Senin, 10 November 2014

Pentingnya Menaiki "Bahtera Syariat Islam" Dalam Menempuh Suluk (Perjalanan Ruhani) Guna Meraih "Fana, Baqa, dan Liqa'ilLaah"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   352

Pentingnya  Menaiki “Bahtera Syariat Islam” Dalam Menempuh Suluk (Perjalanan Ruhani) Guna Meraih  Fana, Baqa dan Liqa’ilLāh

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan ayat  mengenai  para “pewaris” Al-Quran  dan tiga tingkatan  jalan ruhani atau suluk yaitu Ammarah, Lawwāmah, dan Muthmainnah. Mengisyaratkan kepada ketiga tingkatan suluk (perjalanan ruhani) itu pulalah firman Allah Swt. mengenai keadaan para pewaris Al-Quran, firman-Nya: 
ثُمَّ  اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ  الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾  
Kemudian Kitab itu Kami   wariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami, maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya, dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah, dan dari antara mereka ada yang    unggul dalam kebaikan dengan izin Allah, itu adalah  karunia yang sangat besar. (Al-Fāthir [35]:33).
       Menurut ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan peperangan yang sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (QS.12:54) serta mengamalkan peniadaan diri (fana) secara mutlak. Itulah makna فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ   -- “maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya”. Itulah  peperangan sengit melawan hawa-nafsu pada tingkatan nafs  al- Ammarah.

Tujuan Nabi Yusuf a.s. Meminta Raja Mesir Mengungkap “Kasus Pemenjaraan” beliau

      Manusia tidak akan dapat mengatasi keadaan nafs-al- Ammarah – yang keadaannya bagaikan dahsyatnya  banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s. (QS.11:26-50)   kecuali  menaiki “bahtera syariatIslam (Al-Quran – QS.3:20 & 86; QS.3:32-33; QS.4:70-71; QS.33:22). Mengenai  hal tersebut  berikut adalah ucapan Nabi Yusuf a.s. mengenai hal tersebut,  berkenaan beratnya godaan melawan rayuan istri majikannya di Mesir bersama para perempuan lainnya,  firman-Nya:
وَ  قَالَ الۡمَلِکُ ائۡتُوۡنِیۡ بِہٖ ۚ فَلَمَّا جَآءَہُ الرَّسُوۡلُ قَالَ ارۡجِعۡ  اِلٰی رَبِّکَ فَسۡـَٔلۡہُ مَا بَالُ النِّسۡوَۃِ  الّٰتِیۡ قَطَّعۡنَ اَیۡدِیَہُنَّ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ بِکَیۡدِہِنَّ عَلِیۡمٌ ﴿﴾  قَالَ مَا خَطۡبُکُنَّ  اِذۡ  رَاوَدۡتُّنَّ یُوۡسُفَ عَنۡ نَّفۡسِہٖ ؕ قُلۡنَ حَاشَ لِلّٰہِ  مَا عَلِمۡنَا عَلَیۡہِ مِنۡ سُوۡٓءٍ ؕ قَالَتِ امۡرَاَتُ الۡعَزِیۡزِ الۡـٰٔنَ حَصۡحَصَ الۡحَقُّ ۫ اَنَا رَاوَدۡتُّہٗ عَنۡ  نَّفۡسِہٖ  وَ  اِنَّہٗ   لَمِنَ  الصّٰدِقِیۡنَ ﴿﴾
Dan raja Mesir itu berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepadanya, ia, Yusuf, berkata: ارۡجِعۡ  اِلٰی رَبِّکَ فَسۡـَٔلۡہُ مَا بَالُ النِّسۡوَۃِ  الّٰتِیۡ قَطَّعۡنَ اَیۡدِیَہُنَّ -- “Kembalilah kepada rabb (majikan) engkau dan  tanyakanlah kepadanya, bagaimana  keadaan para perempuan yang telah mengerat tangan mereka sendiri,  اِنَّ رَبِّیۡ بِکَیۡدِہِنَّ عَلِیۡمٌ  -- sesungguhnya Rabb-Ku (Tuhan-ku) Maha Mengetahui rencana tipu daya mereka.”  Ia, raja itu, berkata kepada para perempuan itu: “Bagaimana  keadaan kamu yang sebenarnya, ketika ka-mu menggoda Yusuf berlawanan dengan kehendaknya?”  Mereka menjawab: “Ia menjauhkan diri dari dosa karena takut kepada Allah, kami se-kali-kali tidak mengetahui adanya se-suatu keburukan padanya.” قَالَتِ امۡرَاَتُ الۡعَزِیۡزِ الۡـٰٔنَ حَصۡحَصَ الۡحَقُّ --  Istri Aziz itu berkata: “Sekarang kebenaran itu telah menjadi nyata, اَنَا رَاوَدۡتُّہٗ عَنۡ  نَّفۡسِہٖ  وَ  اِنَّہٗ   لَمِنَ  الصّٰدِقِیۡنَ  -- akulah yang telah menggoda dia  berlawanan dengan kehendaknya, dan sesungguhnya ia ter-masuk  orang-orang yang benar.” (Yusuf [12]:51-52).
         Menyadari bahwa Nabi Yusuf a.s.   itu bukanlah orang biasa, maka raja kerajaan Mesir  itu bermaksud membebaskan beliau dari penjara (QS.12:31-50) seketika itu juga. Tetapi Nabi Yusuf a.s.   menolak untuk dibebaskan dari penjara sebelum diadakan pemeriksaan lengkap mengenai perkara (kasus) beliau, dan sebelum beliau terbukti bersih dari tuduhan yang dikenakan kepada beliau.
        Tujuan Nabi Yusuf a.s. dalam menuntut agar diadakan pemeriksaan oleh raja itu  agaknya ada dua:
        Pertama, supaya raja dapat mengetahui bahwa beliau tidak bersalah, sehingga di hari kemudian pikiran raja tidak dapat diracuni oleh orang-orang yang bersikap tidak baik terhadap beliau atas dasar tuduhan-tuduhan yang karenanya beliau dipenjarakan.
   Kedua, supaya Potifar, pelindungnya yang telah membeli beliau dan memeliharanya di  istananya, jangan lagi mempunyai kesan bahwa Nabi Yusuf a.s.  terbukti tidak setia (berkhianat) kepadanya.
         Kata-kata  قَالَ مَا خَطۡبُکُنَّ  اِذۡ  رَاوَدۡتُّنَّ یُوۡسُفَ عَنۡ نَّفۡسِہٖ  -- “Ia, raja itu, berkata kepada para perempuan itu: “Bagaimana  keadaan kamu yang sebenarnya, ketika kamu menggoda Yusuf berlawanan dengan kehendaknya?” menunjukkan, bahwa peristiwa perempuan-perempuan yang mengerat tangan sendiri   -- karena merasa takjub akan keanggunan  dan ketampanan Nabi Yusuf a.s. -- itu benar-benar telah terjadi; jika tidak demikian Nabi Yusuf a.s. tidak mungkin menyebutkannya.
       Baik karena tercengang atau karena asyiknya bercakap-cakap, beberapa dari antara mereka dengan tidak sengaja mengiris tangannya. Atau kata-kata itu mungkin berarti, bahwa dengan melancarkan tuduhan palsu terhadap Nabi Yusuf a.s., perempuan-perempuan telah mengerat tangannya sendiri, artinya mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri dalam kedudukan yang tidak benar
       Tetapi seandainya hal itu tidak pernah terjadi, niscaya Nabi Yusuf a.s. tidak akan menyinggung tentang “mengiris tangan” itu. Hāsya lillāhi berarti pula na’udzu billāhi (kami berlindung kepada  Allah) atau alangkah jauhnya Allah dari segala aib (Lexicon Lane).

 Ucapan Nabi Yusuf a.s. Mengenai Keadaan Nafs-al-Ammarah

      Lebih lanjut Nabi Yusuf a.s. menjelaskan tujuan pentingnya kasus beliau diselesaikan secara tuntas, sebelum beliau menjabat suatu  kedudukan penting di kerajaan Mesir,  agar tidak menjadi komoditi fitnah dari pihak-pihak yang tidak menyukai beliau,  firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  لَا یَہۡدِیۡ  کَیۡدَ  الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿﴾  وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Penyelidikan  itu supaya ia yakni Aziz mengetahui bahwa aku tidak mengkhianatinya pada waktu ia tidak ada, dan sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan tipu daya orang yang khianat itu berhasil,  وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ   --  “dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan manusiawi, sesungguhnya nafsu ammarah itu benar-benar senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Rabb-ku (Tuhan-ku),  sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:53-54).
        Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan:
      (a) “Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang”, huruf  di sini menggantikan kata nafs.
      (b) “Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang”,  di sini berarti man (siapa).
      (c) “Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya”.
     Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia, yakni (1)  nafs-al Ammarrah, (memerintah kepada keburukan) (2) nafs-al-Lawwamah (nafs yang mencela diri) dan nafs al-Muthmainnah  (nafs  yang tentram), atau  mengisyaratkan kepada  ketiga keadaan  suluk (perjalanan ruhani) yaitu  (1) fana, (2) baqa dan (3) liqa’ilLah (QS.2:113).
        Arti pertama  -- “Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang” -- menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs-al muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28). 
     Arti kedua   -- “Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang  -- dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya.
    Arti ketiga – “Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya” -- dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. 
       Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan), yang tidak aka nada orang yang mampu melampaui kehebatan keadaan nafs-al-Ammarah ini  yang  bagaikan “banjir dahsyat” di zaman Nabi Nuh a.s., kecuali orang-orang yang Allah Swt. melimpahkan kasih-sayang kepada mereka (QS.12:54).

Kedahsyatan  Banjir  di Zaman Nabi Nuh a.s.

        Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalahlah  jawaban   Nabi Nuh a.s. ketika beliau mengajak anak laki-lakinya  yang menolak   ikut-serta bersama beliau naik ke dalam  “bahtera” (perahu) dengan mengatakan bahwa ia akan mencari perlindungan dari banjir dahsyat dengan cara mendaki gunung, firman-Nya: 
وَ قَالَ ارۡکَبُوۡا فِیۡہَا بِسۡمِ اللّٰہِ مَ‍‍جۡؔرٖىہَا وَ مُرۡسٰىہَا ؕ اِنَّ رَبِّیۡ لَغَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ  ﴿﴾ وَ ہِیَ تَجۡرِیۡ بِہِمۡ فِیۡ مَوۡجٍ کَالۡجِبَالِ ۟  وَ نَادٰی نُوۡحُۨ  ابۡنَہٗ وَ کَانَ فِیۡ  مَعۡزِلٍ    یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ لَا تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ سَاٰوِیۡۤ  اِلٰی جَبَلٍ یَّعۡصِمُنِیۡ  مِنَ الۡمَآءِ ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ  الۡیَوۡمَ  مِنۡ  اَمۡرِ اللّٰہِ  اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ ۚ وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ  فَکَانَ  مِنَ  الۡمُغۡرَقِیۡنَ  ﴿﴾ وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ الۡمَآءُ     وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی الۡجُوۡدِیِّ  وَ قِیۡلَ بُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ia (Nuh) berkata: “Naiklah ke atasnya, dengan nama Allah berlayarnya dan berlabuhnya, sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha Pengampun, Maha Penyayang.”   Dan bahtera itu melaju dengan  membawa mereka di tengah gelombang seperti gunung, dan Nuh berseru kepada anaknya  yang senantiasa berada di tempat terpisah:  یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ لَا تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ -- “Hai anakku, naiklah beserta kami dan janganlah engkau termasuk orang-orang kafir.”  قَالَ سَاٰوِیۡۤ  اِلٰی جَبَلٍ یَّعۡصِمُنِیۡ  مِنَ الۡمَآءِ  --  Ia menjawab: “Aku segera akan mencari sendiri perlindungan ke sebuah gunung  yang akan menjagaku dari air itu.” قَالَ لَا عَاصِمَ  الۡیَوۡمَ  مِنۡ  اَمۡرِ اللّٰہِ  اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ  --  Ia, Nuh berkata: “Tidak ada tempat berlindung pada hari ini bagi seorang pun dari perintah Allah, kecuali bagi orang yang Dia kasihani.” وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ  فَکَانَ  مِنَ  الۡمُغۡرَقِیۡنَ     -- Lalu gelombang menjadi penghalang di antara keduanya  maka ja-dilah ia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.  وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ الۡمَآءُ  --  dan difirmankan:  “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit, hentikanlah hujan.” Maka air pun  surut   وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی الۡجُوۡدِیِّ  وَ قِیۡلَ بُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ  الظّٰلِمِیۡنَ  -- dan perintah itu selesai,   dan bahtera itu pun berlabuh di atas Al-Judi.  dan dikatakan: “Kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim!”  (Hud [11]:42-45).

Tiga Keadaan Para “Pewaris” Al-Quran

     Jadi, kembali kepada hamba-hamba  yang dipilih Allah Swt. sebagai para “pewaris” Al-Quran,  sehubungan dengan ayat فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ   -- “maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya” serta hubungannya  dengan pentingnya menaiki “bahtera syariat Islam” (Al-Quran) agar selamat dari keadaan  nafs-al-Ammarah yang keadaannya  seperti banjir dahsyat di zaman Nabi Nuh a.s.,  firman-Nya: 
ثُمَّ  اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ  الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾  
Kemudian Kitab itu Kami   wariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami, maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya, dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah, dan dari antara mereka ada yang    unggul dalam kebaikan dengan izin Allah, itu adalah  karunia yang sangat besar. (Al-Fāthir [35]:33).
     Menurut ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan peperangan yang sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (QS.12:54) serta mengamalkan peniadaan diri (fana) secara mutlak. Itulah makna فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ   -- “maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya”. Itulah  peperangan sengit melawan hawa-nafsu pada tingkatan nafs  al- Ammarah, yang keadaannya bagikan banjir dahsyat di zaman Nabi Nuh a.s..
        Pendek kata, manusia tidak akan dapat mengatasi keadaan nafs-al- Ammarah – yang keadaannya bagaikan dahsyatnya  banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s. (QS.11:26-50)    kecuali  menaiki “bahtera syariatIslam (Al-Quran – QS.3:20 & 86; QS.3:32-33; QS.4:70-71; QS.33:22). Itulah makna ayat  ثُمَّ  اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ  -- “Kemudian Kitab itu Kami   wariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami, maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya.   
       Pada tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya  hanya sebagian saja: وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ   --  dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah”, yang disebut  tingkatan nafs  al- Lawwamah (QS.75:3),  dan pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya yang agung itu berlangsung cepat sekali dan merata, itulah makna: وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ  الۡکَبِیۡرُ  - “dan dari antara mereka ada yang    unggul dalam kebaikan dengan izin Allah, itu adalah  karunia yang sangat besar  yang disebut tingkatan nafs  al-Muthmainnah (QS.89:27-29).

(Bersambung

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                              ***
Pajajaran Anyar,  19 Oktober     2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar