atau cari
muka mau pun sikap kemunafikan
sebagaimana tuduhan para penentang
beliau a.s. yang senang melontarkan fitnah
dan ghibat, melainkan benar-benar sesuai dengan petunjuk
Allah Swt. dalam Al-Quran, yaitu sekap seorang laki-laki pemberani yang
penuh dengan kebijaksanaan:
"Wahai Sri Baginda Ratu, berlimpah-limpah
kebajikan Tuhan telah dianugerahkan Tuhan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan
duniawi. Kini dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah dan taatilah Dia yang
tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat dalam KerajaanNya dan
sanjunglah Dia.......Wahai Sri Baginda Ratu, terimalah Islam dan Baginda akan
selamat....."(Dard, Life of Ahmad, 1960:9).
(4) Nabi
Besar Muhammad saw. telah memberi petunjuk kepada beberapa Sahabat beliau
saw. – antara lain Zafar bin Abu Thalib
r.a. -- untuk hijrah ke Ethiopia (Habsyi) yang dipimpin oleh Negus yang beragama Kristen sebelum peristiwa hijrah ke Medinah, sebab Negus
Abessinia pun terbukti merupakan seorang “raja” yang juga “seorang laki-laki pemberani”,
berbeda dengan sikap Hiraclius, Kaisar kerajaan Romawi, yang walau pun sama-sama beragama Nasrani dan sama-sama menghormati dakwah Nabi Besar Muhammad saw., tetapi sikap
Kaisar Hiraclius ketika menghadapi reaksi
keras dari para pejabat dan para pendeta mengenai surat dakwah yang dikirim
oleh Nabi Besar Muhammad saw. ia tidak
bersikap berani seperti Negus
Abessinia.
Berikut firman-Nya mengenai Negus Abessinia yang benar-benar
merupakan “seorang laki-laki pemberani” yang telah melindungi
orang-orang Islam -- yang atas petunjuk Nabi Besar Muhammad saw. -- mencari perlindungan di negerinya dari kezaliman
para pemuka kaum kafir Quraisy, firman-Nya:
لَتَجِدَنَّ اَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَۃً لِّلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوا الۡیَہُوۡدَ وَ الَّذِیۡنَ اَشۡرَکُوۡا ۚ وَ لَتَجِدَنَّ اَقۡرَبَہُمۡ مَّوَدَّۃً لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا
اِنَّا نَصٰرٰی ؕ ذٰلِکَ بِاَنَّ مِنۡہُمۡ قِسِّیۡسِیۡنَ وَ رُہۡبَانًا وَّ
اَنَّہُمۡ لَا یَسۡتَکۡبِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اِذَا سَمِعُوۡا مَاۤ اُنۡزِلَ
اِلَی الرَّسُوۡلِ تَرٰۤی اَعۡیُنَہُمۡ
تَفِیۡضُ مِنَ الدَّمۡعِ مِمَّا عَرَفُوۡا مِنَ الۡحَقِّ ۚ
یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اٰمَنَّا
فَاکۡتُبۡنَا مَعَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَا لَنَا لَا نُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ وَ مَا جَآءَنَا مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ نَطۡمَعُ اَنۡ یُّدۡخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الۡقَوۡمِ
الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ فَاَثَابَہُمُ اللّٰہُ بِمَا قَالُوۡا جَنّٰتٍ
تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ؕ وَ ذٰلِکَ جَزَآءُ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾
Niscaya engkau benar-benar akan mendapati manusia yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman adalah
orang-orang Yahudi dan orang-orang
yang mempersekutukan Allah. Dan niscaya engkau benar-benar akan mendapati orang yang paling dekat kecintaannya
terhadap orang-orang yang beriman adalah
mereka yang berkata: “Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani.”
Hal demikian itu karena di antara mereka
ada pendeta-pendeta, rahib-rahib,
dan juga mereka tidak sombong.
Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul ini,
engkau melihat mata mereka mengucurkan
air mata karena mereka
telah mengenal kebenaran. Mereka berkata: ”Ya Rabb (Tuhan) kami, kami
telah beriman maka catatlah kami di
antara orang-orang yang men-jadi saksi. Dan mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah
dan kepada kebenaran yang telah datang
kepada kami, sedangkan kami
mendambakan sekali supaya Tuhan memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang
yang shalih? Maka disebabkan ucapan mereka, Allah memberi ganjaran kepada
mereka dengan kebun-kebun yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan itulah ganjaran orang-orang yang berbuat ihsan. (Al-Maidah
[5]:83-85).
Hanya Berlaku Bagi Orang-orang Kristen di Zaman Nabi Besar
Muhammad Saw.
Qissis berarti: kepala atau penghulu
umat Kristen di bidang pengetahuan dan ilmu; cendekiawan Kristen yang telah
mencari dan meraih ilmu besar; orang yang cerdas lagi berilmu (Lexicon Lane).
Ruhban
adalah kata jamak dari rahib yang berarti: pertapa, rahib Kristen;
agamawan yang mengasingkan diri; seorang yang mengabdikan diri untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan dan upacara-upacara keagamaan dalam suatu bilik kecil atau
biara (Lexicon Lane).
Tetapi
keadaan demikian – yakni “Hal demikian
itu karena di antara mereka ada pendeta-pendeta, rahib-rahib,
dan juga mereka tidak sombong”
-- tidak berlangsung lama. Di tempat lain Al-Quran memperingatkan umat Islam bahwa mereka ditakdirkan akan mengalami penderitaan
paling berat dari tangan orang-orang
Kristen yang akan menyerang mereka dari segala penjuru ketika Gog (Ya’juj) dan Magog (Ma’juj) dilepaskan
dari “pemenjaraan mereka selama 1000
tahun” (Wahyu 20:7-10; QS.21:97).
Di dalam hadits pun ada kabar-kabar gaib tentang ini mengenai
bahayanya fitnah Dajjal.
Ayat 83 berlaku hanya bagi orang-orang Kristen di zaman Nabi
Besar Muhammad saw.. Sejarah
menunjang kesimpulan ini bahwa Najasyi,
raja Kristen dari Abesinia, memberikan perlindungan
kepada pengungsi-pengungsi kaum Islam; dan Muqauqas,
Raja-muda Kristen dari Mesir, mempersembahkan hadiah-hadiah kepada Nabi Besar Muhammad saw..
Sikap merendah nampaknya merupakan
salah satu ciri khas orang-orang Kristen
dahulu. Hal ini terbukti dari cara penerimaan Raja Persia (Kisra) seorang penyembah
berhala, terhadap surat Nabi
Besar Muhammad saw. yang sangat berbeda
dengan cara penerimaan Heraclius,
raja Kerajaan Romawi Timur yang menganut agama
Kristen. Raja Persia mencabik-cabik
surat itu, sedang Heraclius menerimanya dengan takzim dan bahkan menunjukkan juga sekilas kecenderungan hati terhadap Islam.
Ayat 84 -- “Dan
apabila mereka mendengar apa yang
diturunkan kepada Rasul ini, engkau melihat mata mereka mengucurkan air mata karena mereka telah mengenal kebenaran” -- telah dikenakan pula teristimewa kepada Najasyi. Ketika Ja’far bin Abi Thalib
r.a., saudara misan Nabi Besar Muhammad saw. dan juru bicara untuk para pengungsi
kaum Muslimin di Abesinia membacakan padanya ayat-ayat permulaan Surah Maryam, nampak sekali hati Najasyi tergerak, dan air mata mengalir ke pipinya dan ia berkata dengan suara lirih
penuh haru bahwa tak ubah seperti itulah kepercayaannya mengenai Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. dan bahwa ia
memandang beliau, sedikit pun tidak lebih dari itu (Hisyam).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 19 Januari 2014
[1]) Al-Masih sendiri berkata bagai nubuwatan, bahwa
kecuali Tanda Nabi Yunus, tiada tanda
lain lagi yang akan diperlihatkan.
Pendeknya, di dalam ucapan itu Al-Masih mengisyaratkan bahwa, “Sebagaimana
halnya Yunus dalam keadan hidup masuk ke dalam perut ikan dan dalam keadaan hidup
pula keluar, demikian pula halnya aku akan masuk hidup-hidup dalam kuburan dan
akan keluar dalam keadaan masih hidup”. Jadi tanda ini selain keadaan demikian
– Al-Masih diturunkan dari salib dalam keadaan hidup dan dimasukkan ke dalam
kuburan dalam keadaan hidup – betapa
dapat menjadi kenyataan. Dan demikianlah yang dikatakan Hadhrat Al-Masih bahwa
tidak ada tanda lain lagi yang akan diperlihatkan. Di dalam kalimat itu
seakan-akan Al-Masih menyangkal perkataan orang-orang bahwa Al-Masih telah
memperlihatkan Tanda dengan kenaikannya ke langit (Pen.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar