Kamis, 01 Mei 2014

Ciri Orang-orang Miskin yang "Mahrum" & KIsah Dua Orang Perempuan dengan Anjing dan Kucing yang Kehausan dan Kelaparan



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   211

Ciri “Orang-orang Miskin yang “Mahrum” & Kisah Dua Orang Perempuan dengan Anjing dan Kucing  yang Kehausan dan Kelaparan  

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai makna kata  faqara dalam ayat  اَلشَّیۡطٰنُ یَعِدُکُمُ الۡفَقۡرَ وَ یَاۡمُرُکُمۡ بِالۡفَحۡشَآءِ  -- “Syaitan menjanjikan yakni menakut-nakuti kamu dengan kefaqiran  dan menyuruh kamu berbuat kekejian” (QS.2:268)  berarti: ia membuat lubang ke dalam mutiara; faqura berarti, ia menjadi miskin dan kekurangan dan faqira berarti, ia mengidap penyakit tulang punggung. Jadi faqr berarti kemiskinan; kekurangan atau keperluan yang sangat memberatkan kehidupan si miskin; kesusahan atau kecemasan atau kegelisahan pikir (Lexicon Lane).
    Padahal kenyataan membuktikan tidak pernah ada orang-orang yang membelanjakan hartanya dan jiwanya di jalan Allah yang pernah disia-siakan oleh Allah Swt., sebagaimana pernyataan   kalimat selanjutnya  وَ اللّٰہُ یَعِدُکُمۡ مَّغۡفِرَۃً مِّنۡہُ  وَ فَضۡلًا ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ -- “sedangkan Allah menjanjikan kepada kamu ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui,” firman-Nya:
ٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَیِّبٰتِ مَا کَسَبۡتُمۡ وَ مِمَّاۤ اَخۡرَجۡنَا لَکُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۪ وَ لَا تَیَمَّمُوا الۡخَبِیۡثَ مِنۡہُ تُنۡفِقُوۡنَ وَ لَسۡتُمۡ بِاٰخِذِیۡہِ اِلَّاۤ اَنۡ تُغۡمِضُوۡا فِیۡہِ ؕ وَ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ غَنِیٌّ حَمِیۡدٌ ﴿﴾ اَلشَّیۡطٰنُ یَعِدُکُمُ الۡفَقۡرَ وَ یَاۡمُرُکُمۡ بِالۡفَحۡشَآءِ ۚ وَ اللّٰہُ یَعِدُکُمۡ مَّغۡفِرَۃً مِّنۡہُ  وَ فَضۡلًا ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ۖۙ
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah barang-barang   baik yang kamu usahakan dan juga apa pun  yang Kami keluarkan dari bumi bagi kamu,  dan janganlah kamu memilih darinya yang buruk-buruk  lalu kamu membelanjakan di jalan Allah, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali sambil memi-cingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.  Syaitan menjanjikan yakni menakut-nakuti kamu dengan kefaqiran  dan menyuruh kamu berbuat kekejian,  sedangkan Allah menjanjikan kepada kamu ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui.  (Al-Baqarah [2]:268-269).

Sabda Nabi Besar Muhammad Saw.: Kāda al-faqru an yakūna kufran (Nyaris Kefaqiran Menjadikan  Kekufuran)

    Dengan demikian dalam  ayat 269  Allah Swt. melenyapkan prarasa takut yang dibisikkan syaitan bahwa membelanjakan harta dengan sukarela di jalan Allah dapat menjadikan seseorang jatuh miskin; sebaliknya ayat itu menerangkan dengan tegas bahwa bila orang-orang kaya tidak membelanjakan dengan sukarela dalam urusan yang baik  akibatnya ialah terjadinya  faqr (kefakiran/kemiskinan) nasional, artinya  negeri akan menderita dalam bidang ekonomi dan akan mengalami kemerosotan akhlak.
   Mengapa demikian? Sebab jika bila keperluan ekonomi anggota-anggota masyarakat yang kurang beruntung tidak terpenuhi secara layak, mereka akan cenderung menempuh fahsya’ (cara yang buruk dan bertentangan dengan akhlak baik) untuk mencari nafkah mereka, sebagaimana sabda Nabi Besar Muhammad saw:   kaada al-faqru an yakuuna kufran (nyaris kefaqiran menjadikan kekufuran).
       Pembelanjaan harta di jalan Allah hendaknya dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat, yaitu dapat dilakukan secara terang-terangan atau dengan cara sembunyi-sembunyi, sebab yang disebut “amal shaleh” adalah suatu tindakan yang jika dilakukan akan memberikan  dampak  positif, baik kepada  pelaku kebajikan mau pun kepada  pihak yang jadi obyek perbuatan baik (amal shaleh) tersebut, firman-Nya:
یُّؤۡتِی الۡحِکۡمَۃَ مَنۡ یَّشَآءُ ۚ وَ مَنۡ یُّؤۡتَ الۡحِکۡمَۃَ فَقَدۡ اُوۡتِیَ خَیۡرًا کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ  اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ وَ مَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ مِّنۡ نَّفَقَۃٍ اَوۡ نَذَرۡتُمۡ مِّنۡ نَّذۡرٍ فَاِنَّ اللّٰہَ یَعۡلَمُہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ  اَنۡصَارٍ ﴿﴾  اِنۡ تُبۡدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا ہِیَ ۚ وَ اِنۡ تُخۡفُوۡہَا وَ تُؤۡتُوۡہَا الۡفُقَرَآءَ فَہُوَ خَیۡرٌ لَّکُمۡ ؕ وَ یُکَفِّرُ عَنۡکُمۡ مِّنۡ سَیِّاٰتِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرٌ ﴿﴾
Dia memberi hikmah  kepada siapa yang Dia kehendaki dan barangsiapa diberi hikmah maka sungguh ia telah diberi berlimpah-limpah kebaikan, dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. Dan belanja (infaq) apa pun yang kamu belanjakan atau nazar apa pun yang kamu nazarkan di jalan Allah maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, dan bagi orang-orang zalim sekali-kali tidak ada seorang penolong pun.  Jika kamu memberikan  sedekah-sedekah secara terang-terangan maka hal itu baik, tetapi jika kamu menyembunyikannya dan kamu memberikannya kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik  bagi kamu, dan  Dia akan menghapuskan dari kamu  be-berapa kesalahan kamu,  dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah [2]:2270-272).  
     Ayat ini berarti bahwa perintah mengenai pembelanjaan kekayaan untuk bersedekah yang merupakan rahasia kemajuan dan kesejahteraan nasional itu berdasar atas hikmah (kebijakan) yang dalam Al-Quran disebut  amal shaleh” yang berhubungan  dengan pelaksanaan   haququl ‘ibād.
     Ada sebuah hadits yang  menerangkan  berkenaan dengan nazhar, bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  tidak menyetujui sumpah yang bersyarat guna pelaksanaan amal kebajikan yang tidak diwajibkan, tetapi jika seseorang berbuat demikian maka menepati sumpah itu menjadi wajib baginya.

Jangan Hanya Menunggu yang Datang Meminta, Tetapi Harus Aktif Mencari yang Membutuhkan Pertolongan

      Dalam firman-Nya tersebut Allah Swt. menyatakan  bahwa sangat bijaksana syariat Islam menganjurkan kedua bentuk pemberian sedekah, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam (dirahasiakan). Dengan memberi sedekah secara terang-terangan, orang memperlihatkan contoh baik kepada orang-orang lain yang mungkin akan menirunya.
Pemberian sedekah secara diam-diam itu dalam beberapa keadaan lebih baik, karena dengan demikian seseorang mencegah diri dari membeberkan kemiskinan saudara-saudaranya yang tidak begitu beruntung, dan pula dalam memberikan secara rahasia itu sedikit sekali peluang untuk berbangga.
          Hal lainnya yang dikemukakan firman Allah Swt. tersebut  adalah bahwa dalam pembelanjaan harta di jalan Allah tersebut  hendaknya jangan hanya menunggu  kedatangan orang-orang yang membutuhkan  bantuan, tetapi harus secara aktif mencari orang-orang yang layak diberi bantuan, sebab dalam Surah lain dikemukakan bahwa di antara “orang-orang miskin” tersebut yang termasuk dalam golongan “sā-ilin” (yang berani meminta) dan ada pula yang termasuk golongan “mahrum” (yang tidak dapat atau tidak berani  meminta), firman-Nya:
وَ فِیۡۤ  اَمۡوَالِہِمۡ حَقٌّ  لِّلسَّآئِلِ وَ الۡمَحۡرُوۡمِ﴿﴾
Dan dalam harta benda mereka ada  hak bagi mereka yang meminta dan bagi yang mahrum (mereka yang tidak meminta). (Adz-Dzāriyāt [51]:20)
 Firman-Nya lagi:
وَ الَّذِیۡنَ فِیۡۤ  اَمۡوَالِہِمۡ حَقٌّ مَّعۡلُوۡمٌ ﴿۪ۙ﴾   لِّلسَّآئِلِ وَ الۡمَحۡرُوۡمِ﴿﴾
Dan orang-orang yang dalam harta mereka ada bagian yang ditentukan  untuk  orang miskin,  untuk yang meminta dan mahrum (yang tidak meminta).  (Al-Ma’ārij [70]:25-26).
   Menurut Allah Swt. dalam ajaran Islam (Al-Quran), baik orang-orang yang dapat menyatakan keperluan mereka atau pun yang tidak dapat, semuanya mempunyai bagian sebagai hak dalam harta orang  Islam yang kaya. Dengan demikian harta orang Islam merupakan amanat, yang orang-orang miskin pun mempunyai hak menikmati manfaatnya. Karena itu bila ia memenuhi keperluan saudaranya yang miskin, pada hakikatnya ia tidak berbuat kebajikan kepada mereka melainkan hanyalah menunaikan kewajiban membayar utang kepada mereka dan mengembalikan lagi apa yang memang telah menjadi hak mereka.
 Kata al-mahrūm,  dalam pengertian imbuhannya bukan hanya mencakup orang-orang miskin   --  yang karena rasa harga dirinya atau rasa malunya  -- tidak mau meminta  sedekah (QS.2:274), akan tetapi juga binatang-binatang tunawicara (bisu). Kata itu telah dianggap di sini mempunyai arti, seseorang yang terhalang dari mencari nafkah oleh kelemahan jasmani (sakit-sakit) atau beberapa sebab lain yang serupa.
   Dalam   dua hadits  yang berbeda, Nabi Besar Muhammad saw. menceritakan tentang dua orang perempuan   yang satu masuk surga hanya karena ia memberi minum anjing yang sangat kehausan  di pinggir sebuah sumur di gurun padahal ia adalah seorang  pelacur, sedangkan satu lagi  adalah perempuan baik-baik  tetapi masuk neraka gara-gara mengerangkeng   seekor kucing  sehingga mati  kelaparan karena tidak bisa mencari makan:
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.  bersabda:  “Ketika ada seekor anjing yang hampir saja mati karena kehausan berputar-putar mengitari sumur, tiba-tiba ada seorang pelacur dari Bani Israil yang melihat anjing tersebut, lalu dia melepas sepatunya dan mengambilkan air untuk anjing itu, kemudian ia memberinya minum sehingga ia diampuni karena perbuatannya itu. (Bukhari & Muslim).
Berkenaan dengan kucing yang mati kelaparan:
Abdullah bin Umar r.a yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang    dikurungnya hingga kucing tersebut mati dan wanita itu pun masuk neraka, wanita tersebut tidak memberinya makan dan minum saat dia   mengurungnya dan tidak membiarkannya untuk memakan buruannya” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Makna Kata “Khair” Berkenaan Pembelanjaan Harta  & Ciri Orang Miskin yang “Mahrum

        Sehubungan dengan pentingnya orang-orang Muslim yang kaya membalanjakan harta kekayaan di jalan Allah Swt.  selanjutnya Dia  berfirman:
لَیۡسَ عَلَیۡکَ ہُدٰىہُمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَلِاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡنَ اِلَّا ابۡتِغَآءَ وَجۡہِ اللّٰہِ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ یُّوَفَّ اِلَیۡکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لَا تُظۡلَمُوۡنَ﴿﴾
Sekali-kali bukanlah tanggungjawab engkau memberi petunjuk kepada mereka tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan harta apa pun yang kamu belanjakan maka manfaatnya adalah untuk diri kamu, dan tidaklah kamu membelanjakannya melainkan untuk mencari keridhaan Allah. Dan harta apa pun yang kamu belanjakan niscaya akan dikembalikan kepada kamu dengan penuh dan kamu tidak akan dizalimi. (Al-Baqarah [2]:273).
      Penggunaan kata khair   dalam ayat  وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَلِاَنۡفُسِکُمۡ   -- “Dan harta apa pun yang kamu belanjakan maka manfaatnya adalah untuk diri kamu yang berarti pula: sesuatu atau segala yang baik (Lexicon Lane), meluaskan ruang lingkup infak yang tidak membatasinya pada belanja uang saja. Kata itu meliputi pula perbuatan baik dalam setiap bentuk atau cara.
    Kata-kata  وَ مَا تُنۡفِقُوۡنَ اِلَّا ابۡتِغَآءَ وَجۡہِ اللّٰہِ  -- “dan tidaklah kamu membelanjakannya melainkan untuk mencari keridhaan Allah” ini merupakan bukti besar akan kebaikan fitriah para sahabat Nabi Besar Muhammad saw..   Hal itu berarti bahwa mereka tidak memerlukan perintah untuk membelanjakan kekayaan di jalan Allah. Mereka itu sebelumnya pun senantiasa berbuat demikian karena dorongan hasrat naluri untuk mendapat ridha Ilahi.
     Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang miskin yang  -- karena memiliki “rasa malu” yang tinggi   --  mereka tidak berani mengemukakan kebutuhan hidupnya:
لِلۡفُقَرَآءِ الَّذِیۡنَ اُحۡصِرُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ ضَرۡبًا فِی الۡاَرۡضِ ۫ یَحۡسَبُہُمُ الۡجَاہِلُ اَغۡنِیَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ ۚ تَعۡرِفُہُمۡ بِسِیۡمٰہُمۡ ۚ لَا یَسۡـَٔلُوۡنَ النَّاسَ اِلۡحَافًا ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ خَیۡرٍ فَاِنَّ اللّٰہَ بِہٖ عَلِیۡمٌ ﴿﴾٪ اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ بِالَّیۡلِ وَ النَّہَارِ سِرًّا وَّ عَلَانِیَۃً فَلَہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ؔ
Infak tersebut bagi orang-orang fakir yang terikat  di jalan Allah, mereka tidak mampu bergerak bebas di muka bumi. Orang yang tidak berpengetahuan menganggap mereka itu kaya, karena  mereka menghindarkan diri dari meminta-minta.  Engkau dapat mengenali mereka dari wajahnya, mereka tidak suka me-minta kepada manusia dengan mendesak-desak.  Dan harta apa pun yang kamu belanjakan maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.  Orang-orang yang membelanjakan harta mereka pada malam dan siang dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bagi mereka ada ganjarannya di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya), dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:274—275).
       Jadi, menurut firman-Nya tersebut terdapat segolongan “orang-orang miskin” tetapi karena mempertahankan kehormatan dirinya dari “meminta-minta” sehingga orang-orang  yang jahil (tuna  pengetahuan) menyangka mereka itu sebagai orang-orang yang keadaan ekonominya  mencukupi, padahal tidak demikian: لَا یَسۡـَٔلُوۡنَ النَّاسَ اِلۡحَافًا  -- “Engkau dapat mengenali mereka dari wajahnya, mereka tidak suka meminta kepada manusia dengan mendesak-desak.
      Keadaan kadang-kadang memaksa orang untuk diam terkurung dalam satu tempat, mereka tidak mampu mencari rezeki. Orang-orang demikian khususnya layak mendapatkan pertolongan dari anggota-anggota masyarakat yang lebih baik keadaannya.  Ada dua macam manusia terutama termasuk dalam golongan ini:
      (a) Mereka yang dengan sukarela berkhidmat kepada seorang hamba pilihan Allah (Rasul Allah) dan tak pernah pisah dari pergaulannya agar mendapat faedah ruhani dari pergaulan itu. Di zaman nabi Besar Muhammad saw. golongan ini disebut ahli shufah, salah satu di antaranya adalah Abu Hurairah r.a..
     (b) Mereka yang karena terkurung dalam lingkungan yang tidak bersahabat, menjadi mahrum (luput) dari sarana keperluan hidup.
    Sima  dalam ayat تَعۡرِفُہُمۡ بِسِیۡمٰہُمۡ  -- “Engkau dapat mengenali mereka dari wajahnya”,  berarti tanda atau ciri yang membedakan, atau raut wajah yang menjadi tanda atau ciri yang memperbedakan (Aqrab-al-Mawarid).
    Ayat 274 ini secara sepintas lalu memuji orang-orang yang memelihara rasa-harga-diri dengan mencegah diri dari minta-minta dan mengandung arti ketidakpantasan kebiasaan meminta-minta, seperti nampak dari kata-kata ta’affuf (mencegah diri dari hal-hal yang kurang pantas atau haram) dan ilhaf (dengan mendesak-desak).  Nabi Besar Muhammad saw. mencela kebiasaan meminta-minta.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  13 Maret      2014

1 komentar:

  1. tulisannya bagus sih. cuma kok backgroudnya hitam pakai font putih? bikin sakit mata mas. ga nyaman bacanya

    BalasHapus