Jumat, 14 Februari 2014

Keberanian :Seorang "Laki-laki" Jantan yang Muncul di Hindustan Dalam Hal Menegakkan Haq (Kebenaran)



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab  155

Keberanian Seorang  Laki-laki” yang Muncul di Hindustan Dalam Menegakkan Haq (Kebenaran)

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

P
ada  akhir Bab sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai alasan-alasan  mengapa orang-orang Islam terpaksa mengangkat senjata,  firman-Nya:
وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ صَوَامِعُ وَ بِیَعٌ وَّ صَلَوٰتٌ وَّ مَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ کَثِیۡرًا ؕ
Dan seandainya Allah tidak menangkis   sebagian manusia oleh sebagian yang lain niscaya akan hancur  biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama  Allah  (Al-Hājj [22]:41).   
    Tujuan izin berperang dalam Islam  sekali-kali bukan untuk merampas hak orang-orang lain atas rumah dan milik mereka, atau merampas kemerdekaan mereka serta memaksa mereka tunduk kepada kekuasaan asing, atau untuk menjajagi pasar-pasar yang baru atau memperoleh tanah-tanah jajahan baru, seperti telah diusahakan oleh kekuasaan negara-negara kuat dari barat.
       Yang dimaksudkan ialah mengadakan perang semata-mata untuk membela diri dan untuk menyelamatkan Islam dari kemusnahan, dan untuk menegakkan kebebasan berpikir; begitu juga untuk membela tempat-tempat peribadatan yang dimiliki oleh agama-agama lain — gereja-gereja, rumah-rumah peribadatan Yahudi (sinagog), kuil-kuil, biara-biara, dan sebagainya (QS.2:194; QS.2:257; QS.8:40 dan QS.8:73).

Larangan Keras Menyegel dan Merusak Tempat-tempat Ibadah 

       Jadi tujuan pertama dan terutama dari perang-perang yang dilancarkan oleh Islam di masa yang lampau -- dan selamanya di masa yang akan datang pun  -- ialah menegakkan kebebasan beragama dan beribadah serta  berperang membela negeri, kehormatan, dan kemerdekaan terhadap serangan tanpa dihasut. Apakah ada alasan untuk berperang yang lebih baik daripada ini?
      Kembali kepada  masalah mubahalah (tanding doa) dan larangan Allah Swt. melakukan penyegelan dan merusak tempat-tempat peribadahan, jelaslahlah bahwa  melakukan mubahalah (pertandingan  doa)   -- bukan menyegel atau   merusak tempat peribadahan – itulah yang diizinkan Allah Swt. dan merupakan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw., jika dialog keagamaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berbeda pendapat tidak menemui kesepakatan, sebab mengenai tindakan merusak tempat peribadahan – walau pun melakukannya  dengan mengatas namakan JIHAD sambil mengucapkan ALLAHU AKBAR   --  Allah Swt. mencelanya dengan keras, bahkan telah mengutuk mereka yang melakukannya, firman-Nya:
  وَ مَنۡ اَظۡلَمُ  مِمَّنۡ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰہِ اَنۡ یُّذۡکَرَ فِیۡہَا اسۡمُہٗ وَ سَعٰی فِیۡ خَرَابِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ مَا کَانَ لَہُمۡ اَنۡ یَّدۡخُلُوۡہَاۤ اِلَّا خَآئِفِیۡنَ ۬ؕ لَہُمۡ  فِی الدُّنۡیَا خِزۡیٌ وَّ لَہُمۡ فِی الۡاٰخِرَۃِ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalangi orang yang menyebut nama-Nya di dalam mesjid-mesjid Allah dan berupaya merobohkannya? Mereka itu tidak layak masuk ke dalamnya kecuali dengan rasa takut.  Bagi mereka ada kehinaan di dunia,  dan bagi mereka azab yang besar di akhirat. (Al-Baqarah [2]:115).
Firman-Nya lagi:
اُذِنَ لِلَّذِیۡنَ یُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّہُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَ اِنَّ  اللّٰہَ  عَلٰی  نَصۡرِہِمۡ  لَقَدِیۡرُۨ  ﴿ۙ ﴾  الَّذِیۡنَ اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ  بِغَیۡرِ  حَقٍّ اِلَّاۤ  اَنۡ یَّقُوۡلُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ؕ وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ صَوَامِعُ وَ بِیَعٌ وَّ صَلَوٰتٌ وَّ مَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ کَثِیۡرًا ؕ وَ لَیَنۡصُرَنَّ اللّٰہُ مَنۡ یَّنۡصُرُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿ ﴾
Diizinkan berperang bagi mereka yang telah diperangi, karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.   Yaitu orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa haq  hanya karena mereka berkata: “Rabb (Tuhan) kami Allah.” Dan seandainya Allah tidak menangkis sebagian manusia oleh sebagian yang lain niscaya akan hancur  biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama  Allah, dan  Allah pasti akan menolong siapa yang menolong-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa. (Al-Hājj [22]:40-41). 

Perintah Ilahi Mengumumkan “Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili  Telah Wafat” & Makar Buruk Terhadap Pendiri Jemaat Ahmadiyah.

     Bukti lainnya bahwa Mirza Ghulam Ahmad a.s. adalah “seorang laki-laki” jantan yang “datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:21-28), yaitu  ketika  beliau mendapat pemberitahuan dari Allah Swt. bahwa berdasarkan Al-Quran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili telah wafat (QS.3: 56; QS.5:117-119; QS.21:35 ) dan yang dimaksud dengan kedatangannya lagi adalah kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israli (QS.43:58),  maka  dengan berani Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengemukakan tentang telah wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili tersebut serta mendakwakan dirinya sebagai Al-Masih Mau’ud  (Al-Masih yang Dijanjikan).
    Bagaimana hal tersebut tidak  merupakan bukti bahwa  Mirza Ghulam Ahmad a.s. adalah “seorang laki-laki” jantan yang “datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:21-28)? Sebab mengumumkan pemberitahuan Allah Swt.  -- bahwa berdasarkan Al-Quran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili telah wafat (QS.3:56; QS.5:117-119; QS.21:35) -- tersebut berati telah menempatkan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut pada posisi sangat berbahaya,  karena:
 (1) Pendakwaan  tersebut bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pemerintah kerajaan Inggris yang sedang berkuasa di Hindustan mengenai “Ketuhanan Yesus Kristus”.
 (2) Pendakwaan tersebut bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh umumnya umat Islam yang mempercayai bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili masih hidup di langit dan akan datang lagi di Akhir Zaman untuk memenangkan agama Islam atas semua agama lainnya.
 Pendakwaan yang sangat  bertentangan dengan  kepercayaan yang dianut oleh pemerintahan  Inggris di Hindustan dan kepercayaan umumnya umat Islam berkenaan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili tersebut benar-benar telah menimbulkan  persekongkolan makar buruk antara  seorang pendeta Kristen terkenal saat itu, DR. Martin Clark dengan   para pemuka agama Islam di Hindustan, terutama Maulvi Muhammad Hussein  Batalwi, seorang pemuka Islam Hindustan yang paling depan dalam melakukan penentangan terhadap pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s..  dengan berbagai fatwa yang sangat keji mengenai Pendiri jemaat Ahmadiyah dan Jemaat beliau (Jemaat Ahmadiyah).
   Ada pun persekongkolan makar buruk tersebut adalah berupa pengakuan  dusta seorang Muslim yang bernama Abdul Hamid bahwa ia mengaku disuruh  oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. untuk membunuh. Akibat pengakuan dusta tersebut  atas  pengaduan pendeta DR. Martin Clark telah memaksa  Pendiri Jemaat Ahmadiyah harus menghadiri sidang upaya pembunuhan,   yang apabila tuduhan tersebut benar adanya maka   tuntutannya adalah hukuman mati.
 Ketika waktu persidangan di pengadilan tiba waktunya, yang memimpin sidang adalah seorang bangsa Inggris bernama  Kapten Douglas. Ketika acara sidang akan dimulai terjadi hal yang sangat menakjubkan, yakni hakim tersebut telah mempersilakan Mirza Ghulam Ahmad a.s. untuk duduk di sebuah kursi, padahal pada saat itu tidak sembarangan orang yang berada di ruangan sidang mendapat kursi  untuk duduk, apalagi seorang yang berstatus “tersangka”.

Kehinaan Berbalik Menimpa Diri Mlv. Muhammad Hussein Batalwi  & Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. Dalam Buku “Kisyti Nuh” (Bahtera Nuh)

    Melihat kenyataan yang diluar dugaan tersebut, Mlv. Muhammad Hussein Batalwi – yang ketika itu hadir sebagai saksi yang akan menguatkan tuduhan terhadap Mirza Ghulam Ahmad a.s. dengan memakai  semacam jubah kebesaran -- meminta kepada Hakim agar dirinya pun mendapat kursi duduk. Tetapi permintaannya tersebut bukannya dikabulkan, melainkan ia mendapat bentakan sang Hakim  dengan  mengatakan bahwa ia tidak memiliki hak untuk duduk di kursi pada sidang Pengadilan tersebut.
   Dengan demikian kehinaan yang diharapkannya akan dialami oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.  pada persidangan  di pengadilan tersebut telah berbalik menimpa ulama Hindustan tersebut. Dan yang jauh lebih menyakitkan hati mereka itu adalah bahwa Kapten Douglas telah menolak semua tuduhan  upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.. dan membebaskan beliau a.s. dan semua tuduhan dusta tersebut, karena akhirnya Abdul Hamid  mengaku bahwa  pengakuan dustanya tersebut dilakukan atas permintaan  pendeta DR. Martin Clark bersekongkol dengan Mlv. Muhammad Hussein Batalwi. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt.:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗۤ اُولٰٓئِکَ فِی  الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿﴾  کَتَبَ اللّٰہُ  لَاَغۡلِبَنَّ  اَنَا وَ  رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  قَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina.   Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku  pasti akan menang.”  Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. (Al-Mujādilah [58]:21-22).
  Berikut adalah penuturan Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengenai peristiwa tersebut dalam buku beliau Kisyti Nuh (Bahteranya):
        “Sebagaimana di dalam perkara Al-Masih, ‘alim-ulama Yahudi tampil untuk memberi kesaksian, misalnya di dalam perkara ini pun ada beberapa di antara alim-ulama memberi kesaksian. Untuk pekerjaan ini Allah Ta’ala telah memilih Maulvi Muhammad Hussain Batalwi, yang datang untuk memberi kesaksian seraya mengenakan jubah yang terjuntai panjang sekali.
      Sebagaimana halnya Kepala Imam (Kepala Pendeta Yahudi) telah datang untuk memberi kesaksian  supaya Al-Masih dinaikkan ke tiang salib, demikian pula hal serupa itu pun telah terjadi. Bedanya hanyalah Kepala Imam mendapat kursi di dalam majlis pengadilan Pilatus, sebab para pemerintahan kerajaan Romawi orang-orang terkemuka dari bangsa Yahudi biasa mendapat kursi, dan beberapa di antara mereka pun ada pula yang menjadi hakim (magistrate) kehormatan. Oleh karena itulah menurut tata-tertib pengadilan Kepala Imam itu disediakan kursi, sedangkan Al-Masih Ibnu Maryam disuruh berdiri di hadapan meja pengadilan sebagai seorang tertuduh.
    Akan tetapi di dalam perkaraku  keadaan terjadi sebaliknya. Yakni, bertolak-belakang dengan harapan pihak lawan, Kapten Douglas – yang penampilannya menyerupai tokoh Pilatus – duduk di atas kursi hakim, telah menawarkan kursi kepada saya.   “Pilatus” ini ternyata lebih berakhlak daripada Pilatus Masih Ibnu Maryam, sebab ia menunjukkan keberanian dan kegigihan menegakkan tata-tertib pengadilan di dalam urusan peradilan.
        Tetapi ia sedikit pun tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi dari atasan, dan pertimbangan yang menyangkut kebangsaan dan agama tidak menimbulkan perubahan sikap di dalam dirinya. Ia memperlihatkan suatu teladan yang baik dalam menjalankan peradilan dengan penuh ketabahan demikian rupa, sehingga andaikan pribadinya dianggap sebagai tokoh kebanggaan bangsanya dan suri teladan bagi para hakim maka hal itu bukan tidak pada tempatnya.
        Peradilan adalah suatu perkara pelik. Selama orang menduduki kursi jabatan hakim tetapi tidak mengesampingkan segela perhubungan, selama itu ia tidak akan dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi kami memberi kesaksian yang benar, bahwa “Pilatus” yang ini telah melaksanakan kewajibannya dengan sepenuhnya.  Kendatipun Pilatus pertama orang Romawi, namun ia tidak menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Saking takutnya ia membuat Al-Masih sasaran kesusahan-kesusahan besar.
      Perbedaan ini patut untuk diperingati selama-lamanya di kalangan Jemaat kita sepanjang dunia ini masih berwujud. Selama seruan Jemaat ini mencapai ratusan ribu dan jutaan pribadi, selama itu hakim yang berniat shalih ini akan senantiasa diperingati dengan penuh pujian. Dan hal itu merupakan keberuntungannya yang baik, karena Tuhan telah memilih dia untuk mengemban tugas itu.
     Betapa besar ujian bagi seorang hakim, ketika dihadapkan kepadanya dua golongan:   satu golongan di antaranya adalah penganjur agamanya sendiri, dan golongan lainnya (tertuduh) adalah seorang lawan agamanya, lagi diterangkan kepadanya orang itu (tertuduh) adalah lawan sengit agamanya. Akan tetapi “Pilatus” yang pemberani itu telah mengatasi ujian tersebut dengan sangat tabah, sementara kepadanya ditunjukkan tempat pada kitab-kitab saya yang di dalamnya terdapat baris-baris – di mana dari kekurang-fahamannya kata-katanya dapat dianggap menyerang agama Kristen dengan sangat tajam. Lagi pula itu ditampilkan dengan suatu cara yang tidak bersahabat.
       Akan tetapi wajahnya tidak menampakkan perubahan sekelumit pun, sebab  dikarenakan oleh hati-nuraninya yang jernih ia telah sampai kepada hakikat, dan karena ia telah mencari pangkal perkara itu dengan hati lurus, oleh karena itulah Tuhan telah membantunya. Dia telah mengilhamkan kebenaran kepada hatinya, lalu kepadanya dibukakan hakikat yang sebenarnya dan ia sangat gembira sekali bahwa ia telah melihat jalan keadilan. Dia memberikan kursi kepadaku   bertentangan dengan keinginan  penuduh, hanya semata-mata demi keadilan.
       Sedangkan tatkala Maulvi Muhammad Hussain – yang seperti halnya Kepala Imam Yahudi – datang untuk memberi kesaksian yang berlawanan, ia mendapati saya didudukan di atas kursi, dan tidak tampak kepadanya perlakuan penghinaan yang didambakan matanya untuk menyaksikan diri saya memperoleh kehinaan. Kemudian, karena menganggap dirinya sederajat ia pun menghendaki kursi dari “Pilatus” ini Akan tetapi “Pilatus” ini menghardiknya, dan dengan nada keras berkata,  bahwa dia dan bapaknya belum pernah mendapat  hak-kursi (kehormatan), lagi tidak ada petunjuk dari jawatannya untuk menyediakan kursi bagi dia.

Persamaan Pendapat  Pilatus Pertama dan “Pilatus” Terakhir

      Kini, perbedaan tersebut patut direnungkan, bahwa Pilatus pertama dari takutnya kepada orang-orang Yahudi telah menyediakan kursi bagi beberapa saksinya yang terhormat, sedangkan Hadhrat Al-Masih yang dihadapkan sebagai seorang tertuduh dibiarkan saja berdiri. Padahal di dalam hatinya yang jujur ia (Pilatus) menaruh rasa-kasih kepada Al-Masih, bahkan seolah-olah seperti muridnya; dan  istrinya sendiri adalah murid istimewa Al-Masih yang disebut waliullah.
       Akan tetapi rasa takut telah menyebabkan dia mengambil tindakan demikian jauh, sehingga tanpa hak telah menyerahkan Al-Masih yang tak berdosa itu ke tangan orang-orang Yahudi, padahal bukan tuduhan  seperti yang dituduhkan kepadaku,   yaitu membunuh seseorang, melainkan hanyalah hal biasa mengenai perbedaan faham tentang agama. Akan tetapi Pilatus yang bangsa Romawi itu tidak mempunyai hati yang kuat. Ia menjadi ketakutan ketika didengarnya bahwa ia akan diadukan kepada Kaisar.
     Kemudian ada satu lagi perbandingan antara Pilatus  pertama dan “Pilatus  ini yang patut diperingati: Ketika Masih Ibnu Maryam dihadapkan ke muka pengadilan, Pilatus pertama berkata kepada orang-orang Yahudi, bahwa ia tidak melihat di dalam diri Al-Masih suatu kesalahan. Begitu pula ketika Al-Masih terakhir ini di hadapkan kepada “Pilatus  terakhir tersebut, dan ketika  Al-Masih ini berkata, “Seyogianya kepada saya diberikan tenggang waktu selama beberapa hari untuk memberikan jawaban atas tuduhan pembunuhan itu”, maka “Pilatus” terakhir ini berkata bahwa ia tidak  menuduh apa pun kepadaku. 
     Ucapan kedua-dua Pilatus ini benar-benar mengandung persamaan di antara satu dengan yang lain. Seandainya pun ada perbedaan maka hal itu hanyalah bahwa Pilatus pertama tidak dapat memegang teguh ucapannya, sehingga ketika dikatakan kepadanya bahwa mereka akan mengadukan halnya kepada Kaisar lalu ia menjadi ketakutan dan ia dengan sengaja menyerahkan Hadhrat Al-Masih a.s. kepada orang-orang Yahudi yang haus darah itu, walaupun penyerahan yang dilakukannya itu dilakukan dengan hati yang sedih, dan istrinya pun berduka-cita pula, sebab kedua-duanya sangat percaya kepada Al-Masih. Akan tetapi ketika dilihatnya orang-orang Yahudi sangat gaduh dan ribut ia dikuasai oleh sifat pengecut.
      Ya, memang secara sembunyi-sembunyi ia berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Al-Masih dari tiang salib, dan ia pun telah berhasil dari usahanya itu. Akan tetapi setelah itu Al-Masih telah dinaikkan di atas kayu salib dan dari sakitnya yang bukan alang kepalang ia sampai kepada keadaan pingsan yang demikian rupa parahnya, sehingga ia seakan-akan merupakan maut (kematian) juga keadaannya.
      Namun bagaimana pun juga, karena upaya Pilatus Romawi tersebut maka jiwa Al-Masih Ibnu Maryam telah selamat.  Sedangkan guna keselamatan jiwanya sedah sejak sebelumnya doa Al-Masih terkabul. Silakan lihat Perjanjian Baru, Surat kiriman kepada orang-orang Iberani, bab 5 ayat 7.[1]  Setelah itu Al-Masih a.s. melarikan diri dari wilayah itu secara sembunyi-sembunyi dan sampailah di Kasymir, di sanalah beliau wafat (QS.23:51).
     Anda sekalian telah mendengar bahwa kuburan beliau terletak di desa Khan Yar, Srinagar. Semua itu adalah hasil upaya Pilatus. Kendati pun aktivitas Pilatus pertama tidak luput dari aneka-ragam kepengecutan, akan tetapi jika ia menghargai ucapannya sendiri yang menyatakan ia tidak melihat suatu kesalahan pada diri orang ini (Al-Masih) maka baginya tidaklah sulit untuk membebaskan Al-Masih, sementara ia berkewenangan untuk membebaskannya. Akan tetapi ketika mendengar teriakan orang-orang akan mengadukannya kepada Kaisar ia menjadi ketakutan.
      Namun “Pilatus” terakhir ini tidak takut kepada para pendeta, padahal pada peristiwa ini pun yang memegang tahta adalah seorang kaisar perempuan, tetapi kaisar perempuan ini jauh lebih baik daripada kaisar yang dahulu. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi siapa pun untuk menekan seorang hakim dan melepaskan keadilan menghantui kaisar perempuan itu.

“Duel Makar”

       Bagaimana pun dibandingkan dengan peristiwa Al-Masih pertama, terhadap Al-Masih terakhir ini kegaduhan dan makar (konspirasi) banyak ditimbulkan. Sedangkan lawan saya dan segala pemimpin bangsa telah berkumpul. Akan tetapi “Pilatus” terakhir ini cinta kebenaran, dan ia memperlihatkan keteguhan dalam memegang pernyataannya dengan mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak menuduh saya melakukan pembunuhan.
      Jadi, ia telah membebaskan saya dengan sangat mulus dan jantan, sedangkan Pilatus pertama telah bekerja dengan memakai kelihaian untuk menyelamatkan Al-Masih. Akan tetapi “Pilatus” ini pada hari ketika saya dibebaskan telah memenuhi tuntutan yang seyogianya dikehendaki dalam sidang pengadilan, dengan cara yang tidak diwarnai kepengecutan.
      Pada hari itu pun seorang pencuri – yang adalah seorang anggota Bala Keselamatan – di hadapkan ke muka pengadilan. Hal demikian terjadi karena berbarengan dengan Al-Masih pertama pun ada seorang pencuri yang dihadapkan. Pencuri  yang tertangkap bersamaaan dengan Al-Masih terakhir ini tidak dinaikkan ke  palang salib dan tulang-tulangnya tidak dipatahkan seperti dialami oleh pencuri yang ditangkap bersama-sama dengan Al-Masih pertama, melainkan dipenjarakan tiga bulan.” (Kisyti NuhBahtera Nuh).
      Jadi, betapa  seorang laki-laki pemberani” dari kalangan umat Islam yang “datang  berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. --  telah dibebaskan secara murni dari segala tuduhan dusta  melakukan upaya pembunuhan oleh “seorang laki-laki pemberani” dari kalangan lawan agamanya, yakni Kapten Dauglas. Benarlah firman Allah Swt. berikut ini tentang  makar buruk  para penentang terhadap  Al-Masih Ibnu Maryam a.s.:
فَلَمَّاۤ  اَحَسَّ عِیۡسٰی مِنۡہُمُ الۡکُفۡرَ قَالَ مَنۡ اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ اَنۡصَارُ اللّٰہِ ۚ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ ۚ وَ اشۡہَدۡ بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ  اٰمَنَّا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتَ وَ اتَّبَعۡنَا الرَّسُوۡلَ فَاکۡتُبۡنَا مَعَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾  وَ مَکَرُوۡا وَ مَکَرَ اللّٰہُ ؕ وَ اللّٰہُ خَیۡرُ الۡمٰکِرِیۡنَ ﴿٪﴾
Maka tatkala  Isa merasa   ada  kekafiran pada mereka yakni kaumnya ia berkata: Siapakah penolong-penolongku  dalam urusan Allah?” Para hawari berkata: “Kamilah  para penolong urusan Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah  diri “Ya Rabb (Tuhan) kami, kami beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti Rasul ini maka catatlah kami bersama   orang-orang yang menjadi saksi.”  Dan mereka,  yakni musuh Al-Masih, merancang makar  buruk  dan Allah pun merancang makar  tandingan  dan Allah sebaik-baik Perancang makar.  (Ali ‘Imrān [3]:53-55).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,   18 Januari      2014



[1]) Al-Masih sendiri berkata bagai nubuwatan, bahwa kecuali  Tanda Nabi Yunus, tiada tanda lain  lagi yang akan diperlihatkan. Pendeknya, di dalam ucapan itu Al-Masih mengisyaratkan bahwa, “Sebagaimana halnya Yunus dalam keadan hidup masuk ke dalam perut ikan dan dalam keadaan hidup pula keluar, demikian pula halnya aku akan masuk hidup-hidup dalam kuburan dan akan keluar dalam keadaan masih hidup”. Jadi tanda ini selain keadaan demikian – Al-Masih diturunkan dari salib dalam keadaan hidup dan dimasukkan ke dalam kuburan dalam keadaan  hidup – betapa dapat menjadi kenyataan. Dan demikianlah yang dikatakan Hadhrat Al-Masih bahwa tidak ada tanda lain lagi yang akan diperlihatkan. Di dalam kalimat itu seakan-akan Al-Masih menyangkal perkataan orang-orang bahwa Al-Masih telah memperlihatkan Tanda dengan kenaikannya ke langit (Pen.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar