Rabu, 05 November 2014

Makna Kedudukan Al-Quran Sebagai "Muhaimin" (Penjaga) Kitab-kitab Suci Sebelumnya & Pentingnya Keimanan yang Menyeluruh Kepada Allah Swt. dan Semua Rasul-Nya



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم


Khazanah Ruhani Surah  Shād


Bab   350

Makna Kedudukan Al-Quran Sebagai Muhaimin (Penjaga)  Kitab-kitab Suci Sebelumnya  & Pentingnya Keimanan yang Menyeluruh Kepada Allah Swt. dan  Semua  Rasul-Nya

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan ayat  mengenai  hamba-hamba Allah yang disebut ‘ulama hakiki  dalam   Al-Fāthir [35]:28-29, atau “orang-orang yang mempergunakan akal  (ulul albāb – QS.3:191-196) itulah yang akan menjadi para pewaris   berbagai khazanah ruhani Al-Quran  yang tak terhingga  -- terutama para wali Allah dan para mujaddid Islam yang dibangkitkan di setiap awal abad, termasuk  kepada  mujaddid ‘azham yang juga rasul Allah di Akhir Zaman ini  (QS.61:10; QS.71:27-29) --  berikut  firman-Nya mengenai para pewaris hakiki  Al-Quran:
ثُمَّ  اَوۡرَثۡنَا الۡکِتٰبَ الَّذِیۡنَ اصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَا ۚ فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ  الۡکَبِیۡرُ ﴿ؕ﴾  
Kemudian Kitab itu Kami   wariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari antara hamba-hamba Kami, maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya, dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah, dan dari antara mereka ada yang    unggul dalam kebaikan dengan izin Allah, itu adalah  karunia yang sangat besar. (Al-Fāthir [35]:33).

Tiga Tingkatan Keruhanian: Ammarah, Lawwāmah, Muthmainnah

   Menurut ayat tersebut seorang beriman melampaui berbagai tingkat disiplin keruhanian yang ketat. Pada tingkat pertama ia melancarkan peperangan yang sungguh-sungguh terhadap keinginan dan nafsu rendahnya (QS.12:54) serta mengamalkan peniadaan diri (fana) secara mutlak. Itulah makna فَمِنۡہُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ   -- “maka dari antara mereka sangat zalim terhadap dirinya”. Itulah  peperangan sengit melawan hawa-nafsu pada tingkatan nafs  al- Ammarah.
       Pada tingkat selanjutnya, kemajuan ke arah tujuannya  hanya sebagian saja: وَ مِنۡہُمۡ مُّقۡتَصِدٌ   --  dari antara mereka ada yang mengambil jalan tengah”, yang disebut  tingkatan nafs  al- Lawwamah (QS.75:3),  dan pada tingkat terakhir ia mencapai taraf akhlak sempurna, dan kemajuan ke arah tujuannya yang agung itu berlangsung cepat sekali dan merata, itulah makna: وَ مِنۡہُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَیۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ ہُوَ الۡفَضۡلُ  الۡکَبِیۡرُ  - “dan dari antara mereka ada yang    unggul dalam kebaikan dengan izin Allah, itu adalah  karunia yang sangat besar  yang disebut tingkatan nafs  al-Muthmainnah (QS.89:27-29).
        Mengisyaratkan kepada jihad melawan hawa-nafsu   -- yang dalam istilah  para shufi disebut melakukan suluk (jalan tempuhan ruhani) -- itu pulalah firman Allah Swt. berikut ini dalam membantah pengakuan dusta golongan Ahli KItab:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾  بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka berkata:  Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.”  Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar. بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  --  Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa berserah diri135 kepada  Allah,  وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ  --  dan ia berbuat ihsan,     maka baginya ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  --    tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [112-113).

Tidak Cukup Sekedar Pengakuan Sebagai Yahudi, Nashrani atau Muslim

        Orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal kosong bahwa hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat (keselamatan), padahal di antara mereka sendiri saling menghujat, firman-Nya:
وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ  لَیۡسَتِ النَّصٰرٰی عَلٰی شَیۡءٍ ۪ وَّ قَالَتِ النَّصٰرٰی لَیۡسَتِ الۡیَہُوۡدُ عَلٰی شَیۡءٍ ۙ وَّ ہُمۡ یَتۡلُوۡنَ الۡکِتٰبَ ؕ کَذٰلِکَ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ مِثۡلَ قَوۡلِہِمۡ ۚ فَاللّٰہُ یَحۡکُمُ بَیۡنَہُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ فِیۡمَا کَانُوۡا فِیۡہِ یَخۡتَلِفُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang Yahudi mengatakan:  Orang-orang Nasrani sekali-kali  tidak berdiri di atas sesuatu kebenaran,” dan orang-orang Nasrani mengatakan: ”Orang-orang Yahudi sekali-kali tidak berdiri di atas  sesuatu kebenaran.” وَّ ہُمۡ یَتۡلُوۡنَ الۡکِتٰبَ  -- padahal mereka membaca Kitab yang sama.  کَذٰلِکَ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ مِثۡلَ قَوۡلِہِمۡ  -- demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui berkata  seperti ucapan mereka itu, فَاللّٰہُ یَحۡکُمُ بَیۡنَہُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ فِیۡمَا کَانُوۡا فِیۡہِ یَخۡتَلِفُوۡنَ  -- maka pada Hari Kiamat Allah akan menghakimi di antara mereka tentang apa yang mereka per-selisihkan. (Al-Baqarah [112-113).
       Syay’i  dalam ayat  لَیۡسَتِ النَّصٰرٰی عَلٰی شَیۡءٍ وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ    berarti: sesuatu; sesuatu yang baik; kepentingan; apa yang dihendaki (Lexicon Lane). Tidak ada yang lebih asing di dalam jiwa Islam daripada perlawanan terhadap kebenaran. Agama Islam (Al-Quran) mengajarkan bahwa semua agama mempunyai kebenaran-kebenaran tertentu, dan suatu agama disebut benar, tidak karena memonopoli kebenaran, melainkan karena mempunyai segala kebenaran dan bebas dari segala bentuk ketidakbenaran.
        Jadi,    sambil mengatakan mengenai dirinya sebagai agama yang sempurna dan lengkap (QS.5:4),   Islam pun dengan terus terang mengakui kebenaran dan kebaikan-kebaikan yang dimiliki oleh agama-agama lain, karena pada hakikatnya Sumber asal agama-agama   yang diturunkan sebelum  agama Islam (Al-Quran) tersebut adalah sama dengan Sumber asal agama Islam, yaitu Allah Swt., firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ فَاحۡکُمۡ  بَیۡنَہُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ وَ لَا تَتَّبِعۡ اَہۡوَآءَہُمۡ عَمَّا جَآءَکَ مِنَ الۡحَقِّ ؕ لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا ؕ وَ لَوۡ  شَآءَ اللّٰہُ لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً  وَّ لٰکِنۡ  لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ ؕ اِلَی اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ  فِیۡہِ  تَخۡتَلِفُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Kami telah   menurunkan Kitab kepada engkau dengan haq (benar), menggenapi apa yang telah diwahyukan sebelumnya di dalam Alkitab وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ  -- dan sebagai penjaga atasnya,  فَاحۡکُمۡ  بَیۡنَہُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ  -- maka  hendaklah engkau memutuskan  (menghakimi) perkara di antara mereka dengan apa   yang diturunkan Allah,  وَ لَا تَتَّبِعۡ اَہۡوَآءَہُمۡ عَمَّا جَآءَکَ مِنَ الۡحَقِّ  -- dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dengan berpaling dari kebenaran yang telah datang kepada engkau.  لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا   -- bagi setiap orang di antara kamu Kami menetapkan peraturan   dan  jalan.   وَ لَوۡ  شَآءَ اللّٰہُ لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً  وَّ لٰکِنۡ  لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ  -- dan  seandainya Allah menghendaki niscaya Dia akan menjadikan kamu satu umat, akan tetapi Dia hendak menguji kamu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kamu,  فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ  -- maka  berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.  اِلَی اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا  -- kepada Allah-lah kamu semua akan kembali, فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ  فِیۡہِ  تَخۡتَلِفُوۡنَ   -- lalu  Dia akan memberitahukan kepada kamu ten-tang apa yang kamu berselisih di dalamnya. (Al-Maidah [5]:49).

Makna Al-Quran Sebagai “Muhaimin” Kitab-kitab Suci Sebelumnya   

       Menurut  firman Allah Swt. tersebut bahwa  kedudukan   agama Islam dan Al-Quran    -- sebagai agama dan Kitab suci terakhir dan tersempurna (QS.5:4)  -- adalah sebagai  muhaimin, yang juga merupakan salah satu Sifat  Allah Swt. (QS.59:23-25).
      Muhaimin berarti: saksi; pemberi rasa aman dan tentram; pengawas dan penilik/pengawas perkara-perkara manusia; penjaga dan pelindung (Lexicon Lane). Dalam ayat ini Al-Quran disebut penjaga Kitab-kitab pendahulunya,  dalam artian bahwa Al-Quran melestarikan semua kebenaran kekal dan bernilai abadi yang terdapat dalam Kitab-kitab suci  itu,  dan menanggalkan sesuatu yang tidak memiliki unsur keabadian serta tidak mampu memenuhi kebutuhan umat manusia.
       Lagi,  Al-Quran disebut muhaimin (penjaga) Kitab-kitab suci yang terdahulu dalam artian bahwa Al-Quran menikmati perlindungan Ilahi terhadap pemalsuan, suatu rahmat yang tidak dianugerahkan kepada Kitab-kitab yang terdahulu. Dalam makna itulah firman Allah Swt. berikut ini:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ  اَوۡ مِثۡلِہَا ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾
 Ayat mana pun yang Kami mansukhkan   yakni batalkan atau Kami biarkan terlupa, maka Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang semisalnya. Apakah kamu tidak  mengetahui bahwa sesungguh-nya Allāh Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Al-Baqarah [2]:107).
         Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini, bahwa beberapa ayat Al-Quran telah dimansukhkan (dibatalkan). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan serta jahil. Tidak ada sesuatu dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa kata āyah  dalam ayat  مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰیَۃٍ   --  Ayat mana pun yang Kami mansukhkan   maksudnya ayat-ayat Al-Quran.
        Dalam ayat sebelum  dan sesudahnya telah disinggung mengenai Ahlul Kitab dan kedengkian  mereka terhadap wahyu baru yang menunjukkan bahwa āyah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh (batal)  menunjuk kepada wahyu-wahyu atau Kitab-kitab suci terdahulu.
          Dijelaskan  dalam ayat tersebut bahwa Kitab-kitab Suci terdahulu mengandung dua macam perintah:
         (a) yang menghendaki penghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan wahyu baru itu  menghendaki pembatalan;
     (b) yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan, karena itu perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu Kitab-kitab Suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah baru dan pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang, maka Allah Swt. menghapuskan beberapa bagian wahyu-wahyu terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran Al-Quran.
       Jadi,  Al-Quran yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. telah    membatalkan semua Kitab Suci sebelumnya, sebab — mengingat keadaan umat manusia telah berubah — Al-Quran membawa syariat baru yang bukan saja lebih baik daripada semua syariat lama, tetapi ditujukan pula kepada seluruh umat manusia dari semua zaman. Karena itu sangat wajat bahwa ajaran yang lebih rendah dengan lingkup tugas yang terbatas harus memberikan tempatnya kepada ajaran yang lebih baik dan lebih tinggi dengan lingkup tugas universal (QS.7:159; QS.21:108; 25:2;   QS.34:29).
         Dalam ayat ini kata nansakh (Kami membatalkan) bertalian dengan kata bi-khairin (yang lebih baik), dan kata nunsiha (Kami biarkan terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihā (yang semisalnya), maksudnya bahwa jika Allah Swt. menghapuskan sesuatu maka Dia menggantikannya dengan yang lebih baik, dan bila untuk sementara waktu Dia membiarkan sesuatu dilupakan orang, Dia menghidupkannya kembali pada waktu yang lain.  Sebab diakui oleh ulama-ulama Yahudi sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi diangkut sebagai tawanan ke Babil oleh Nebukadnezar (QS.2:103) seluruh Taurat (lima Kitab Nabi Musa a.s.) telah hilang (Encyclopaedia Biblica).
      Demikianlah penjelasan mengenai kedudukan Al-Quran sebagai muhaimin (penjaga) bagi Kitab-kitab suci terdahulu dalam ayat:   وَ اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡہِ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ   --  Dan Kami telah   menurunkan Kitab kepada engkau dengan haq (benar),  menggenapi apa yang telah diwahyukan sebelumnya di dalam Alkitab, وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ  -- dan sebagai penjaga atasnya….(Al-Maidah [5]:49).

Makna   Minhāj dan Syir’ah

        Selanjutnya Allah Swt. dalam ayat tersebut berfirman: لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا   -- bagi setiap orang di antara kamu Kami menetapkan peraturan   dan  jalan.”   Syir’ah artinya hukum syariat yang terdiri atas peraturan-peraturan puasa, shalat, naik haji, dan amal-amal ibadah lainnya; jalan kepercayaan dan perilaku yang nyata lagi benar (Lexicon Lane).
       Minhāj berarti jalan atau lorong yang kentara, jelas sekali lagi terbuka (Lexicon Lane). Al-Mubarrad berkata, bahwa kata yang pertama (syir’ah) berarti permulaan sebuah jalan, sedangkan kata yang kedua (minhāj) adalah badan jalan yang telah banyak dilalui (Fath-ul-Qadir).
        Dengan demikian syir’ah atau syariat adalah hukum yang terutama berhubungan dengan keruhanian, sedangkan minhāj adalah hukum yang berhubungan dengan urusan duniawi. Syir’ah berarti juga jalan menuju ke air. Artinya ialah Allah Swt.  memperlengkapi seluruh makhluk-Nya — menurut kemampuan masing-masing — dengan sarana-sarana untuk menemukan jalan menuju sumber mata air keruhanian, yakni wahyu Ilahi.
      Dari seluruh syir’ah  dan minhāj  yang  diwahyukan Allah Swt. sebagai “sumber mata air ruhani”,   yang paling sempurna  adalah Al-Quran (agama  Islam). Atas dasar kenyataan itulah Allah Swt. telah berfirman:
اِنَّ الدِّیۡنَ عِنۡدَ اللّٰہِ الۡاِسۡلَامُ ۟ وَ مَا اخۡتَلَفَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡعِلۡمُ بَغۡیًۢا بَیۡنَہُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّکۡفُرۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاِنَّ اللّٰہَ سَرِیۡعُ  الۡحِسَابِ ﴿﴾ 
Sesungguhnya agama  yang benar di sisi Allah adalah Islam,  dan sekali-kali tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Kitab melainkan setelah ilmu datang kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Dan barang-siapa kafir kepada Tanda-tanda Allah maka sesungguh-nya Allah sangat cepat dalam meng-hisab.(Ali ‘Imran [3]:20).
        Semua agama senantiasa menanamkan kepercayaan Tauhid Ilahi dan kepatuhan kepada kehendak-Nya, sebagaimana sikap Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:131-135), namun demikian hanya dalam Islam sajalah paham kepatuhan   kepada kehendak Ilahi (ke-Muslim-an) mencapai kesempurnaan (QS.22:78-79), sebab kepatuhan sepenuhnya  kepada Allah Swt. meminta pengejewantahan penuh Sifat-sifat Allah  Swt.,  dan hanya pada ajaran Islam (Al-Quran) sajalah pe-ngenjewantahan demikian telah terjadi. Jadi dari semua tatanan keagamaan hanya Islam  sajalah yang berhak disebut agama Tuhan pribadi (agama Allah) dalam arti  yang sebenarnya.  
          Semua agama yang benar, lebih atau kurang, dalam bentuknya yang asli adalah agama Islam, sedang para pengikut agama-agama itu adalah Muslim dalam arti kata secara harfiah, tetapi  nama Al-Islam tidak diberikan sebelum tiba saat bila agama menjadi lengkap dalam segala ragam seginya (QS.5:4; QS.22:78-79), karena nama  (Islam/Muslim) tersebut dicadangkan untuk syariat yang terakhir dan mencapai kesempurnaan dalam Al-Quran, firman-Nya:
اَلۡیَوۡمَ اَکۡمَلۡتُ لَکُمۡ دِیۡنَکُمۡ وَ اَتۡمَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ نِعۡمَتِیۡ وَ رَضِیۡتُ لَکُمُ الۡاِسۡلَامَ دِیۡنًا
….. Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kamu bagimu, te-lah Kulengkapkan nikmat-Ku atas kamu, dan  telah Kusukai  Islam sebagai agama bagimu…. (Al-Maidah [5]:4).  

Pentingnya Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw. dan Memeluk Agama Islam

       Lebih lanjut Allah Swt.  menegaskan mengenai pentingnya menjadikan agama Islam sebagai syir’ah dan minhāj, firman-Nya:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾ کَیۡفَ یَہۡدِی اللّٰہُ  قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ اِیۡمَانِہِمۡ وَ شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ  جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾  اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ  اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ﴾  خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا  ہُمۡ  یُنۡظَرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ 
Dan   barangsiapa mencari agama yang bukan agama Islam, maka  agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.  Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi saksi pula bahwa sesungguhnya  rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti  yang nyata?  وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ  -- dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.  اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ  اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ   -- Mereka inilah orang-orang yang atas mereka balasannya   adalah   laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا  ہُمۡ  یُنۡظَرُوۡنَ --   mereka kekal di dalamnya, azab tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan di-beri tangguh,   (Ali ‘Imran [3]:86-89).
      Tentu saja suatu kaum yang mula-mula beriman kepada kebenaran seorang nabi Allah dan menyatakan keimanan mereka kepada nabi Allah itu secara terang-terangan dan menjadi saksi atas Tanda-tanda Ilahi tetapi kemudian menolaknya karena takut kepada manusia atau karena pertimbangan duniawi lainnya, mereka kehilangan segala hak untuk mendapat lagi petunjuk kepada jalan yang lurus.
       Atau, ayat itu dapat pula mengisyaratkan kepada mereka yang beriman kepada para nabi terdahulu tetapi menolak beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw., padahal  Allah Swt. melarang membeda-bedakan para rasul Allah (QS.2:285-287), dan dilarang mengambil “jalan tengah”  --  dengan menyatakan “tidak beriman” tetapi “tidak menolak”  --  sebab sikap munafik seperti itu merupakan kekafiran  yang sebenarnya, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یَکۡفُرُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّفَرِّقُوۡا بَیۡنَ اللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ یَقُوۡلُوۡنَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٍ وَّ نَکۡفُرُ بِبَعۡضٍ ۙ وَّ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یَّتَّخِذُوۡا بَیۡنَ ذٰلِکَ  سَبِیۡلًا ﴿﴾ۙ  اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡکٰفِرُوۡنَ حَقًّا ۚ وَ اَعۡتَدۡنَا لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابًا مُّہِیۡنًا ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ لَمۡ یُفَرِّقُوۡا بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ اُولٰٓئِکَ سَوۡفَ یُؤۡتِیۡہِمۡ اُجُوۡرَہُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿﴾٪ 
Sesungguhnya  orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan mereka ingin mem-beda-bedakan antara Allah dan Rasul-rasul-Nya,  mereka mengatakan:  وَ یَقُوۡلُوۡنَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٍ وَّ نَکۡفُرُ بِبَعۡضٍ ۙ وَّ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یَّتَّخِذُوۡا بَیۡنَ ذٰلِکَ  سَبِیۡلًا --  Kami beriman kepada sebagian dan  kafir kepada sebagian lain” serta  mereka ingin mengambil jalan tengah di antara hal demikian itu,  اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡکٰفِرُوۡنَ حَقًّا -   mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya kafir,  وَ اَعۡتَدۡنَا لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابًا مُّہِیۡنًا  -- dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir azab yang menghinakan.   وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ وَ لَمۡ یُفَرِّقُوۡا بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ ا -- Dan  orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya serta tidak membedakan seorang pun di antara mereka,  اُولٰٓئِکَ سَوۡفَ یُؤۡتِیۡہِمۡ اُجُوۡرَہُمۡ     -- kepada mereka inilah Allah segera akan memberikan ganjaran mereka,    وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا رَّحِیۡمً     -- dan Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nisa [4]:151-153).
  Ayat ini berarti bahwa mereka menerima Tuhan dan menolak nabi-nabi-Nya; atau menerima beberapa nabi dan menolak yang lainnya; atau menerima beberapa  dakwa seorang nabi dan menolak dakwa lainnya. Keimanan sejati nampak dari penyerahan diri seutuhnya dengan menerima Tuhan dan semua rasul-Nya beserta segala dakwa mereka. Tak diizinkan mengambil jalan tengah di antara hal demikian itu.

(Bersambung

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

                                                            ***
Pajajaran Anyar,  15 Oktober     2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar