بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡم
Khazanah Ruhani Surah Shād
Bab
222
Kekeliruan Faham golongan Wihdatul Wujud
Mengenai Ittihad atau Hulul
yang Dialami Para Wali Allah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
perbedaan kesempurnaan tingkatan Fanafillāh yang dialami para Wali
Allah dan para Nabi Allah berdasarkan
keberadaan para Nabi Allah di setiap tingkatan
langit yang berbeda pada peristiwa mi’raj (kenaikan ruhani) dan makna “terbakarnya
sayap” Malaikat Jibril a.s. jika beliau
terus mendampingi Nabi Besar Muhammad saw. dalam mi’raj tersebut ke
tingkatan langit yang lebih tinggi lagi, karena dalam Al-Quran Allah Swt.
menyatakan bahwa hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang mampu “memikul amanat syariat” yang terakhir dan tersempurna (Qs.5:4), firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا
الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ
یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ
ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ
الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ
یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung,
tetapi semuanya enggan memikulnya
dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا
جَہُوۡلًا -- sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan
orang-orang musyrik lelaki
dan orang-orang musyrik perempuan,
dan Allah senantiasa kembali dengan
kasih sayang kepada orang-orang
lelaki dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).
Mengenai firman Allah Swt. ini telah
dijelaskan dalam Bab sebelumnya
mengenai makna zhalim dan jahul berkenaan dengan Insan Kamil (manusia sempurna) yakni
Nabi Besar Muhammad saw. dan hubungannya dengan makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam QS.7:144 akibat hebatnya “guncangan” yang ditimbulkan
oleh hancurnya gunung karena
tidak mampu menerima Tajalliyat Ilahiyah (Penjelmaan Keagungan Tuhan), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ
کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ
اَنۡظُرۡ اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ
تَرٰىنِیۡ وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ
اِلَی الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ
مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ
فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ
تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan tatkala
Musa datang pada waktu yang Kami
tetapkan dan Rabb-Nya
(Tuhan-nya) bercakap-cakap dengannya,
ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat
memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau
tidak akan pernah dapat melihat-Ku
tetapi pandanglah gunung itu,
lalu jika ia tetap ada pada
tempatnya maka engkau pasti akan dapat
melihat-Ku.” فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا -- maka tatkala
Rabb-nya (Tuhan-nya) menjelmakan keagungan-Nya pada gunung
itu Dia
menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali ia berkata: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf
[7]:144).
Dari keberadaan para Rasul Allah di setiap tingkatan langit yang berbeda-beda ketinggiannya
dalam peristiwa mi’raj Nabi Besar
Muhammad saw., dan dari peristiwa ruhani
“pingsannya” Nabi Musa a.s. tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkatan fāna
fillāh yang dialami para wali Allah dan para nabi Allah tidak sama
kesempurnaannya.
Ketidakterbatasan Dzat dan Sifat-sifat Allah Swt.
Oleh karena
itu keliru
jika ada yang beranggapan bahwa ketika
seorang wali Allah yang mengalami “kemabukan ruhani” pada saat mengalami fāna fillāh -- seperti yang dialami oleh Abu Yaziz al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj” --
bahwa mereka benar-benar telah
mencapai tingkatan puncak “persatuan” (manunggal)
-- ittihad atau hulul -- dengan Allah
Swt., sebagaimana yang dipercayai atau disalah-tafsirkan
oleh golongan penganut faham Wihdatul
Wujud ajaran
Syeikh Ibnu ‘Arabi atau pun ajaran Abu Yaziz al-Bisthami dan Mansyur “Al-Hallaj.”
Jadi, kekeliruan tersebut bukan pada diri para
wali (sufi) besar tersebut melainkan pada mereka yang mensalah-tafsirkan ajaran
(faham) tersebut -- baik pihak yang menentang atau pun para pengikut ajaran tersebut --
yang tidak memahami faham (ajaran) tersebut dengan
benar.
Berikut salah satu pendapat mengenai maka ittihad dan hulul, yaitu Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan
dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di
dalam Ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
sehingga akan terjadi pertukaran peranan
antara yang mencintai dengan yang dicintai (Sufi dan Tuhan).
Dalam ittihad,
“identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu”, hal ini bisa terjadi karena
sufi telah memasuki fana yang tidak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan Tuhan. Ittihad berada dalam lapangan yang
kurang terang, dan bersama Hulul dan Tauhid merupakan bagian ilmu Tasawuf.
Para ulama syariat Islam memandang ketiganya bertentangan dengan ajaran Islam. Masalah Ittihad, Hulul dan Tauhid dikalangan Sufi tidak banyak
dibicarakan. Mungkin ini disebabkan dari pembunuhan
tokoh sufi yaitu Al-Hallaj karena
di tuduh mempunyai paham “Hulul,
sehingga banyak tokoh sufi takut
mempersoalkan hal tersebut, agar tidak mempunyai nasib yang sama.
Abu Nasr Al-Tusi di dalam bukunya “Al-Lum’A”, mengatakan Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sedangkan menurut Al-Hallaj, Allah memiliki dua sifat dasar keTuhanan yaitu “LAHUT” dan kemanusiaan “NASUT”. Hal ini dapat dilihat dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya makhluk.
Abu Nasr Al-Tusi di dalam bukunya “Al-Lum’A”, mengatakan Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sedangkan menurut Al-Hallaj, Allah memiliki dua sifat dasar keTuhanan yaitu “LAHUT” dan kemanusiaan “NASUT”. Hal ini dapat dilihat dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya makhluk.
Alasan-alasan Kekeliruan
Penganut “Wihdadul Wujud”
Alasan bahwa
kenapa mereka yang merasa telah mengalami keadaan ittihad
atau hulul lalu
-- karena menganggap diri
mereka telah “bersatu” dengan Allah
Swt. secara dzat lalu mengabaikan kewajiban melaksanakan syariat -- dianggap sesat?
Sebab:
(1) Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna
(QS.3:20 & 86; QS.5:4) sampai akhir hayatnya beliau saw. tetap menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk Al-Quran, karena itu siapa pun orangnya yang mengaku umat Islam yang hakiki wajib
baginya harus mematuhi sepenuhnya Sunnah
Nabi Besar Muhammad saw.. (QS,3:32; QS.33:22).
(2) Dalam suluk (perjalanan ruhani) ada tiga
keadaan ruhani yang harus ditempuh oleh para sālik, yaitu fana, baqa, dan liqa,
firman-Nya:
وَ قَالُوۡا
لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ
اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ
اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭
مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ
ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ
رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ
لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿ ﴾٪
Dan mereka
berkata:”Tidak akan pernah ada yang akan
masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu,
jika kamu sungguh orang-orang yang be-nar.” Tidak
demikian, bahkan yang benar ialah barangsiapa
berserah diri kepada Allah
dan ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).
Kata wajh dalam ayat بَلٰی ٭
مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ -- “Tidak demikian, bahkan yang benar ialah barangsiapa
berserah diri kepada Allah”
berarti: wajah (muka); benda itu
sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang
menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-al-Mawarid).
Ayat ini memberi isyarat kepada ketiga taraf penting ketakwaan sempurna, yaitu: fana (menghilangkan diri), baqa
(kelahiran kembali), dan liqa (memanunggal dengan Allah Swt) yang
disebut ittihad atau hulul.
Kata-kata اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہ -- “berserah
diri kepada Allah” berarti segala
kekuatan dan anggota tubuh kita, dan apa-apa yang menjadi bagian diri kita,
hendaknya diserahkan kepada Allah Swt. seutuhnya
dan dibaktikan kepada-Nya. Keadaan
itu dikenal sebagai fana atau “kematian” yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri atau hawa-nafsunya.
Anak-kalimat kedua وَ ہُوَ
مُحۡسِنٌ -- “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang
telah melenyapkan dirinya (fana)
dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap, ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa
atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt. dan bakti
kepada umat manusia (QS.6:162-164).
Kata-kata penutup فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ -- “maka baginya ada ganjaran di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya), وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ -- tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidak
pula mereka akan bersedih.” menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi
— taraf liqa atau memanunggal (menyatu) dengan Allah Swt. yang
dalam Al-Quran disebut pula “jiwa yang
tenteram” atau nafs muthma’innah (QS.89:28).
Karena itu sungguh keliru pemahaman penganut golongan Wihdatul Wujud (Manunggal dalam Dzat), bahwa karena mereka merasa telah bersatu (manunggal) dengan Tuhan lalu mereka beranggapan tidak perlu lagi mengamalkan ketentuan syariat
Islam (Al-Quran) yang disunnahkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw..
Menyalahtafsirkan Faham
Para Wali Allah
Pemahaman keliru seperti itu sama sekali bukan pemahaman para sufi (wali Allah) besar seperti Abu Yazid al-Bisthami, Mansyur
“Al-Hallaj”, Syeikh Muhyiidn Ibnu ‘Arabi
dan yang lainnya, karena para hamba Allah yang hakiki tersebut adalah orang-orang yang mengikuti sepenuhnya Sunnah
Nabi Besar Muhammad saw.. (QS,3:32; QS.33:22; QS.4:70-71).
Penyelewengan
“ajaran suluk” mereka itu terjadi
pada orang-orang yang mengaku sebagai murid atau penganut “ajaran suluk” para wali Allah besar tersebut, persis seperti perbuatan
sesat yang dilakukan Samiri yang telah menipu
Bani Israil menyembah patung anak sapi
(QS.2:52 & 93; QS.4:154; QS.7: 149-153; QS.20:84-99), firman-Nya:
قَالَ فَمَا
خَطۡبُکَ یٰسَامِرِیُّ ﴿﴾ قَالَ بَصُرۡتُ بِمَا لَمۡ یَبۡصُرُوۡا بِہٖ
فَقَبَضۡتُ قَبۡضَۃً مِّنۡ اَثَرِ الرَّسُوۡلِ فَنَبَذۡتُہَا وَ کَذٰلِکَ
سَوَّلَتۡ لِیۡ نَفۡسِیۡ ﴿
Ia,
Musa, berkata: "Apakah alasan
engkau, hai Samiri?"
Ia, Samiri, berkata: "Aku mengetahui apa yang mereka tidak mengetahui
mengenai itu, maka aku menggenggam segenggam ajaran rasul,
tetapi aku telah membuangnya dan demikianlah jiwaku
menampakkan indah kepadaku." (Thā Hā [20]:96-97).
Kata-kata
بَصُرۡتُ بِمَا لَمۡ یَبۡصُرُوۡا بِہٖ -- “Aku
melihat (mengetahui) apa yang mereka tidak melihat (mengetahui) mengenai itu” itu dapat berarti, “Daya tangkap saya lebih tajam daripada daya
tangkap Bani Israil”. Orang Samiri
itu bermaksud mengatakan bahwa ia telah mengikuti Musa a.s. dan
menerima ajaran beliau dengan mempergunakan
akal dan bukan membabi-buta seperti halnya mereka (Bani Israil).
Tetapi ketika Nabi Musa a.s. pergi ke gunung ia mencampakkan jubah muslihat dan menanggalkan ajaran yang telah diterimanya sedikit itu -- atsar
dalam ayat فَقَبَضۡتُ قَبۡضَۃً مِّنۡ
اَثَرِ الرَّسُوۡلِ فَنَبَذۡتُہَا (maka aku menggenggam segenggam ajaran
rasul, tetapi aku telah membuangnya)
berarti sisa atau peninggalan ilmu yang telah dipindahkan
atau diturunkan angkatan-angkatan
terdahulu, yaitu ajaran-ajaran -- dan
itulah apa yang telah dibisikkan
pikirannya kepadanya: وَ کَذٰلِکَ
سَوَّلَتۡ لِیۡ نَفۡسِیۡ -- “dan
demikianlah jiwaku menampakkan indah kepadaku.”
Jadi, sebagaimana di kalangan Bani Israil pun terdapat
orang-orang seperbil Bal’am bin Baura
(Bileam bin Beor – QS.7:176-178) dan Samiri
serta Saul (Paulus) demikian pula -- sebagai penggenapan sabda Nabi Besar
Muhammad saw. mengenai adanya persamaan antara Bani Israil dan Bani Isma’il seperti sepasang
sepatu -- di kalangan umat Islam
pun terdapat orang-orang yang “jenius
berhati bengkok” seperti itu, firman-Nya:
وَ اتۡلُ
عَلَیۡہِمۡ نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ
الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا
لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ
فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ
یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ
فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ سَآءَ مَثَلَاۨ
الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا
یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka berita orang-orang
yang telah Kami berikan Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia melepaskan diri darinya maka syaitan mengikutinya dan jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan
seandainya Kami meng-hendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya
dengan itu, akan tetapi ia cenderung
ke bumi dan mengikuti hawa nafsunya, maka keadaannya seperti seekor anjing yang
kehausan, jika engkau menghalaunya
ia menjulurkan lidahnya dan jika
engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang mendustakan
Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah
kisah ini supaya mereka merenungkannya.
Sangat buruk misal orang-orang yang mendustakan
Tanda-tanda Kami, dan kepada diri
mereka sen-dirilah mereka berbuat zalim. (Al-A’rāf [7]:176-178).
Yang
dimaksudkan di sini bukanlah seseorang tertentu melainkan semua orang yang
kepada mereka Allah Swt. memperlihatkan
Tanda-tanda melalui seorang nabi tetapi mereka menolaknya (mendustakannya). Ungkapan semacam itu terdapat di
tempat lain dalam Al-Quran (seperti QS.2:18). Ayat itu telah dikenakan secara
khusus kepada seorang yang bernama Bal’am
bin Ba’ura yang menurut kisah pernah hidup di zaman Nabi Musa a.s. dan konon dahulunya ia seorang wali, tetapi kesombongan merusak pikirannya dan ia mengakhiri hidupnya dalam kenistaan. Ayat itu dapat juga dikenakan
kepada Abu Jahal penentang keras Nabi Besar Muhamma saw., atau Abdullah bin Ubbay bin Salul pemimpin
orang-orang munafik Madinah, atau dapat pula kepada tiap-tiap pemimpin kekafiran.
Makna ayat
اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ
-- “ia cenderung ke bumi”
artinya menyukai hal-hal yang bersifat kebendaan
atau kehidupan duniawi, pada
khususnya kecintaan akan uang.
Yalhats dari kata lahatsa) dalam ayat
ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ
یَلۡہَثۡ -- “jika engkau
menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia tetap
menjulurkan lidahnya.” yang berarti nafasnya tersengal-sengal karena
kelelahan atau kepenatan, maksudnya
adalah baik diminta ataupun tidak
untuk berkorban pada jalan agama, orang semacam itu nampaknya
terengah-engah seperti seekor anjing kehausan, seakan-akan beban
pemberian pengorbanan yang terus
menerus bertambah membuatnya amat penat
sekali.
Sama-sama Bergerak Saling Mendekati
(3) Dalam peristiwa
mi’raj, dari ayat
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی -- “Kemudian
ia, Rasulullah, mendekati
Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی -- “maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau
lebih dekat lagi” (QS.53:9-10) diketahui,
bahwa terjadinya “pertemuan” (manunggal) atau fana antara seseorang hamba (manusia) dengan Allah
Swt. dalam tingkatan fana fillāh adalah karena adanya pergerakan
saling mendekat kedua belah
pihak -- yakni Allah Swt. bergerak “turun mendekati” hamba-hamba-Nya yang bergerak “naik mendekati” kepada-Nya.
Dengan
demikian tingkatan kualitas ittihad
atau hulul atau
“manunggal” Nabi
Adam a.s. yang berada pada tingkatan
langit
pertama pada peristiwa mi’raj tersebut berbeda dengan kualitas ittihad
atau hulul atau
“manunggal” yang dialami Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s.
yang berada pada tingkatan langit kedua;
demikian kualitas ittihad atau hulul atau
“manunggal” antara Nabi
Musa a.s. berbeda dengan Nabi Ibrahim a.s. yang ada pada tingkatan
langit ketujuh.
Terlebih
lagi jika dibandingkan dengan
kualitas ittihad atau hulul atau
“manunggal” paling sempurna Nabi Besar Muhammad saw. (QS.6:162-164) yang telah mencapai “Sidratul Muntaha”, lebih lanjut Allah
Swt. berfirman mengenai hal tersebut:
ثُمَّ دَنَا
فَتَدَلّٰی ۙ﴿﴾ فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿﴾ فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی ﴿ؕ﴾ مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿﴾ اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی ﴿ۙ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿﴾ عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ﴾ اِذۡ
یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿﴾ لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿﴾
Kemudian
ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia kian dekat kepadanya, maka jadilah
ia, seakan-akan, seutas tali
dari dua buah busur, atau
lebih dekat lagi. فَاَوۡحٰۤی
اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ اَوۡحٰی -- lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang
telah Dia wahyukan. مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا
رَاٰی -- Hati Rasulullah
sekali-kali tidak berdusta apa yang
dia lihat. Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat? وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً
اُخۡرٰی -- dan sungguh dia
benar-benar melihat-Nya kedua kali, عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی -- dekat pohon
Sidrah tertinggi, عِنۡدَہَا جَنَّۃُ الۡمَاۡوٰی -- yang di dekatnya ada
surga tempat tinggal. اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی -- ketika
pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi. مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی -- penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak
pula melantur. لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ
رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی -- sungguh
ia benar-benar melihat Tanda
paling besar dari Tanda-tanda
Tuhan-Nya. (An-Najm [53]:9-19).
Itulah
sebab ketika Nabi Musa a.s. ingin menyaksikan penjelmaan Tajalliyyati
Ilahiyah sempurna kepada Nabi Besar Muhammad saw., yang diperlihatkan
Allah Swt. melalui sebuah gunung -- kemudian hancur-lebur karena “tidak sanggup memikulnya” (QS.33:73) –
maka Nabi Musa a.s. rebah pingsan karena beliau
tidak mampu mengalami “goncangannya” yang
sangat dahsyat, sehingga telah Nabi Musa a.s. sadar dari “pingsannya” langsung
mengakui kesempurnaan tingkatan fāna
filLāh Nabi Besar Muhammad saw. dan
menyatakan “beriman” kepada beliau
saw., سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf
[7]:144).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor:
Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25
Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar