بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab 350
Makna Kedudukan Al-Quran Sebagai Muhaimin
(Penjaga) Kitab-kitab Suci Sebelumnya & Pentingnya Keimanan yang Menyeluruh Kepada Allah
Swt. dan Semua Rasul-Nya
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan ayat mengenai
hamba-hamba Allah yang disebut ‘ulama hakiki dalam
Al-Fāthir [35]:28-29, atau “orang-orang
yang mempergunakan akal” (ulul albāb
– QS.3:191-196) itulah yang akan menjadi para pewaris berbagai khazanah ruhani Al-Quran yang tak terhingga -- terutama para wali Allah dan para mujaddid Islam
yang dibangkitkan di setiap awal abad,
termasuk kepada mujaddid
‘azham yang juga rasul Allah di Akhir Zaman ini (QS.61:10; QS.71:27-29) -- berikut
firman-Nya mengenai para pewaris
hakiki Al-Quran:
ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا
مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ
مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang telah Kami
pilih dari antara hamba-hamba Kami,
maka dari antara mereka sangat zalim
terhadap dirinya, dari antara mereka ada
yang mengambil jalan tengah, dan dari
antara mereka ada yang unggul dalam
kebaikan dengan izin Allah, itu adalah
karunia yang sangat besar.
(Al-Fāthir [35]:33).
Tiga
Tingkatan Keruhanian: Ammarah, Lawwāmah, Muthmainnah
Menurut ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada
tingkat pertama ia melancarkan peperangan
yang sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (QS.12:54) serta
mengamalkan peniadaan diri (fana) secara
mutlak. Itulah makna فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ -- “maka dari antara mereka sangat zalim
terhadap dirinya”. Itulah peperangan sengit melawan hawa-nafsu pada tingkatan nafs
al- Ammarah.
Pada tingkat selanjutnya, kemajuan
ke arah tujuannya hanya sebagian saja: وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ -- “dari
antara mereka ada yang mengambil jalan
tengah”, yang disebut tingkatan nafs
al- Lawwamah (QS.75:3), dan
pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak
sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya
yang agung itu berlangsung cepat
sekali dan merata, itulah makna: وَ مِنۡہُمۡ
سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ الۡکَبِیۡرُ - “dan dari
antara mereka ada yang unggul dalam
kebaikan dengan izin Allah, itu adalah
karunia yang sangat besar” yang disebut tingkatan nafs al-Muthmainnah
(QS.89:27-29).
Mengisyaratkan kepada jihad melawan hawa-nafsu -- yang dalam
istilah para shufi disebut melakukan suluk
(jalan tempuhan ruhani) -- itu pulalah firman Allah Swt. berikut ini dalam
membantah pengakuan dusta golongan Ahli KItab:
وَ قَالُوۡا
لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ
اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ
اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی
٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ
لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka
berkata: ”Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga,
kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” بَلٰی ٭ مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ
لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- Tidak demikian, bahkan yang benar
ialah barangsiapa berserah diri135
kepada Allah, وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ -- dan ia
berbuat ihsan, maka baginya
ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), وَ لَا
خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- tidak ada ketakutan atas mereka
dan tidak pula mereka akan bersedih.
(Al-Baqarah
[112-113).
Tidak Cukup Sekedar Pengakuan Sebagai Yahudi, Nashrani atau Muslim
Orang-orang Yahudi dan Kristen
kedua-duanya berkhayal kosong bahwa
hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat
(keselamatan), padahal di antara mereka sendiri saling menghujat, firman-Nya:
وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ لَیۡسَتِ النَّصٰرٰی عَلٰی شَیۡءٍ ۪ وَّ قَالَتِ
النَّصٰرٰی لَیۡسَتِ الۡیَہُوۡدُ عَلٰی شَیۡءٍ ۙ وَّ ہُمۡ یَتۡلُوۡنَ الۡکِتٰبَ ؕ
کَذٰلِکَ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ مِثۡلَ قَوۡلِہِمۡ ۚ فَاللّٰہُ
یَحۡکُمُ بَیۡنَہُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ فِیۡمَا کَانُوۡا فِیۡہِ یَخۡتَلِفُوۡنَ
﴿﴾
Dan orang-orang Yahudi mengatakan: ”Orang-orang Nasrani sekali-kali tidak
berdiri di atas sesuatu kebenaran,”
dan orang-orang Nasrani mengatakan: ”Orang-orang Yahudi sekali-kali tidak
berdiri di atas sesuatu kebenaran.” وَّ ہُمۡ یَتۡلُوۡنَ
الۡکِتٰبَ -- padahal mereka membaca Kitab yang sama.
کَذٰلِکَ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا
یَعۡلَمُوۡنَ مِثۡلَ قَوۡلِہِمۡ -- demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui berkata seperti
ucapan mereka itu, فَاللّٰہُ یَحۡکُمُ بَیۡنَہُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ فِیۡمَا کَانُوۡا فِیۡہِ
یَخۡتَلِفُوۡنَ -- maka pada Hari Kiamat Allah akan menghakimi di antara mereka tentang apa yang mereka per-selisihkan. (Al-Baqarah [112-113).
Syay’i
dalam ayat
لَیۡسَتِ النَّصٰرٰی عَلٰی شَیۡءٍ وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ berarti: sesuatu; sesuatu
yang baik; kepentingan; apa yang dihendaki (Lexicon Lane). Tidak ada yang lebih asing di dalam jiwa Islam daripada perlawanan terhadap kebenaran.
Agama Islam (Al-Quran) mengajarkan
bahwa semua agama mempunyai kebenaran-kebenaran tertentu, dan suatu agama disebut benar, tidak karena memonopoli
kebenaran, melainkan karena mempunyai
segala kebenaran dan bebas dari
segala bentuk ketidakbenaran.
Jadi, sambil
mengatakan mengenai dirinya sebagai agama
yang sempurna dan lengkap (QS.5:4),
Islam pun dengan terus terang mengakui kebenaran dan kebaikan-kebaikan yang dimiliki oleh agama-agama lain, karena pada hakikatnya Sumber asal agama-agama yang
diturunkan sebelum agama Islam (Al-Quran) tersebut adalah sama dengan Sumber asal agama Islam, yaitu Allah Swt., firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ
اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ
مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ فَاحۡکُمۡ بَیۡنَہُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ وَ لَا
تَتَّبِعۡ اَہۡوَآءَہُمۡ عَمَّا جَآءَکَ مِنَ الۡحَقِّ ؕ لِکُلٍّ جَعَلۡنَا
مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا ؕ وَ لَوۡ
شَآءَ اللّٰہُ لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً وَّ لٰکِنۡ
لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ ؕ اِلَی
اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ فِیۡہِ
تَخۡتَلِفُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Kami telah
menurunkan
Kitab kepada engkau dengan haq
(benar), menggenapi apa yang telah diwahyukan sebelumnya di dalam Alkitab
وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ -- dan
sebagai penjaga atasnya, فَاحۡکُمۡ بَیۡنَہُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ -- maka
hendaklah engkau memutuskan (menghakimi) perkara di antara mereka dengan apa
yang diturunkan Allah, وَ لَا تَتَّبِعۡ اَہۡوَآءَہُمۡ عَمَّا جَآءَکَ مِنَ الۡحَقِّ -- dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka dengan berpaling dari kebenaran yang telah datang kepada engkau.
لِکُلٍّ
جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا --
bagi setiap orang di antara kamu
Kami menetapkan peraturan dan jalan. وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ
لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً وَّ
لٰکِنۡ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ
اٰتٰىکُمۡ -- dan seandainya
Allah menghendaki niscaya Dia akan
menjadikan kamu satu umat, akan tetapi Dia
hendak menguji kamu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kamu, فَاسۡتَبِقُوا
الۡخَیۡرٰتِ -- maka berlomba-lombalah
kamu dalam kebaikan. اِلَی
اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا -- kepada Allah-lah kamu semua akan kembali, فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ
فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ -- lalu
Dia akan memberitahukan kepada kamu
ten-tang apa yang kamu berselisih di dalamnya.
(Al-Maidah
[5]:49).
Makna Al-Quran Sebagai “Muhaimin” Kitab-kitab Suci Sebelumnya
Menurut firman Allah Swt. tersebut bahwa kedudukan
agama Islam dan Al-Quran -- sebagai agama dan Kitab suci terakhir
dan tersempurna (QS.5:4) -- adalah
sebagai muhaimin, yang juga merupakan salah satu Sifat Allah Swt.
(QS.59:23-25).
Muhaimin
berarti: saksi; pemberi rasa aman dan tentram; pengawas dan penilik/pengawas perkara-perkara manusia; penjaga dan pelindung (Lexicon Lane).
Dalam ayat ini Al-Quran disebut penjaga Kitab-kitab pendahulunya, dalam artian bahwa Al-Quran melestarikan semua kebenaran kekal dan bernilai
abadi yang terdapat dalam Kitab-kitab
suci itu, dan menanggalkan
sesuatu yang tidak memiliki unsur keabadian serta tidak mampu memenuhi kebutuhan
umat manusia.
Lagi, Al-Quran
disebut muhaimin (penjaga) Kitab-kitab suci yang terdahulu dalam
artian bahwa Al-Quran menikmati perlindungan Ilahi terhadap pemalsuan, suatu rahmat yang tidak
dianugerahkan kepada Kitab-kitab
yang terdahulu. Dalam makna itulah firman Allah Swt. berikut ini:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ
اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا
نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ اَوۡ مِثۡلِہَا
ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Ayat mana pun yang Kami mansukhkan yakni
batalkan atau Kami biarkan terlupa,
maka Kami datangkan yang lebih baik darinya
atau yang semisalnya. Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguh-nya Allāh Maha Kuasa atas segala
sesuatu? (Al-Baqarah [2]:107).
Ada kekeliruan
dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini, bahwa beberapa ayat Al-Quran telah dimansukhkan
(dibatalkan). Kesimpulan itu jelas salah
dan tidak beralasan serta jahil. Tidak ada sesuatu dalam ayat ini
yang menunjukkan bahwa kata āyah dalam ayat
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰیَۃٍ
-- “Ayat mana pun yang Kami
mansukhkan” maksudnya ayat-ayat Al-Quran.
Dalam ayat sebelum dan sesudahnya
telah disinggung mengenai Ahlul Kitab
dan kedengkian mereka terhadap wahyu baru yang
menunjukkan bahwa āyah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh (batal) menunjuk kepada wahyu-wahyu atau Kitab-kitab
suci terdahulu.
Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa Kitab-kitab Suci
terdahulu mengandung dua macam perintah:
(a) yang menghendaki penghapusan
karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan wahyu baru itu menghendaki pembatalan;
(b) yang mengandung kebenaran
kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan
kembali akan kebenaran yang terlupakan, karena itu perlu sekali menghapuskan
bagian-bagian tertentu Kitab-kitab Suci itu dan mengganti dengan
perintah-perintah baru dan pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah
hilang, maka Allah Swt. menghapuskan beberapa bagian wahyu-wahyu
terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu
memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang
sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran
Al-Quran.
Jadi, Al-Quran yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Besar
Muhammad saw. telah membatalkan semua Kitab Suci sebelumnya, sebab — mengingat keadaan umat manusia telah
berubah — Al-Quran membawa syariat baru
yang bukan saja lebih baik daripada
semua syariat lama, tetapi ditujukan
pula kepada seluruh umat manusia dari
semua zaman. Karena itu sangat wajat
bahwa ajaran yang lebih rendah dengan
lingkup tugas yang terbatas harus memberikan tempatnya kepada ajaran yang
lebih baik dan lebih tinggi
dengan lingkup tugas universal
(QS.7:159; QS.21:108; 25:2; QS.34:29).
Dalam ayat ini kata nansakh (Kami membatalkan) bertalian dengan
kata bi-khairin (yang lebih baik), dan kata nunsiha (Kami biarkan
terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihā (yang semisalnya),
maksudnya bahwa jika Allah Swt. menghapuskan sesuatu maka Dia menggantikannya dengan yang lebih baik, dan bila untuk
sementara waktu Dia membiarkan sesuatu
dilupakan orang, Dia menghidupkannya
kembali pada waktu yang lain. Sebab
diakui oleh ulama-ulama Yahudi
sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi
diangkut sebagai tawanan ke Babil oleh Nebukadnezar (QS.2:103) seluruh Taurat (lima Kitab Nabi Musa a.s.) telah
hilang (Encyclopaedia Biblica).
Demikianlah penjelasan mengenai kedudukan Al-Quran sebagai muhaimin (penjaga) bagi Kitab-kitab suci terdahulu dalam
ayat: وَ
اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ
مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ
-- Dan Kami telah menurunkan Kitab kepada engkau
dengan haq (benar), menggenapi
apa yang telah diwahyukan sebelumnya
di dalam Alkitab, وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ -- dan sebagai penjaga atasnya….(Al-Maidah
[5]:49).
Makna Minhāj
dan Syir’ah
Selanjutnya Allah Swt. dalam ayat
tersebut berfirman: لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا -- bagi setiap orang di antara kamu Kami
menetapkan peraturan dan jalan.”
Syir’ah artinya hukum syariat yang terdiri atas peraturan-peraturan puasa, shalat, naik
haji, dan amal-amal ibadah lainnya; jalan kepercayaan dan perilaku yang nyata
lagi benar (Lexicon Lane).
Minhāj berarti jalan atau lorong yang kentara, jelas sekali lagi terbuka (Lexicon Lane). Al-Mubarrad
berkata, bahwa kata yang pertama (syir’ah) berarti permulaan sebuah jalan, sedangkan kata yang kedua (minhāj)
adalah badan jalan yang telah banyak
dilalui (Fath-ul-Qadir).
Dengan
demikian syir’ah atau syariat
adalah hukum yang terutama
berhubungan dengan keruhanian,
sedangkan minhāj adalah hukum
yang berhubungan dengan urusan duniawi.
Syir’ah berarti juga jalan menuju
ke air. Artinya ialah Allah Swt. memperlengkapi seluruh makhluk-Nya —
menurut kemampuan masing-masing — dengan sarana-sarana
untuk menemukan jalan menuju sumber mata air keruhanian, yakni wahyu Ilahi.
Dari seluruh syir’ah dan minhāj yang
diwahyukan Allah Swt. sebagai “sumber mata air ruhani”, yang
paling sempurna adalah Al-Quran
(agama Islam). Atas dasar kenyataan
itulah Allah Swt. telah berfirman:
اِنَّ الدِّیۡنَ
عِنۡدَ اللّٰہِ الۡاِسۡلَامُ ۟ وَ مَا اخۡتَلَفَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ
اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡعِلۡمُ بَغۡیًۢا بَیۡنَہُمۡ ؕ وَ مَنۡ
یَّکۡفُرۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاِنَّ اللّٰہَ سَرِیۡعُ الۡحِسَابِ ﴿﴾
Sesungguhnya
agama yang benar di sisi Allah adalah Islam,
dan sekali-kali tidaklah berselisih orang-orang yang diberi
Kitab melainkan setelah ilmu datang
kepada mereka karena kedengkian di
antara mereka. Dan barang-siapa
kafir kepada Tanda-tanda Allah maka sesungguh-nya Allah sangat cepat dalam meng-hisab.(Ali ‘Imran [3]:20).
Semua agama senantiasa
menanamkan kepercayaan Tauhid Ilahi
dan kepatuhan kepada kehendak-Nya, sebagaimana sikap Nabi
Ibrahim a.s. (QS.2:131-135), namun demikian hanya dalam Islam sajalah paham kepatuhan kepada kehendak
Ilahi (ke-Muslim-an) mencapai
kesempurnaan (QS.22:78-79), sebab kepatuhan
sepenuhnya kepada Allah Swt. meminta
pengejewantahan penuh Sifat-sifat Allah Swt., dan hanya pada ajaran Islam (Al-Quran) sajalah pe-ngenjewantahan
demikian telah terjadi. Jadi dari semua tatanan
keagamaan hanya Islam sajalah yang berhak disebut agama Tuhan pribadi (agama Allah) dalam
arti yang sebenarnya.
Semua agama yang benar, lebih atau kurang, dalam bentuknya yang asli adalah agama Islam, sedang para pengikut agama-agama itu adalah Muslim
dalam arti kata secara harfiah,
tetapi nama Al-Islam tidak
diberikan sebelum tiba saat bila agama
menjadi lengkap dalam segala ragam seginya (QS.5:4; QS.22:78-79), karena nama (Islam/Muslim) tersebut dicadangkan untuk syariat yang terakhir dan mencapai kesempurnaan dalam Al-Quran, firman-Nya:
اَلۡیَوۡمَ اَکۡمَلۡتُ لَکُمۡ دِیۡنَکُمۡ
وَ اَتۡمَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ نِعۡمَتِیۡ وَ رَضِیۡتُ لَکُمُ الۡاِسۡلَامَ دِیۡنًا
…..
Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kamu bagimu, te-lah Kulengkapkan nikmat-Ku atas kamu, dan telah
Kusukai Islam sebagai agama bagimu….
(Al-Maidah
[5]:4).
Pentingnya Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw. dan Memeluk Agama Islam
Lebih lanjut Allah Swt. menegaskan mengenai pentingnya menjadikan agama Islam sebagai syir’ah dan minhāj,
firman-Nya:
وَ مَنۡ
یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی
الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
کَیۡفَ
یَہۡدِی اللّٰہُ قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ
اِیۡمَانِہِمۡ وَ شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ
جَزَآؤُہُمۡ اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ
اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ﴾ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا
ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا
ہُمۡ یُنۡظَرُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan barangsiapa
mencari agama yang bukan agama
Islam, maka agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi. Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka
beriman, dan mereka telah menjadi
saksi pula bahwa sesungguhnya
rasul itu benar, dan juga
telah datang kepada mereka
bukti-bukti yang nyata? وَ
اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الظّٰلِمِیۡنَ -- dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum
yang zalim. اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ اَنَّ
عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ -- Mereka inilah orang-orang yang atas mereka balasannya adalah
laknat Allah, malaikat dan manusia
seluruhnya. خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ
الۡعَذَابُ وَ لَا ہُمۡ یُنۡظَرُوۡنَ -- mereka kekal di dalamnya, azab
tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan di-beri tangguh, (Ali ‘Imran [3]:86-89).
Tentu saja suatu kaum yang mula-mula beriman
kepada kebenaran seorang nabi Allah dan
menyatakan keimanan mereka kepada nabi Allah itu secara terang-terangan
dan menjadi saksi atas Tanda-tanda Ilahi tetapi kemudian menolaknya karena takut kepada manusia atau karena pertimbangan duniawi lainnya, mereka kehilangan segala hak untuk mendapat lagi petunjuk kepada jalan yang
lurus.
Atau, ayat itu dapat pula
mengisyaratkan kepada mereka yang beriman
kepada para nabi terdahulu tetapi menolak beriman kepada Nabi Besar
Muhammad saw., padahal Allah Swt. melarang
membeda-bedakan para rasul Allah (QS.2:285-287), dan dilarang mengambil “jalan tengah” --
dengan menyatakan “tidak beriman” tetapi “tidak menolak” --
sebab sikap munafik seperti
itu merupakan kekafiran yang sebenarnya, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ
یَکۡفُرُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّفَرِّقُوۡا بَیۡنَ
اللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ یَقُوۡلُوۡنَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٍ وَّ نَکۡفُرُ بِبَعۡضٍ ۙ
وَّ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یَّتَّخِذُوۡا بَیۡنَ ذٰلِکَ سَبِیۡلًا ﴿﴾ۙ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡکٰفِرُوۡنَ حَقًّا ۚ وَ اَعۡتَدۡنَا لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابًا مُّہِیۡنًا ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ لَمۡ یُفَرِّقُوۡا بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ
اُولٰٓئِکَ سَوۡفَ یُؤۡتِیۡہِمۡ اُجُوۡرَہُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾٪
Sesungguhnya orang-orang
yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya,
dan mereka ingin mem-beda-bedakan antara
Allah dan Rasul-rasul-Nya, mereka mengatakan: وَ یَقُوۡلُوۡنَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٍ وَّ
نَکۡفُرُ بِبَعۡضٍ ۙ وَّ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یَّتَّخِذُوۡا بَیۡنَ ذٰلِکَ سَبِیۡلًا -- “Kami
beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian lain”
serta mereka ingin mengambil jalan tengah di antara hal demikian itu, اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡکٰفِرُوۡنَ حَقًّا - mereka
itulah orang-orang yang sebenar-benarnya
kafir, وَ اَعۡتَدۡنَا
لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابًا مُّہِیۡنًا -- dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang
kafir azab yang menghinakan. وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ
رُسُلِہٖ وَ لَمۡ یُفَرِّقُوۡا بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ ا -- Dan orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya
serta tidak membedakan seorang pun di
antara mereka, اُولٰٓئِکَ سَوۡفَ
یُؤۡتِیۡہِمۡ اُجُوۡرَہُمۡ -- kepada mereka inilah Allah segera akan memberikan ganjaran mereka, وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا رَّحِیۡمً -- dan Allah benar-benar Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nisa
[4]:151-153).
Ayat ini
berarti bahwa mereka menerima Tuhan
dan menolak nabi-nabi-Nya; atau menerima beberapa nabi dan menolak yang
lainnya; atau menerima beberapa dakwa seorang nabi dan menolak dakwa lainnya. Keimanan sejati nampak dari penyerahan diri seutuhnya dengan menerima Tuhan dan semua rasul-Nya beserta segala dakwa
mereka. Tak diizinkan mengambil jalan
tengah di antara hal demikian itu.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor:
Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 15 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar