Minggu, 18 Mei 2014

Kekeliruan Faham Golongan "Wihdatul-Wujud" Mengenai "Ittihad" atau "Hulul" yang Difahami oleh Para Wali Allah



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم

Khazanah Ruhani Surah  Shād

Bab   222

Kekeliruan  Faham  golongan Wihdatul Wujud   Mengenai    Ittihad atau Hulul  yang Dialami Para Wali Allah  

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
 
D
alam   akhir Bab sebelumnya   telah dikemukakan   mengenai   perbedaan kesempurnaan tingkatan Fanafillāh yang dialami para Wali Allah dan para Nabi Allah  berdasarkan  keberadaan para Nabi Allah di setiap tingkatan langit yang berbeda pada peristiwa  mi’raj (kenaikan ruhani) dan makna  terbakarnya sayap” Malaikat Jibril a.s. jika beliau   terus mendampingi Nabi Besar Muhammad saw. dalam mi’raj tersebut  ke tingkatan langit yang lebih tinggi lagi, karena dalam Al-Quran Allah Swt. menyatakan bahwa hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang mampu “memikul amanat syariat” yang terakhir dan tersempurna (Qs.5:4), firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  -- sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya.  Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan, dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Al-Ahzāb [33]:73-74).
       Mengenai firman Allah Swt. ini telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya  mengenai  makna zhalim dan jahul  berkenaan dengan Insan Kamil (manusia sempurna) yakni Nabi Besar Muhammad saw. dan hubungannya dengan makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam QS.7:144  akibat hebatnya “guncangan” yang ditimbulkan  oleh hancurnya gunung karena tidak mampu menerima Tajalliyat Ilahiyah  (Penjelmaan Keagungan Tuhan), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan  tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Rabb-Nya (Tuhan-nya) bercakap-cakap dengannya, ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.”  فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا  -- maka  tatkala  Rabb-nya (Tuhan-nya) menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur,  dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”  (Al-A’rāf [7]:144).
         Dari keberadaan para Rasul Allah di setiap tingkatan langit yang berbeda-beda ketinggiannya dalam peristiwa mi’raj Nabi Besar Muhammad saw., dan  dari peristiwa ruhani  “pingsannya”   Nabi Musa a.s.  tersebut,  dapat ditarik kesimpulan  bahwa tingkatan  fāna fillāh  yang dialami para wali Allah dan para nabi Allah  tidak sama kesempurnaannya.

Ketidakterbatasan Dzat dan Sifat-sifat Allah Swt.

        Oleh karena itu  keliru jika  ada yang beranggapan bahwa ketika seorang wali Allah yang mengalami “kemabukan ruhani” pada saat mengalami fāna fillāh   -- seperti yang dialami oleh Abu Yaziz al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj”   --   bahwa  mereka benar-benar telah mencapai tingkatan puncak  persatuan  (manunggal)  -- ittihad atau hulul --  dengan   Allah Swt.,  sebagaimana yang dipercayai  atau disalah-tafsirkan oleh golongan penganut faham Wihdatul Wujud     ajaran Syeikh Ibnu ‘Arabi atau pun ajaran Abu Yaziz al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj.” 
        Jadi, kekeliruan tersebut bukan pada diri para wali (sufi) besar tersebut melainkan pada mereka yang mensalah-tafsirkan  ajaran (faham) tersebut -- baik pihak yang menentang   atau pun para pengikut ajaran tersebut  --   yang tidak memahami  faham (ajaran) tersebut dengan benar. 
         Berikut salah satu pendapat mengenai maka ittihad dan hulul, yaitu Ittihad  artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
       A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam Ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dengan yang dicintai (Sufi dan Tuhan).
      Dalam ittihad,  identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”, hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan Tuhan. Ittihad berada dalam lapangan yang kurang terang, dan bersama Hulul dan Tauhid  merupakan  bagian ilmu Tasawuf.
      Para ulama syariat Islam memandang ketiganya bertentangan dengan ajaran  Islam. Masalah Ittihad, Hulul dan Tauhid dikalangan Sufi tidak banyak dibicarakan. Mungkin ini disebabkan dari pembunuhan tokoh sufi yaitu Al-Hallaj karena di tuduh mempunyai paham “Hulul, sehingga banyak tokoh sufi takut mempersoalkan hal tersebut, agar tidak mempunyai nasib yang sama.
      Abu Nasr Al-Tusi di dalam bukunya “Al-Lum’A”, mengatakan Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sedangkan menurut Al-Hallaj, Allah memiliki dua sifat dasar keTuhanan yaitu “LAHUT” dan kemanusiaan “NASUT”. Hal ini dapat dilihat dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya makhluk.

Alasan-alasan Kekeliruan Penganut  “Wihdadul Wujud”

       Alasan bahwa  kenapa mereka yang merasa telah mengalami keadaan ittihad atau hulul  lalu  -- karena menganggap diri mereka telah “bersatu” dengan Allah Swt. secara  dzat   lalu mengabaikan  kewajiban melaksanakan syariat   --  dianggap sesat?   Sebab:
     (1) Nabi Besar Muhammad saw. sebagai  Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna   (QS.3:20 & 86; QS.5:4) sampai akhir hayatnya beliau saw. tetap  menjalani kehidupan   sesuai dengan petunjuk Al-Quran, karena itu siapa pun orangnya yang mengaku umat Islam yang hakiki  wajib baginya harus mematuhi sepenuhnya Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.. (QS,3:32; QS.33:22).
     (2) Dalam suluk (perjalanan ruhani) ada tiga keadaan ruhani yang harus ditempuh oleh para sālik,   yaitu fana, baqa, dan liqa, firman-Nya:   
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿ ﴾٪
Dan mereka berkata:”Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.”  Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang be-nar.”   Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa berserah diri kepada  Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya),   tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).
        Kata wajh dalam ayat  بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ -- “Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa berserah diri kepada  Allah” berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-al-Mawarid).
        Ayat ini memberi isyarat kepada ketiga taraf penting ketakwaan sempurna, yaitu:  fana (menghilangkan diri), baqa (kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah Swt)  yang  disebut ittihad atau hulul.
Kata-kata  اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہ   -- “berserah diri kepada Allah” berarti  segala kekuatan dan anggota tubuh kita, dan apa-apa yang menjadi bagian diri kita, hendaknya diserahkan kepada Allah Swt.  seutuhnya dan dibaktikan kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau “kematian” yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri  atau hawa-nafsunya.
       Anak-kalimat kedua  وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang telah melenyapkan dirinya (fana) dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap,   ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt.   dan bakti kepada umat manusia (QS.6:162-164).
       Kata-kata penutup  فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ   --   “maka baginya ada ganjaran di sisi  Rabb-nya (Tuhan-nya),  وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  --  tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih.” menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi — taraf liqa atau memanunggal (menyatu) dengan Allah Swt.  yang dalam Al-Quran disebut pula “jiwa yang tenteram” atau nafs muthma’innah (QS.89:28).
      Karena itu sungguh keliru pemahaman penganut golongan Wihdatul Wujud  (Manunggal dalam Dzat),  bahwa karena mereka merasa telah  bersatu  (manunggal) dengan Tuhan lalu  mereka  beranggapan tidak perlu lagi mengamalkan ketentuan syariat   Islam (Al-Quran) yang disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw..

Menyalahtafsirkan Faham Para Wali Allah  

     Pemahaman keliru  seperti itu  sama sekali bukan pemahaman para sufi (wali Allah) besar seperti Abu Yazid al-Bisthami, Mansyur “Al-Hallaj”, Syeikh Muhyiidn Ibnu  ‘Arabi dan yang lainnya, karena  para hamba Allah yang hakiki tersebut  adalah orang-orang yang mengikuti sepenuhnya Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.. (QS,3:32; QS.33:22; QS.4:70-71).
     Penyelewengan “ajaran suluk” mereka itu terjadi pada  orang-orang yang mengaku sebagai murid atau penganut “ajaran suluk” para wali Allah besar tersebut, persis seperti  perbuatan sesat yang dilakukan   Samiri  yang telah menipu Bani Israil menyembah patung anak sapi (QS.2:52 & 93; QS.4:154; QS.7: 149-153; QS.20:84-99), firman-Nya:
قَالَ فَمَا خَطۡبُکَ  یٰسَامِرِیُّ ﴿﴾  قَالَ بَصُرۡتُ بِمَا لَمۡ یَبۡصُرُوۡا بِہٖ فَقَبَضۡتُ قَبۡضَۃً  مِّنۡ  اَثَرِ الرَّسُوۡلِ فَنَبَذۡتُہَا وَ کَذٰلِکَ سَوَّلَتۡ لِیۡ نَفۡسِیۡ ﴿  
Ia, Musa, berkata: "Apakah alasan engkau, hai Samiri?"    Ia, Samiri, berkata: "Aku mengetahui apa yang mereka tidak mengetahui mengenai itu, maka aku  menggenggam segenggam ajaran rasul, tetapi aku telah membuangnya  dan demikianlah  jiwaku menampakkan indah kepadaku." (Thā Hā [20]:96-97).
    Kata-kata  بَصُرۡتُ بِمَا لَمۡ یَبۡصُرُوۡا بِہٖ   --  Aku melihat (mengetahui) apa yang mereka tidak melihat (mengetahui) mengenai itu” itu dapat berarti, “Daya tangkap saya lebih tajam daripada daya tangkap Bani Israil”. Orang Samiri itu bermaksud  mengatakan bahwa ia telah mengikuti Musa a.s. dan menerima ajaran beliau  dengan mempergunakan akal dan bukan   membabi-buta seperti halnya mereka (Bani Israil).
  Tetapi ketika  Nabi Musa a.s. pergi ke gunung ia mencampakkan jubah muslihat dan menanggalkan ajaran yang telah diterimanya sedikit itu  -- atsar  dalam ayat   فَقَبَضۡتُ قَبۡضَۃً  مِّنۡ  اَثَرِ الرَّسُوۡلِ فَنَبَذۡتُہَا (maka aku  menggenggam segenggam ajaran rasul, tetapi aku telah membuangnya) berarti sisa atau peninggalan ilmu yang telah dipindahkan atau diturunkan angkatan-angkatan terdahulu, yaitu ajaran-ajaran  -- dan itulah apa yang telah dibisikkan pikirannya kepadanya:   وَ کَذٰلِکَ سَوَّلَتۡ لِیۡ نَفۡسِیۡ   -- “dan demikianlah  jiwaku menampakkan indah kepadaku.
    Jadi, sebagaimana di kalangan Bani Israil pun terdapat orang-orang seperbil Bal’am bin Baura (Bileam bin Beor – QS.7:176-178) dan Samiri serta  Saul (Paulus) demikian pula -- sebagai penggenapan sabda Nabi Besar Muhammad saw. mengenai adanya  persamaan antara Bani Israil  dan Bani Isma’il  seperti sepasang sepatu -- di kalangan umat Islam pun terdapat orang-orang yang “jenius berhati bengkok” seperti itu, firman-Nya:
وَ اتۡلُ عَلَیۡہِمۡ  نَبَاَ الَّذِیۡۤ  اٰتَیۡنٰہُ  اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ  الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ  کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ  تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ سَآءَ مَثَلَاۨ الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka  berita orang-orang yang telah Kami berikan Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia melepaskan diri darinya maka syaitan mengikutinya dan jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat.    Dan seandainya  Kami meng-hendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya dengan itu, akan tetapi ia cenderung ke bumi  dan mengikuti hawa nafsunya, maka keadaannya seperti seekor anjing yang kehausan, jika engkau menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan   lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah kisah ini supaya mereka merenungkannya.   Sangat buruk misal  orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada diri mereka sen-dirilah mereka berbuat zalim.  (Al-A’rāf [7]:176-178).
   Yang dimaksudkan di sini bukanlah seseorang tertentu melainkan semua orang yang kepada mereka Allah Swt.   memperlihatkan Tanda-tanda melalui seorang nabi tetapi mereka menolaknya (mendustakannya). Ungkapan semacam itu terdapat di tempat lain dalam Al-Quran (seperti QS.2:18). Ayat itu telah dikenakan secara khusus kepada seorang yang bernama Bal’am bin Ba’ura yang menurut kisah pernah hidup di zaman Nabi Musa a.s.    dan konon dahulunya ia seorang wali, tetapi kesombongan merusak pikirannya dan ia mengakhiri hidupnya dalam kenistaan. Ayat itu dapat juga dikenakan kepada Abu Jahal  penentang keras Nabi Besar Muhamma saw., atau Abdullah bin Ubbay bin Salul pemimpin orang-orang munafik Madinah, atau dapat pula kepada tiap-tiap pemimpin kekafiran.
  Makna ayat  اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ  -- “ia cenderung ke bumi” artinya menyukai hal-hal yang bersifat kebendaan atau kehidupan duniawi, pada khususnya kecintaan akan uang.
   Yalhats dari kata lahatsa) dalam ayat  ۚ اِنۡ  تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ یَلۡہَثۡ   --  jika engkau menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan   lidahnya. yang berarti nafasnya tersengal-sengal karena kelelahan atau kepenatan, maksudnya  adalah  baik diminta ataupun tidak untuk berkorban pada jalan agama, orang semacam itu nampaknya terengah-engah seperti seekor anjing kehausan, seakan-akan beban pemberian pengorbanan yang terus menerus bertambah membuatnya amat penat sekali.

Sama-sama Bergerak Saling Mendekati

      (3) Dalam peristiwa mi’raj,  dari ayat   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی   --  “Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,   فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی    -- “maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi” (QS.53:9-10) diketahui, bahwa terjadinya “pertemuan  (manunggal) atau fana  antara seseorang hamba  (manusia)  dengan Allah Swt. dalam tingkatan  fana fillāh  adalah karena  adanya pergerakan saling mendekat kedua belah pihak   -- yakni Allah Swt.  bergerak “turun mendekati” hamba-hamba-Nya yang bergerak “naik mendekati” kepada-Nya.
         Dengan demikian tingkatan kualitas   ittihad atau hulul   atau “manunggal Nabi Adam a.s.  yang berada pada tingkatan langit  pertama pada peristiwa mi’raj  tersebut berbeda dengan kualitas  ittihad atau hulul   atau “manunggal” yang dialami  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s. yang berada pada tingkatan langit kedua;  demikian kualitas ittihad atau hulul   atau “manunggal   antara   Nabi Musa a.s.   berbeda  dengan  Nabi Ibrahim a.s. yang ada pada tingkatan langit ketujuh.
       Terlebih lagi jika dibandingkan  dengan kualitas   ittihad atau hulul   atau “manunggal” paling   sempurna Nabi Besar Muhammad saw.  (QS.6:162-164) yang telah mencapai “Sidratul Muntaha”, lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai hal tersebut:
ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿﴾    فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ﴾  مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ﴾    اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya,  maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi.  فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی    -- lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.   مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  -- Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat.   Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat?   وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  -- dan  sungguh   dia benar-benar melihat-Nya kedua kali, عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی --  dekat pohon Sidrah tertinggi,          عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  -- yang di dekatnya ada surga tempat tinggal.  اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی    -- ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi.   مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی       --  penglihatannya  sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur.    لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی    -- sungguh  ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya.  (An-Najm [53]:9-19).
         Itulah sebab ketika Nabi Musa a.s. ingin  menyaksikan penjelmaan Tajalliyyati Ilahiyah sempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw., yang diperlihatkan Allah Swt.  melalui sebuah gunung --    kemudian hancur-lebur karena “tidak sanggup memikulnya” (QS.33:73) – maka Nabi Musa a.s. rebah  pingsan karena  beliau  tidak  mampu mengalami “goncangannya” yang sangat dahsyat, sehingga telah Nabi Musa a.s. sadar dari “pingsannya” langsung mengakui kesempurnaan tingkatan fāna filLāh  Nabi Besar Muhammad saw. dan menyatakan “beriman” kepada  beliau saw.,  سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”  (Al-A’rāf [7]:144).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  25 Maret      2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar