Sabtu, 15 Februari 2014

Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah "Ansharullah" (Para penolong Allah) dan "Hawaariyyiin" Al-Masih Mau'ud a.s. di Akhir Zaman



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  156

    Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah Anshaarullaah (Para Penolong Allah) dan Hawaariyyuun Al-Masih Mau’ud a.s. di Akhir Zaman          

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

P
ada  akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan  komentar Mirza Ghulam Ahmad a.s.. – yakni Al-Masih Akhir Zaman atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) -- mengenai persamaan dan perbedaan dua orang “Pilatus” yang memutuskan perkara tuduhan dusta yang menimpa dua “Al-Masih” pada zamannya masing-masing – sesuai dengan perbedaan sifat kedua “Pilatus” tersebut  -- maka keputusan yang dijatuhkan kedua hakim  itu pun berbeda pula akibatnya:
     “…..Kemudian ada satu lagi perbandingan antara Pilatus  pertama dan “Pilatus  ini yang patut diperingati: Ketika Masih Ibnu Maryam dihadapkan ke muka pengadilan, Pilatus pertama berkata kepada orang-orang Yahudi, bahwa ia tidak melihat di dalam diri Al-Masih suatu kesalahan. Begitu pula ketika Al-Masih terakhir ini di hadapkan kepada “Pilatus  terakhir tersebut, dan ketika  Al-Masih ini berkata, “Seyogianya kepada saya diberikan tenggang waktu selama beberapa hari untuk memberikan jawaban atas tuduhan pembunuhan itu”, maka “Pilatus” terakhir ini berkata bahwa ia tidak  menuduh apa pun kepadaku. 
     Ucapan kedua-dua Pilatus ini benar-benar mengandung persamaan di antara satu dengan yang lain. Seandainya pun ada perbedaan maka hal itu hanyalah bahwa Pilatus pertama tidak dapat memegang teguh ucapannya, sehingga ketika dikatakan kepadanya bahwa mereka akan mengadukan halnya kepada Kaisar lalu ia menjadi ketakutan dan ia dengan sengaja menyerahkan Hadhrat Al-Masih a.s. kepada orang-orang Yahudi yang haus darah itu, walaupun penyerahan yang dilakukannya itu dilakukan dengan hati yang sedih, dan istrinya pun berduka-cita pula, sebab kedua-duanya sangat percaya kepada Al-Masih. Akan tetapi ketika dilihatnya orang-orang Yahudi sangat gaduh dan ribut ia dikuasai oleh sifat pengecut.
      Ya, memang secara sembunyi-sembunyi ia berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Al-Masih dari tiang salib, dan ia pun telah berhasil dari usahanya itu. Akan tetapi setelah itu Al-Masih telah dinaikkan di atas kayu salib dan dari sakitnya yang bukan alang kepalang ia sampai kepada keadaan pingsan yang demikian rupa parahnya, sehingga ia seakan-akan merupakan maut (kematian) juga keadaannya.
      Namun bagaimana pun juga, karena upaya Pilatus Romawi tersebut maka jiwa Al-Masih Ibnu Maryam telah selamat.  Sedangkan guna keselamatan jiwanya sedah sejak sebelumnya doa Al-Masih terkabul. Silakan lihat Perjanjian Baru, Surat kiriman kepada orang-orang Iberani, bab 5 ayat 7.[1]  Setelah itu Al-Masih a.s. melarikan diri dari wilayah itu secara sembunyi-sembunyi dan sampailah di Kasymir, di sanalah beliau wafat (QS.23:51).
     Anda sekalian telah mendengar bahwa kuburan beliau terletak di desa Khan Yar, Srinagar. Semua itu adalah hasil upaya Pilatus. Kendati pun aktivitas Pilatus pertama tidak luput dari aneka-ragam kepengecutan, akan tetapi jika ia menghargai ucapannya sendiri yang menyatakan ia tidak melihat suatu kesalahan pada diri orang ini (Al-Masih) maka baginya tidaklah sulit untuk membebaskan Al-Masih, sementara ia berkewenangan untuk membebaskannya. Akan tetapi ketika mendengar teriakan orang-orang akan mengadukannya kepada Kaisar ia menjadi ketakutan.
      Namun “Pilatus” terakhir ini tidak takut kepada para pendeta, padahal pada peristiwa ini pun yang memegang tahta adalah seorang kaisar perempuan, tetapi kaisar perempuan ini jauh lebih baik daripada kaisar yang dahulu. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi siapa pun untuk menekan seorang hakim dan melepaskan keadilan menghantui kaisar perempuan itu.

“Duel Makar” dengan "Makar Tandingan" Allah Swt.

       Bagaimana pun dibandingkan dengan peristiwa Al-Masih pertama, terhadap Al-Masih terakhir ini kegaduhan dan makar (konspirasi) banyak ditimbulkan. Sedangkan lawan saya dan segala pemimpin bangsa telah berkumpul. Akan tetapi “Pilatus” terakhir ini cinta kebenaran, dan ia memperlihatkan keteguhan dalam memegang pernyataannya dengan mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak menuduh saya melakukan pembunuhan.
      Jadi, ia telah membebaskan saya dengan sangat mulus dan jantan, sedangkan Pilatus pertama telah bekerja dengan memakai kelihaian untuk menyelamatkan Al-Masih. Akan tetapi “Pilatus” ini pada hari ketika saya dibebaskan telah memenuhi tuntutan yang seyogianya dikehendaki dalam sidang pengadilan, dengan cara yang tidak diwarnai kepengecutan.
      Pada hari itu pun seorang pencuri – yang adalah seorang anggota Bala Keselamatan – di hadapkan ke muka pengadilan. Hal demikian terjadi karena berbarengan dengan Al-Masih pertama pun ada seorang pencuri yang dihadapkan. Pencuri  yang tertangkap bersamaaan dengan Al-Masih terakhir ini tidak dinaikkan ke  palang salib dan tulang-tulangnya tidak dipatahkan seperti dialami oleh pencuri yang ditangkap bersama-sama dengan Al-Masih pertama, melainkan dipenjarakan tiga bulan.” (Kisyti NuhBahtera Nuh).
        Jadi, betapa  seorang laki-laki pemberani” dari kalangan umat Islam yang “datang  berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. --  telah dibebaskan secara murni dari segala tuduhan dusta  melakukan upaya pembunuhan oleh “seorang laki-laki pemberani  dari kalangan lawan agamanya, yakni Kapten Dauglas. Benarlah firman Allah Swt. berikut ini tentang  makar buruk  para penentang terhadap  Al-Masih Ibnu Maryam a.s.:
فَلَمَّاۤ  اَحَسَّ عِیۡسٰی مِنۡہُمُ الۡکُفۡرَ قَالَ مَنۡ اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ اَنۡصَارُ اللّٰہِ ۚ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ ۚ وَ اشۡہَدۡ بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ  اٰمَنَّا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتَ وَ اتَّبَعۡنَا الرَّسُوۡلَ فَاکۡتُبۡنَا مَعَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾  وَ مَکَرُوۡا وَ مَکَرَ اللّٰہُ ؕ وَ اللّٰہُ خَیۡرُ الۡمٰکِرِیۡنَ ﴿٪﴾
Maka tatkala  Isa merasa   ada  kekafiran pada mereka yakni kaumnya ia berkata: Siapakah penolong-penolongku  dalam urusan Allah?” Para hawari berkata: “Kamilah  para penolong urusan Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah  diri.   “Ya Rabb (Tuhan) kami, kami beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti Rasul ini maka catatlah kami bersama   orang-orang yang menjadi saksi.”  Dan mereka,  yakni musuh Al-Masih, merancang makar  buruk  dan Allah pun merancang makar  tandingan  dan Allah sebaik-baik Perancang makar.  (Ali ‘Imrān [3]:53-55).

Hawariyyin (Pengikut Setia) Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Akhir Zaman

       Sehubungan   ucapan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili mengenai adanya kekafiran dari  Bani Israil terhadap pendakwaan beliau sebagai Al-Masih (Mesias/Mesiah) dalam firman Allah Swt. sebelumnya, ternyata topik yang sama dikemukakan pula dalam Surah lainnya berkenaan umat Islam di Akhir Zaman ini, yaitu berupa perintah Allah Swt. kepada mereka agar menjadi hawariyyin  (pengikut sejati)  yang menolong perjuangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israilli,    bukannya meniru sikap buruk para pemuka  agama Yahudi yang merangcang makar-buruk terhadap beliau, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡۤا  اَنۡصَارَ اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی ابۡنُ  مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ مَنۡ  اَنۡصَارِیۡۤ  اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ  اَنۡصَارُ اللّٰہِ  فَاٰمَنَتۡ طَّآئِفَۃٌ  مِّنۡۢ  بَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ وَ کَفَرَتۡ طَّآئِفَۃٌ ۚ فَاَیَّدۡنَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ  فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ ﴿٪ ﴾  
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong Allah sebagaimana Isa ibnu Mar-yam berkata kepada  hawāriyyīn  (pengikut-pengikutnya), “Siapakah penolong-penolongku di jalan Allah?” Berkata pengikut-pengikut yang setia itu: Kamilah penolong-penolong Allah.” Maka segolongan dari Bani Israil beriman sedangkan segolongan lagi kafir, kemudian Kami membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash-Shaff [61]:15). 
    Dari ketiga golongan agama di antara kaum Yahudi, yang terhadap mereka Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  menyampaikan tablighnya – kaum Parisi, kaum Saduki, dan kaum Essenes – Nabi Isa Ibnu Maryam  a.s. sebelum beliau diutus sebagai rasul Allah termasuk golongan  kaum Essenes.
   Kaum Essenes adalah kaum yang sangat bertakwa, hidup jauh dari kesibukan dan keramaian dunia, dan melewatkan waktu mereka dalam berzikir dan berdoa, dan berbakti kepada sesama manusia. Dari kaum inilah berasal bagian besar dari para pengikut beliau di masa permulaan (“The Dead Sea Community,” oleh Kurt Schubert, dan “The Crucifixion by an Eye-Witness”). Mereka disebut “Para Penolong” oleh Eusephus yakni Ansharullāh.
 Kata-kata penutup Surah ini  فَاَیَّدۡنَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ  فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ --    “kemudian Kami membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka menjadi orang-orang yang menang” sungguh sarat dengan nubuatan. Sepanjang zaman para pengikut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.   – walau pun dari segi  akidah mereka  telah menyeleweng dari Tauhid Ilahi  menjadi para penyembah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.5:117-119; QS.7:170)     tetapi mereka telah menikmati kekuatan dan kekuasaan atas musuh abadi mereka – kaum Yahudi.
 Orang-orang Nasrani  telah menegakkan dan memerintah kerajaan-kerajaan luas dan perkasa, sedang kaum Yahudi tetap merupakan kaum yang cerai-berai  selama 2000 tahun sehingga mendapat julukan “the Wandering Jew” (“Yahudi Pengembara”).

Nubuatan Keunggulan  yang Akan Terjadi Lagi Di Akhir Zaman &  Seruan  MIrza Ghulam Ahmad a.s. Kepada Ratu Victoria Untuk  Menerima Islam

   Ketika Allah Swt.  di Akhir Zaman ini benar-benar telah mengutus Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. atau sebagai misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58),  maka dari kalangan umat Islam  yang melaksanakan   perintah Allah Swt.  tersebut   -- yakni yang beriman kepada “seorang laki-laki yang datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:31-28) -- hanyalah segolongan umat Islam yang tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah saja, sedangkan  yang lainnya lebih suka mengikuti jejak para pemuka agama Yahudi dengan berbagai makar-buruk  yang dilakukannya, sehingga akibat akhirnya  pun akan kembali terulang di Akhir Zaman ini, yakni  فَاَیَّدۡنَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ  فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ --    “kemudian Kami membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.
   Keberanian Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai “seorang laki-laki yang datang berlar-lari dari bagian terjauh kota itu  beliau  -- sebagaimana yang juga dilakukan oleh Junjunan beliau, Nabi Besar Muhammad saw.  – telah mengirimkan surat seruan kepada Ratu Victoria, penguasa kerajaan Inggris Raya, untuk masuk Islam.
    Berikut  adalah seruan (ajakan) kepada Islam  yang terdapat dalam   karya Mirza Ghulam Ahmad a.s. "Aina Kamalti Islam" (Cermin Kesempurnaan Islam)  yang terbit tahun 1893, berisi uraian-uraian yang mencerminkan keindahan dan keluhuran agama Islam dan di dalamnya juga termuat ajakan dan dakwah beliau kepada kepada Ratu Victoria dari Inggeris dan seruan kepada Ratu Inggeris itu untuk memeluk agama Islam. Dengan kata-kata yang penuh keberanian Mirza Ghulam Ahmad menulis:
"Wahai Sri Baginda Ratu, Berlimpah-limpah kebajikan Tuhan telah dianugerahkan Tuhan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan duniawi. Kini dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah dan taatilah Dia yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat dalam KerajaanNya dan sanjunglah Dia.......Wahai Sri Baginda Ratu, terimalah Islam dan Baginda akan selamat....."(Dard, Life of Ahmad, 1960:9).
    Namun bagai para “perempuan tua  di Akhir Zaman ini yang lebih menyenangi melontarkan fitnah dan ghibat (gunjing – QS.49:12-13), semua bentuk keberanian yang diperagakan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam membela agama Islam (Al-Quran) dan Nabi Besar Muhammad saw. mereka anggap sebagai suatu “kepura-puraan” atau “kemunafikan.
    Berikut adalah beberapa firman Allah Swt. dalam  Al-Quran yang menggugurkan semua tudingan negative dari  fitnah dan gunjingan para “perempuan tua” seperti itu:
 (1) Diperbolehkan-Nya orang-orang beriman    bekerja  di suatu negara (kerajaan)  yang dipimpin oleh seorang kafir, yang memberikan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda dengan yang dianut di wilayah kekuasaannya. Berikut firman Allah Swt. mengenai Nabi Yusuf a.s. yang oleh raja Mesir telah diangkat sebagai seorang pejabat tinggi kepercayaannya:
وَ قَالَ الۡمَلِکُ ائۡتُوۡنِیۡ بِہٖۤ  اَسۡتَخۡلِصۡہُ لِنَفۡسِیۡ ۚ فَلَمَّا  کَلَّمَہٗ  قَالَ  اِنَّکَ الۡیَوۡمَ  لَدَیۡنَا مَکِیۡنٌ  اَمِیۡنٌ ﴿﴾  قَالَ اجۡعَلۡنِیۡ عَلٰی خَزَآئِنِ الۡاَرۡضِ ۚ اِنِّیۡ  حَفِیۡظٌ  عَلِیۡمٌ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ مَکَّنَّا لِیُوۡسُفَ فِی الۡاَرۡضِ ۚ یَتَبَوَّاُ مِنۡہَا حَیۡثُ یَشَآءُ ؕ نُصِیۡبُ بِرَحۡمَتِنَا مَنۡ نَّشَآءُ  وَ لَا نُضِیۡعُ  اَجۡرَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَاَجۡرُ الۡاٰخِرَۃِ خَیۡرٌ لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ کَانُوۡا  یَتَّقُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan raja itu berkata: “Bawalah dia kepadaku, supaya aku memilih dia untuk tugas-tugas pribadiku.” Maka tatkala  ia berbicara dengannya ia berkata: Sesungguhnya engkau, Yusuf,  hari ini seseorang yang berkedudukan tinggi di sisi kami lagi ter-percaya.” Ia, Yusuf, berkata: “Jadikanlah aku bendahara negeri ini, karena aku seorang penjaga  yang baik serta memahami urusan itu.”    Dan demikianlah Kami telah memberikan kepada Yusuf kedudukan di negeri itu, ia tinggal dimana saja yang ia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan  Kami tidak menghilangkan ganjaran orang-orang yang berbuat ihsan.   Dan sesungguhnya ganjaran di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. (Yusuf [12]:55-58).
(2)  Nabi Musa a.s. sebelum diangkat sebagai Rasul Allah beliau telah bekerja selama 10 tahun di satu  keluarga yang bukan  dari   Bani Israil,  yaitu di Midian, bahkan beliau sebelumnya telah menikahi salah seorang dari dua putri    pemuka kaum tersebut, firman-Nya:
وَ جَآءَ رَجُلٌ مِّنۡ اَقۡصَا الۡمَدِیۡنَۃِ یَسۡعٰی ۫ قَالَ یٰمُوۡسٰۤی  اِنَّ الۡمَلَاَ یَاۡتَمِرُوۡنَ بِکَ لِیَقۡتُلُوۡکَ فَاخۡرُجۡ  اِنِّیۡ لَکَ  مِنَ  النّٰصِحِیۡنَ ﴿﴾  فَخَرَجَ مِنۡہَا خَآئِفًا یَّتَرَقَّبُ ۫ قَالَ  رَبِّ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿٪﴾  وَ لَمَّا تَوَجَّہَ  تِلۡقَآءَ مَدۡیَنَ قَالَ عَسٰی رَبِّیۡۤ   اَنۡ  یَّہۡدِیَنِیۡ  سَوَآءَ  السَّبِیۡلِ ﴿﴾  وَ لَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدۡیَنَ وَجَدَ عَلَیۡہِ اُمَّۃً مِّنَ النَّاسِ یَسۡقُوۡنَ ۬۫ وَ  وَجَدَ مِنۡ دُوۡنِہِمُ  امۡرَاَتَیۡنِ تَذُوۡدٰنِ ۚ قَالَ مَا خَطۡبُکُمَا ؕ قَالَتَا لَا نَسۡقِیۡ حَتّٰی یُصۡدِرَ الرِّعَآءُ ٜ وَ اَبُوۡنَا شَیۡخٌ   کَبِیۡرٌ ﴿﴾  فَسَقٰی لَہُمَا ثُمَّ تَوَلّٰۤی اِلَی الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ اِنِّیۡ لِمَاۤ  اَنۡزَلۡتَ اِلَیَّ مِنۡ خَیۡرٍ  فَقِیۡرٌ ﴿﴾  فَجَآءَتۡہُ  اِحۡدٰىہُمَا تَمۡشِیۡ عَلَی اسۡتِحۡیَآءٍ ۫ قَالَتۡ اِنَّ  اَبِیۡ یَدۡعُوۡکَ لِیَجۡزِیَکَ اَجۡرَ مَا سَقَیۡتَ لَنَا ؕ فَلَمَّا جَآءَہٗ  وَ قَصَّ عَلَیۡہِ  الۡقَصَصَ ۙ قَالَ  لَا تَخَفۡ ٝ۟ نَجَوۡتَ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾  قَالَتۡ اِحۡدٰىہُمَا یٰۤاَبَتِ اسۡتَاۡجِرۡہُ ۫ اِنَّ خَیۡرَ مَنِ اسۡتَاۡجَرۡتَ الۡقَوِیُّ الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾  قَالَ اِنِّیۡۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ اُنۡکِحَکَ اِحۡدَی ابۡنَتَیَّ ہٰتَیۡنِ عَلٰۤی اَنۡ تَاۡجُرَنِیۡ ثَمٰنِیَ حِجَجٍ ۚ فَاِنۡ اَتۡمَمۡتَ عَشۡرًا  فَمِنۡ عِنۡدِکَ ۚ وَ مَاۤ  اُرِیۡدُ اَنۡ اَشُقَّ عَلَیۡکَ ؕ سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ  شَآءَ  اللّٰہُ  مِنَ  الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ ذٰلِکَ بَیۡنِیۡ وَ بَیۡنَکَ ؕ اَیَّمَا الۡاَجَلَیۡنِ قَضَیۡتُ فَلَا عُدۡوَانَ عَلَیَّ ؕ وَ اللّٰہُ  عَلٰی  مَا  نَقُوۡلُ  وَکِیۡلٌ ﴿٪﴾
Dan seorang laki-laki datang dari bagian yang jauh kota itu dengan berlari-lari, ia berkata:  “Hai Musa, sesungguhnya pemuka-pemuka sedang berunding mengenai diri engkau untuk membunuh engkau maka keluarlah engkau,  sesungguhnya aku bagi engkau termasuk orang-orang yang memberi nasihat yang tulus.” Maka ia (Musa) keluar darinya dalam keadaan takut sambil waspada. Ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”    Dan tatkala ia menghadap ke arah Midian  ia berkata: “Mudah-mudahan Rabb-ku (Tuhan-ku) akan membimbingku pada jalan yang lurus.”   Dan tatkala ia sampai ke sumber air Midian ia mendapati di sana sekumpulan orang sedang memberi minum ternaknya, dan ia mendapati  selain mereka itu dua perempuan yang menahan ternaknya. Ia berkata: “Apakah urusan kamu berdua?”  Keduanya berkata: “Kami tidak dapat memberi minum ternak kami  hingga gembala-gembala itu pergi, sedang ayah kami seorang yang berusia sangat tua.”   Lalu ia (Musa) memberi minum ternak kedua mereka itu, kemudian ia pergi berteduh dan berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya aku selalu me-merlukan kebaikan apa pun yang Engkau turunkan kepadaku.”   Maka salah seorang dari kedua perempuan itu datang kepadanya berjalan dengan malu-malu. Ia berkata. “Sesungguhnya ayahku memanggil engkau, supaya ia membalas kepada engkau jasa, yang engkau telah memberi minum bagi ternak kami.” Maka tatkala ia datang kepadanya dan menceriterakan kepadanya seluruh kisah, ia, orang tua itu, berkata: “Jangan engkau takut, engkau telah selamat dari kaum yang zalim itu.”  Salah seorang dari kedua perempuan itu berkata: “Ya ayahku, jadikanlah dia pegawai, sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau jadi-kan pegawai adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”   Ia berkata: “Sesungguhnya aku hendak menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan syarat bahwa engkau bekerja untukku delapan tahun. Tetapi jika engkau menggenapkannya sepuluh tahun maka itu kebaikan dari engkau.  Dan aku sekali-kali tidak menginginkan bahwa aku memberatkan engkau. Pasti engkau akan mendapatiku, insya Allah, termasuk orang-orang yang saleh.”   Ia, Musa, berkata: “Itulah  perjanjian di antara aku dan engkau, yang manapun dari kedua jangka waktu itu yang aku sempurnakan, tidak akan ada sesuatu tuduhan pada diriku. Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita katakan.” (Al-Qashash [28]:20-29).

Pentingnya Berlaku Santun Dalam Melakukan Da’wah Islam & Perbedaan Keberanian Nagus Abessinia dengan Kaisar Hiraclius

       (3) Pentingnya berlaku santun kepada para penguasa   -- walau pun mereka itu dikatagorikan “orang-orang kafir” yang zalim -- berikut firman-Nya kepada Nabi Musa a.s. ketika diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun:
اِذۡہَبَاۤ  اِلٰی  فِرۡعَوۡنَ  اِنَّہٗ  طَغٰی  ﴿ۚۖ ﴾ فَقُوۡلَا لَہٗ  قَوۡلًا لَّیِّنًا لَّعَلَّہٗ  یَتَذَکَّرُ اَوۡ یَخۡشٰی ﴿ ﴾
"Pergilah kamu berdua, kepada Fir’aun, sesung­guhnya ia telah melampaui batas, maka hendaklah kamu berdua berkata kepadanya dengan perkata­an lemah-lembut supaya ia mendapat peringatan  atau takut." (Thā Hā [20]:44-45).
   Ayat ini mengemukakan dua nasihat bagi seorang penganjur atau penyiar agama. la haruslah mempergunakan bahasa lemah-lembut waktu menyampaikan da'wahnya. Ia harus pula memberi penghormatan yang wajar terhadap mereka yang oleh Allah Swt.  telah diberi kehormatan duniawi atau diberi kedudukan tinggi.
        Dengan demikian jelaslah bahwa  perkataan,  sikap dan tindakan apa pun yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. terhadap  pemerintah Inggris di Hindustan atau pun terhadap Ratu Victoria, penguasa kerajaan Inggris Raya, bukanlah sikap pura-pura  atau cari muka mau pun sikap kemunafikan sebagaimana tuduhan para penentang beliau a.s. yang senang melontarkan fitnah dan ghibat,  melainkan benar-benar sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dalam Al-Quran, yaitu sekap seorang laki-laki pemberani  yang penuh dengan kebijaksanaan:
"Wahai Sri Baginda Ratu, berlimpah-limpah kebajikan Tuhan telah dianugerahkan Tuhan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan duniawi. Kini dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah dan taatilah Dia yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat dalam KerajaanNya dan sanjunglah Dia.......Wahai Sri Baginda Ratu, terimalah Islam dan Baginda akan selamat....."(Dard, Life of Ahmad, 1960:9).
(4) Nabi Besar Muhammad saw. telah memberi petunjuk kepada beberapa Sahabat beliau saw.  – antara lain Zafar bin Abu Thalib r.a.  -- untuk hijrah ke Ethiopia (Habsyi) yang dipimpin oleh Negus yang beragama Kristen sebelum peristiwa hijrah ke Medinah, sebab Negus Abessinia pun terbukti merupakan seorang “raja  yang juga “seorang laki-laki pemberani”, berbeda dengan sikap   Hiraclius, Kaisar kerajaan Romawi, yang walau pun sama-sama beragama Nasrani  dan sama-sama menghormati  dakwah  Nabi Besar Muhammad saw., tetapi  sikap Kaisar Hiraclius ketika menghadapi reaksi keras dari para pejabat dan para pendeta mengenai  surat dakwah yang dikirim oleh Nabi Besar Muhammad saw.  ia tidak bersikap berani seperti Negus Abessinia.
   Berikut firman-Nya mengenai Negus Abessinia yang benar-benar merupakan “seorang laki-laki  pemberani” yang  telah melindungi orang-orang Islam  -- yang atas petunjuk Nabi Besar Muhammad saw. -- mencari perlindungan di negerinya dari kezaliman para pemuka kaum kafir Quraisy, firman-Nya:
لَتَجِدَنَّ اَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَۃً لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا الۡیَہُوۡدَ وَ الَّذِیۡنَ اَشۡرَکُوۡا ۚ وَ لَتَجِدَنَّ  اَقۡرَبَہُمۡ مَّوَدَّۃً  لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّا نَصٰرٰی ؕ ذٰلِکَ بِاَنَّ مِنۡہُمۡ قِسِّیۡسِیۡنَ وَ رُہۡبَانًا وَّ اَنَّہُمۡ لَا یَسۡتَکۡبِرُوۡنَ ﴿﴾  وَ  اِذَا سَمِعُوۡا مَاۤ  اُنۡزِلَ  اِلَی الرَّسُوۡلِ تَرٰۤی اَعۡیُنَہُمۡ تَفِیۡضُ مِنَ  الدَّمۡعِ مِمَّا عَرَفُوۡا مِنَ الۡحَقِّ ۚ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ  اٰمَنَّا فَاکۡتُبۡنَا مَعَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾  وَ مَا لَنَا لَا نُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ وَ مَا جَآءَنَا مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ نَطۡمَعُ اَنۡ  یُّدۡخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ  الۡقَوۡمِ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾  فَاَثَابَہُمُ اللّٰہُ بِمَا قَالُوۡا جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ؕ وَ ذٰلِکَ  جَزَآءُ   الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾  
Niscaya engkau benar-benar akan mendapati manusia yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah  orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah. Dan niscaya engkau benar-benar akan mendapati orang yang paling dekat kecintaannya terhadap orang-orang yang beriman adalah  mereka yang berkata:  Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani.” Hal demikian itu  karena di antara mereka ada pendeta-pendeta,  rahib-rahib, dan juga mereka tidak sombong.  Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul ini, engkau melihat mata mereka mengucurkan air mata karena mereka telah mengenal kebenaran. Mereka berkata:  ”Ya Rabb (Tuhan) kami, kami telah beriman maka catatlah kami di antara orang-orang yang men-jadi saksi.   Dan mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah datang kepada kami, sedangkan kami mendambakan sekali supaya Tuhan memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?  Maka disebabkan ucapan mereka, Allah  memberi ganjaran kepada mereka dengan  kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan itulah ganjaran    orang-orang yang berbuat ihsan. (Al-Maidah [5]:83-85).

Hanya Berlaku Bagi Orang-orang Kristen di Zaman Nabi Besar Muhammad Saw.

      Qissis berarti: kepala atau penghulu umat Kristen di bidang pengetahuan dan ilmu; cendekiawan Kristen yang telah mencari dan meraih ilmu besar; orang yang cerdas lagi berilmu (Lexicon Lane).
  Ruhban adalah kata jamak dari rahib yang berarti: pertapa, rahib Kristen; agamawan yang mengasingkan diri; seorang yang mengabdikan diri untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dan upacara-upacara keagamaan dalam suatu bilik kecil atau biara (Lexicon Lane).
     Tetapi keadaan demikian – yakni “Hal demikian itu  karena di antara mereka ada pendeta-pendeta,  rahib-rahib, dan juga mereka tidak sombong” -- tidak berlangsung lama. Di tempat lain Al-Quran memperingatkan umat Islam bahwa mereka ditakdirkan akan mengalami penderitaan paling berat dari tangan orang-orang Kristen yang akan menyerang mereka dari segala penjuru ketika Gog (Ya’juj) dan Magog (Ma’juj)  dilepaskan dari “pemenjaraan mereka selama 1000 tahun” (Wahyu 20:7-10; QS.21:97).   Di dalam hadits pun ada kabar-kabar gaib tentang ini mengenai bahayanya fitnah Dajjal.  
       Ayat 83 berlaku hanya bagi orang-orang Kristen di zaman  Nabi Besar Muhammad saw..  Sejarah menunjang kesimpulan ini bahwa Najasyi, raja Kristen dari Abesinia, memberikan perlindungan kepada pengungsi-pengungsi kaum Islam; dan Muqauqas, Raja-muda Kristen dari Mesir, mempersembahkan hadiah-hadiah kepada Nabi Besar Muhammad saw..  
         Sikap merendah nampaknya  merupakan salah satu ciri khas orang-orang Kristen dahulu. Hal ini terbukti dari cara penerimaan Raja Persia (Kisra) seorang penyembah berhala, terhadap surat Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat berbeda     dengan cara penerimaan Heraclius, raja Kerajaan Romawi Timur yang menganut agama Kristen. Raja Persia mencabik-cabik surat itu, sedang Heraclius menerimanya dengan takzim dan bahkan menunjukkan juga sekilas kecenderungan hati terhadap Islam.
        Ayat 84  -- “Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul ini, engkau melihat mata mereka mengucurkan air mata karena mereka telah mengenal kebenaran  --  telah dikenakan pula teristimewa kepada Najasyi. Ketika Ja’far bin Abi Thalib r.a., saudara misan Nabi Besar Muhammad saw. dan juru bicara untuk para pengungsi kaum Muslimin di Abesinia membacakan padanya ayat-ayat permulaan Surah Maryam, nampak sekali hati Najasyi tergerak, dan air mata mengalir  ke pipinya dan ia berkata dengan suara lirih penuh haru bahwa tak ubah seperti itulah kepercayaannya mengenai Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  dan bahwa ia memandang beliau, sedikit pun tidak lebih dari itu (Hisyam).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   19 Januari      2014





[1]) Al-Masih sendiri berkata bagai nubuwatan, bahwa kecuali  Tanda Nabi Yunus, tiada tanda lain  lagi yang akan diperlihatkan. Pendeknya, di dalam ucapan itu Al-Masih mengisyaratkan bahwa, “Sebagaimana halnya Yunus dalam keadan hidup masuk ke dalam perut ikan dan dalam keadaan hidup pula keluar, demikian pula halnya aku akan masuk hidup-hidup dalam kuburan dan akan keluar dalam keadaan masih hidup”. Jadi tanda ini selain keadaan demikian – Al-Masih diturunkan dari salib dalam keadaan hidup dan dimasukkan ke dalam kuburan dalam keadaan  hidup – betapa dapat menjadi kenyataan. Dan demikianlah yang dikatakan Hadhrat Al-Masih bahwa tidak ada tanda lain lagi yang akan diperlihatkan. Di dalam kalimat itu seakan-akan Al-Masih menyangkal perkataan orang-orang bahwa Al-Masih telah memperlihatkan Tanda dengan kenaikannya ke langit (Pen.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar