بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani
Surah Shād
Bab
155
Keberanian
Seorang “Laki-laki” yang Muncul di Hindustan
Dalam Menegakkan Haq (Kebenaran)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
P
|
ada akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai alasan-alasan mengapa orang-orang
Islam terpaksa mengangkat senjata,
firman-Nya:
وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ
صَوَامِعُ وَ بِیَعٌ وَّ صَلَوٰتٌ وَّ مَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ
کَثِیۡرًا ؕ
“Dan seandainya Allah tidak menangkis sebagian
manusia oleh sebagian yang lain
niscaya akan hancur biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadah, dan masjid-masjid yang
di dalamnya banyak disebut nama Allah” (Al-Hājj [22]:41).
Tujuan izin
berperang dalam Islam sekali-kali
bukan untuk merampas hak orang-orang lain atas rumah dan milik mereka, atau merampas
kemerdekaan mereka serta memaksa
mereka tunduk kepada kekuasaan asing,
atau untuk menjajagi pasar-pasar yang
baru atau memperoleh tanah-tanah
jajahan baru, seperti telah diusahakan oleh kekuasaan negara-negara kuat dari barat.
Yang dimaksudkan ialah mengadakan
perang semata-mata untuk membela diri dan untuk menyelamatkan Islam dari kemusnahan, dan untuk menegakkan kebebasan berpikir; begitu juga untuk membela tempat-tempat peribadatan yang
dimiliki oleh agama-agama lain — gereja-gereja, rumah-rumah peribadatan Yahudi (sinagog), kuil-kuil, biara-biara,
dan sebagainya (QS.2:194; QS.2:257; QS.8:40 dan QS.8:73).
Larangan Keras Menyegel dan
Merusak Tempat-tempat Ibadah
Jadi tujuan pertama dan terutama dari perang-perang yang dilancarkan oleh Islam di masa yang lampau -- dan selamanya di masa yang akan datang
pun -- ialah menegakkan kebebasan beragama dan beribadah serta berperang membela
negeri, kehormatan, dan
kemerdekaan terhadap serangan tanpa
dihasut. Apakah ada alasan untuk berperang yang lebih baik daripada ini?
Kembali kepada masalah mubahalah
(tanding doa) dan larangan Allah Swt.
melakukan penyegelan dan merusak tempat-tempat peribadahan,
jelaslahlah bahwa melakukan mubahalah
(pertandingan doa) -- bukan menyegel
atau merusak tempat peribadahan – itulah yang diizinkan Allah Swt. dan merupakan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw., jika dialog keagamaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berbeda pendapat tidak menemui kesepakatan, sebab mengenai tindakan merusak tempat peribadahan – walau pun
melakukannya dengan mengatas namakan JIHAD sambil mengucapkan ALLAHU AKBAR --
Allah Swt. mencelanya dengan
keras, bahkan telah mengutuk mereka
yang melakukannya, firman-Nya:
وَ مَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنۡ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰہِ اَنۡ
یُّذۡکَرَ فِیۡہَا اسۡمُہٗ وَ سَعٰی فِیۡ خَرَابِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ مَا کَانَ
لَہُمۡ اَنۡ یَّدۡخُلُوۡہَاۤ اِلَّا خَآئِفِیۡنَ ۬ؕ لَہُمۡ فِی الدُّنۡیَا خِزۡیٌ وَّ لَہُمۡ فِی
الۡاٰخِرَۃِ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalangi orang yang menyebut nama-Nya di
dalam mesjid-mesjid Allah dan berupaya
merobohkannya? Mereka itu
tidak layak masuk ke dalamnya
kecuali dengan rasa takut. Bagi mereka ada kehinaan di dunia, dan
bagi mereka azab yang besar di akhirat.
(Al-Baqarah
[2]:115).
Firman-Nya lagi:
اُذِنَ لِلَّذِیۡنَ یُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّہُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ
عَلٰی نَصۡرِہِمۡ لَقَدِیۡرُۨ
﴿ۙ ﴾ الَّذِیۡنَ
اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ
بِغَیۡرِ حَقٍّ اِلَّاۤ اَنۡ یَّقُوۡلُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ؕ وَ لَوۡ
لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ صَوَامِعُ وَ
بِیَعٌ وَّ صَلَوٰتٌ وَّ مَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ کَثِیۡرًا ؕ وَ
لَیَنۡصُرَنَّ اللّٰہُ مَنۡ یَّنۡصُرُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿ ﴾
Diizinkan berperang bagi mereka yang telah diperangi, karena mereka telah dizalimi, dan
sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.
Yaitu
orang-orang yang telah diusir dari
rumah-rumah mereka tanpa haq hanya karena
mereka berkata: “Rabb (Tuhan)
kami Allah.” Dan seandainya
Allah tidak menangkis sebagian manusia oleh sebagian yang lain niscaya akan hancur
biara-biara, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadah, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, dan Allah
pasti akan menolong siapa yang
menolong-Nya, sesungguhnya Allah
Maha Kuasa, Maha Perkasa. (Al-Hājj
[22]:40-41).
Perintah Ilahi Mengumumkan “Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili Telah Wafat” & Makar Buruk Terhadap Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
Bukti lainnya bahwa Mirza Ghulam Ahmad a.s. adalah “seorang
laki-laki” jantan yang “datang
berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:21-28), yaitu ketika
beliau mendapat pemberitahuan
dari Allah Swt. bahwa berdasarkan Al-Quran Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. Israili telah wafat
(QS.3: 56; QS.5:117-119; QS.21:35 ) dan yang dimaksud dengan kedatangannya lagi adalah kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israli (QS.43:58), maka
dengan berani Mirza Ghulam
Ahmad a.s. mengemukakan tentang telah
wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili
tersebut serta mendakwakan dirinya
sebagai Al-Masih Mau’ud (Al-Masih yang Dijanjikan).
Bagaimana hal tersebut tidak merupakan bukti
bahwa Mirza Ghulam Ahmad a.s. adalah “seorang
laki-laki” jantan yang “datang
berlari-lari dari bagian terjauh kota itu” (QS.36:21-28)? Sebab mengumumkan pemberitahuan Allah Swt. -- bahwa berdasarkan Al-Quran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili telah wafat (QS.3:56; QS.5:117-119; QS.21:35) --
tersebut berati telah menempatkan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut pada posisi sangat berbahaya, karena:
(1) Pendakwaan tersebut bertentangan
dengan kepercayaan yang dianut oleh pemerintah kerajaan Inggris yang sedang berkuasa di Hindustan mengenai “Ketuhanan
Yesus Kristus”.
(2) Pendakwaan tersebut bertentangan dengan kepercayaan
yang dianut oleh umumnya umat Islam yang mempercayai bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili masih hidup di langit
dan akan datang lagi di Akhir Zaman
untuk memenangkan agama Islam atas semua agama lainnya.
Pendakwaan yang sangat bertentangan dengan kepercayaan
yang dianut oleh pemerintahan Inggris di Hindustan dan kepercayaan umumnya umat Islam berkenaan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili tersebut
benar-benar telah menimbulkan
persekongkolan makar buruk
antara seorang pendeta Kristen terkenal saat itu, DR. Martin Clark dengan para pemuka agama Islam di Hindustan, terutama Maulvi
Muhammad Hussein Batalwi, seorang
pemuka Islam Hindustan yang paling depan
dalam melakukan penentangan terhadap pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s.. dengan berbagai fatwa yang sangat keji
mengenai Pendiri jemaat Ahmadiyah dan
Jemaat beliau (Jemaat Ahmadiyah).
Ada pun persekongkolan makar buruk tersebut adalah berupa pengakuan dusta seorang Muslim yang bernama Abdul Hamid bahwa ia mengaku disuruh oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. untuk membunuh. Akibat pengakuan dusta tersebut atas
pengaduan pendeta DR. Martin Clark telah memaksa Pendiri
Jemaat Ahmadiyah harus menghadiri sidang
upaya pembunuhan, yang apabila tuduhan tersebut benar adanya maka
tuntutannya adalah hukuman mati.
Ketika waktu persidangan di pengadilan
tiba waktunya, yang memimpin sidang adalah seorang bangsa Inggris bernama Kapten Douglas. Ketika acara sidang akan
dimulai terjadi hal yang sangat menakjubkan, yakni hakim tersebut telah mempersilakan Mirza Ghulam Ahmad a.s. untuk duduk di sebuah kursi, padahal pada saat itu tidak
sembarangan orang yang berada di ruangan sidang mendapat kursi untuk duduk, apalagi seorang yang berstatus “tersangka”.
Kehinaan Berbalik Menimpa Diri Mlv.
Muhammad Hussein Batalwi &
Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. Dalam Buku “Kisyti Nuh” (Bahtera Nuh)
Melihat kenyataan yang diluar dugaan tersebut, Mlv. Muhammad Hussein Batalwi – yang ketika
itu hadir sebagai saksi yang akan
menguatkan tuduhan terhadap Mirza Ghulam Ahmad a.s. dengan
memakai semacam jubah kebesaran -- meminta
kepada Hakim agar dirinya pun mendapat kursi
duduk. Tetapi permintaannya tersebut bukannya dikabulkan, melainkan ia mendapat bentakan sang Hakim dengan mengatakan bahwa ia tidak memiliki hak untuk duduk di kursi pada sidang Pengadilan tersebut.
Dengan demikian kehinaan yang diharapkannya akan dialami oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. pada
persidangan di pengadilan tersebut telah berbalik menimpa ulama Hindustan tersebut. Dan yang jauh lebih menyakitkan hati mereka itu adalah bahwa Kapten Douglas telah menolak
semua tuduhan upaya pembunuhan
yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.. dan membebaskan beliau a.s. dan semua tuduhan dusta tersebut, karena akhirnya Abdul Hamid mengaku
bahwa pengakuan dustanya tersebut dilakukan atas permintaan pendeta DR.
Martin Clark bersekongkol dengan Mlv. Muhammad Hussein Batalwi. Dengan demikian
benarlah firman Allah Swt.:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗۤ اُولٰٓئِکَ فِی
الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿﴾ کَتَبَ اللّٰہُ لَاَغۡلِبَنَّ
اَنَا وَ رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ قَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina. Allah
telah menetapkan: “Aku dan
rasul-rasul-Ku pasti
akan menang.” Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha
Perkasa. (Al-Mujādilah [58]:21-22).
Berikut
adalah penuturan Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengenai peristiwa tersebut dalam buku
beliau Kisyti Nuh (Bahteranya):
“Sebagaimana di dalam perkara Al-Masih, ‘alim-ulama Yahudi tampil untuk memberi kesaksian, misalnya di dalam perkara ini
pun ada beberapa di antara alim-ulama
memberi kesaksian. Untuk pekerjaan
ini Allah Ta’ala telah memilih Maulvi
Muhammad Hussain Batalwi, yang datang untuk memberi kesaksian seraya mengenakan jubah
yang terjuntai panjang sekali.
Sebagaimana halnya Kepala Imam (Kepala Pendeta Yahudi)
telah datang untuk memberi kesaksian
supaya Al-Masih dinaikkan ke tiang salib, demikian pula hal serupa
itu pun telah terjadi. Bedanya hanyalah Kepala
Imam mendapat kursi di dalam majlis pengadilan Pilatus, sebab para
pemerintahan kerajaan Romawi orang-orang terkemuka dari bangsa Yahudi biasa mendapat kursi,
dan beberapa di antara mereka pun ada pula yang menjadi hakim (magistrate) kehormatan. Oleh karena itulah menurut
tata-tertib pengadilan Kepala Imam
itu disediakan kursi, sedangkan Al-Masih Ibnu Maryam disuruh berdiri di hadapan meja pengadilan
sebagai seorang tertuduh.
Akan tetapi di dalam perkaraku keadaan terjadi
sebaliknya. Yakni, bertolak-belakang dengan harapan pihak lawan, Kapten
Douglas – yang penampilannya menyerupai tokoh Pilatus – duduk di atas kursi hakim, telah menawarkan kursi kepada saya. “Pilatus” ini ternyata lebih berakhlak
daripada Pilatus Masih Ibnu Maryam,
sebab ia menunjukkan keberanian dan kegigihan menegakkan tata-tertib pengadilan di dalam urusan peradilan.
Tetapi ia sedikit
pun tidak mengindahkan
rekomendasi-rekomendasi dari atasan, dan pertimbangan yang menyangkut kebangsaan dan agama tidak menimbulkan perubahan
sikap di dalam dirinya. Ia memperlihatkan suatu teladan yang baik dalam menjalankan peradilan dengan penuh ketabahan
demikian rupa, sehingga andaikan pribadinya dianggap sebagai tokoh kebanggaan bangsanya dan suri
teladan bagi para hakim maka hal
itu bukan tidak pada tempatnya.
Peradilan adalah suatu perkara pelik. Selama
orang menduduki kursi jabatan hakim
tetapi tidak mengesampingkan segela perhubungan,
selama itu ia tidak akan dapat menjalankan kewajibannya
dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi kami memberi kesaksian yang benar, bahwa “Pilatus” yang ini telah melaksanakan
kewajibannya dengan sepenuhnya.
Kendatipun Pilatus pertama
orang Romawi, namun ia tidak menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Saking takutnya ia membuat Al-Masih sasaran kesusahan-kesusahan
besar.
Perbedaan ini patut
untuk diperingati selama-lamanya di kalangan Jemaat kita sepanjang dunia ini
masih berwujud. Selama seruan Jemaat ini mencapai ratusan ribu dan jutaan
pribadi, selama itu hakim yang berniat
shalih ini akan senantiasa diperingati
dengan penuh pujian. Dan hal itu
merupakan keberuntungannya yang baik,
karena Tuhan telah memilih dia untuk mengemban tugas itu.
Betapa besar ujian bagi seorang hakim, ketika dihadapkan kepadanya dua golongan: satu
golongan di antaranya adalah penganjur
agamanya sendiri, dan golongan lainnya (tertuduh) adalah seorang lawan agamanya, lagi diterangkan
kepadanya orang itu (tertuduh) adalah lawan
sengit agamanya. Akan tetapi “Pilatus” yang pemberani itu telah
mengatasi ujian tersebut dengan
sangat tabah, sementara kepadanya
ditunjukkan tempat pada kitab-kitab saya
yang di dalamnya terdapat baris-baris – di mana dari kekurang-fahamannya
kata-katanya dapat dianggap menyerang
agama Kristen dengan sangat tajam. Lagi pula itu ditampilkan dengan suatu cara yang tidak bersahabat.
Akan tetapi wajahnya
tidak menampakkan perubahan sekelumit pun, sebab dikarenakan oleh hati-nuraninya yang
jernih ia telah sampai kepada hakikat, dan karena ia telah mencari pangkal perkara itu dengan hati lurus, oleh karena itulah Tuhan telah membantunya. Dia telah mengilhamkan
kebenaran kepada hatinya, lalu kepadanya dibukakan hakikat yang
sebenarnya dan ia sangat gembira
sekali bahwa ia telah melihat jalan keadilan.
Dia memberikan kursi kepadaku bertentangan dengan keinginan penuduh, hanya semata-mata demi keadilan.
Sedangkan tatkala Maulvi Muhammad Hussain – yang seperti
halnya Kepala Imam Yahudi – datang untuk memberi kesaksian yang berlawanan, ia mendapati
saya didudukan di atas kursi, dan
tidak tampak kepadanya perlakuan
penghinaan yang didambakan matanya untuk menyaksikan diri saya memperoleh kehinaan. Kemudian, karena menganggap
dirinya sederajat ia pun menghendaki kursi dari “Pilatus” ini Akan tetapi
“Pilatus” ini menghardiknya, dan
dengan nada keras berkata, bahwa dia dan
bapaknya belum pernah mendapat hak-kursi
(kehormatan), lagi tidak ada petunjuk dari jawatannya untuk menyediakan kursi bagi dia.
Persamaan Pendapat Pilatus Pertama dan “Pilatus” Terakhir
Kini, perbedaan
tersebut patut direnungkan, bahwa Pilatus
pertama dari takutnya kepada orang-orang Yahudi telah menyediakan kursi bagi beberapa saksinya yang terhormat, sedangkan Hadhrat Al-Masih yang dihadapkan sebagai seorang tertuduh dibiarkan saja berdiri. Padahal di dalam hatinya yang jujur ia (Pilatus) menaruh rasa-kasih kepada Al-Masih, bahkan seolah-olah seperti muridnya; dan istrinya
sendiri adalah murid istimewa
Al-Masih yang disebut waliullah.
Akan
tetapi rasa takut telah menyebabkan
dia mengambil tindakan demikian jauh,
sehingga tanpa hak telah menyerahkan Al-Masih yang tak berdosa itu ke tangan orang-orang
Yahudi, padahal bukan tuduhan seperti yang dituduhkan kepadaku, yaitu membunuh seseorang, melainkan hanyalah hal biasa mengenai perbedaan faham tentang
agama. Akan tetapi Pilatus yang
bangsa Romawi itu tidak mempunyai hati yang kuat. Ia menjadi ketakutan ketika didengarnya bahwa ia
akan diadukan kepada Kaisar.
Kemudian ada satu lagi
perbandingan antara Pilatus pertama dan “Pilatus” ini yang patut
diperingati: Ketika Masih Ibnu Maryam
dihadapkan ke muka pengadilan, Pilatus
pertama berkata kepada orang-orang Yahudi,
bahwa ia tidak melihat di dalam diri
Al-Masih suatu kesalahan. Begitu pula ketika Al-Masih terakhir ini di hadapkan kepada “Pilatus” terakhir tersebut,
dan ketika Al-Masih ini berkata, “Seyogianya
kepada saya diberikan tenggang waktu selama beberapa hari untuk memberikan
jawaban atas tuduhan pembunuhan itu”, maka “Pilatus” terakhir ini berkata
bahwa ia tidak menuduh apa pun kepadaku.
Ucapan kedua-dua Pilatus ini benar-benar mengandung persamaan
di antara satu dengan yang lain. Seandainya pun ada perbedaan maka hal itu hanyalah bahwa Pilatus pertama tidak dapat memegang teguh ucapannya, sehingga
ketika dikatakan kepadanya bahwa mereka akan mengadukan halnya kepada Kaisar
lalu ia menjadi ketakutan dan ia
dengan sengaja menyerahkan Hadhrat
Al-Masih a.s. kepada orang-orang Yahudi yang haus darah itu, walaupun penyerahan yang
dilakukannya itu dilakukan dengan hati
yang sedih, dan istrinya pun
berduka-cita pula, sebab kedua-duanya sangat
percaya kepada Al-Masih. Akan
tetapi ketika dilihatnya orang-orang
Yahudi sangat gaduh dan ribut ia dikuasai oleh sifat pengecut.
Ya, memang secara sembunyi-sembunyi ia berusaha keras untuk
menyelamatkan nyawa Al-Masih dari tiang salib, dan ia pun telah berhasil dari usahanya itu. Akan tetapi
setelah itu Al-Masih telah dinaikkan
di atas kayu salib dan dari sakitnya
yang bukan alang kepalang ia sampai kepada keadaan pingsan yang demikian
rupa parahnya, sehingga ia seakan-akan merupakan maut (kematian) juga keadaannya.
Namun bagaimana pun
juga, karena upaya Pilatus Romawi tersebut maka jiwa Al-Masih Ibnu Maryam telah selamat. Sedangkan guna keselamatan jiwanya sedah
sejak sebelumnya doa Al-Masih terkabul. Silakan lihat Perjanjian Baru,
Surat kiriman kepada orang-orang Iberani, bab 5 ayat 7.[1] Setelah itu Al-Masih a.s. melarikan diri dari
wilayah itu secara sembunyi-sembunyi dan sampailah di Kasymir, di sanalah beliau wafat
(QS.23:51).
Anda sekalian telah mendengar bahwa kuburan beliau terletak di desa Khan Yar, Srinagar. Semua itu adalah hasil upaya Pilatus. Kendati pun
aktivitas Pilatus pertama tidak luput
dari aneka-ragam kepengecutan, akan tetapi jika ia menghargai ucapannya
sendiri yang menyatakan ia tidak melihat
suatu kesalahan pada diri orang
ini (Al-Masih) maka baginya tidaklah sulit untuk membebaskan Al-Masih, sementara ia berkewenangan untuk membebaskannya. Akan tetapi ketika
mendengar teriakan orang-orang akan
mengadukannya kepada Kaisar ia
menjadi ketakutan.
Namun “Pilatus” terakhir ini tidak takut kepada para pendeta, padahal pada peristiwa ini pun
yang memegang tahta adalah seorang kaisar perempuan, tetapi kaisar perempuan ini jauh lebih baik daripada kaisar yang dahulu. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi siapa pun
untuk menekan seorang hakim dan melepaskan keadilan menghantui kaisar
perempuan itu.
“Duel Makar”
Bagaimana pun dibandingkan dengan peristiwa Al-Masih
pertama, terhadap Al-Masih terakhir ini kegaduhan dan makar
(konspirasi) banyak ditimbulkan. Sedangkan lawan saya dan segala pemimpin bangsa telah berkumpul. Akan
tetapi “Pilatus” terakhir ini cinta kebenaran, dan ia memperlihatkan keteguhan dalam memegang pernyataannya
dengan mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak menuduh saya melakukan pembunuhan.
Jadi, ia telah membebaskan saya dengan sangat mulus dan jantan, sedangkan Pilatus pertama telah bekerja dengan memakai kelihaian untuk menyelamatkan Al-Masih. Akan tetapi “Pilatus” ini pada hari ketika saya dibebaskan telah memenuhi tuntutan yang seyogianya dikehendaki
dalam sidang pengadilan, dengan cara yang tidak diwarnai kepengecutan.
Pada hari itu pun
seorang pencuri – yang adalah seorang
anggota Bala Keselamatan – di hadapkan ke muka pengadilan. Hal demikian terjadi
karena berbarengan dengan Al-Masih
pertama pun ada seorang pencuri yang
dihadapkan. Pencuri yang tertangkap
bersamaaan dengan Al-Masih terakhir
ini tidak dinaikkan ke palang salib dan tulang-tulangnya tidak
dipatahkan seperti dialami oleh pencuri
yang ditangkap bersama-sama dengan Al-Masih
pertama, melainkan dipenjarakan tiga bulan.” (Kisyti Nuh – Bahtera
Nuh).
Jadi, betapa “seorang
laki-laki pemberani” dari kalangan umat
Islam yang “datang berlari-lari dari bagian terjauh kota itu”
– yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.
-- telah dibebaskan secara murni
dari segala tuduhan dusta melakukan upaya pembunuhan oleh “seorang
laki-laki pemberani” dari kalangan lawan
agamanya, yakni Kapten Dauglas.
Benarlah firman Allah Swt. berikut ini tentang
makar buruk para penentang terhadap Al-Masih
Ibnu Maryam a.s.:
فَلَمَّاۤ اَحَسَّ
عِیۡسٰی مِنۡہُمُ الۡکُفۡرَ قَالَ مَنۡ اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ
الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ اَنۡصَارُ اللّٰہِ ۚ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ ۚ وَ اشۡہَدۡ بِاَنَّا
مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اٰمَنَّا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتَ وَ اتَّبَعۡنَا
الرَّسُوۡلَ فَاکۡتُبۡنَا مَعَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَکَرُوۡا وَ مَکَرَ اللّٰہُ ؕ وَ اللّٰہُ خَیۡرُ الۡمٰکِرِیۡنَ ﴿٪﴾
Maka tatkala Isa merasa
ada kekafiran pada mereka yakni
kaumnya ia berkata: ”Siapakah penolong-penolongku dalam urusan Allah?” Para hawari
berkata: “Kamilah para penolong urusan Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. “Ya Rabb (Tuhan) kami, kami beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti Rasul ini maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi.” Dan
mereka, yakni musuh
Al-Masih, merancang makar buruk dan Allah
pun merancang makar tandingan dan Allah
sebaik-baik Perancang makar. (Ali
‘Imrān [3]:53-55).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Januari 2014
[1]) Al-Masih sendiri berkata bagai nubuwatan, bahwa
kecuali Tanda Nabi Yunus, tiada tanda
lain lagi yang akan diperlihatkan.
Pendeknya, di dalam ucapan itu Al-Masih mengisyaratkan bahwa, “Sebagaimana
halnya Yunus dalam keadan hidup masuk ke dalam perut ikan dan dalam keadaan hidup
pula keluar, demikian pula halnya aku akan masuk hidup-hidup dalam kuburan dan
akan keluar dalam keadaan masih hidup”. Jadi tanda ini selain keadaan demikian
– Al-Masih diturunkan dari salib dalam keadaan hidup dan dimasukkan ke dalam
kuburan dalam keadaan hidup – betapa
dapat menjadi kenyataan. Dan demikianlah yang dikatakan Hadhrat Al-Masih bahwa
tidak ada tanda lain lagi yang akan diperlihatkan. Di dalam kalimat itu seakan-akan
Al-Masih menyangkal perkataan orang-orang bahwa Al-Masih telah memperlihatkan
Tanda dengan kenaikannya ke langit (Pen.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar