بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 352
Pentingnya
Menaiki “Bahtera Syariat Islam”
Dalam Menempuh Suluk (Perjalanan Ruhani)
Guna Meraih Fana, Baqa dan Liqa’ilLāh
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan ayat mengenai
para “pewaris”
Al-Quran dan tiga tingkatan jalan ruhani atau suluk
yaitu Ammarah, Lawwāmah, dan
Muthmainnah. Mengisyaratkan kepada ketiga tingkatan suluk (perjalanan ruhani) itu pulalah
firman Allah Swt. mengenai keadaan para pewaris
Al-Quran, firman-Nya:
ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا
مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ
مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang telah Kami
pilih dari antara hamba-hamba Kami,
maka dari antara mereka sangat zalim
terhadap dirinya, dari antara mereka ada
yang mengambil jalan tengah, dan dari
antara mereka ada yang unggul dalam
kebaikan dengan izin Allah, itu adalah
karunia yang sangat besar.
(Al-Fāthir [35]:33).
Menurut ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada
tingkat pertama ia melancarkan peperangan
yang sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (QS.12:54) serta
mengamalkan peniadaan diri (fana) secara
mutlak. Itulah makna فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- “maka dari antara mereka sangat
zalim terhadap dirinya”. Itulah peperangan sengit melawan hawa-nafsu pada tingkatan nafs
al- Ammarah.
Tujuan Nabi Yusuf a.s. Meminta Raja
Mesir Mengungkap “Kasus Pemenjaraan”
beliau
Manusia tidak akan dapat
mengatasi keadaan nafs-al- Ammarah –
yang keadaannya bagaikan dahsyatnya banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s. (QS.11:26-50)
– kecuali
menaiki “bahtera syariat” Islam (Al-Quran – QS.3:20 & 86;
QS.3:32-33; QS.4:70-71; QS.33:22). Mengenai hal tersebut
berikut adalah ucapan Nabi Yusuf a.s. mengenai hal tersebut, berkenaan beratnya
godaan melawan rayuan istri
majikannya di Mesir bersama para perempuan lainnya, firman-Nya:
وَ قَالَ الۡمَلِکُ ائۡتُوۡنِیۡ بِہٖ ۚ فَلَمَّا
جَآءَہُ الرَّسُوۡلُ قَالَ ارۡجِعۡ اِلٰی
رَبِّکَ فَسۡـَٔلۡہُ مَا بَالُ النِّسۡوَۃِ
الّٰتِیۡ قَطَّعۡنَ اَیۡدِیَہُنَّ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ بِکَیۡدِہِنَّ عَلِیۡمٌ
﴿﴾ قَالَ مَا خَطۡبُکُنَّ اِذۡ
رَاوَدۡتُّنَّ یُوۡسُفَ عَنۡ نَّفۡسِہٖ ؕ قُلۡنَ حَاشَ لِلّٰہِ مَا عَلِمۡنَا عَلَیۡہِ مِنۡ سُوۡٓءٍ ؕ قَالَتِ
امۡرَاَتُ الۡعَزِیۡزِ الۡـٰٔنَ حَصۡحَصَ الۡحَقُّ ۫ اَنَا رَاوَدۡتُّہٗ عَنۡ نَّفۡسِہٖ
وَ اِنَّہٗ لَمِنَ
الصّٰدِقِیۡنَ ﴿﴾
Dan raja Mesir itu berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu
datang kepadanya, ia, Yusuf, berkata: ارۡجِعۡ
اِلٰی رَبِّکَ فَسۡـَٔلۡہُ مَا بَالُ النِّسۡوَۃِ الّٰتِیۡ قَطَّعۡنَ اَیۡدِیَہُنَّ -- “Kembalilah
kepada rabb (majikan) engkau dan tanyakanlah
kepadanya, bagaimana keadaan para perempuan yang telah mengerat
tangan mereka sendiri, اِنَّ رَبِّیۡ
بِکَیۡدِہِنَّ عَلِیۡمٌ -- sesungguhnya
Rabb-Ku (Tuhan-ku) Maha Mengetahui rencana tipu daya mereka.”
Ia, raja itu, berkata kepada para
perempuan itu: “Bagaimana keadaan kamu yang sebenarnya, ketika ka-mu menggoda Yusuf berlawanan
dengan kehendaknya?” Mereka
menjawab: “Ia menjauhkan diri dari dosa karena takut kepada Allah, kami se-kali-kali tidak mengetahui adanya se-suatu keburukan
padanya.” قَالَتِ امۡرَاَتُ الۡعَزِیۡزِ الۡـٰٔنَ حَصۡحَصَ الۡحَقُّ -- Istri Aziz itu berkata: “Sekarang kebenaran itu telah menjadi nyata, اَنَا رَاوَدۡتُّہٗ
عَنۡ نَّفۡسِہٖ وَ
اِنَّہٗ لَمِنَ الصّٰدِقِیۡنَ -- akulah
yang telah menggoda dia berlawanan
dengan kehendaknya, dan sesungguhnya
ia ter-masuk orang-orang yang benar.” (Yusuf
[12]:51-52).
Menyadari bahwa Nabi Yusuf a.s. itu bukanlah orang biasa, maka raja kerajaan Mesir itu bermaksud membebaskan beliau dari penjara (QS.12:31-50) seketika itu juga.
Tetapi Nabi Yusuf a.s. menolak untuk dibebaskan dari penjara sebelum
diadakan pemeriksaan lengkap mengenai
perkara (kasus) beliau, dan sebelum
beliau terbukti bersih dari tuduhan yang dikenakan kepada beliau.
Tujuan Nabi Yusuf a.s. dalam menuntut agar diadakan pemeriksaan oleh raja itu agaknya ada dua:
Pertama, supaya
raja dapat mengetahui bahwa beliau tidak bersalah, sehingga di hari kemudian
pikiran raja tidak dapat diracuni oleh orang-orang yang bersikap tidak baik
terhadap beliau atas dasar tuduhan-tuduhan yang karenanya beliau dipenjarakan.
Kedua, supaya Potifar, pelindungnya yang telah membeli
beliau dan memeliharanya di istananya,
jangan lagi mempunyai kesan bahwa Nabi Yusuf a.s. terbukti tidak setia (berkhianat) kepadanya.
Kata-kata قَالَ مَا خَطۡبُکُنَّ اِذۡ
رَاوَدۡتُّنَّ یُوۡسُفَ عَنۡ نَّفۡسِہٖ -- “Ia, raja itu, berkata kepada
para perempuan itu: “Bagaimana keadaan kamu yang sebenarnya, ketika kamu menggoda Yusuf berlawanan
dengan kehendaknya?” menunjukkan, bahwa peristiwa perempuan-perempuan yang mengerat tangan sendiri -- karena merasa takjub akan keanggunan dan ketampanan
Nabi Yusuf a.s. -- itu benar-benar telah terjadi; jika tidak demikian Nabi
Yusuf a.s. tidak mungkin menyebutkannya.
Baik karena tercengang atau
karena asyiknya bercakap-cakap, beberapa dari antara mereka dengan tidak
sengaja mengiris tangannya. Atau kata-kata itu mungkin berarti, bahwa dengan
melancarkan tuduhan palsu terhadap
Nabi Yusuf a.s., perempuan-perempuan telah mengerat
tangannya sendiri, artinya mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri dalam kedudukan yang tidak benar.
Tetapi seandainya hal itu tidak pernah
terjadi, niscaya Nabi Yusuf a.s. tidak akan menyinggung tentang “mengiris tangan” itu. Hāsya lillāhi
berarti pula na’udzu billāhi (kami berlindung kepada Allah) atau alangkah jauhnya Allah dari
segala aib (Lexicon Lane).
Ucapan Nabi Yusuf a.s. Mengenai
Keadaan Nafs-al-Ammarah
Lebih lanjut Nabi Yusuf a.s.
menjelaskan tujuan pentingnya kasus
beliau diselesaikan secara tuntas, sebelum beliau menjabat suatu kedudukan penting di kerajaan
Mesir, agar tidak menjadi komoditi fitnah dari pihak-pihak yang
tidak menyukai beliau, firman-Nya:
ذٰلِکَ
لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ اللّٰہَ
لَا یَہۡدِیۡ کَیۡدَ الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Penyelidikan
itu supaya ia yakni Aziz
mengetahui bahwa aku tidak mengkhianatinya pada waktu ia
tidak ada, dan sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan tipu daya orang
yang khianat itu berhasil, وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ -- “dan aku
sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan manusiawi,
sesungguhnya nafsu ammarah itu benar-benar senantiasa menyuruh kepada
keburukan, kecuali orang yang
dikasihani oleh Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf
[12]:53-54).
Anak kalimat illa mā rahima rabbi (kecuali orang yang
dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan:
(a) “Kecuali nafs (jiwa) yang
kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang”, huruf mā di sini menggantikan kata nafs.
(b) “Kecuali dia, yang kepadanya
Tuhan-ku berkasih sayang”, mā di
sini berarti man (siapa).
(c) “Memang begitu, tetapi
kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya”.
Ketiga arti tersebut menunjuk
kepada ketiga taraf perkembangan ruhani
manusia, yakni (1) nafs-al Ammarrah, (memerintah kepada keburukan) (2) nafs-al-Lawwamah (nafs yang mencela
diri) dan nafs al-Muthmainnah (nafs
yang tentram), atau
mengisyaratkan kepada ketiga
keadaan suluk (perjalanan ruhani)
yaitu (1) fana, (2) baqa dan (3) liqa’ilLah (QS.2:113).
Arti pertama -- “Kecuali
nafs (jiwa) yang kepadanya
Tuhan-ku berkasih sayang” -- menunjuk kepada taraf ketika manusia telah
mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs-al muthmainnah (jiwa
yang tenteram — QS.89:28).
Arti kedua -- “Kecuali
dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang” -- dikenakan kepada orang yang masih pada
tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3),
ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya,
kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya.
Arti ketiga – “Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa
yang dipilih-Nya” -- dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya.
Tingkatan
ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan), yang
tidak aka nada orang yang mampu melampaui kehebatan
keadaan nafs-al-Ammarah ini yang
bagaikan “banjir dahsyat” di zaman Nabi
Nuh a.s., kecuali orang-orang yang Allah Swt. melimpahkan kasih-sayang kepada mereka (QS.12:54).
Kedahsyatan Banjir
di Zaman Nabi Nuh a.s.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalahlah jawaban Nabi Nuh a.s.
ketika beliau mengajak anak laki-lakinya
yang menolak ikut-serta bersama beliau naik ke dalam “bahtera” (perahu) dengan mengatakan bahwa ia
akan mencari perlindungan dari banjir dahsyat dengan cara mendaki gunung, firman-Nya:
وَ قَالَ
ارۡکَبُوۡا فِیۡہَا بِسۡمِ اللّٰہِ مَجۡؔرٖىہَا وَ مُرۡسٰىہَا ؕ اِنَّ رَبِّیۡ لَغَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ وَ ہِیَ تَجۡرِیۡ بِہِمۡ فِیۡ مَوۡجٍ
کَالۡجِبَالِ ۟ وَ نَادٰی نُوۡحُۨ ابۡنَہٗ وَ کَانَ فِیۡ مَعۡزِلٍ
یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ
لَا تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ سَاٰوِیۡۤ
اِلٰی جَبَلٍ یَّعۡصِمُنِیۡ مِنَ
الۡمَآءِ ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ
الۡیَوۡمَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰہِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ ۚ وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا
الۡمَوۡجُ فَکَانَ مِنَ
الۡمُغۡرَقِیۡنَ ﴿﴾ وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ
یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ الۡمَآءُ وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی
الۡجُوۡدِیِّ وَ قِیۡلَ بُعۡدًا
لِّلۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ia (Nuh)
berkata: “Naiklah ke atasnya, dengan
nama Allah berlayarnya dan berlabuhnya, sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” Dan bahtera itu melaju dengan membawa
mereka di tengah gelombang seperti
gunung, dan Nuh berseru kepada anaknya yang senantiasa berada di tempat terpisah: یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ لَا تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ -- “Hai anakku, naiklah
beserta kami dan janganlah engkau
termasuk orang-orang kafir.” قَالَ سَاٰوِیۡۤ اِلٰی جَبَلٍ
یَّعۡصِمُنِیۡ مِنَ الۡمَآءِ -- Ia menjawab: “Aku segera akan mencari sendiri perlindungan ke sebuah gunung yang akan menjagaku
dari air itu.” قَالَ لَا عَاصِمَ الۡیَوۡمَ
مِنۡ اَمۡرِ اللّٰہِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ -- Ia,
Nuh berkata: “Tidak ada tempat
berlindung pada hari ini bagi seorang pun dari perintah Allah, kecuali bagi
orang yang Dia kasihani.” وَ حَالَ
بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ فَکَانَ مِنَ
الۡمُغۡرَقِیۡنَ -- Lalu gelombang
menjadi penghalang di antara keduanya
maka ja-dilah ia termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan. وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ
الۡمَآءُ -- dan difirmankan: “Hai bumi,
telanlah airmu, dan hai langit,
hentikanlah hujan.” Maka air
pun surut وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی الۡجُوۡدِیِّ وَ قِیۡلَ بُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ -- dan perintah
itu selesai, dan bahtera itu pun berlabuh di atas Al-Judi. dan dikatakan: “Kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim!” (Hud [11]:42-45).
Tiga Keadaan Para “Pewaris” Al-Quran
Jadi,
kembali kepada hamba-hamba yang dipilih
Allah Swt. sebagai para “pewaris”
Al-Quran, sehubungan dengan ayat فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- “maka
dari antara mereka sangat zalim
terhadap dirinya” serta
hubungannya dengan pentingnya menaiki “bahtera syariat Islam” (Al-Quran) agar
selamat dari keadaan nafs-al-Ammarah yang keadaannya seperti banjir
dahsyat di zaman Nabi Nuh a.s., firman-Nya:
ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا
مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ
مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang telah Kami
pilih dari antara hamba-hamba Kami,
maka dari antara mereka sangat zalim
terhadap dirinya, dari antara mereka ada
yang mengambil jalan tengah, dan dari
antara mereka ada yang unggul dalam
kebaikan dengan izin Allah, itu adalah
karunia yang sangat besar.
(Al-Fāthir [35]:33).
Menurut ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia
melancarkan peperangan yang
sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (QS.12:54) serta
mengamalkan peniadaan diri (fana) secara
mutlak. Itulah makna فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- “maka dari antara mereka sangat
zalim terhadap dirinya”. Itulah peperangan sengit melawan hawa-nafsu pada tingkatan nafs
al- Ammarah, yang keadaannya bagikan banjir dahsyat di zaman
Nabi Nuh a.s..
Pendek kata, manusia tidak akan dapat
mengatasi keadaan nafs-al- Ammarah –
yang keadaannya bagaikan dahsyatnya banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s.
(QS.11:26-50) – kecuali
menaiki “bahtera syariat” Islam (Al-Quran – QS.3:20 & 86;
QS.3:32-33; QS.4:70-71; QS.33:22). Itulah makna ayat ثُمَّ
اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ
فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami, maka dari
antara mereka sangat zalim terhadap dirinya.”
Pada tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya hanya sebagian
saja: وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ -- “dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah”, yang disebut tingkatan nafs al- Lawwamah (QS.75:3), dan pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya yang agung itu berlangsung cepat sekali dan merata,
itulah makna: وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ
بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ
الۡکَبِیۡرُ - “dan dari
antara mereka ada yang unggul dalam
kebaikan dengan izin Allah, itu adalah
karunia yang sangat besar” yang disebut tingkatan nafs al-Muthmainnah
(QS.89:27-29).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor:
Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 19 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar